B. Tindak Pidana Korupsi Dalam UUPTPK
Unsur-unsur hukum dalam setiap undang-undang mengandung unsur hukum pidana materil dan formil, demikian dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK. Unsur materil dalam UUPTPK yang mengandung tindak
pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara”, terdiri dari: Pasal 2 ayat 1; Pasal 3. Kedua pasal ini berkaitan dengan pasal-pasal berikut: Pasal 7 ayat 1 huruf
a; Pasal 7 ayat 1 huruf c; Pasal 7 ayat 2; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 huruf a; Pasal 12 huruf i; Pasal 12a; dan Pasal 17.
1. Murni Merugikan Keuangan Negara Dalam UU No.31 Tahun 1999
Tindak pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara” adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, Pengawai Negeri Sipil PNS, dan
penyelenggara negara dengan secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan dengan melakukan korupsi.
94
a. Pasal 2 ayat 1 UU No.31 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling
lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar
rupiah.
94
Ermansyah Djaja., Op. cit., hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Tipe tindak pidana korupsi di atas, dititikberatkan pada “secara melawan hukum wederrechtelijk, “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi”, dan “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frase “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
95
Penerapan perbuatan melawan hukum wederrechtelijk secara materil dalam Pasal 2 ayat 1 UU No.31 Tahun 1999, bermakna diabaikannya asas legalitas atau
kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana, yaitu, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu terjadi”.
96
Analisis unsur-unsur kepastian hukum tergambar dalam Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana terhadap perbuatan melawan hukum secara materil yakni: harus ada suatu
norma pidana tertentu yang mengandung ancaman sanksi dan norma hukum pidana itu harus berdasarkan undang-undang.
97
Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana ditujukan untuk melindungi manusia dari tindakan kesewenang-wenangan
dari pihak tertentu.
95
Ibid., hal. 18.
96
R. Sugandhi., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1980, hal. 5.
97
Leden Marpaung., Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi terberat dalam tipe ini dapat dijatuhkan kepada pelaku yaitu pidana mati, apabila dilakukan dalam keadaan tertentu misalnya pada waktu negara dalam
keadaan bahaya, pada waktu terjadinya bencana alam nasional, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Keadaan tertentu dimaksudkan
sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan ketika negara dalam menghadapi bencana nasional.
b. Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00
lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.
Rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 ini
apabila dikaji secara yuridis, mengandung unsur-unsur pidana sebagai berikut: 1
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yanga da karena jabatan atau kedudukan; dan
3 Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Maksud dari kata ”menguntungkan” secara etimologi memiliki arti mendapatkan keuntungan yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan
dengan pengeluaran. Berarti yang dimaksudkan ”menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya mendapatkan keuntungan untuk
Universitas Sumatera Utara
diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Hal inilah yang menjadi tujuan dilakukannya korupsi menurut substansi Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999.
98
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan kewenangan ataupun kekuasaan,
kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang sedang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan selain dari
maksud diberikannya kewenangan ataupun kekuasaan, kesempatan, atau sarana tersebut.
99
Maksud kata ”merugikan” adalah berarti menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot, dengan demikian yang dimaksudkan
dengan unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” adalah menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot
keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan umum UU No.31 Tahun 1999 yang terdapat pada alinea ke-4 disebutkan yaitu:
100
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
98
Ermansjah Djaja., Op. cit., hal. 159.
99
Ibid.
100
Ibid., hal. 159-160.
Universitas Sumatera Utara
Adam Chazawi, mengatakan bahwa maksud kalimat ”perekonomian negara” adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
101
Tindak pidana yang diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Hal ini dimaksud agar dapat menjangkau berbagai modus operandi
penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Perumusan tersebut, ”melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi dapat
pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
102
Tindak pidana korupsi dalam UU No.31 Tahun 1999 dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan
rumusan secara formil yang dianut dalam UU No.31 Tahun 1999, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap
diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
101
Adam Chazawi., Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 47.
102
Ibid., hal. 47-48.
Universitas Sumatera Utara
c. Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999
Tipe tindak pidana korupsi yang ditentukan dalam Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999, berbunyi: “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”.
Berdasarkan perubahan UU No.31 Tahun 1999 dengan UU No.20 Tahun 2001, maka maksud dari rumusan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999 menghendaki
terhadap Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 harus ditafsirkan termasuk ke dalam Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C UU No.20 Tahun 2001. Makna dari ketentuan Pasal
17 UU No.31 Tahun 1999 adalah terdakwa yang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 18 UU
No.31 Tahun 1999, dapat dipidana dengan pidana sebagai berikut:
103
1 Pidana pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999; dan 2
Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999.
Kalimat “dapat dijatuhi pidana tambahan” dalam rumusan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999, mengandung makna bahwa penjatuhan hukuman pidana tambahan
dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah “fakultatif”, artinya Hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili,
103
Ermansyah Djaja., Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Op. cit
., hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
melainkan bergantung kepada pertimbangan apakah di samping menjatuhkan pidana pokok, Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan ataukah tidak menjatuhkan pidana
tambahan.
104
2. Tindak Pidana Korupsi Dalam UU No.20 Tahun 2001