peraturanhukum mengenai dunia cyber”. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai “Lex Mercatoria” yang merupakan suatu sistem hukum
yang dibentuk secara evolutif untuk merespon kebutuhan-kebutuhan hukum the legal needs para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan sistem hukum
nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi bisnis atau perdagangan internasional. Dengan demikian, maka cyberlaw
dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang berkaitan langsung dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan internet.
Secara garis besar, ruang lingkup cyberlaw ini berkaitan dengan persoalan- persoalan atau aspek hukum dari transaksi bisnis melalui media elektronikinternet,
Merek dagangalamat di internet TrademarkDomain Name, kerahasiaan dan keamanan di internet Privacy and Security on the internet, hak cipta copyright,
peraturan-peraturan mengenai isi situs di internet content regulation, penyelesaian sengketa dispute settlement dan sebagainya. Ruang lingkup cyberlaw ini akan terus
berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi pada pemanfaatan internet di kemudian hari.
B. Prinsip Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen.
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentunya prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu
yang khas hanya terdapat dalam hukum perlindungan konsumen, akan tetapi juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku
sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang meningkat.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam
perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut antara lain
25
a. Let The Buyer Beware
:
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan
konsumen adalah pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagai konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya,
konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan
kemampuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya.
Akhirnya konsumen didikte oleh pelaku usaha, jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih hal itu karena kelalaian
konsumen itu sendiri. b.
The Due Care Theory Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan. Untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha melanggar prinsip kehati-hatian.
c. The Privity of Contract
25
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 50
Universitas Sumatera Utara
Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban uintuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara
mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan, artinya konsumen boleh
menggugat berdasarkan wanprestasi. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terdapat sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Asas-asas tersebut antara lain :
1. Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dalam arti materil dan
spirituil. 4.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri. 2.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang danatau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi. 5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
Universitas Sumatera Utara
6. Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Dalam penerapan hukum pidana di bidang perlindungan konsumen dikenal beberapa asas baru yang selama ini cenderung belum diterapkan dalam penggunaan
hukum pidana, terutama dalam KUHP, asas-asas tersebut antara lain : 1.
Asas Pembuktian Terbalik Sistem pembuktian terbalik omkering van bewijsslast merupakan
sistem baru dalam hukum pidana. Pembuktian terbalik yang dikenal dalam sistem pertanggungjawaban pidana ini berbeda dengan sistem
pembuktian konvensional, dimana seseorang yang mengajukan sesuatu dalil, dalam hal ini jaksa penuntut umum, membuat dakwaan atau
tuduhan melakukan perbuatan pidana kepada pelaku usaha, maka jaksa penuntut umum tersebutlah yang dibebani kewajiban membuktikan
kesalahan terdakwa. Namun dengan asas pembuktian terbalik, terdakwa dibebankan
kewajiban untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Dalam Pasal 22 UUPK beban pembuktian terbalik tidak semata-mata
dibebankan kepada terdakwa pelaku usaha, tetapi jaksa penuntut umum juga mempunyai hak untuk melakukan pembuktian jika dipandang perlu.
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pasal 61 UUPK menentukan, penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan atau pengurusnya. Pasal ini menentukan
pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang konsumen. Korporasi
Universitas Sumatera Utara
dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan disamping orang atau pengurus. Dengan
demikian criminal liability dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus atau pimpinan suatu perusahaan factual leader, maupun juga
terhadap pihak pemberi perintah dari perusahaan itu instruction giver. Kesimpulan itu berangkat dari kemampuan korporasi melakukan tindak
pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
3. Vicarious Liability
Dalam teori pertanggungjawaban pidana, pelaku usaha tidak dapat berdalih bahwa suatu perbuatan yang ada dilingkungan usahanya bukan dilakukannya, atau
bukan atas perintahnya. Pelaku usaha dalam sistem hukum pidana tertentu dituntut bertanggung jawab atas setiap perbuatannya termasuk perbuatan orang lain tetapi
masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.
Vicarious Liabilty dapat diidentifikasi oleh undang-undang jika timbul hal- hal sebagai berikut
26
a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan
yang dilakukan orang lain bilamana seseorang tersebut telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada
orang lain. Di sini dibutuhkan suatu syarat tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan the delegation principle
:
26
Hamzah Hatrik, Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability Dan Vicarious Liability, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 hal. 116
Universitas Sumatera Utara
Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruh atau pekerja, jika menurut hukum perbuatan
buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikannya the servants act is the matters act in law.
C. Kepentingan-kepentingan Konsumen