Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara

(1)

Lampiran 1

Daftar nama-nama informan

1. Nama : Ania Thalib

Umur : 85 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu rumah tangga

2. Nama : Rizal

Umur : 32 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pembuat ornamen Melayu dan perabot rumah tangga

3. Nama : Fahmi Andika

Umur : 46 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : -

4. Nama : Abdullatif M. Sitorus

Umur : 76 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : -


(2)

5. Nama : M. Syafi’I Thalib

Umur : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Kepala Dusun

6. Nama : H. Musthofal Aqhyar S.Pd

Umur : 58 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pensiunan Dinas Koperasi Pengindustrian dan Perdagangan


(3)

Lampiran 2


(4)

(5)

(6)

Lampiran 3 Surat Penelitian


(7)

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Acetate. 2003. Rumah Panggung, Perahu Di Kota Medan: Acetate.

Al Mudri, Mahyudin. 2003. Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Beddu, Syarif. 2009. Arsitek Arsitektur Tradisional Bugis. Makasar: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Hasanuddin Makasar. (Jurnal)

Gartiwa, Markus. 2011. Morfologi Bangungan dalam Konteks Kebudayaan. Bandung: Muara Indah.

Heryati. ‗‗‗‗‗‗‗‗‗. Nilai-nilai Sejarah dan Filosofi Pada Arsitektur Rumah Panggung Masyarakat Gorontalo. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.

(Jurnal)

Idrus, Yaakub. 1996. Rumah Tradisional Negeri Sembilan. Malaysia: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Fakhrizal, Fakhri. 2013. Tradisi Puako Pada Masyarakat Melayu Batu Bara. Departemen Sastra Daerah. Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu. Fakultas Ilmu Budaya. USU. Medan. (Skripsi)

Kartika, Dharsono Sony. 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Kutha Ratna, Nyoman. 2011. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: PUSTA PELAJAR.

Nasir, Abdul Halim. 1997. The Traditional Malay House. Singapore: Fajar Bakti Sdn. Bhd.


(9)

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2010. Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan

(Orientasi Nilai Budaya). Yayasan Obor Indonesia anggota IKAPI DKI

Jakarta.

Sinar, Lukman, Wan Syaifuddin. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan: USU PRESS.

Sugiarto, Eko. 2015. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Suaka Media.

Sukma Pramesti, Dinar. 2013. Tipologi Rumah Panggung di Loloan, Jembrana

Berdasarkan Sistem Spasial. Denpasar: Universitas Udayana. (Tesis)

Zahra Furi, Atika. 2013. Penggunaan Media Wayang Jawa Dengan Tokoh

Punakawan Dalam Meningkatkan Penguasaan Kosa Kata Bahasa Indonesia Anak Usia Dini. Tegal: Universitas Pendidikan Indonesia.

Aziz,Abdul.http:/abdulazis96.wordpress.com/2015/03/23/wujud-wujud kebudayaan.html.Diakses 16 Maret 2016.

Candradimuka.http:/rouf250389.blogspot.co.id/2014/10/analisis data penelitian.html. Diakses16 Maret 2016.

Agustus 2016.


(10)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunaka dipertegas oleh Sugiyono bahwa sanya metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan dari suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian proposal adalah metode kualitatif, metode ini berusaha mengumpulkan data secara aktual. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Landasan teori juga dimanfaatkan dalam memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai pembahasan penelitian.

Proses penelitian kualitatif dapat dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu; tahap orientasi atau deskripsi, tahap reduksi atau fokus, dan tahap seleksi (Sugiyono, 2013)5

5

Sugiarto, Eko. 2015. “Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan Tesis”. Yogyakarta: Suaka Media.

. Pada tahap orientasi atau deskripsi peneliti mendeskripsikan apa yang dilihat, didengar, dan dirasaka. Pada tahap reduksi atau fokus peneliti mereduksi segala informasi yang diperoleh untuk memfokuskan pada masalah tertentu. Pada tahap ini, peneliti menyortir data dengan cara memilih data yang menarik, penting, dan berguna. Data yang terpilih selanjutnya dikelompokkan menjadi berbagai kategori


(11)

yang ditetapkan sebagai fokus penelitian. Tahap selanjutnya adalah tahap seleksi. Pada tahap seleksi peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci. Pada tahap ini peneliti melakukan analisis yang mendalam terhadap data dan informasi yang telah disortir sehingga data tersebut dapat mudah dimengerti. Hasil akhir penelitian kualitatif adalah data atau informasi yang bermakna.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian menunjukkan pada pengertian tempat atau lokasi penelitian yang dicirikan oleh adanya unsur seperti pelaku, tempat dan kegiatan yang dapat di observasi (Nasution, 2003:43).6

Alasan berikutnya ialah, penulis merasa kagum kepada pemilik rumah yang ada di Desa Simpang Dolok karena masih mau melestarikan hasil dari wujud nyata kebudayaan Melayu yang berbentuk arsitektur bangunan (rumah) tanpa adanya renovasi yang meyengkut dengan kebudayaan asing. Arsitektur bangunan tersebut adalah satu-satunya arsitektur bangunan Melayu di Desa Simpang Dolok yang masih Lokasi yang ditetapkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara. Penulis memilih lokasi penelitian di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara ialah karena penulis sudah pernah melakukan peneletian dan pengabdian satu tahun yang lalu sehingga penulis ingin kembali melakukan penelitian secara mendalam tentang kajian yang sesuai dengan judul penulis tentukan.

6

Zahra Furi, Atika. 2013.” Penggunaan Media Wayang Jawa Dengan Tokoh Punakawan Dalam Meningkatkan Penguasaan Kosa Kata Bahasa Indonesia Anak Usia Dini”. Universitas Pendidikan Indonesia.


(12)

berdiri kokoh hingga saat ini, meskipun di sekeliling arsitektur bangunan tersebut sudah berdiri arsitektur-arsitektur bangunan modern seperti kebanyakan saat ini.

3.3 Instrumen Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto, instrumen penelitian ialah alat bantu yang digunakan oleh seorang atau sekelompok peneliti dalam melakukan kegiatan dalam mengumpulkan data, yang mana agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya.

Alat yang digunakan penulis dalam penelitian proposal ini ada 5, yakni: daftar wawancara, kamera, tape recorder, buku, dan pulpen.

3.4 Sumber Data Penelitian

didapatkan. Jika peneliti memakai wawancara di dalam pengumpulan datanya, maka sumber data diperoleh dari responden yang menjawab pertanyaan peneliti secara tertulis ataupun lisan.

Sumber data penelitian yang didapatkan penulis adalah dari buku-buku pendukung yang membahas tentang rumah panggung, teori estetika maupun dari narasumber/informan yang mengetahui banyak informasi tentang rumah panggung Melayu Batu Bara.

Buku-buku pendukung yang membantu penulis menyelesaikan skripsi ini adalah diantara:


(13)

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 7 September 2016)

Buku-buku ini berjudul:

a. Rumah Melayu Memangku Adat Menjempu Zaman, oleh Mahyudin Al

Mudra, 2003, yang diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta.

Buku ini membantu penulis dalam menyelesaikan rumusan masalah mengenai struktur rumah panggung Melayu Batu Bara serta menyelesaikan persoalan mengenai ornamen-ornamen yang ada di rumah panggung Melayu Batu Bara.

b. Rumah Panggung, Perahu di Kota, oleh Acetate, 2003, yang diterbitkan oleh


(14)

Buku ini membantu penulis dalam mengerjakan latar belakang yang menjadikan alasan mengapa skripsi ini berjudul “Rumah Panggung Melayu Batu Bara”.

c. Rumah Tradisional Negeri Sembilan, Satu Analisis Seni Bina Melayu, oleh

Yaakub Idrus, 1996, yang diterbitkan oleh Penerbit Fajar Bakti Sdn, Bhd. Buku ini juga yang membantu penulis dalam mengerjakan latar belakang yang menjadikan alasan mengapa skripsi ini berjudul “Rumah Panggung Melayu Batu Bara”.

d. Estetika Sastra dan Budaya, oleh Prof. Dr. Nyoman Khuta Ratna, S.U., 2011,

yang diterbitkan oleh PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta.

Buku ini membantu penulis dalam menganalisis data dengan menggunakan teori estetika. Sehingga penulis menetapkan teori estetika oleh H.K Ishar yang mengemukakan estetika dalam arsitektur bangunan adalah nilai-nilai yang menyenangkan mata dan pikiran.

Buku-buku ini penulis dapatkan di Taman Baca Tengku Luckman Sinar yang tidak jauh dari tempat dimana penulis tinggal di kota Medan dan buku teori penulis dapatkan dengan membelinya melalui internet.

Sedangkan untuk hasil yang didapatkan penulis dari wawancara langsung dengan narasumber ialah dari orang-orang yang mengetahui tentang rumah panggung Melayu Batu Bara seperti pemilik rumah panggung Melayu Batu Bara dan juga kepala Dusun, hingga salah satu budayawan yang ada di tempat penulis melakukan penelitian.


(15)

3.5 Metode Pengumpulan Data

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengertian pengumpulan data adalah proses, cara, atau perbuatan dalam mengumpulkan data.

Dalam pengumpulan dan memperoleh data, penulis menggunakan dua metode pengumpulan data, yakni metode pustaka dan metode lapangan.

1. Metode pustaka, yakni penulis mencari buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi sebagai bahan acuan penulis dari berbagai referensi sehingga dapat mendukung dalam pelaksanaan penelitian.

2. Metode lapangan. Dalam menggunakan metode lapangan, penulis melakukan observasi, wawancara tanya jawab antara penulis dengan responden.

a. Observasi adalah pengamatan melibatkan indera penglihatan. Apa yang penulis lihat akan di catat. Hasil catatan penulis lakukan dengan bantuan alat rekam elektronik. Penulis melakukan observasi lapangan jauh sebelum penulis melakukan penelitian. Penulis mencari dimana tempat yang sesuai untuk memperoleh data yang diinginkan. Setelah mencari tempat yang sesuai, penulis menelusuri apakah masih ada objek yang sesuai dengan judul skripsi penulis. Setelah mendapatkan objek tersebut, penulis mendatangi kantor Desa dengan tujuan untuk meminta izin bahwa nantinya penulis akan melakukan penelitian skripsi di Desa tersebut. b. Pengambilan data melalui wawancara secara langsung. Jawaban responden

direkam dan dirangkum sendiri oleh penulis. Pengambilan data dengan wawancara ini, penulis didampingi oleh anggota dari kantor Desa agar penulis lebih mudah mendapatkan hasil yang diinginkan. Penulis melakukan wawancara dengan beberapa responden. Dari pemilik rumah


(16)

panggung yang sesuai dengan objek kajian penulis, kepala Dusun, hingga budayawan setempat.

3.6 Metode Analisis Data

Ada banyak para ahli mengemukakan defenisi mengenai analisis data. Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Menurut Lexy J. Moleong , analisis data adalah proses mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Menurut Suprayogo, analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.7

1. Mengumpulkan data yang diperoleh dari lapangan yang berisikan tanggal informasi, nama objek penelitian, informasi kata kunci dan kode yang mempermudah peneliti menelusuri sumber data.

Data mentah yang dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisis. Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam memecahkan masalah penelitian.

Metode analisis data yang digunakan penulis dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang akurat dan ilmiah sebagai berikut:

2. Menganalisis hasil data yang didapat dari lapangan. 3. Mendeskripsikan hasil yang didapat dari lapangan.

7

Candradimuka. “Analisi Data Penelitian”. www.rouf250389.blogspot.co.id/2014/10. Diakses 16 Maret 2016.


(17)

(18)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Struktur Rumah Panggung Melayu Batu Bara

Rumah tradisional Melayu Batu Bara adalah rumah panggung. Terbuat dari kayu meranti, kayu bira-bira, kayu giam, kayu damar atau kayu besi sehingga mampu bertahan hingga 200 tahun.

(Doc. Foto dari internet. https://www.google.co.id/search?q=kayu+meranti. Diakses 7 September 2016)

(Doc. Foto dari internet. https://www.google.co.id/search?q=bentuk+kayu+bira-bira. Diakses 7 September 2016)


(19)

(Doc. Foto dari internet. https://www.google.co.id/search?q=kayu+damar. Diakses 7 September 2016)

(Doc. Foto dari internet. https://www.google.co.id/search?q=kayu+besi. Diakses 7 September 2016)

Setelah itu rumah akan mengalami kerusakan dan membutuhkan perenovasian. Dalam melakukan renovasi, kayu yang digunakan haruslah kayu yang sejenis. Akan tetapi, pada masa sekarang sangat sulit untuk menemukan kayu yang sejenis dikarenakan banyaknya penebangan-penebangan pohon tanpa adanya penanaman kembali.

Kondisi lingkungan setempat turut menentukan bentuk arsitektur tradisional rumah Melayu. Hal ini terlihat pada kampung Melayu Batu Bara yang dikelilingi


(20)

hutan dan juga sungai ataupun pantai. Pada umumnya, rumah Melayu memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi pohon buah-buahan seperti pohon pisang dan pohon kelapa.

Berdasarkan kondisi lingkungan ini pula maka rumah etnik Melayu Batu Bara pada dasarnya berkolong atau berpanggung dan bertiang tinngi. Bentuk panggung ini sangat berguna untuk penyelamatan dari bahaya banjir dan ancaman hewan buas, mengatasi kelembaban udara dan merupakan tempat kerja darurat, tempat berternak hewan peliharaan, tempat bermain serta tempat menyimpan perkakas kerja.

Bentuk dan cirri khasnya rumah panggung Melayu yang ada di Batu Bara pada umumnya sama, yang membedakannya adalah penggunaan ornamen. Tidak semua rumah memiliki ornamen yang lengkap. Hanya orang-orang berada ketika itu yang menggunakan ornamen secara lengkap pada rumahnya.

Beberapa bahan yang digunakan dalam pembuatan rumah panggung Melayu Batu Bara didapatkan langsung dari hutan terdekat dan juga dari Pulau Pinang, Malaysia melalui hubungan perdagangan. Bahan-bahan tersebut terurai dan untuk memasangnya dengan cara sambung menyambung.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Melayu Batu Bara sudah mengenal sistem sambung menyambung dalam pembuatan rumah sejak 2 abad yang lalu. Semakin banyak bahan yang diperoleh dari luar negeri, maka semakin berada tingkat sosial seseorang itu.

Langkah pertama sebelum mendirikan rumah adalah musyawarah baik antar keluarga ataupun dengan melibatkan anggota masyarakat setempat. Dalam musyawarah akan diadakan acara adat yang harus dijalankan. Etnik Melayu sering menyebutnya ‘totow’. Dalam bahasa sehari-hari, pengertian totow adalah penataan.


(21)

Yang akan ditata merupakan hal yang menyangkut kebatinan. Sebab, di bumi bukan hanya manusia yang bertempat tinggal, akan tetapi banyak makhluk lain yang menghuni di dalamnya seperti tumbuhan, hewan hingga makhluk yang tidak terlihat wujudnya. Dalam menjalankan totow, akan diadakannya kenduri yang mengundang masyarakat sekitar. Di dalam kenduri, tetua adat akan mengelilingi tanah yang nantinya akan dibangun rumah untuk menepung tawari sebagai media meminta izin kepada makhluk ghaib agar keluarga yang tinggal di rumah panggung tersebut tidak merasakan gangguan.

Rumah panggung Melayu Batu Bara menggunakan tiang-tiang penopang pondasi yang tingginya hingga 2 meter sehingga pemilik rumah mampu berdiri dan melakukan aktivitas seperti bertenun, bermain dan berternak di bawahnya. Pada tiang-tiang tersebut terdapat umpak (batu pondasi) sehingga tiang-tiang itu tidak tertanam dalam tanah. Hal inilah yang membuat rumah panggung Melayu Batu Bara dapat dipindah-pindahkan sesuai kondisi lingkungan sekitar.

Rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki teras (serambi) yang di fungsikan sebagai tempat menerima tamu secara khusus dan juga tempat bersantai pemilik rumah saat sore hari setelah letih beraktivitas di pagi hari. Dalam teras terdapat jerjak pagar yang biasanya berukiran ornamen Melayu sesuai dengan keinginan pemilik rumah. Di serambi terdapat tangga yang pada umumnya berada di sebelah kanan dan juga bisa di sebelah kiri tergantung dari keadaan tanah. Pada tangga tersebut biasanya memiliki anak tangga yang ganjil, seperti angka 3, 5, 7 dan 9. Alasan mereka membuat bilangan ganjil dalam pembuatan anak tangga selain untuk melihat kualitas kehidupan sosial dari pemilik rumah adalah etnik Melayu identik dengan Islam yang selalu terkait dengan angka ganjil. Di dekat tangga


(22)

disediakan tempayan (guci besar) dan batil (gayung kecil) yang berisikan air untuk mencuci kaki ketika ingin naik ke dalam rumah.

Setelah teras (serambi), terdapat ruang tamu (ruang selesoh). Ruangan ini difungsikan sebagai tempat berkumpulnya sanak saudara untuk bercengkrama setelah melakukan aktivitas di pagi hari. Di ruang tamu terdapat sebuah kamar (bilik) yang biasanya berada di sebelah kiri karena ada keterkaitan antara matahari terbit dan terbenam.

Bagian selanjutnya adalah dapur. Akan tetapi, sebelum menuju dapur terdapat sebuah lorong memanjang yang digunakan untuk ruangan makan keluarga. Di ruangan ini juga terdapat sebuah tangga keluar yang berfungsi sebagai pintu masuk pemilik rumah. Sebab, pintu masuk yang berada di bagian depan ditujukan untuk para tetamu khusus yang hadir. Setelah menuju lorong, barulah dijumpai dapur yang berisakan tempat memasak dan sebuah kamar mandi.

1

2 3

4


(23)

1. Teras (serambi) 2. Ruang tamu (ruang

selesoh) 3. Kamar (bilik) 4. Ruang makan 5. Dapur

Pada umumnya, rumah panggung Melayu Batu Bara menggunakan plitur dan campuran minyak tanah dengan kunyit yang secara rutin disapukan untuk pewarnaan dinding luar rumah sehingga warna yang dihasilkan menjadi hitam kecoklatan. Hal ini bertujuan lebih kepada untuk ketahan dinding tersebut.

Di rumah panggung Melayu Batu Bara terdapatnya ornamen-ornamen yang

biasanya terdapat pada bagian atas yang diletakkan di bawah cucuran atap, pagar yang ada di teras, fentilasi, daun jendela dan daun pintu. Ornamen yang digunakan sesuai dengan keinginan pemilik rumah. Yang pada umumnya ornamen tersebut bernama:

a. Pucuk Rebung


(24)

b. Jala-jala

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 11 Agustus 2016)

c. Roda Bunga

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 11 Agustus 2016)

d. Genting Tak Putus


(25)

e. Terali Biola

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 11 Agustus 2016)

f. Bintang-bintang

(Doc. foto : Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman hal.99)

Tukang yang akan mengerjakan pembangun adalah tukang yang paham dan mengerti tentang kayu. Tukang harus mengetahui dimana ujung kayu dan dimana pangkal kayu, karena untuk mendirikan tiang, ujung kayu haruslah di atas dan yang pangkal haruslah di bawah. Hal ini menunjukkan sistematika dan kerapian. Susunan ini juga sebagai lambang perkembangan dan pertumbuhan. Masyarakat Melayu pada masa itu mempercayai apabila meletakkan posisi kayu secara sembarangan rumah


(26)

tersebut tidak mampu berdiri kokoh dalam jangka waktu yang lama dan perkembangan pemilik rumah akan terhambat dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tukang juga harus mengetahui jenis kayu yang akan disatukan satu dengan yang lainnya. Bahkan, tukang sangat memperhatikan arah matahari dan tata letak rumah, sehingga rumah tersebut terindar dari sistem lalu lintas yang berbentuk tusuk sate. Arah matahari yang digunakan adalah berhadapan langsung atau bersisian dengan matahari terbit agar cahaya panas matahari dapat masuk ke dalam rumah. Hal ini yang berarti mengharapkan berkah dan rahmat seperti halnya matahari pagi yang bersinar cerah.

Perbedaan antara rumah panggung Melayu Batu Bara dengan rumah panggunga Melayu lainnya terletak pada kehalusan kayu sebagai bahan utama yang digunakan dalam pembuatan rumah. Sebab, kayu yang digunakan berasal dari negeri tetangga, pulau Penang, Malaysia.

Dari segi keindahan terlihat adanya ragam hias yang bermacam-macam bentuk dan coraknya, sehingga menunjukkan tingginya kebudayaan ukiran tradisional Melayu Batu Bara. Rumah tradisional Melayu Batu Bara yang berbentuk rumah panggung selain untuk menjaga keselamatan penghuni dari ancaman binatang buas, juga dimaksudkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pemilik rumah. Banyaknya jendela dan lubang angin menjamin kesegaran dan kenyamanan orang yang menempati rumah.

Rumah panggung Melayu memiliki filosofi yang menyatakan bahwa rumah panggung Melayu diibaratkan sebuah kapal ataupun perahu. Hal ini sering dikaitan dengan seseorang yang akan berumah tangga. “Tanjung selamat pengantin baru,


(27)

Jadikanlah hari ini merupakan peristiwa penting bagi anda berdua, layarkanlah bahtera hidup ini, arungilah kencangnya gelombang samudera. Suami adalah nahdoka, yang harus mampu memimpin. Hidup ini tidak seperti yang engkau bayangkan sewaktu kamu bercinta dan berpacaran, hidup berumah tangga penuh dengan tantangan, ombak dan badai topan akan selalu menerpa, cuma bila engkau tersesat di mudik malam, engkau harus kembali ke pangkalan. Janganlah pernah membuat kesimpulan sendiri. Adanya percecokan dan keretakan, kembalikanlah kepada orangtua. Tetaplah menyongsong walau pengayuh puntung. Bila engkau pandai meniti buih, maka selamatlah sampai ke sebrang”. Ungkapan-ungkapan

inilah yang menyebabkan timbulnya perumpamaan rumah Melayu seperti sebuah kapal ataupun perahu.

Struktur-struktur yang ada pada rumah panggung Melayu Bata Bara meliputi: 1. Atap

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Bahan Utama atap adalah daun nipah atau daun rumbia., tetapi pada perkembangannya sering dipergunakan atap seng. Atap dari daun nipah atau rumbia dibuat dengan cara menjalinnya pada sebatang kayu yang disebut bengkawan yang


(28)

biasanya dibuat dari bambu. Pada bengkawan tersebut atap diletakkan, dijalin dengan rotan, kulit bambu atau kulit pelepah rumbia.

2. Tiang

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Bangunan tradisional Melayu adalah bangunan yang bertiang. Tiang dapat berbentuk bulat atau persegi. Sudut segi-segi tiang diketam dengan ketam khusus yang disebut kumai.

Ukuran maksimun dan minimum sebuah tiang tidak ditentukan. Ukuran ini bergantung kepada besar atau kecilnya rumah. Semakin besar rumah, besar pula tiang-tiangnya.

3. Pintu


(29)

Pintu disebut juga dengan ambang. Pintu masuk di bagian muka rumah disebut pintu muka, sedangkan pintu di bagian belakang disebut pintu dapur atau pintu belakang. Pintu masuk utama yang ada di bagian depan haruslah mengarah ke jalan umum. Pintu dapat terdiri atas satu atau dua daun pintu. Di atas pintu, biasanya terdapat lubang angin yang memiliki motif ornamen, yaitu jala-jala.

4. Jendela

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Dalam bahasa Melayu, jendela disebut dengan tingkap. Bentuknya sama seperti sebuah pintu, tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Daun jendela dapat terdiri atas satu ataupun dua lembar daun jendela.

Ketinggian letak jendela di dalam sebuh rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh perbedaan ketinggian lantai, ada pula yang berkaitan dengan adat istiadat.

Jendela mengandung makna tertentu pula, jendela sengaja dibuat setinggi orang dewasa berdiri dari lantai, melambangkan bahwa pemilik rumah adalah orang


(30)

baik-baik dan tahu adat. Sedangkan letak yang rendah melambangkan pemilik rumah adalah orang yang ramah tamah, selalu menerima tamu dengan ikhlas dan terbuka

5. Tangga

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Tangga naik ke rumah terletak pada bagian kanan atau kiri bilik. Anak tangga kebanyakn berjumlah ganjil sebab menurut kepercayaan, bilangan genap kurang baik artinya. Di sebelah kiri dan kanan tangga diberikan pegangan tangga yang ditopong beberapa tiang kecil. Jarak antara anak tangga tidak memiliki ketentuan ukuran. Semakin banyak anak tangga, berarti pemilik rumah adalah seseorang yang kaya pada masanya.

6. Lantai


(31)

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Lantai rumah induk pada umumnya diketam rapi dengan ukuran lebar antara 20-30 cm. Lantai biasanya dibuat dari kayu meranti. Untuk membuat lantai, kayu haruslah panjang tanpa adanya sambungan. Untuk merawat lantai dipergunakan minyak tanah agar tidak mudah rusak dimakan rayap.

7. Dinding

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Dinding rumah biasanya dipasang secara vertikal. Kalau pun ada yang dipasang horizontal, pemasangan tersebut hanya untuk variasi. Pada umumnya dinding terbuat dari kayu meranti, dammar dan kayu giam. Papan dinding berukuran tebal 2-5 cm, lebar 15-20 cm sedangkan panjangnya tergantung tinggi rumah yang diinginkan pemiliknya.


(32)

Rumah Panggung Melayu Batu Bara di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

Rumah panggung Mealayu Batu Bara tersebut milik Ibu Ania Thalib yang terletak di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara. Dibangun pada tahun 1954 yang bahan utamanya adalah kayu meranti dan kayu bira-bira. Rumah ini memiliki 4 ruangan, yaitu teras (serambi), ruang tamu (ruang selesoh), lorong menuju dapur dan dapur. Warna dinding luar rumah ini adalah warna hitam kecoklatan yang dulunya berasal dari minyak tanah. Terdiri dari 2 buah kamar, 8 buah jendela, 4 buah pintu, dan 32 buah tiang-tiang penopang rumah.


(33)

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016 “teras/serambi”)

Di teras/serambi ini memiliki fungsi tempat bersantai dan menerima tamu. Terdapat juga ornamen Melayu yaitu perpaduan antara nasi manis yang artinya perekat dengan ombak-ombak yang artinya tantangan/tekat di jerjak pagar teras. Di teras tersebut memiliki tangga di bagian sebelah kanan. Akan tetapi, tangganya sudah mengalami perubahan menjadi tangga batu yang pada mulanya terbentuk dari kayu.

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016 “ruang tamu/ruang selesoh”)

Di ruang tamu ini memiliki 3 buah jendela dan 2 buah kamar yang terletak di sebelah kiri ruang tamu. Di ruang tamu inilah sanak saudara bercengkerama setelah sibuk beraktivitas di pagi hari.


(34)

Lorong ini difungsikan sebagai tempat ruangan makan. Setelah lorong yang difungsikan sebagai ruangan makan, barulah dijumpai dapur sebagai tempat memasak.

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016 “tangga turun yang terdapat di lorong menuju dapur”)

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016 “kolong-kolong rumah”)

Kolong-kolong rumah tersebut dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang serta sebagai tempat berternak hewan peliharaan.


(35)

4.2 Nilai Estetika Pada Rumah Panggung Melayu Batu Bara Menurut Prijotomo dalam “Sejarah Arsitektur” (2009)8

a. Tata Ruang

bahwa arsitektur adalah bangunan yang memiliki nilai estetika (estetis), atau dapat dikatakan sebagai bangunan yang indah. Estetika berkaitan dengan keindahan dan keindahan itu dapat dirasakan dengan indra pengelihatan.

Dalam membincangkan estetika, kita tidak akan pernah lepas dari perbincangan tentang budaya. Ibarat sebuah nyawa, estetika adalah nyawa dari sebuah karya, dalam hal ini adalah karya arsitektur yang menjadi fokus pembahasan. Nilai keindahan sebenarnya tidak memiliki ukuran tertentu dan bebas dari segala rumusan. Namun pada sebuah bangunan wujud, estetika akan tampak pada keharmonian dalam berbagai desain dan gaya. Unsur seni dan estetika pada sebuah bangunan tidak hanya akan terlihat pada ornamen dan ragam hias yang terpasang namun juga pada desain yang ada pada bangunan tersebut. Estetika akan semakin berkembang dan berevolusi sesuai dengan permintaan yang ada di masyarakat. Hal inilah yang membuat banyak desain arsitektur berkembang dan berproses sesuai dengan zamannya. Seringkali sebuah desain rumah akan digemari pada suatu zaman namun pada suatu ketika akan ditinggalkan.

Hasil dari wawancara penulis dengan H. Musthofal Aqhyar selaku informan, nilai estetika yang ada pada rumah panggung Melayu Batu Bara terletak pada:

b. Ornamen

c. Pewarnaan Dinding Rumah


(36)

4.2.1 Tata Ruang

Rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki ciri khas yang terdapat pada halaman luas yang bertanahkan pasir putih dan ditanami bunga-bunga. Selain itu, rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki kebersihan yang sangat terjaga.

Tata ruang rumah sangat menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tata ruangan yang memiliki fungsinya masing-masing. Teras (serambi) digunakan sebagai tempat menerima tamu khusus . Tamu khusus ini adalah seseorang yang tidak memiliki hubungan saudara dengan pemilik pemilik rumah, seperti masyarakat sekitar dan seseorang yang memiliki jabatan seperti kepala desa atatupun petuah-petuah adat.

Ruang tamu (ruang selesoh) sebagai tempat berkumpulnya tamu yang memiliki hubungan persaudaraan dan keluarga yang tinggal di rumah tersebut untuk bercengkerama, kamar (bilik) orang tua dengan anak yang terpisah. Ruang makan yang ada di lorong menuju dapur, serta dapur yang dijadikan tempat memasak yang ada di bagian paling belakang rumah.

Panas yang dihasilkan dari cahaya matahari pagi juga sangat mempengaruhi tata ruang yang ada di dalam rumah tersebut. Rumah harus berhadapan langsung ataupun bersisian dengan matahari pagi agar rumah ataupun ruang tamu dapat disinari oleh panasnya cahaya matahari pagi yang diyakini masyarakat Melayu Batu Bara sebagai berkah ataupun rahmat. Berkah ataupun rahmat yang dimaksud adalah sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan. Masyarakat Melayu Batu Bara mempercayai cahaya matahari pagi bermanfaat membuat seseorang jauh lebih sehat dan mengatur masa hidup seseorang.


(37)

Bila dikaitkan dengan ilmu kesehatan yang ada saat ini, cahaya matahari memiliki banyak manfaat, seperti:

a. Mengandung vitamin D

Pada waktu sinar ultraviolet disaring di kulit, sinar tersebut merubah simpanan kolesterol di kulit menjadi vitamin D. Menerima paparan sinar matahari selama 5 menit saja sama artinya dengan memberikan 400 unit vitamin D pada tubuh.

b. Membentuk dan memperbaiki tulang

Meningkatnya vitamin D dalam tubuh karena paparan sinar matahari dapat meningkatkan penyerapan kalsium di dalam tubuh Anda. Kondisi ini adalah solusi dalam pembentukan dan perbaikan tulang dan mencegah penyakit seperti rakhitis dan osteomalacia.

c. Meningkatkan kebugaran pernafasan

Peningkatan kapasitas darah untuk membawa oksigen dan menyalurkannya ke jaringan-jaringan adalah salah satu kegunaan sinar matahari. Selain itu, sinar matahari juga mampu meningkatkan kebugaran pernafasan karena jumlah glikogen akan bertambah setelah berjemur di bawah terik matahari.

4.2.2

Ornamen

Ornamen adalah bentuk hiasan ukir yang berfungsi untuk menambah keindahan suatu bentuk hasil cipta manusia yang mengandung makna dan bentuk simbol dalam setiap ukirannya. Dari segi bentuk ragam ornamen, budaya memiliki simbol keindahan tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian ornamen dari bahasa


(38)

Yunani dari kata ornare yang berarti menghias. Ornamen Melayu memiliki peran besar terhadap kehidupan manusia baik secara jasmani dan rohani.

Ornamen Melayu dapat dilihat di berbagai macam bentuk hasil karya manusia seperti: bangunan (rumah, istana kerajaan ataupun mesjid), kain tenun, alat musik, alat memasak dan lain sebagainya. Dalam etnik Melayu, ornamen dibuat berdasarkan apa yang ada di sekitar kehidupan manusia. Seperti bentuk tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sesuatu yang ada di alam.

Konsep ornamen tumbuhan diibaratkan sebagai bentuk kemuliaan, kebersamaan dan persatuan. Sehingga masyarakat Melayu bersifat terbuka dan tidak tertutup. Beberapa contoh ornamen tumbuh-tumbuhan tersebut iyalah:

• Roda Bunga

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 11 Agustus 2016)

Ornamen roda bunga berbentuk setengah lingkaran, yang mengingatkan kepada bentuk setengah roda dengan hiasan jari-jarinya. Ornamen ini berada di atas jendela yang difungsikan sebagai fentilasi udara. Makna dari ornamen roda bunga ini adalah ketentraman bagi pemilik rumah.


(39)

• Pucuk Rebung

(Doc. foto : Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman hal.90)

Ornamen pucuk rebung berbentuk segitiga dengan garis-garis lengkung dan lurus di dalamnya. Umumnya, di dalam segitiga tersebut terdapat satu garis tegak lurus yang dirangkai dengan garis-garis melengkung ke kiri dan kanan. Garis-garis lengkung lengkung inilah yang membentuk pola ukiran pucuk rebung. Pucuk rebung ditempatkan di bagian bawah cucuran air atap rumah. Ornamen pucuk rebung memiliki makna sebagai pengingat kepada pemilik rumah untuk terus berupaya maju dalam menjalani kehidupan

Konsep ornamen hewan diibaratkan kebebasan yang artinya setiap makhluk hidup bebas menentukan dan bebas menjalankan kehidupannya. Penggambaran ornamen bentuk hewan tersebut tidaklah seperti bentuk hewan yang dimaksud, tetapi memiliki bentuk kemiripan ketika melihatnya. Contoh ornamen berbentuk hewan itu adalah:


(40)

(Doc. foto : Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman hal.92)

Mengapa ornamen ini disebut semut beriring, karena bentuknya mirip dengan semut yang berjalan beriringan. Makna dari ornamen semut beriring adalah pemilik rumah harus mampu memikul beban secara bersama-sama, gotong royong dalam membangun keluarga yang harmonis.

• Ornamen Itik Sekawan

(Doc. foto : Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman hal.93)

Dinamakan Itik sekawan karena bentuknya mirip dengan itik berjalan berkawan-kawan. Ornamen ini sering juga disebut dengan ornamen itik pulang petang. Memiliki bentuk seperti huruf “S” yang bersambung-sambung. Makna dari


(41)

ornamen itik sekawan ini adalah persahabatn dan kekompakan bagi manusia akan arti kehidupan.

• Ornamen Lebah Bergantung

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 11 Agustus 2016)

Lebah bergantung muncul karena bentuknya mirip sarang lebah bergantung di sebuah pohon. Ornamen ini terletak di bawah cucuran atap. Ornamen ini memiliki makna sikap rela berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri seperti sifat lebah yang memberikan madunya untuk kepentingan manusia.

Terciptanya sebuah ornamen dikarenakan adanya kebutuhan yang ada di lingkungan kehidupan manusia. Di dalam seni Islam, penempatan ornamen di bangunan rumah difungsikan tidak hanya sebagai nilai tambah keindahan dari bangun rumah tersebut, melainkan sebagai pengingat akan tauhid (mengesakan Tuhan).(Ismail Raja Ali-Faruqi. 1986).9

9

Lase, Apriliana. 2016. Ornamen Melayu Istana Lima Laras Batu Bara Kajian: Semiotika.. Departemen Sastra Daerah. Prodi Bahasa dan Sastra Melayu. Fakultas Ilmu Budaya. USU. Medan. (Skripsi)

Etnik Melayu adalah penganut agama Islam yang mana nila-nilai itu mempengaruhi budaya. Dalam ungkapan adat dikatakan


(42)

“Berpijak pada Yang Satu”, dan “Hidup berselimut adat, ati berkafan iman”. Ini tercermin pada salah satu ornamen Melayu yaitu:

• Bintang-bitang

(Doc. foto : Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman hal.99)

Ornamen Bintang-bintang berbentuk seperti bintang dengan segi ganjil maupun genap yang tidak ditentukan jumlahnya. Sudutnya boleh sejajar ataupun bersilangan. Bentuk sudutnya dapat berbentuk segitiga, tetapi dapat pula berupa daun-daunan. Bagian tengahnya berbentuk bulat berupa bunga dengan kelopak terbuka. Ornamen bintang-bintang pada umumnya diletakkan pada loteng sebagai tempat gantung lampu. Hal ini juga lah yang menghasilkan makna keaslian, kekuasaan Tuhan dan sumber sinar dalam kehidupan manusia.

Hampir di setiap rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki ornamen meskipun hanya 1 ataupun 2 ornamen saja. Karena, dari jumlah banyak ataupun sedikitnya ornamen yang ada di rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki tingkatan sosial yang berbeda. Semakin banyak ornamen yang dipakai maka semakin banyak pula biaya untuk membuatnya. Biasanya, rumah yang memiliki ornamen cukup banyak adalah rumah-rumah dari keluarga kerajaan.


(43)

Ornamen yang ada di rumah panggung Melayu Batu Bara sama seperti di rumah-rumah panggung daerah Melayu lainnya. Hanya saja yang membedakannya terletak pada tingkat kehalusan pembuatannya.

Jika kita perhatikan ornamen Melayu yang dilakukan oleh pengukir Melayu masa lampau, rasa kagum yang begitu besar akan timbul karena telah mampu menciptakan benda yang rumit dan megah sesuai dengan bagaimana mereka mengepresikan perasaan dalam karya seni tersebut. Melalui kreativitas itu, mereka dapat memahami alam sekitar yang diciptakan oleh Tuhan.

Hasil yang didapat penulis dalam penelitian di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara hanya menemukan 1 (satu) ornamen yang ada pada rumah panggung Melayu. Ornamen tersebut berada di bagian teras (serambi) sebagai hiasan pagarnya. Ornamen tersebut diberi nama perbaduan antara nasi manis dengan ombak-ombak yang memiliki makna semangat untuk merekatkan sebuah keluarga.

(Doc. foto : M. Arfan Fahmi, 10 Agustus 2016)

4.2.3 Pewarnaan Dinding Rumah

Menurut Francis D. K. Ching (Arsitekur Bentuk Ruang dan Tatanan, (2000:14), menyebutkan bahwa warna adalah atribut yang paling mencolok untuk


(44)

membedakan suatu bentuk dari lingkungannya. Warna juga mempengaruhi kualitas bentuk dari sebuah benda.10

Warna mampu menjadikan suatu benda terlihat indah dan melalui warna seseorang dapat mengungkapkan suasana perasaan.

Penataan warna dalam arsitektur suatu bangunan mempunyai peranan yang sangat penting karena akan berdampak kepada pemilik bangunan maupun orang lain. Dampak inilah yang membuat timbulnya penilaian apakah bangunan tersebut memiliki nilai estetika atau tidak.

Rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki warna yang khas untuk pewarnaan dinding bangunan. Warna khas rumah panggung Melayu Batu Bara adalah warna hitam kecoklatan. Warna ini dihasilkan dari bahan plitur ataupun minyak tanah yang dicampurkan dengan kunyit. Pewarnaan dinding rumah ini lebih bersifat untuk pengawetan kayu dari serangan rayap. Dalam pemberian warna ini jugalah yang membuat rumah mampu bertahan hingga 200 tahun lamanya. Bagi masyarakat Melayu Batu Bara, warna hitam kecoklatan ini juga memiliki arti tesewogam yang berarti gagah ataupun berwibawa yang membuat rumah tersebuat memiliki kekuatan tersendiri bagi pemiliknya.

10

Kartini, Ayu. 2014. Analisis Penerapan Ornamen Bernuansa Melayu Ditinjau Dari Bentuk Dan

Warna Di Kota Medan. Jurusan Pendidikan Seni Rupa. Fakultas Bahasa Dan Seni. UNIMED.


(45)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Rumah tradisional Melayu Batu Bara adalah rumah panggung. Memiliki tiang-tiang panjang sebagai penopang bangunan. Masyarakat Melayu Batu Bara memfungsikan rumah panggung tidak hanya untuk bertempat tinggal saja, tetapi difungsikan juga untuk keselamatan penghuni rumah dari ancaman binatang buas sebab rumah masyarakat Batu Bara pada masa lalu dikelilingi hutan, dan apabila rumah tersebut berada di dekat sungat ataupun pantai maka rumah panggung difungsikan sebagai perlindungan penghuni rumah dari kebanjiran.

Rumah panggung Melayu Batu Bara terbuat dari sebuah kayu sebagai bahan utama untuk membangun rumah. Kayu yang dipakai adalah kayu meranti, kayu bira-bira, kayu giam, kayu damar atau kayu besi sehingga mampu bertahan hingga 200 tahun. Pembuatan rumah panggung Melayu Batu Bara masa itu, tidak menggunakan paku untuk merekatkan antara satu kayu dengan kayu lainnya tetapi dengan cara dipasak.

Dalam membangun rumah panggung Melayu Batu Bara, ada 3 (tiga) landasan utama yang harus diperhatikan. Tiga landasan itu adalah adat resam, keadaan lingkungan dan syariat Islam.

Rumah panggung Melayu Batu Bara memiliki 4 (empat) bagian, yaitu teras (serambi), ruang tamu (ruang selesoh), lorong menuju dapur dan dapur. Dari ke-empat bagian ini memiliki fungsinya masing-masing. Teras (serambi) difungsikan sebagai tempat menerima tamu khusu, ruang tamu difungsikan sebagai tempat


(46)

menerima tamu yang memiliki hubungan saudara dan juga sebagai tempat berkumpulnya penghuni rumah untuk bercengkerama, lorong menuju dapur yang difungsikan sebagai ruang makan dan dapur difungsikan sebagai tempat untuk memasak.

Letak rumah panggung Melayu Batu Bara pada zaman dahulu adalah menghadap langsung atau bersisian dengan matahari. Dengan makna agar penghuni rumah mendapatkan berkah.

Untuk pemasangan kayu tidaklah boleh terbalik, ujung kayu harus berada di atas dan pangkal kayu harus berada di bawah. Apabila pemasangan ini terbalik, masyarakat Melayu Batu Bara memepercayai pertumbuhan dari pemilik rumah akaan terhambat dan tidak sesuai yang diinginkan.

Estetika ataupun keindahan yang ada pada rumah panggung Melayu Batu Bara terlihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu tata ruang, ragam hias ataupun ornamen yang bermacam-macam dan warna pada dinding rumah rumah.

5.2 Saran

Adapun saran yang penulis harapkan dari penelitian skripsi ini adalah:

1. Menjadikan rumah panggung Melayu sebagai warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan agar generasi mendatang masih bisa melihat hasil nyata dari sebuah seni arsitektur yang dibuat oleh orang Melayu terdahulu.

2. Mempertahankan keaslian rumah panggung Melayu sehingga tidak tercampur oleh kebudayaan asing.


(47)

3. Rumah panggung Melayu dijadikan bahan reverensi dalam membangun sebuah rumah baru yang akan ditempati.

4. Seharusnya, pengenalan terhadap warisan kebudayaan dari seni arsitektur ini lebih digiatkan lagi agar apa yang masyarakat saat ini tidak tahu menjadi tahu.


(48)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

1. Syarif Beddu: Jurnal 2009 “Arsitek Arsitektur Tradisional Bugis”. Mengamati bangunan tradisional yang ada di Sulawesi Selatan khusunya masyarakat Bugis yang sering disebut sebagai bangsa “Bahari” (Oceanik), model bangunan ini pada umumnya berpanggung; artinya bangunan yang mereka rencanakan berbentuk panggung yang disokong atau didukung oleh sejumlah tiang-tiang “aliri” vertikal dan pasak-pasak “patolo” horisontal secara struktural namun tetap memiliki unsur fleksibilitas. Rumah panggung Bugis merupakan salah satu bentuk yang inovatif yang mempunyai adaptasi ilmiah di lingkungan aslinya. Bahkan material untuk struktural rumah panggung dapat diperoleh dari lingkungan setempat. Mengamati konsepsi dan prosesi perancangan bangunan pada arsitektur tradisional dikalangan etnis bangsa Bugis, sangat kental dengan berbagai falsafah dan ritual yang mengacu pada budaya dasar setempat terhadap tata nilai ruang serta tata bentuk bangunan dan bahkan banyak dikaitan dengan konsep waktu. Langkah yang dijalankan oleh seorang ”Sanro Bola” yang berprofesi sebagai arsitek dengan tujuan utama untuk mencari kelarasan manusia dengan alam, dan hubungan keharmonisan antara manusia sesamanya serta manusia dengan penciptaNya.


(49)

2. Heryanti: Jurnal Universitas Negeri Gorontalo “Nilai-nilai Sejarah dan Filosofi Pada Arsitektur Rumah Panggung Masyarakat Gorontalo”. Di tengah-tengah bangunan modern di Gorontalo terdapat rumah yang merupakan rumah sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk panggung yang oleh masyarakat setempat dinamakan Rumah Budel, yaitu istilah masyarakat lokal dalam menyebut rumah warisan yang tidak memiliki hak kepemilikan yang jelas karena ketika pemilik utama (orang tua) meninggal dunia, tidak sempat meninggalkan hak waris kepada keturunannya sehingga biasanya hanya sekedar untuk dihuni secara turun temurun. Jika dilihat dari gaya pada rumah budel yang berbentuk panggung terdiri atas dua jenis, yakni yang pertama, rumah berbentuk panggung yang jika dilihat dari tampilan arsitekturnya sudah mengalami akulturasi (pengaruh kolonial, Cina dan Arab). Kedua, rumah yang berbentuk panggung tetapi nuansa/muatan makna filosofi dan adat budaya daerah Gorontalo masih nampak. Rumah dalam bahasa Gorontalo disebut Bele. Berdasarkan sejarah pekembangan rumah masyarakat Gorontalo mulai dari yang paling sederhana yakni membuat hunian di pohon-pohon sampai ke perkembangan rumah yang lebih sempurna yang dinamakan Bele Dupi. Bele Dupi inilah yang berkembang terus menyesuaikan peradaban masyarakat Gorontalo yang sampai sekarang sudah mulai punah.

Makna filosofi yang melandasi perwujudan arsitektur rumah panggung masyarakat Gorontalo pada hakekatnya berpangkal pada etika atau adat dalam berperilaku yang senantiasa berasaskan pada prinsip-prinsip Islam dan adat yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan yang mana sebagian


(50)

besar dipengaruhi oleh latar belakang sejarah Gorontalo yang berbentuk kerajaan. Sekalipun perbedaannya tidak begitu nampak tetapi secara keseluruhan rumah masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu dapat dibedakan berdasarkan status sosialnya yakni rumah untuk golongan raja/bangsawan, rumah untuk golongan kaya/berada, dan rumah untuk rakyat biasa/kebanyakan. Perbedaan ini nampak jelas pada dimensi rumah, bentuk atap, dan penggunaan ragam hias.

3. Dinar Sukma Pramesti: Tesis 2013 “ Tipologi Rumah Panggung Di Loloan, Jembrana Berdasarkan Sistem Spasial”. Menurut Husein Jabar, seorang tokoh di Loloan (Desember 2012), dipilihnya rumah panggung sebagai rumah masyarakat Loloan, selain karena asal tradisi, juga disebabkan karena rumah panggung dapat beradaptasi dengan kondisi alam Loloan yang dekat dengan sungai Ijo Gading. Pada tahun 1700, sebelum dibangunnya permukiman di Loloan, sungai Ijo Gading pernah meluap dan menyebabkan banjir besar. Rumah panggung dianggap cocok dan mampu mengantisipasi jika terjadi banjir akibat luapan sungai Ijo Gading. Bagian bawah rumah panggung yaitu lantai dasar/kolong dapat tetap menyerap atau dilalui air. Rumah panggung juga dipilih karena dapat mengantisipasi serangan binatang buas seperti buaya yang banyak terdapat di sekitar sungai Ijo Gading.

Rumah panggung di Loloan terdiri dari tiga bagian yaitu bagian bawah disebut lantai dasar/kolong, bagian tengah disebut lantai tengah/induk dan bagian atas disebut lantai atas/loteng. Lantai dasar/kolong awalnya difungsikan untuk mengantisipasi banjir dan binatang buas, tetapi setelah


(51)

dibangun permukiman, wilayah Loloan tidak pernah dilanda banjir sehingga lantai dasar/kolong dijadikan ruang multifungsi tanpa sekat dan ditutup dengan dinding tidak permanen berupa gedek. Lantai dasar/kolong difungsikan sebagai ruang penyimpanan peralatan rumah tangga, kayu bakar, peralatan bekerja, tempat duduk-duduk atau sebagai tempat memelihara hewan ternak. Lantai tengah/induk merupakan ruang tempat penghuni rumah melakukan aktivitas sehari-hari. Pada lantai tengah/induk terdapat amben/serambi, ruang depan, bilik/kamar tidur dan dapur. Lantai atas/loteng merupakan ruang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka atau sebagai tempat memingit anak dara atau gadis (perawan).

Adapun kajian penulis berjudul: Estetika Rumah Panggung Melayu Batu

Bara. Di dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mendeskripsikan struktur rumah

panggung Melayu Batu Bara dan menjelaskan estetika/keindahan yang terdapat dalam rumah panggung Batu Bara. Keindahan rumah panggung dapat dilihat dari struktur bentuk rumah, bentuk material yang dipakai, bentuk ukiran yang digunakan, bentuk warna dan lain-lain.

Kajian yang penulis lakukan hampir mirip dengan kajian yang ditulis oleh Syarif Beddu, Heryanti, dan Dinar Sukma Pramesti. Namun, di dalam kajian penulis selain membahas tentang struktur ataupun bentuk rumah panggung, penulis menambahkan kajiannya dengan nilai-nilai estetika/keindahan yang ada pada rumah panggung. Inilah yang membedakan konsep kajian penulis dengan konsep tulisan Syarif Beddu, Heryanti, dan Dinar Sukma Pramesti yang hanya membahas tentang fungsi dan struktur/bentuk rumah panggung.


(52)

2.2 Teori Yang Digunakan Estetika

Secara etimologis (Shipley, 1957:21)3

3 Khuta Ratna, Nyoman. 2011. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: PUSTA PELAJAR.

estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta, yang juga diturunkan dari aisthe merupakan hal-hal yang dapat ditanggapi dengan indra. Pada umumnya aisthe dioposisikan dengan noeta, dari akar kata noein, nous, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran. Dalam pengertian yang lebih luas berarti kepekaan untuk menanggapi suatu objek, dan kemampuan pencerapan indra.

Estetika merupakan bagian filsafat keindahan yang diturunkan dari pengertian persepsi indra. Pada perkembangan awal, estetika disebut dengan istilah keindahan yang merupakan bagian dari metafisika. Alexander Gottlieb Baumgarten (1970) mulai membedakan antara pengetahuan inderawi dengan pengetahuan intelektual, mempersempit pengertian persepsi indra dengan persepsi artistik sekaligus membedakan antara pengalaman artistik dengan pengalaman indra yang lain.

Pada mulanya, estetika disebut dengan teori cita rasa. Tetapi sejak munculnya tulisan Baumgarten (Runes,1962:6, 110: Shipley:3-7), pengertian estetika dipersempit hanya pada keindahan artistik. Pada umumnya masalah-masalah keindahan dikaitkan dengan seni murni, yaitu seni sastra, seni lukis, seni patung, seni pahat, seni musik, dan seni arsitektur. Menurut The Liang Gie (1976:65) pembagian tersebut pertama kali dikemukakan oleh Charlex Batteaux (1713-1780). Meskipun demikian, keindahan meliputi seluruh karya seni, bahkan juga karya non seni, seperti benda-benda dalam kebutuhan sehari-hari.


(53)

Dalam kamus bahasa Indonesia kata seni berarti suatu keahlian untuk membuat suatu karya yang bermutu. Seni bangunan misalnya, bermutu karena bentuk kontruksinya. Sulit memisahkan antara keindahan dengan keterampilan. Segala sesuatu yang disebut indah baik di dalam karya seni dilakukan melalui suatu aktivitas yang terampil, yang memanfaatkan teknik-teknik tertentu. Semua orang memiliki aktivitas, tetapi tidak semua orang melakukannya dengan terampil. Karya yang dihasilkan pun tidak semuanya indah. Maka dapat disimpulkan bahwa setiap keindahan aka nada keterampilan dan belum tentu sebaliknya.

Arsitektur sebagai aspek seni dan budaya, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan selaras waktu, ruang, dan tempat yang bersangkutan. Pada hakekatnya, karya arsitektur merupakan hasil nyata dari imajinasi dan daya cipta para ahli dalam usaha meningkatkan taraf hidup. Dalam kehidupan bermasyarakat, usaha manusia adalah menciptakan lingkungan hidup yang sehat. Salah satu dari aspek menciptakan lingkungan hidup ini adalah mencipta dan mengubah bangunan. Bidang keahlian inilah yang disebut sebagai arsitektur. Pada masa itu, arsitektur digolongkan sebagai salah satu dari tiga seni visual utama selain seni lukis dan seni pahat. Perbedaannya adalah bagaimana cara menikmatinya. Seni pahat hanya bisa dinikmati dengan hanya melihat, sedangkan dalam arsitektur cara menikmatinya dapat dilalui dengan pengalaman memasuki ruangan yang ada di dalamnya. Contoh erat hubungan antara seni pahat dan arsitektur adalah rumah panggung etnis Melayu yang ada di berbagai daerah Melayu di Indonesia.


(54)

Perkembangan peranan arsitektur menjadi semakin meluas dan beragam, meliputi berbagai aspek kehidupan. H.K. Ishar (1992:1,2,39,73)4 mengutip dalam teorinya tentang keberadaan tiga aspek yang menjadi pertimbangan utama dalam perancangan arsitektur, yaitu aspek fungsi, struktur, dan estetika. Aspek fungsi meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan aktivitas pengguna ruang di dalamnya, kemudahan dan kenyaman pemakaian serta pemeliharaan bangunan.

Aspek estetika berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan keindahan bentuk dan ekspresi dari bangunan. Dengan menilai arsitektur sebagai seni, berarti teor-teori seni atau teori-teori estetika harus pula diterapkan pada arsitektur. Ishar mengemukakan, estetika dalam arsitektur bangunan adalah nilai-nilai yang menyenangkan mata dan pikiran.

Teori estetika yang digunakan dalam arsitektur bangunan adalah teori estetika formil dan teori estetika ekspresionis. Teori estetika formil mengemukakan bahwa keindahan luar bangunan menyangkut persoalan bentuk dan warna. Sedangkan teori estetika ekspresionis mengemukakan keindahan tidak selalu hadir dari bentuknya tetapi dari maksud dan tujuan ekspresinya.

4

http://www.lunibuk.com/PUSTAKA/TEKNIK DAN

SAINS/ESTETIKA.BENTUK/bab2.setetika.bentuk.sebagai.dasar.perancangan.arsitektur. Diakses 28 Maret 2016.


(55)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adat dan tradisi merupakan ciptaan setiap etnis di Indonesia, bahkan bangsa di duniapun memiliki ciri dan keunikan dalam tradisinya. Tradisi itu akan tetap hidup apabila kebudayaan tersebut diwariskan secara terus menerus kepada satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya tidak bersifat statis melainkan dinamis yang akan selalu berubah seiring bergantinya zaman sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Budaya yang tidak mampu menyeimbangkan perubahan kebutuhan pendukungnya akan ditinggalkan oleh generasi berikutnya. Akibatnya, budaya perlahan-lahan akan terlupakan dan mati.

Menurut Koentjraningrat, budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang dan sesuatu yang bergerak menuju titik tertentu. Menurut konsep antropologi, kebudayaan berarti segala keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dipelajari manusia. Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, buddhaya yakni bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.1

Menurut J.J.Hoenigman2

1. Gagasan (Wujud ideal)

, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

1 Fakhrizal, Fakhri. 2013.

Tradisi Puoko Pada Masyarakat Melayu Batu Bara. Departemen Sastra Daerah. Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu. Fakultas Ilmu Budaya. USU. Medan. (Skripsi)

2

Aziz.Abdul. ”Wujud-wujud Kebudayaan”. www.abdulazis96.wordpress.com/2015/03/23. Diakses 16 Maret 2016.


(56)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, sebagainya yang sifatnya kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

2. Aktivitas (Tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling denga tata kelakuan. Sifatnya diamati dan didokumentasikan.

3. Artefak (Karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.


(57)

Etnik Melayu memiliki seni pembangunan rumah tradisional yang disebut dengan “Seni Bina”. Rumah tidak hanya dijadikan tempat tinggal, tetapi juga sebagai lambang kesempurnaan hidup. Dalam etnik Melayu, rumah merupakan penanda status apakah seseorang bertanggung jawab terhadap keluarganya atau tidak.

Masyarakat Melayu Batu Bara selalu berusaha mendirikan rumah walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Orang tua-tua mengatakan “kalau manusia tidak berumah, seperti beruk buta di dalam rimba”. Ungkapan ini sangat memalukan bagi orang Melayu, bukan saja bagi pribadinya sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan kerabatnya.

Masyarakat Melayu Batu Bara menginginkan rumah kediaman yang baik dan sempurna yang bangunan fisiknya memenuhi ketentuan adat dan rumah tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian dan ketentraman.

Ada 3 (tiga) landasan dalam mendirikan rumah tradisional Melayu Batu Bara, yaitu adat resam, keadaan lingkungan dan syariat Islam. Adat resam menjadikan pola pengahayatan hidup yang teratur dan tersusun sebagai fungsi memberikan ketenangan dan kebahagian seseorang, keluarga dan masyarakat. Keadaan lingkungan setempat turut menentukan bentuk arsitektur rumah tradisonal Melayu Batu Bara, sehingga arsitektur rumah Melayu Batu Bara baik di darat maupun dekat dengan sungai ataupun pantai pada dasarnya berkolong atau berpanggung dan bertiang tinggi. Bentuk rumah panggung ini sangat berguna untuk penyelamatan dari bahaya banjir maupun ancaman binatang buas, mengatasi kelembapan udara, dan merupakan tempat kerja darurat serta tempat penyimpanan perkakas kerja. Dalam syariat Islam, yang harus diperharikan dalam mendirikan ataupun membangun rumah


(58)

adalah letak kamar laki-laki dan kamar perempuan haruslah berbeda sesuai dengan norma agama Islam.

Tiang dan atap merupakan bagian terpenting dalam bangunan karena keduanya adalah pondasi pada sebuah rumah. Atap merupakan bagian yang difungsikan sebagai pelindung di dalam rumah dan tiang difungsikan sebagai penopang pada sisi bangunan rumah.

Rumah tradisioanl Melayu Batu Bara mengandung unsur estetika yang dapat dilihat dari bentuk gaya maupun struktur bangunan, pewarnaan dinding, serta ukiran ornamen yang dianggap mewakili suatu zaman pada daerah Melayu.

Masyarakat Melayu Batu Bara umumnya adalah pelaut dan membuat kapal ataupun perahu. Oleh karena itu, istilah yang terdapat pada sebuah rumah panggung banyak kemiripannya dengan istilah pada sebuah perahu. Misalnya, tiang yang dapat diartikan sebagai tonggak panjang untuk menyokong rumah maupun untuk memasang layar pada perahu. Lantai yang diartikan sebagai bagian bawah ruangan di rumah maupun sebagai geladak perahu. Selain itu, sebuah tebar layar yang bermakna kain yang dibentangkan untuk menadah angin di perahu, pada rumah panggung Melayu Batu Bara menunjukkan bagian ujung rumah yang berbentuk segitiga yang menutupi ruang antara dua kayu yang dipasang bersilang. Kesederhanaan pembuatan kapal ataupun perahu dapat dianggap memiliki kesamaan dengan cara membuat rumah panggung. Sehingga dapat dikatakan bahwa rumah panggung bagaikan perahu yang terapung di darat.

Seni arsitektur rumah tradisional Melayu telah dikenal sebelum datangnya penjajah ke bumi nusantara ini. Karya arsitektur tradisional ini tidak dikenal siapa penciptanya, tetapi mungkin saja sebuah karya milik bersama atau kelompok dari


(59)

nenek moyang kita zaman dahulu. Tetapi warisan arsitektur ini merupakan warisan yang khas bagi masyarakat Melayu.

Dari latar belakang di atas, penulis memilih judul “Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara” sebagai judul skripsi karena ingin mengungkapkan keindahan yang ada pada rumah panggung. Tentu saja penulis juga ingin memberi tahukan kepada masyarakat banyak bahwa rumah tradisonal Melayu yaitu rumah panggung yang keberadaannya hampir terkikis dan dilupakan mengingat model rumah pada saat ini berbentuk gaya Eropa. Penulis berharap besar kepada masyarakat Melayu untuk menjaga dan melestarikan budaya nenek moyang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis membuat beberapa rumusan masalah didalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur rumah panggung Melayu Batu Bara?

2. Nilai estetika apa yang terdapat pada rumah panggung Melayu Batu Bara?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui struktur rumah panggung Melayu Batu Bara.

2. Mengetahui nilai estetika yang ada pada arsitektur rumah panggung Melayu Batu Bara.

1.4 Manfaat Penelitian


(60)

1. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.

2. Dapat dijadikan sumber referensi oleh generasi muda dalam mencari pengetahuan untuk mencari keunggulan dan norma-norma adat istiadat dalam membangun rumah panggung Melayu Batubara.

3. Sebagai upaya dalam pelestarian budaya yang sudah mulai terkikis zaman. 4. Memelihara bangunan khas Melayu agar tetap bertahan di zaman modernisasi

ini dengan mengajak para generasi muda ikut melestarikan dan menjaga kebudayaan yang berbentuk tersebut.


(61)

ABSTRAK

M. Arfan Fahmi, 2016. Judul skripsi : Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara.

Adapun permasalahan penelitian ini adalah bagaimana struktur rumah panggung Melayu Batu Bara dan nilai estetika yang ada pada rumah panggung Melayu Batu Bara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur rumah panggung Melayu Batu Bara dan nilai estetika yang ada pada rumah panggung Melayu Batu Bara. Teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika yang digagas oleh H.K Ishar.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, bagaimana penulis mengumpulkan data secara fakta yang ada di lapangan. Masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui struktur rumah panggung dan mengetahui nilai estetika yang ada pada arsitektur rumah panggung Melayu Batu Bara. Teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika buku Kutha Ratna, Nyoman. 2011. Estetika Sastra dan Budaya.

Hasil yang dicapai dalam penelitian menunjukkan struktur rumah panggung Melayu Batu Bara mirip seperti sebuah perahu. Kemudian dari struktur tersebut, penulis memberikan nilai estetika yang terdapat pada rumah panggung tersebut. Kata kunci : Estetika, Rumah Panggung Melayu Batu Bara


(62)

ESTETIKA RUMAH PANGGUNG MELAYU BATU BARA

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN OLEH : M. ARFAN FAHMI

120702025

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(63)

ESTETIKA RUMAH PANGGUNG MELAYU BATU BARA SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

OLEH : M. ARFAN FAHMI

NIM. 120702025

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum.

NIP. 196206261989031005 NIP. 196606171992031003 Drs. Yos Rizal, MSP.

Ketua Departemen Sastra Daerah

NIP.196207161988031002 Drs. Warisman Sinaga, M.Hum.


(64)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari / Tanggal : ………..

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan

Dr. Drs. Budi Agustono, M.S. NIP 196008051987031001 Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. ……….

2. Dra. Herlina, M.Hum. ……….

3. Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum. ……….

4. Drs. Yos Rizal, MSP ……….


(65)

Disetujui Oleh :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

MEDAN 2016

Departemen Sastra Daerah Ketua

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. NIP 196207161988031002


(66)

ABSTRAK

M. Arfan Fahmi, 2016. Judul skripsi : Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara.

Adapun permasalahan penelitian ini adalah bagaimana struktur rumah panggung Melayu Batu Bara dan nilai estetika yang ada pada rumah panggung Melayu Batu Bara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur rumah panggung Melayu Batu Bara dan nilai estetika yang ada pada rumah panggung Melayu Batu Bara. Teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika yang digagas oleh H.K Ishar.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, bagaimana penulis mengumpulkan data secara fakta yang ada di lapangan. Masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui struktur rumah panggung dan mengetahui nilai estetika yang ada pada arsitektur rumah panggung Melayu Batu Bara. Teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika buku Kutha Ratna, Nyoman. 2011. Estetika Sastra dan Budaya.

Hasil yang dicapai dalam penelitian menunjukkan struktur rumah panggung Melayu Batu Bara mirip seperti sebuah perahu. Kemudian dari struktur tersebut, penulis memberikan nilai estetika yang terdapat pada rumah panggung tersebut. Kata kunci : Estetika, Rumah Panggung Melayu Batu Bara


(67)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui skripsi ini, dengan penuh penuh kerendahan hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum, selaku sekertaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum, selaku pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan arahan, tenaga, waktu serta kesabaran beliau dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP, selaku pembimbing II yang telah membantu

dan membimbing penulis demi menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada Bapak/Ibu staf pengajar dan pegawai lingkungan Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengarahkan penulis dalam setiap pembelajaran sejak berada di Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara.

7. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kak Fifi yang selalu membantu penulis dalam mempersiapkan segala urusan yang berkaitan dengan akademik, baik itu selama penulis masih sebagai mahasiswa aktif hingga penulis menyelesaikan perkuliahannya.


(68)

8. Terimakasih kepada pengurus Taman Baca Luckman Sinar yang telah membantu mencarikan buku reverensi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ayahanda dan Ibunda tercinta dan tersayang Drs. H. M. Alfian, M.Pd dan Dra. Hj. Elektrini Halilintar yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran untuk mendidik penulis dari masa kecil hingga saat ini, serta terlah banyak melimpahkan kasih sayang dan doa yang menjadikan kekuatan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Abang dan adik penulis, M. Albi Putra, STP dan Asmi Hajjiah yang tidak

henti-hentinya memberikan semangat, doa, dan motivasi kepada penulis. 11. Ayah Tono dan Bunda Fitri beserta keluarga yang telah memberikan doa

kepada penulis serta mengizinkan penulis untuk tinggal sementara di rumah kediaman dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Seluruh keluarga besar Eyang Papa dan Eyang Mami yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dan dorongan agar tetap fokus dalam menyelesaikan skripsi.

13. Seluruh keluarga besar Atok Nafiah dan Nenek Farida (alm) yang selalu mendoakan penulis agar segera wisuda.

14. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan bantuan kepada penulis selama ini.

15. Rekan penulis, Rizky Fiandra yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian skripsi di Batu Bara dan juga M. Fadlan yang telah memberikan fasilitas baik dalam tempat istirahat, konsumsi, dan doa selama penulis melakukan penelitian skripsi di Batu Bara. Penulis juga


(69)

mengucapkan terimakasih kepada ma tuin Lisa Andriani dan Aam yang telah memberikan waktunya kepada penulis untuk melakukan diskusi dalam mencapai saran ataupun kritikan terhadap penulis dalam menyelesaikan skripsi.

16. Sahabat-sahabat stambuk 2012 Melayu, Arya, Bima, Dedy, Iqbal, Aam, Rizky, Ricky, Ageng, Hendriadi, Renny, Apriliana, Lisa ma tuin, Lela, Fella, Lova, Ika, Yuyun, Alawiyah dan Gemi. Penulis sangat mengucapkan terimakasih atas kebersamaannya untuk selama ini. Penulis bangga memiliki sahabat yang selalu membantu dalam kesenangan dan kesedihan. Bagi penulis, kalian adalah pengalaman terbaik dalam masa-masa perkuliahan.

17. Seluruh keluarga besar IMSAD yang telah banyak memberikan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

18. Bapak Kepala Desa Simpang Dolok dan Informan yang telah member bantuan dalam memberikan izin penelitian dan memberikan informasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2016 Penulis

M. Arfan Fahmi 120702025


(70)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah kesehatan sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai sebuah syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

Skripsi ini berjudul Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara. Rumah Panggung adalah arsitektur etnik Melayu yang diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu. Walaupun sudah mulai terlupakan dengan masukkanya budaya asing, namun pada hakikatnya rumah panggung tersebut masih ada di berbagai daerah Melayu dan masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang.

Penulis sangat menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, September 2016 Penulis

M. Arfan Fahmi 120702025


(71)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 7

2.2 Teori Yang Digunakan ... 11

Estetika ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 14

3.2 Lokasi Penelitian ... 15

3.3 Instrumen Penelitian... 16

3.4 Sumber Data Penelitian ... 16

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 19

3.6 Metode Analisis Data ... ..20

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Struktur Rumah Panggung Melayu Batu Bara ... 22

Rumah Panggung Melayu di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Batu Bara ... 36


(72)

4.2.1 Tata Ruang ... 40

4.2.2 Ornamen ... 41

4.2.3 Pewarnaan Dinding Rumah... 47

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(1)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui skripsi ini, dengan penuh penuh kerendahan hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum, selaku sekertaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum, selaku pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan arahan, tenaga, waktu serta kesabaran beliau dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP, selaku pembimbing II yang telah membantu

dan membimbing penulis demi menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada Bapak/Ibu staf pengajar dan pegawai lingkungan Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengarahkan penulis dalam setiap pembelajaran sejak berada di Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara.

7. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kak Fifi yang selalu membantu penulis dalam mempersiapkan segala urusan yang berkaitan dengan akademik, baik itu selama penulis masih sebagai mahasiswa aktif hingga penulis menyelesaikan perkuliahannya.


(2)

8. Terimakasih kepada pengurus Taman Baca Luckman Sinar yang telah membantu mencarikan buku reverensi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ayahanda dan Ibunda tercinta dan tersayang Drs. H. M. Alfian, M.Pd dan Dra. Hj. Elektrini Halilintar yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran untuk mendidik penulis dari masa kecil hingga saat ini, serta terlah banyak melimpahkan kasih sayang dan doa yang menjadikan kekuatan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Abang dan adik penulis, M. Albi Putra, STP dan Asmi Hajjiah yang tidak

henti-hentinya memberikan semangat, doa, dan motivasi kepada penulis. 11. Ayah Tono dan Bunda Fitri beserta keluarga yang telah memberikan doa

kepada penulis serta mengizinkan penulis untuk tinggal sementara di rumah kediaman dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Seluruh keluarga besar Eyang Papa dan Eyang Mami yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dan dorongan agar tetap fokus dalam menyelesaikan skripsi.

13. Seluruh keluarga besar Atok Nafiah dan Nenek Farida (alm) yang selalu mendoakan penulis agar segera wisuda.

14. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan bantuan kepada penulis selama ini.

15. Rekan penulis, Rizky Fiandra yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian skripsi di Batu Bara dan juga M. Fadlan yang telah memberikan fasilitas baik dalam tempat istirahat, konsumsi, dan doa selama penulis melakukan penelitian skripsi di Batu Bara. Penulis juga


(3)

mengucapkan terimakasih kepada ma tuin Lisa Andriani dan Aam yang telah memberikan waktunya kepada penulis untuk melakukan diskusi dalam mencapai saran ataupun kritikan terhadap penulis dalam menyelesaikan skripsi.

16. Sahabat-sahabat stambuk 2012 Melayu, Arya, Bima, Dedy, Iqbal, Aam, Rizky, Ricky, Ageng, Hendriadi, Renny, Apriliana, Lisa ma tuin, Lela, Fella, Lova, Ika, Yuyun, Alawiyah dan Gemi. Penulis sangat mengucapkan terimakasih atas kebersamaannya untuk selama ini. Penulis bangga memiliki sahabat yang selalu membantu dalam kesenangan dan kesedihan. Bagi penulis, kalian adalah pengalaman terbaik dalam masa-masa perkuliahan.

17. Seluruh keluarga besar IMSAD yang telah banyak memberikan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

18. Bapak Kepala Desa Simpang Dolok dan Informan yang telah member bantuan dalam memberikan izin penelitian dan memberikan informasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2016 Penulis

M. Arfan Fahmi 120702025


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah kesehatan sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai sebuah syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

Skripsi ini berjudul Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara. Rumah Panggung adalah arsitektur etnik Melayu yang diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu. Walaupun sudah mulai terlupakan dengan masukkanya budaya asing, namun pada hakikatnya rumah panggung tersebut masih ada di berbagai daerah Melayu dan masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang.

Penulis sangat menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, September 2016 Penulis

M. Arfan Fahmi 120702025


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 7

2.2 Teori Yang Digunakan ... 11

Estetika ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 14

3.2 Lokasi Penelitian ... 15

3.3 Instrumen Penelitian... 16

3.4 Sumber Data Penelitian ... 16

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 19

3.6 Metode Analisis Data ... ..20

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Struktur Rumah Panggung Melayu Batu Bara ... 22

Rumah Panggung Melayu di Desa Simpang Dolok, Kecamatan Lima Puluh, Batu Bara ... 36


(6)

4.2.1 Tata Ruang ... 40

4.2.2 Ornamen ... 41

4.2.3 Pewarnaan Dinding Rumah... 47

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51