24
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Penelitian kepustakaan library research Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal
dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah- majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pengajuan itsbat nikah dan status anak yang lahir sebelum itsbat nikah.
b. Penelitian Lapangan field research Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang
berkaitan dengan materi penelitian. Metode yang digunakan yaitu wawancara depth interview secara langsung
kepada responden dan informandengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan
cara mewawancarai narasumber yaitu Hakim dan Panitera Pengadilan Agama Medan sebagai responden dan Ketua Pengadilan Agama Medan sebagai informan.
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
25
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang
penting. b. Wawancara
34
dengan menggunakan
pedoman wawancara
interview quide
35
. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara
ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas
dan mendalam depth interview. Adapun narasumbernya meliputi
Hakim dan Panitera Pengadilan Agama Medan serta
Ketua Pengadilan Agama Medan.
5. Analisis Data
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun
secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan
sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang
34
Herman Warsito, Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi arus
informasi dalam
wawancara, yaitu
pewawancara interviewer,
responden interview informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
35
Ibid , hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara,
menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
26
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk menmperoleh kesimpulan
jawaban yang jelas dan benar.
Universitas Sumatera Utara
27
BAB II TATA CARA PENGAJUAN ITSBAT NIKAH YANG DILAKUKAN
PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN
A. Perkawinan dan Pengaturannya di Indonesia 1. Pengertian dan Asas Perkawinan
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.
36
Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan
yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak
dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat
dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan
tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
36
Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta,Cetakan I 1988, hal.97.
27
Universitas Sumatera Utara
28
Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. “Suami isteri adalah fungsi
masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.
37
R
.
Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan
Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersamabersekutu yang
kekal”.
38
Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.
39
Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam Sudikno Mertokusumo bahwa “perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja.
Maksudnya bahwa undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Gereja, melainkan undang-undang hanya mengenal “perkawinan
perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan Sipil”.
40
Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan
kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”
37
Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.
38
R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW
. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.
39
Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW. Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61
.
40
Ibid., hal 61.
Universitas Sumatera Utara
29
menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.
41
Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.
42
Al-nikah yang
bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al- dammu wa al-jam’u
atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.
43
Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah
mempunyai dua makna, yaitu perjanjianakad dan bersetubuhberkumpul. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan menurut hukum perdata perdata
yang mengartikan perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama- sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas
keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata KUH Perdata. Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari : 1. Kesepakatan
Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak
41
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.
42
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468.
43
Amiur Nuruddin Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 11974 Sampai KHI
, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
30
ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
2. Kecakapan Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh
hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap dewasa. Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-
orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan curatele, dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah
anak-anak karena belum berumur 18 delapan belas tahun. Meskipun belum berumur 18 delapan belas tahun, apabila seseorang telah atau
pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.
4. Sebab yang dibolehkan Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan
yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.
44
Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga
rumah tangga yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
45
Bermacam-macam pendapat
yang dikemukakan
mengenai pengertian
perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat
yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian
perkawinan itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur
44
Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6.
45
Ibid ., hal 6.
Universitas Sumatera Utara
31
tersebut dalam perumusan pengertian perkawinan. Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan:
46
a. Perkawinan dilihat dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian al- Quran Surat an-Nisaa ayat 21 menyatakan “... perkawinan adalah perjanjian yang
sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqan ghaliizhaan”. Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu
perjanjian karena adanya: 1 cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan
akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. 2 cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur
sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
b. Perkawinan dilihat dari segi sosial.
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang belumtidak menikah. c.
Pandangan perkawinan dari segi agama; suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara
perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan
46
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986,
Jakarta,
hal. 47-48.
Universitas Sumatera Utara
32
menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta untuk menjadi pasangan
hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan oleh al- Quran Surat an-Nisaa ayat 1.
Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu,
berdasarkan pada perubahan illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan
haram:
47
a. Hukumnya beralih menjadi sunnah. Dengan illah: seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar
dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan.
b. Hukumnya beralih menjadi wajib. Dengan illah: seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah
mencukupi dan
dipandang dari
sudut pertumbuhan
jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan
terjerumus kepada
penyelewengan, maka
menjadi wajiblah
baginya untuk kawin.
c. Hukumnya beralih menjadi makruh.
47
Ibid., hal. 49-50.
Universitas Sumatera Utara
33
Dengan illah: seseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan
belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk
kawin. d. Hukumnya beralih menjadi haram.
Dengan illah: apabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi laki-
laki itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran Surat an-Nisaa ayat 24 dan ayat 25 serta dalam
al-Quran Surat al-Baqarah ayat 231. Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini seorang wanita walaupun tidak ada
niat dan maksud menganiaya atau memperdayainya sebagai ketentuan ayat- ayat yang bersangkutan tetapi menurut perhitungan yang wajar dan umum,
bahwa perkawinannya itu akan berakibat penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan.
Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki segi-segi hukum perdata. Asas-asas hukum
perkawinan Islam adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan
Universitas Sumatera Utara
34
memilih pasangan, kemitraan suami isteri, untuk selama-lamanya, dan monogami terbuka:
48
a. Asas Kesukarelaan Asas
kesukarelaan merupakan
asas terpenting dalam perkawinan
Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga
antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam.
b. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dari
asas yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua atau
walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagai persetujuan. Hadits Nabi mengatakan bahwa tanpa persetujuan pernikahan dapat dibatalkan.
Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan.
Jika calon suami atau calon isteri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya dapat
dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari keadaan
48
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 139-141.
Universitas Sumatera Utara
35
tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya. Istilah dalam Islam disebut akil baligh, berakal, atau dewasa.
49
c. Asas Kebebasan Memilih Pasangan Asas kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam Sunnah Nabi.
Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh
ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia Jariyah dapat memilih untuk meneruskan
perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang
lain yang disukainya. Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.
50
d. Asas Kemitraan Suami Isteri Dalam beberapa hal kedudukan suami isteri adalah sama, namun dalam beberapa
hal berbeda lihat Q.S. an-Nisaa ayat 34 dan Q.S. al-Baqarah ayat 187. Asas kemitraan suami isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan
kodrat sifat asal dan pembawaan. Suami menjadi kepala keluarga sedangkan isteri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
e. Asas Untuk Selama-lamanya
49
Sayuti Thalib, Op.Cit., hal. 66.
50
Ibid ., hal 66.
Universitas Sumatera Utara
36
Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup
Q.S. ar-Ruum ayat 21. Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti
yang terdapat pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selama-
lamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.
f. Asas Monogami Terbuka Pada prinsipnya perkawinan Islam menganut asas monogami, namun dalam hal-
hal tertentu dibolehkan berpoligami. Laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang isteri lihat Q.S. An-Nisaa ayat 129. Syarat utamanya adalah bisa berlaku
adil diantara isteri-isterinya. Dalam Al-Quran Surat An-Nisaa ayat 129 Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat berlaku adil, karenanya
kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan darurat, agar terhindar dari dosa.
Apabila dilihat dari ketentuan hukum perkawinan nasional asas hukum
perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
Universitas Sumatera Utara
37
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
51
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 atau UU perkawinan berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
52
2. Tujuan Perkawinan