BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
1. Syarif Beddu: Jurnal 2009 “Arsitek Arsitektur Tradisional Bugis”.
Mengamati bangunan tradisional yang ada di Sulawesi Selatan khusunya masyarakat Bugis yang sering disebut sebagai bangsa “Bahari” Oceanik,
model bangunan ini pada umumnya berpanggung; artinya bangunan yang mereka rencanakan berbentuk panggung yang disokong atau didukung oleh
sejumlah tiang-tiang “aliri” vertikal dan pasak-pasak “patolo” horisontal secara struktural namun tetap memiliki unsur fleksibilitas. Rumah panggung
Bugis merupakan salah satu bentuk yang inovatif yang mempunyai adaptasi ilmiah di lingkungan aslinya. Bahkan material untuk struktural rumah
panggung dapat diperoleh dari lingkungan setempat. Mengamati konsepsi dan prosesi perancangan bangunan pada arsitektur tradisional dikalangan etnis
bangsa Bugis, sangat kental dengan berbagai falsafah dan ritual yang mengacu pada budaya dasar setempat terhadap tata nilai ruang serta tata
bentuk bangunan dan bahkan banyak dikaitan dengan konsep waktu. Langkah yang dijalankan oleh seorang ”Sanro Bola” yang berprofesi sebagai arsitek
dengan tujuan utama untuk mencari kelarasan manusia dengan alam, dan hubungan keharmonisan antara manusia sesamanya serta manusia dengan
penciptaNya.
Universitas Sumatera Utara
2. Heryanti: Jurnal Universitas Negeri Gorontalo “Nilai-nilai Sejarah dan
Filosofi Pada Arsitektur Rumah Panggung Masyarakat Gorontalo”. Di
tengah-tengah bangunan modern di Gorontalo terdapat rumah yang merupakan rumah sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk panggung
yang oleh masyarakat setempat dinamakan Rumah Budel, yaitu istilah masyarakat lokal dalam menyebut rumah warisan yang tidak memiliki hak
kepemilikan yang jelas karena ketika pemilik utama orang tua meninggal dunia, tidak sempat meninggalkan hak waris kepada keturunannya sehingga
biasanya hanya sekedar untuk dihuni secara turun temurun. Jika dilihat dari gaya pada rumah budel yang berbentuk panggung terdiri atas dua jenis, yakni
yang pertama, rumah berbentuk panggung yang jika dilihat dari tampilan arsitekturnya sudah mengalami akulturasi pengaruh kolonial, Cina dan
Arab. Kedua, rumah yang berbentuk panggung tetapi nuansamuatan makna filosofi dan adat budaya daerah Gorontalo masih nampak. Rumah dalam
bahasa Gorontalo disebut Bele. Berdasarkan sejarah pekembangan rumah masyarakat Gorontalo mulai dari yang paling sederhana yakni membuat
hunian di pohon-pohon sampai ke perkembangan rumah yang lebih sempurna yang dinamakan Bele Dupi. Bele Dupi inilah yang berkembang terus
menyesuaikan peradaban masyarakat Gorontalo yang sampai sekarang sudah
mulai punah.
Makna filosofi yang melandasi perwujudan arsitektur rumah panggung masyarakat Gorontalo pada hakekatnya berpangkal pada etika atau adat
dalam berperilaku yang senantiasa berasaskan pada prinsip-prinsip Islam dan adat yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan yang mana sebagian
Universitas Sumatera Utara
besar dipengaruhi oleh latar belakang sejarah Gorontalo yang berbentuk kerajaan. Sekalipun perbedaannya tidak begitu nampak tetapi secara
keseluruhan rumah masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu dapat dibedakan berdasarkan status sosialnya yakni rumah untuk golongan
rajabangsawan, rumah untuk golongan kayaberada, dan rumah untuk rakyat biasakebanyakan. Perbedaan ini nampak jelas pada dimensi rumah, bentuk
atap, dan penggunaan ragam hias. 3.
Dinar Sukma Pramesti: Tesis 2013 “ Tipologi Rumah Panggung Di Loloan, Jembrana Berdasarkan Sistem Spasial”. Menurut Husein Jabar, seorang tokoh
di Loloan Desember 2012, dipilihnya rumah panggung sebagai rumah masyarakat Loloan, selain karena asal tradisi, juga disebabkan karena rumah
panggung dapat beradaptasi dengan kondisi alam Loloan yang dekat dengan sungai Ijo Gading. Pada tahun 1700, sebelum dibangunnya permukiman di
Loloan, sungai Ijo Gading pernah meluap dan menyebabkan banjir besar. Rumah panggung dianggap cocok dan mampu mengantisipasi jika terjadi
banjir akibat luapan sungai Ijo Gading. Bagian bawah rumah panggung yaitu lantai dasarkolong dapat tetap menyerap atau dilalui air. Rumah panggung
juga dipilih karena dapat mengantisipasi serangan binatang buas seperti buaya
yang banyak terdapat di sekitar sungai Ijo Gading.
Rumah panggung di Loloan terdiri dari tiga bagian yaitu bagian bawah disebut lantai dasarkolong, bagian tengah disebut lantai tengahinduk dan
bagian atas disebut lantai atasloteng. Lantai dasarkolong awalnya difungsikan untuk mengantisipasi banjir dan binatang buas, tetapi setelah
Universitas Sumatera Utara
dibangun permukiman, wilayah Loloan tidak pernah dilanda banjir sehingga lantai dasarkolong dijadikan ruang multifungsi tanpa sekat dan ditutup
dengan dinding tidak permanen berupa gedek. Lantai dasarkolong difungsikan sebagai ruang penyimpanan peralatan rumah tangga, kayu bakar,
peralatan bekerja, tempat duduk-duduk atau sebagai tempat memelihara hewan ternak. Lantai tengahinduk merupakan ruang tempat penghuni rumah
melakukan aktivitas sehari-hari. Pada lantai tengahinduk terdapat ambenserambi, ruang depan, bilikkamar tidur dan dapur. Lantai atasloteng
merupakan ruang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka atau sebagai tempat memingit anak dara atau gadis perawan.
Adapun kajian penulis berjudul: Estetika Rumah Panggung Melayu Batu Bara. Di dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mendeskripsikan struktur rumah
panggung Melayu Batu Bara dan menjelaskan estetikakeindahan yang terdapat dalam rumah panggung Batu Bara. Keindahan rumah panggung dapat dilihat dari
struktur bentuk rumah, bentuk material yang dipakai, bentuk ukiran yang digunakan, bentuk warna dan lain-lain.
Kajian yang penulis lakukan hampir mirip dengan kajian yang ditulis oleh Syarif Beddu, Heryanti, dan Dinar Sukma Pramesti. Namun, di dalam kajian penulis
selain membahas tentang struktur ataupun bentuk rumah panggung, penulis menambahkan kajiannya dengan nilai-nilai estetikakeindahan yang ada pada rumah
panggung. Inilah yang membedakan konsep kajian penulis dengan konsep tulisan Syarif Beddu, Heryanti, dan Dinar Sukma Pramesti yang hanya membahas tentang
fungsi dan strukturbentuk rumah panggung.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Teori Yang Digunakan