Tindak Pidana Korupsi Penyuapan

dijatuhkan sehingga dirasakan kurang ada tercermin rasa keadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilai korupsinya lebih kecil dibandingkan dengan pelaku tindak pidana korupsi yang nilai korupsinya lebih besar bila sanksi hukum pidanya sama- sama berpijak kepada ancaman pidana minimal.

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan

Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 diatur unsur materil yang mengandung tindak pidana korupsi karena “penyuapan” terdiri dari: Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 13.

a. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan dalam Pasal 5

ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 bunyi: 1 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah setiap orang yang: a Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 2 Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Universitas Sumatera Utara Analisis rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 jika dikaji secara yuridis, mengandung unsur-unsur pidana sebagai berikut: a. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a yaitu: 1 Setiap orang; 2 Memberi atau menjanjikan sesuatu; 3 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; 4 Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatanya; dan 5 Bertentangan dengan kewajibannya. b. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat 1 huruf b yaitu: 1 Setiap orang; 2 Memberi sesuatu; 3 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; 4 Karena atau berhubungan dengan sesuatu dan bertentangan dengan kewajibannya; dan 5 Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan. c. Ketentuan Pasal 5 ayat 2 yaitu: 1 Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2 Menerima pemberian atau janji sesuatu; 3 Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya; Universitas Sumatera Utara 4 Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; dan 5 Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan. Tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 dapat juga dikualifikasi sebagai ”suap aktif” atau ”ectieve omkooping”. Ketentuan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 209 KUH Pidana, pertama kali diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka 1 huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian oleh Pasal 5 UU No.31 Tahun 1999, terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001. Penafsiran dan penerapannya tidak terlepas dari penafsiran dan penerapan Pasal 209 KUH Pidana karena Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 209 KUH Pidana pada masa berlakunya jurisprudence. Rumusan Pasal 5 ayat 2 tidak sama persis dengan Pasal 209 KUH Pidana walaupun Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 diadopsi dari Pasal 209 KUH Pidana, akan tetapi hal ini disebabkan karena adanya harmonisasi untuk penyesuaian dengan perkembangan situasi dan kondisi pada masa berlakunya jurisprudence UU No.20 Tahun 2001. Perbedaannya menurut pandangan Adami Chazawi, adalah: 108 108 Adami Chazawi., Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni, 2008, hal. 57-58. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 209 KUH Pidana unsur maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan untuk menggerakkan bewegen yakni mendorong atau mempengaruhi batin orang lain in casu pegwai negeri tidak dimuat, akan tetapi dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maksud bukan lagi ditujukan untuk menggerakkan pegawai negeri tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Oleh karena itu, rumusan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini lebih sederhana tidak perlu repot-repot membuktikan adanya maksud menggerakkan, tetapi cukup membuktikan adanya perbuatan memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu dengan maksud bahwa pemberian tersebut yakni supaya pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Pegawai negeri yang dimaksud dalam dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 UU No.31 Tahun 1999 yaitu: a Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; b Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Penyelenggara negara yang dimaksud Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, dan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 yaitu: Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian “penyelenggara negara” tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang ini. Universitas Sumatera Utara Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian, yang dimaksud dengan pejabat negara adalah: a Presiden dan Wakil Presiden; b Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan; d Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; e Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung; f Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; g Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri; h Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; i Gubernur dan Wakil Gubernur; j BupatiWalikota dan Wakil BupatiWakil Walikota; dan k Pejabat Negara laninya yang ditcnttikan oleh Undang- undang. Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dibatasi “yang dimaksud dengan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” yaitu pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap pratik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara

b. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan dalam Pasal 6

huruf a, Pasal 6 ayat 1 huruf b, dan Pasal 6 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 bunyi: 1 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.750.000.000,00 tujuh ratus lima puluh juta rupiah setiap orang yang: 1 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau 2 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 2 Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Analisis tipe tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat 1 huruf b, dan Pasal 6 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001, dapat dikualifikasikan sebagai ”suap Pasif” pacieve omkooping. Rumusan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 210 KUH Pidana, pertama kali diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka 1 huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian Pasal 6 UU No.31 Tahun 1999, terakhir dalam Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat 1 huruf b, dan Pasal 6 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001, sehingga penafsiran dan penerapan pun tidak terlepas dari penafsiran dan penerapan Pasal 210 KUH Pidana pada masa berlakunya atau jurisprudence. Pasal 6 huruf a, Pasal 6 ayat 1 huruf b, dan Pasal 6 ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 merumuskan tindak pidana korupsi suap olej Hakim dan Advokat, tetapi Universitas Sumatera Utara ketentuan tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 huruf a dan ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 merupakan korupsi suap yang bersifat khusus, walaupun misalnya Hakim adalah pegawai negeri yang juga telah dirumuskan dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 tetapi tidak diberlakukan kepada Hakim, karena Pasal 6 ayat 1 huruf a dan ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 diberlakukan secara khusus atas tindak pidana korupsi suap oleh Hakim, maka ketentuan yang bersifat khusus yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat 2 KUH Pidana yaitu, ”jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umu, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”. Ketentuan ini juga sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali. 109 Hal yang terpenting rumusan dalam Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 UU No.20 Tahun 2001 terdapat 3 tiga jenis tindak pidana suap, yaitu, unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, dan unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 6 ayat 2. Ketentuan- ketentuan ini dikategorikan dalam tipe tindak pidana korupsi penyuapan.

c. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan dalam Pasal

11 UU No.20 Tahun 2001 bunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 109 R. Sugandhi., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Op. cit., hal. 78. Universitas Sumatera Utara Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001 di atas, terdapat dua macam jenis tindak pidana korupsi, yaitu: 1 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya; dan 2 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dnegan jabatannya. Rumusan tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 418 KUH Pidana merupakan salah satu kejahatan dalam jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan. Ketentuan ini pertama kali diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 1 huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999, terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001.

d. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan menurut ketentuan Pasal 12

huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU No.20 Tahun 2001 bunyi: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah: 1 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut Universitas Sumatera Utara diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 2 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 3 Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 4 Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Analisis rumusan tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU No.20 Tahun 2001, mengandung 4 empat jenis tindak pidana korupsi yaitu: 1 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidakmelakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 2 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Universitas Sumatera Utara 3 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 4 Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi Advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Rumusan tindak pidana korupsi yang dianalisis dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU No.20 Tahun 2001 termasuk jenis tindak pidana penyuapan atau suap yang merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUH Pidana yang merupakan merupakan beberapa kejahatan dalam jabatan diatur dalam Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan. Pertama kali diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 1 huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian pada Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999, kemudian dalam Pasal 12 UU No.20 Tahun 2001.

e. Tipe tindak pidana korupsi penyuapan dalam ketentuan Pasal 13 UU

No.31 Tahun 1999, bunyi: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama Universitas Sumatera Utara 3 tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah. Analisis rumusan tindak pidana korupsi suap yang terdapat dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999, mengandung 2 dua unsur, yaitu: 1 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan dan kedudukannya. 2 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jaabatan atau kedudukan dari pegawai negeri tersebut. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan kedua unsur tindak pidana korupsi suap atau penyuapan. Pertama, tindak pidana korupsi suap pada rumusan pertama, pelaku tindak pidana korupsi suap sebelum memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri sudah mengetahui dan memahami dengan jelas mengenai kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pegawai negeri tersebut dan dikarenakan adanya kekuasaan serta wewenang itulah makanya pelaku tindak pidana korupsi suap tersebut memberikan hadiah atau janji. Kedua , tindak pidana korupsi suap pada rumusan kedua, pelaku tindak pidana korupsi suap sebelum memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri tidak mengetahui dan tidak memahami dengan jelas mengenai apa yang menjadi kekuasaan dan wewenangnya, tetapi pelaku tindak pidana korupsi suap sudah cukup dengan Universitas Sumatera Utara menganggap bahwa jabatan atau kedudukan dari pegawai negeri yang diberi hadiah atau janji, melekat kekuasaan dan wewenang padanya.

2. Tindak Pidana Korupsi Pemerasan, Penyerobotan, Turut Serta, dan