1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia UU Kepolisian, dan Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
BarangJasa Pemerintah. 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil
seminar, Putusan
Nomor 301Pid.B2008PN.TTD,
Berita Acara
Pemeriksaan BAP Nomor Pol.: BP174VII2007Reskrim tanggal 25 Juli 2007, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar,
dan majalah mingguan, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan;
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedia dan kamus umum sepanjang memuat informasi yang
relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau
kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPK yang
Universitas Sumatera Utara
mengandung kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan
klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang
relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang
dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data yang
kemudian disimpulkan secara deduktif sehingga permasalahan akan dapat dijawab.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu “corruptie” atau “cooruptus”. Kata “corruptie” berasal dari kata Latin yang tua yaitu “corrumpore”.
82
Kata-kata tersebut kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti bahasa Inggris yaitu
”cooruption”, “corrupt”, bahasa Perancis yaitu “corruption”, bahasa Belanda yaitu “corruptie” korruptie.
83
Ensiklopedia Indonesia mendefinisikan corruptio artinya penyuapan, corrumpore artinya merusak yang secara luas diartikan yaitu gejala para
pejabat badan-badan negara menyalahgunakan kewenangan sehingga terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
84
Pengertian korupsi secara harfiah adalah:
85
1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak normal, kebejatan, dan
ketidakjujuran; 2.
Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya;
3. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk
misalnya: perbuatan yang jahat dan tercela atau kebejatan moral; penyuapan dan bentuk ketidakjujuran; sesuatu yang dikorup seperti kata yang diubah atau
diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat; pengaruh-pengaruh yang korup.
82
Lilik Mulyadi., Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya
, Bandung: Alumni, 2007, hal. 78.
83
Andi Hamzah., Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, Jakarta: Gramedia, 1984, hal. 9.
84
Ensiklopedia Indonesia., Jilid 4, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve dan elsevier Publishing Project, 1983, hal. 1876.
85
Lilik Mulyadi., Op. cit., hal. 78-79.
Universitas Sumatera Utara
Istilah “korupsi” sering kali diikuti dengan istilah “kolusi” dan “nepotisme” yang selalu dikenal dengan singkatan KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. KKN
menjadi masalah dunia yang harus dicegah dan diberantas. Transparancy International
mengartikan korupsi sebagai suatu perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.
86
Definisi korupsi yang dinyatakan oleh Transparancy International tersebut, mengandung tiga unsur yaitu:
87
1. Menyalahgunakan kekuasaan;
2. Kekuasaan yang dipercayakan baik di sektor publik maupun di sektor
swasta, memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3.
Keuntungan pribadi yang tidak selalu hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga untuk anggota keluarganya dan
teman-temannya.
Istilah “corruptio” atau “corruptus” berarti kekuasaan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi mempergunakan kamus yang
berasal dari bahasa Yunani Latin “corruptio” berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar
norma-norma agama materil, mental, dan hukum.
88
Pengertian korupsi tersebut di atas, merupakan pengertian yang sangat sederhana dan tidak dapat dijadikan tolok ukur atau standar terhadap perbuatan
korupsi. Pendangan dari sudut yuridis, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para
pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku
86
P. Pope., Op. cit., hal. 6.
87
IGM. Nurdjana., Op. cit., hal. 15.
88
Prodjohamidjojo, M., Penerapan Pembuktian Terbaik Dalam Delik Korupsi UU No.31 Tahun 1999
, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi adalah tercela apabila hukum dilanggar atau tidak berada dalam tindakan sesuai dengan
wewenang.
89
Pandangan lain mengartikan korupsi itu mengandung pengertian kecurangan, penyelewenanganpenyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri
sendiri, dan pemalsuan.
90
Pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum atau tidak dan sebagai perbuatan tercela. A. Gardiner dan David J.
Olson, memberikan beberapa pengertian korupsi dalam berbagai sudut pandangnya yaitu:
91
1. Rumusan korupsi dari sisi pandang pasar, yaitu suatu tindakan seorang abdi
negara pegawai
negeri yang
berjiwa korupsi
menganggap kantornyainstansinya
sebagai perusahaan
dagang sehingga
dalam pekerjaannya diusahakan sedapat mungkin pendapatannya bertambah;
2. Rumusan yang menekankan pada titik berat jabatan pemerintah, yaitu suatu
perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah karena kepentingan pribadi keluarga, golongan, kawan,
dan teman;
3. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum, yaitu suatu
perbuatan yang memberikan berupa hadiah kepada seseorang yang menyangkut lingkup jabatan kepentingan umum publik; dan
4. Rumusan korupsi dari sisi pandang sosiologi, yaitu korupsi adalah
penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi seperti halnya sebagai gejala sosial yang rumit.
Alatas, menyoroti pendapat yang dikemukakan oleh Brooks tentang rumusan korupsi bahwa, “dengan sengaja melakukan kesalahan atau kelalaian tugas yang
diketahui sebagai kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan
89
M Lubis., dan Scott, J.C., Korupsi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 19.
90
Partanto., P.A., dan Al Barry., M.D., Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994, hal. 375.
91
IGM. Nurdjana., Op. cit., hal. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
untuk memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi”. Menurut Alatas, definisi tersebut sangat luas sehingga perlu dimodifikasi agar dapat juga mencakup
nepotisme, sebab korupsi pada umumnya melibatkan orang-orang terdekat, teman- teman dalam satu instansi bahkan antar instansi, dan keluarga.
92
Suyatno, mendefinisikan korupsi begantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.
Menurutnya, korupsi didefinisikan menjadi 4 empat jenis yaitu:
93
1. Discretionary corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena danya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, namun bukanlah merupakan praktik-praktik yang dapat diterima oleh
anggota organisasi;
2. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan tertentu; 3.
Marceney corruption, ialah suatu jenis tindakan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;
4. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionay yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas, maka dapat
dipahami bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau
keuangan negara yang dari segi materil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Pengertian korupsi ini
sering kali diartikan atau dipersamakan dengan kolusi dan nepotisme, namun, ketiga kata tersebut memiliki batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya sering kali
menjalin satu kesatuan tindakan atau merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi.
92
Sayed Hussein Alatas., Korupsi Sebab Sifat dan Fungsi, Jakarta: LP3ES, 1987, hal. 1, lihat juga Prodjohamidjojo., H., Op. cit., hal. 11.
93
Suyatno., Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
B. Tindak Pidana Korupsi Dalam UUPTPK
Unsur-unsur hukum dalam setiap undang-undang mengandung unsur hukum pidana materil dan formil, demikian dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK. Unsur materil dalam UUPTPK yang mengandung tindak
pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara”, terdiri dari: Pasal 2 ayat 1; Pasal 3. Kedua pasal ini berkaitan dengan pasal-pasal berikut: Pasal 7 ayat 1 huruf
a; Pasal 7 ayat 1 huruf c; Pasal 7 ayat 2; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 huruf a; Pasal 12 huruf i; Pasal 12a; dan Pasal 17.
1. Murni Merugikan Keuangan Negara Dalam UU No.31 Tahun 1999