Perlindungan Konsumen Pemakai Jasa Internet Dalam Hal Kerahasiaan Informal

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PEMAKAI JASA INTERNET

DALAM HAL KERAHASIAAN INFORMAL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat dalam mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

GUNAWAN PRADANA 040200140

Bagian Hukum Keperdataan

Program kekhususan Hukum Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM REGULER MANDIRI

MEDAN

2009


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN YURIDIS TENTANG BISNIS ELECTRONIC COMMERCE ... 12

A. Pengertian Bisnis Electronic Commerce ... 13

B. Sejarah Bisnis Electronic Commerce ... 17

C. Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Dagang Indonesia ... 19

BAB III : SISTEM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KERAHASIAAN INFORMAL ... 26

A. Arti Perlindungan Konsumen dan Kerahasiaan Informal . 26 B. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 32


(3)

D. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 44

E. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 52 BAB IV : KAITAN ANTARA KERAHASIAAN INFORMAL DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008... 57

A. Sistem Keamanan Informasi Melalui Internet ... 58

B. Hal-hal yang Penting Dilindungi Dalam Komunikasi Internet ... 63

C. Perlindungan Konsumen Atas Jaminan Kerahasiaan Informasi Pemakai Jasa Internet ... 65

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76


(4)

A B S T R A K

Perkembangan internet di Indonesia memang sangat pesat. Beberapa tahun yang lalu internet hanya dikenal oleh sebagian kecil orang yang mempunyai minat di bidang komputer. Namun, dalam tahun-tahun terakhir ini penggunaan jasa internet meningkat terus, meski ada pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan penggunaan internet di Indonesia baru sebatas untuk hiburan dan percobaan.

Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah : bagaimana secara juridis sistem keamanan informasi tersebut dirancang sehingga para pihak dalam bisnis yang menggunakan internet dapat merasa aman melakukan transaksi, aspek apa sajakah yang penting dilindungi dalam penggunaan internet tersebut dan bagaimana penerapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi melalui internet di Indonesia. Untuk itu dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library

research) yakni melakukan pengumpulan data dari sumber bacaan baik dari

literatur-literatur ilmiah, majalah maupun peraturan perundang-undangan dan penelitian lapangan (field research) yakni melakukan wawancara langsung ke obyek penelitian dan pengumpulan data-data yang berkaitan dengan penelitian.

Dari permasalahan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sistem keamanan informasi dalam E-commerce merupakan suatu perdagangan khusus yang dasarnya adalah perdagangan konvensional ; Dalam transaksi melalui internet banyak aspek-aspek yang perlu untuk dilindungi secara umum serta penerapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi melalui internet di Indonesia.

Untuk itu disarankan agar pemerintah mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang beroperasi secara virtual dan lintas batas juga harus menghindari pelarangan yang tidak semestinya pada E-Commerce serta melakukan pengkajian terhadap perundang-undangan nasional yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan-persoalan hukum akibat dari transaksi di internet


(5)

A B S T R A K

Perkembangan internet di Indonesia memang sangat pesat. Beberapa tahun yang lalu internet hanya dikenal oleh sebagian kecil orang yang mempunyai minat di bidang komputer. Namun, dalam tahun-tahun terakhir ini penggunaan jasa internet meningkat terus, meski ada pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan penggunaan internet di Indonesia baru sebatas untuk hiburan dan percobaan.

Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah : bagaimana secara juridis sistem keamanan informasi tersebut dirancang sehingga para pihak dalam bisnis yang menggunakan internet dapat merasa aman melakukan transaksi, aspek apa sajakah yang penting dilindungi dalam penggunaan internet tersebut dan bagaimana penerapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi melalui internet di Indonesia. Untuk itu dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library

research) yakni melakukan pengumpulan data dari sumber bacaan baik dari

literatur-literatur ilmiah, majalah maupun peraturan perundang-undangan dan penelitian lapangan (field research) yakni melakukan wawancara langsung ke obyek penelitian dan pengumpulan data-data yang berkaitan dengan penelitian.

Dari permasalahan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sistem keamanan informasi dalam E-commerce merupakan suatu perdagangan khusus yang dasarnya adalah perdagangan konvensional ; Dalam transaksi melalui internet banyak aspek-aspek yang perlu untuk dilindungi secara umum serta penerapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi melalui internet di Indonesia.

Untuk itu disarankan agar pemerintah mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang beroperasi secara virtual dan lintas batas juga harus menghindari pelarangan yang tidak semestinya pada E-Commerce serta melakukan pengkajian terhadap perundang-undangan nasional yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan-persoalan hukum akibat dari transaksi di internet


(6)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Perkembangan internet di Indonesia memang seperti tidak terduga sebelumnya. Beberapa tahun yang lalu internet hanya dikenal oleh sebagian kecil orang yang mempunyai minat di bidang komputer. Namun, dalam tahun-tahun terakhir ini penggunaan jasa internet meningkat secara sangat pesat, meski ada pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan penggunaan internet di Indonesia baru sebatas untuk hiburan dan percobaan.

Bila dibandingkan dengan negara-negara yang telah maju, penggunaan internet di Indonesia masih jauh ketinggalan. Namun, sekarang dapat disaksikan di berbagai kota dan daerah telah banyak tersedia tempat-tempat penyewaan internet (warung internet) untuk umum di mana para pengguna jasa internet, yang tidak mempunyai akses secara pribadi ke internet, dapat pula menikmati layanan jasa ini. Perkembangan ini cukup menggembirakan, bila dibandingkan dengan di negara lain, misalnya di Amerika Serikat yang perkembangan internet pada awalnya didukung pendanaannya oleh Pemerintah melalui National Information Infrastructure (NII)1

Memang tidak dapat disangkal bahwa penggunaan internet di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat meskipun belum begitu banyak digunakan untuk

, sedangkan di Indonesia keterlibatan pemerintah di bidang ini dapat dikatakan sangat minim.

1

Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 1.


(7)

tujuan-tujuan komersial dan bisnis atau untuk transaksi perdagangan. Namun demikian, tingkat penggunaan internet ini diperkirakan akan semakin meningkat, sesuai dengan peningkatan penggunaan komputer, telekomunikasi dan multimedia.

Penggunaan internet bukan hanya terbatas pada pemanfaatan informasi yang dapat diakses melalui media ini, melainkan juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi perdagangan yang sekarang di Indonesia telah mulai diperkenalkan melalui beberapa seminar dan telah dimulai penggunaannya oleh beberapa perusahaan, yaitu kontrak dagang elektronik (Electronic Commerce), yang merupakan bentuk perdagangan secara elektronik melalui media internet. Sayangnya, perkembangan penggunaan internet yang ditandai oleh pertumbuhan perusahaan-perusahaan penyedia jasa internet dan meningkatnya jumlah pengguna jasa ini, tidak disertai dengan perkembangan hukum di bidang ini, malahan dapat dikatakan belum ada aturan hukum yang mengaturnya, baik yang dibuat secara khusus maupun penyesuaian hukum yang berlaku yang sudah ada ke media internet.

Media internet di Amerika Serikat dikenal dengan nama saluran informasi bebas hambatan (information superhighway), maka gambaran kondisi media internet di Indonesia saat ini seakan-akan seperti sebuah hutan belantara, di mana tidak atau belum ada peraturan hukum yang berlaku efektif. Seseorang dapat saja menghujat atau mencaci-maki dan menghina pihak lain dengan bebas atau melakukan penjiplakan karya orang lain tanpa izin apalagi membayar royalti dengan mengambil karya tersebut lewat internet dalam internet hal ini disebut dengan mengunduh (download) atau tiap orang yang ingin menonton tayangan porno dapat semaunya menonton lewat internet bahkan bila mau dapat pula mengambil dan menyimpan gambarnya.


(8)

Beberapa aspek hukum yang penting untuk mendukung perkembangan internet di Indonesia, baik untuk keperluan penyediaan dan akses informasi maupun untuk perdagangan secara elektronik. Karena bagaimanapun juga, harus selalu diingat bahwa internet adalah komunikasi dalam skala global antara orang dengan orang, bukan antara komputer dengan komputer, meskipun penghubungnya adalah perangkat komputer, setiap tulisan, gambar yang dikomunikasikan di internet adalah dibuat dan disediakan oleh orang dan yang akan melihat dan menerima surat atau gambar tersebut juga orang bukan komputer.

Dengan demikian, masalah yang timbul akan menjadi tanggungjawab orang yang menggunakan internet itu. Akhirnya hanya oranglah yang dapat bertanggungjawab secara hukum meskipun dalam beberapa hal orang ini digantikan oleh badan hukum, namun di dalam badan hukum sendiri tentunya ada orang yang bertanggungjawab sebagai pengurusnya.

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah secara juridis sistem keamanan informasi tersebut dirancang sehingga para pihak dalam bisnis yang menggunakan internet dapat merasa aman melakukan transaksi dagang secara elektronik?


(9)

2. Aspek apa sajakah yang penting dilindungi dalam penggunaan internet tersebut? 3. Bagaimanakah penerapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi dagang secara elektronik melalui internet di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sistem keamanan informasi tersebut dirancang sehingga para pihak dalam bisnis yang menggunakan internet dapat merasa aman melakukan transaksi.

2. Untuk mengetahui aspek yang penting dilindungi dalam penggunaan internet. 3. Untuk mengetahui penerapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi melalui internet di Indonesia.

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Secara teoretis penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap perkembangan kegiatan transaksi melalui internet di Indonesia.

2. Secara praktis adalah memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang transaksi melalui internet yang sangat berpengaruh dalam kegiatan perdagangan dewasa ini serta memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para


(10)

pembaca yang berminat untuk mengetahui tentang transaksi melalui internet tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul Perlindungan Konsumen Pemakai Jasa Internet Dalam Hal Kerahasiaan Informal, sumber diperoleh dari berbagai literatur yang ada dalam daftar pustaka. Setelah mengadakan inventarisasi judul skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum USU bahwa belum pernah diangkat sebelumnya sebagai suatu judul skripsi.

E. Tinjauan Kepustakaan

Adanya suatu asumsi bahwa globalisasi perekonomian yang telah melintasi batas-batas antar negara akan berpengaruh terhadap bisnis. Terhadap perdagangan luar negeri berlangsung pula suatu perbuatan hukum yang dikenal dengan kontrak bisnis internasional (international transaction business). Dalam ekonomi internasional segala peristiwa ekonomi yang terjadi di negara lain baik langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi Indonesia. Dengan demikian sistem ekonomi Indonesia tidak dapat lagi dipisahkan dengan sistem ekonomi internasional atau dengan perkataan lain harus dipandang dengan wawasan global. Berdasarkan hal itu maka hukum ekonomi/bisnis Indonesia tidak dapat lagi mengatur segala sesuatunya terlepas dari hukum ekonomi/bisnis internasional.


(11)

Demikianlah perkembangan teknologi informasi pada saat ini sangat besar pengaruhnya terhadap bidang-bidang kehidupan terutama sekali dalam sektor hukum. Perubahan drastis dari prilaku komunikasi yang biasanya mempergunakan kertas (paper) dan kemudian mempergunakan elektronik merubah sistem kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang beralih dari alam wujud fisik ke alam elektronik / non fisik disebutkan sebagai dunia maya (cyber space). Di dalam ruang maya ini anggota masyarakat melakukan kegiatan berupa perbuatan hukum yang berfokus pada bisnis yang mempunyai dampak pada seluruh bidang hukum antara lain hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum internasional, hukum pajak dan sebagainya.

Pemakaian benda berwujud semakin tumbuh dan mungkin secara relatif akan mengalahkan penggunaan yang berwujud. Adalah merupakan fenomena yang menarik untuk diketahui bahwa Indonesia juga sudah jauh masuk ke dalam dunia maya ini.

Penemuan di bidang teknologi dan informasi ini membawa dampak tersendiri bagi Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Ari Purwadi :

Luas dan kecepatan penemuan di bidang teknologi yang demikian cepat, bagaimanapun juga telah membawa pada suatu dampak yang nantinya, cepat atau lambat akan mempengaruhi kaidah-kaidah kebudayaan kita, lembaga-lembaga sosial budaya kita (termasuk di dalamnya dari segi sosial politik) serta pola-pola pengambilan keputusan kebijakan pemerintah negara kita. 2

Oleh karenanya, negara yang tidak memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan dianggap tertinggal dari peradaban. Ilmu pengetahuan dan teknologi seakan-akan dianggap sebagai paspor menuju suatu kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Indonesia sebenarnya telah cukup lama membangun dan memanfaatkan teknologi informatika, baik dalam pengelolaan data berbasis komputer maupun dalam penyelenggaraan layanan telekomunikasi canggih, ternyata hingga kinipun Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan sesama

2

Ari Purwadi, Kebutuhan akan Perangkat Hukum Perjanjian di Bidang Alih Teknologi, Hukum dan Pembangunan, No.3 Tahun XXIII, Juni, 1993, hal. 234.


(12)

negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Filipina bahkan di negara-negara maju lainnya yaitu di benua Amerika dan Eropa. Indonesia juga sudah sangat membutuhkan adanya peraturan yang spesifik yang mengatur kegiatan e-commerce ini. Apalagi kegiatan kontrak e-commerce, sangat berdampak dalam setiap bidang kehidupan, terlebih lagi dalam bidang ekonomi yang menjadi urat nadi pembangunan bangsa. Kegiatan perdagangan dengan memanfaatkan teknologi informasi bergerak tanpa ada dasar atau landasan yang kuat untuk berpijak akan membawa kelemahan terhadap kelancaran kegiatan e-commerce itu sendiri, misalnya adanya penyusup

(hacker) yang ingin mengakses internet dan melakukan suatu transaksi jual beli

dengan cara melanggar (illegal). Bahkan Menteri Kehakiman pada waktu itu, Yusril Ihza Mahendra, mengakui bahwa Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai dunia maya. Keadaan ini diakuinya karena disebabkan pengaturan mengenai dunia maya memerlukan kajian-kajian yang cermat danmendalam, agar benar-benar tepat sasaran sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku kehidupan masyarakat, sehingga tidak akan menimbulkan stagnasi di dalam implementasinya. 3

F. Metode Penelitian

Terlihat bahwa pemerintah Indonesia masih sedang berada dalam suatu proses untuk mengembangkan kerangka hukumnya, sehingga pengaturan hukum yang jelas dan tegas terhadap masalah transaksi e-commerce sangat dibutuhkan sebagai jaminan perlindungan hukum bagi para pihak dan hukum yang diformulasikan tersebut diharapkan mampu mengantisipasi segala bentuk pengrusakan terhadap sistem teknologi informasi.

Selain mendesaknya kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan hukum yang berhubungan dengan internet dan teknologinya, maka diperlukanlah adanya suatu ketentuan hukum yang mengatur tentang mekanisme dan sistem tersebut diharapkan dapat melindungi, menjaga dan memberikan keamanan kepada setiap pihak yang menggunakan internet sebagai suatu sarana transaksi atau menyampaikan informasi yang tergolong dalam mempengaruhi atau mendorong beberapa pihak untuk ikut atau membeli informasi yang disampaikan dalam media elektronik tersebut.

Dalam kaitannya dengan e-commerce, tentu saja dasar hukum dari pembuatan kontrak tersebut adalah KUH Perdata, yang dalam bahasa Belanda disebut Burgerlijk

Wetboek. Kitab ini meskipun masih bersifat tradisional dan dirasa belum

menggambarkan “hukum yang hidup” (the living law) di dalam masyarakat perdagangan antar negara, karena didalamnya tidak diatur secara tegas tentang

e-commerce, namun tetap dapat dipergunakan untuk mengisi kekosongan hukum yang

ada.

Pengaturan e-commerce yang dimaksud bukanlah hanya berorientasi pada masalah teknologinya, akan tetapi lebih dititikberatkan pada hubungan antar pelaku dalam e-commerce itu sendiri. apalagi aktivitas bisnis ini dilakukan tanpa mengenal batas-batas territorial, batas-batang ruang dan waktu serta pihak-pihak tersebut tidak berhadapan satu sama lain (inter absentes).

3

Agus Raharjo, Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 202.


(13)

Untuk memperoleh data-data atau fakta-fakta yang objektif, maka dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Studi kepustakaan (library research) yaitu studi yang dilakukan melalui kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari sumber bahan bacaan baik berupa buku-buku bacaan, perundang-undangan dan juga catatan-catatan kuliah yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi guna memperoleh data-data dan bahan-bahan yang diperlukan.

2. Studi Lapangan (field research) yaitu studi yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian langsung di lapangan untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Melakukan pengamatan langsung, tanya jawab atau wawancara dengan Unit Bisnis Cyber

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dan tiap-tiap bab dibagi lagi dalam beberapa sub bab guna memperoleh gambaran yang sistematis sekaligus untuk memudahkan, memperjelas penguraian selanjutnya.

Adapun gambaran isi dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pengantar tentang hal-hal yang umum yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Gambaran Isi.

BAB II : TINJAUAN YURIDIS TENTANG BISNIS ELECTRONIC


(14)

Pada bab ini diuraikan tentang Pengertian Bisnis Electronic

Commerce, Sejarah Bisnis Electronic Commerce serta

Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Dagang Indonesia.

BAB III : SISTEM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KERAHASIAAN INFORMAL

Dalam bab ini diuraikan tentang Arti Perlindungan Konsumen dan Kerahasiaan Informal, Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen, Kepentingan-kepentingan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha, serta Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

BAB IV : KAITAN ANTARA KERAHASIAAN INFORMAL DENGAN UNDANG UNDANG NO.11 TAHUN 2008

Pada bab ini diuraikan tentang Sistem Keamanan Informasi Melalui Internet, Hal-hal yang Penting Dilindungi Dalam Komunikasi Internet serta Perlindungan Konsumen Atas Jaminan Kerahasiaan Informasi Pemakai Jasa Internet

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari tulisan karya ilmiah, yang berisikan kesimpulan dan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu dan memberikan saran-saran yang dianggap perlu dan berkaitan dengan materi tulisan ini.


(15)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS

TENTANG BISNIS ELECTRONIC COMMERCE

Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa dampak pada berbagai sisi kehidupan. Dengan teknologi informasi yang berkembang saat ini, maka akan memudahkan orang untuk dapat mengetahui ataupun berkomunikasi dalam jarak jauh pada berbagai belahan bumi secara seketika dalam hitungan detik sekalipun.

Teknologi informasi melalui internet bahkan telah mengubah unsur-unsur dunia maya (cyber space). Berbagai perubahan telah mempengaruhi pula pada kegiatan perdagangan yang semula dilakukan melalui kontak secara fisik, kini dengan internet, kegiatan perdagangan dilakukan secara elektronik. Kemajuan yang pesat di bidang teknologi membawa dampak pada dunia bisnis. Faktor ini sangat mendesak untuk segera dibuat pengaturan dunia maya dalam pengaturan perundang-undangan.

Sistem perdagangan dengan memanfaatkan sarana internet telah mengubah wajah dunia bisnis di Indonesia. Kontrak Dagang Elektronik (E-Commerce) lahir selain disebabkan adanya perkembangan teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah dan praktis. Melalui internet masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk


(16)

(barang dan jasa) yang akan dipergunakan tentunya dengan berbagai kualitas dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan.

A. Pengertian Bisnis Electronic Commerce

Berdasarkan konteksnya, maka defenisi e-commerce secara luas adalah : “segala bentuk aktivitas perdagangan dengan menggunakan media elektronik”.4

Suatu kegiatan e-commerce dilakukan dengan orientasi-orientasi sebagai berikut :

Media elektronik yang dimaksud dalam konteks ini berupa telepon, fax, internet dan sebagainya.

E-Commerce, sebagai bagian dari electronic business (bisnis yang

dilakukan dengan menggunakan electronic transmission), oleh para ahli dan pelaku bisnis dicoba dirumuskan defenisinya dari terminologi e-commerce. Dimana pengertian e-commerce secara umum adalah segala bentuk transaksi perdagangan/perniagaan barang atau jasa dengan menggunakan media elektronik.

5

4

Centre of Human Resources, Introduction to E-Commerce, Materi Pelatihan Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasinya, Medan, 20 Desember 2002.

5

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 408.

1. Pembelian online (online transaction)

2. Komunikasi digital (digital communication), yaitu suatu komunikasi secara elektronik.

3. Penyediaan jasa (service), yang menyediakan informasi tentang kualitas produk dan informasi instan terkini.


(17)

4. Proses bisnis, yang merupakan system dengan sasaran untuk meningkatkan otomatisasi proses bisnis.

5. Proses penyesuaian , yang memungkinkan proses penyesuaian produk dan jasa

untuk diadaptasikan pada kebutuhan bisnis.

Bila dilihat dari sudut para pihak dalam bisnis e-commerce, maka yang menjadi jenis-jenis transaksi dari suatu kegiatan e-commerce adalah sebagai berikut6

Tidak semua jenis e-commerce tersebut berlaku efektif. Seperti C2C merupakan transaksi dimana konsumen menjual produk secara langsung ke konsumen lainnya. Sistem ini biasanya dijumpai dalam situs lelang. C2B merupakan individu yang menjual produk atau jasa kepada organisasi dan individu yang mencari penjual dan melakuka transaksi. Non-Business e-commerce adalah meliputi kegiatan non bisnis seperti kegiatan lembaga pendidikan, organisasi nirlaba, keagamaan dan lain-lain, sedangkan intrabusiness (organizational) e-commerce meliputi semua aktivitas internal organisasi melalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan dan lain-lain. Sedangkan model bisnis yang efektif berlaku adalah B2B dan B2C.

: 1. Business to Business (B2B)

2. Business to Consumer (B2C) 3. Consumer to Consumer (C2C) 4. Consumer to Business (C2B) 5. Non Business E-Commerce

6. Intrabusiness (Organizational) E-Commerce

7

6

Ibid.

7


(18)

Business to Business (B2B)

Transaksi ini merupakan bisnis e-commerce yang paling banyak dilakukan. Dalam suatu rangkaian distribusi, kehadiran internet dapat menghubungkan semua aktifitas bisnis lainnya, tidak peduli dimana dia berada atau posisinya dalam rangkaian distribusi. Para pihak yang mengadakan kontrak tentu saja adalah para pihak yang bergerak dalam bidang bisnis yang dalam hal ini mengikatkan dirinya di dalam suatu kontrak untuk melakukan suatu kegiatan usaha dengan pihak pebisnis lain. Dalam model B2B ini dapat juga terjadi antara suatu korporasi dengan supliernya (ISP) atau dengan distributor/retailernya.

Contoh B2B adalah 8

Para pihak di dalam e-commerce adalah pedagang (electronic merchant) yang menawarkan suatu produk atau jasa kepada pihak konsumen (electronic

customer) yang menggunakan/membeli barang/jasa yang ditawarkan.

:

1. Transaksi Inter-Organizational Systems (IOS), misalnya transaksi ekstranet,

electronic funds transfer, electronic forms, intergrated messaging, share data based, supply chain management, dan lain-lain.

2. Transaksi pasar elektronik (electronic market transaction).

Business to Consumer (B2C)

9

1. Penjualan satu arah (one way marketing), perusahaan-perusahaan yang memiliki situs web atau homepage tetap memiliki mekanisme distribusi yang mencolok Layanan B2C yang diberikan melalui internet secara langsung sebenarnya mengalami pergeseran dari sistem yang konvensional, yaitu dengan adanya :

8

Ibid.

9


(19)

untuk mempublikasikan brosur-brosurnya, mendorong strategi pemasaran satu arah.

2. Pemesanan melalui web, tersedianya transaksi web yang aman memungkinkan suatu perusahaan untuk membolehkan konsumennya untuk memesan produk langsung melalui web. Katalog-katalog elektronik dan mal-mal maya menjadi suatu hal yang biasa.

3. Hubungan Penjualan (Relationship marketing), yang paling mencolok dari paradigma ini adalah apa yang disebut relationship marketing. Karena tingkah laku pelanggan dapat dilacak dari web, pada saat masuk ke situs perusahaan, perusahaan-perusahaan dapat melakukan suatu percobaan dengan metodologi ini sebagai perangkat untuk meriset pasar dan relationship marketing misalnya: a. survei melalui web.

b. menggunakan web untuk membuat kesimpulan mengenai profil pembelian konsumen.

c. mengkustomisasikan produk dan layanan

d. mencapai kepuasan konsumen dan pembangunan loyalitas pelanggan.

Adapun produk yang ditawarkan biasanya berupa produk retail yang dibutuhkan langsung untuk pelanggan (customer). Jenis produk yang ditawarkan biasanya bervariasi dengan besar harga yang cukup terjangkau oleh konsumen. Contohnya kerajinan tangan (handycraft), buku, aksesoris komputer, CD, produk dalam formal digital yang dapat diunduh (download) seperti musik, perangkat lunak (software), dokumen dan lain-lain.


(20)

B. Sejarah Bisnis Electronic Commerce

Bisnis e-commerce sendiri muncul dan dikenal melalui perkembangan kemajuan teknologi informasi yaitu dengan kehadiran sistem jaringan internet, oleh sebab itu perkembangan bisnis ini tidak terlepas dari sejarah internet.

Internet yang dikenal sekarang berasal dari suatu jaringan (network) yang diciptakan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an.

Network ini dinamakan ARPAnet, dibangun oleh Research Projects Agency (ARPA)10

Pada akhir tahun 1980-an, National Science Foundation (NSF), yaitu lembaga yang didirikan di Amerika Serikat, secara bertahap mulai mengembangkan jaringannya sendiri yang dinamakan NSFNET dengan menggunakan teknologi yang dengan tujuan untuk menghubungkan berbagai lokasi militer dan lokasi riset, di samping juga merupakan protek riset tersendiri yang bertujuan untuk membangun sistem jaringan yang handal. Keterhubungan melalui jaringan internet dijalankan melalui beberapa metode, diantaranya metode protokol yang diciptakan untuk memungkinkan terminal komputer yang berlainan jenis dan system untuk berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya. Dari metode protokol ini dikembangkan metode pengiriman data melalui jalur komunikasi dengan menggunakan kelompok-kelompok data dengan tujuan masing-masing dalam suatu paket, metode ini sekarang dikenal dengan nama Transmission Control

Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).

10

Barry M. Leiner, et.al., Sejarah Singkat Internet, (Bagian I), Terjemahan JPN. Sunarno, http:/www.hukumonline.com.


(21)

dikembangkan oleh ARPAnet, dan juga mengembangkan high-speed backbone

network yang semula digunakan untuk memungkinkan kampus-kampus dan

lembaga-lembaga riset untuk menggunakan jaringan tersebut dan penggunaan ini kemudian meningkat dengan diperkenalkannya e-commerce mail dan juga pengiriman data dan informasi antar lokasi. Dengan perkembangan ini muncullah apa yang dinamakan internet.

Saat ini internet telah dikenal hampir diseluruh dunia dan jutaan orang telah merasakan manfaatnya. Banyak perusahaan yang telah menjalankan bisnisnya dibidang internet ini dan saat ini dapat dikatakan bahwa internet telah menjadi sektor bisnis tersendiri. Semakin berkembangnya penggunaan komputer untuk berbagai keperluan di perusahaan turut mendukung penggunaan internet. Banyak sekali keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan internet ini, diantaranya kecepatan transfer data antar bagian, surat-menyurat secara elektronik dan pencarian data-data dan informasi yang diperlukan perusahaan.

Penggunaan internet untuk keperluan bisnis dan perdagangan mulai dikenal beberapa tahun belakangan ini dan dengan cepat meluas, terutama di negara-negara maju. Dengan perdagangan melalui internet ini berkembang pula sistem bisnis virtual dimana pelaku bisnis menjalankan bisnis dan perdagangan melalui media internet dan tidak lagi mengandalkan basis perusahaan yang konvensional.


(22)

C. Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Dagang Indonesia

Salah satu bidang hukum yang banyak tersentuh dari adanya transaksi via

e-commerce adalah bidang hukum kontrak. Kontrak dagang tidak lagi merupakan paper based economy, tetapi digital electronic economy.

Di dalam KUH Perdata Buku III ditemukan pengaturan perjanjian bernama dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII. Kontrak dagang elektronik yang berkembang di luar KUH Perdata, berdasarkan doktrin termasuk ke dalam kategori yang dinamakan kontrak tidak bernama (onbenoemde contract). Terhadap diterapkannya ajaran umum (Bab I sampai dengan Bab IV KUH Perdata). 11

11

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 295

12

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hal. 20

Di dalam KUH Perdata ditentukan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata).

Mengingat perjanjian membawa akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya, maka suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat, yakni adanya :

1. Kesepakatan para pihak

2. Kecakapan membuat suatu perjanjian. 3. Hal tertentu.


(23)

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dalam hal syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian ini batal demi hukum (Null and void) artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dalam hal syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan (voidable) artinya para pihak dapat meminta kepada hakim untuk membatalkan perjanjian. 12

Pada prinsipnya menurut KUH Perdata, bentuk suatu perjanjian adalah bebas, tidak terikat pada bentuk tertentu, namun ada beberapa kontrak yang harus dibuat dalam bentuk notariel.

Apabila melihat segi perjanjian atas pelaksanaan bisnis e-commerce maka yang menjadi dasar hukum adalah KUH Perdata dan KUH Dagang. Akan tetapi masih banyak lagi permasalahan hukum yang terkait dalam bidang bisnis

e-commerce. Karena pengaturannya di Indonesia belum ada yang secara khusus

mengatur e-commerce atau cyberlaw maka untuk para pelaku bisnis e-commerce mengacu kepada peraturan-peraturan positif nasional yang ada dan hukum internasional tentang e-commerce atau cyberlaw.

Di dalam perkembangan e-commerce dewasa ini, terdapat beberapa bentuk model hukum yang telah dikembangkan. Hukum e-commerce atau yang dikenal dengan cyberlaw ini harus memberikan pengaturan terhadap bentuk-bentuk kegiatan yang terjadi di dalam cyberspace.


(24)

Sebagai salah satu alternatif bagi pemerintah untuk segera mungkin dapat memberikan suatu model law bagi pengaturan e-commerce atau suatu model law dari kontrak e-commerce.

Dengan adanya perkembangan kebutuhan yang lebih meningkat di dalam perdagangan saat ini maka sudah saatnya bagi Indonesia untuk dapat memiliki peraturan e-commerce. Beberapa peraturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pembuatan dari peraturan e-commerceadalah :

1. UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 13

b. Dalam hal hukum mengharuskan adanya suatu informasi harus dalam keadaan tertulis maka suatu data elektronik dapat memenuhi syarat untuk itu (artikel 6 UNCITRAL Model Law on E-Commerce, “where the law requires information

to be in writing, the requirement is met by a data massage if the information contained there in is accessible so as to be useble for subsequent reference)”.

Suatu bentuk model law yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa untuk memberikan aturan yang dapat digunakan oleh negara-negara baik yang menganut sistem hukum kontinental maupun sistem hukum anglo saxon. Beberapa ketentuan prinsip utama yang digariskan dalam UNCITRAL Model Law on E-Commerce yang merupakan dasar hukum yang sangat penting adalah bahwa:

a. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat dikatakan memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum. (Information shall

not be denied legal effect, validity or enforce ability solely on the grounds that it is in the form of data message).

13

Mariam Darus Badrulzaman, E-Commerce Tinjauan Dari Aspek Keperdataan, Makalah Seminar Nasional Tentang Cyber Law, Pusat Study Hukum dan Kemasyarakatan, Graha Kirana dan PEG, Medan, 30 Januari 2001, hal. 24.


(25)

Jika melihat pembebanan pembuktian dan daluarsa, bahwa yang merupakan alat bukti salah satunya adalah bukti tertulis. Apabila hal ini digunakan maka data elektronik dapat dijadikan sebagai bukti yang sah.

c. Dalam hal kekuatan pembuktian data yang bersangkutan maka pesan data (data

message) memiliki kekuatan pembuktian. Dalam hal ini data message merupakan

informasi yang diperoleh, dikirim, diterima ataupun disimpan biasanya dalam bentuk Electronic data Interchange (EDI), pesan elektronik, telegram, teletext ataupun telecopy.

2. Singapore Electronic Transaction Act (ETA) 1998

Peraturan ini dikeluarkan untuk memfasilitasi perkembangan e-commerce. Terdapat beberapa hal yang digariskan dalam ETA ini yaitu : 14

Terdapat adanya beberapa hal yang penting diperhatikan khususnya mengenai masalah kontrak ini bahwa :

a. Tidak ada perbedaan antara data elektronik dengan dokumen kertas. b. Suatu data elektronik dapat menggantikan suatu dokumen tertulis. c. Para pihak dapat melakukan kontrak secara elektronik.

d. Jika suatu data elektronik telah diterima oleh para pihak maka mereka harus bertindak sebagaimana kesepakatan yang terdapat pada data tersebut.

3. EU Model Law on E-Commerce (8 Juni 2000)

15

14

Ibid, hal. 26.

15


(26)

a. Setiap negara-negara anggota akan memastikan bahwa sistem hukum mereka memperbolehkan kontrak dibuat dengan menggunakan sarana elektronik.

b. Namun para negara anggota dapat pula mengadakan pengecualian terhadap ketentuan di atas dalam hal :

1) Kontrak dalam hal menciptakan atau melakukan pengalihan hak real estate. 2) kontrak yang diatur dalam hukum keluarga.

3) kontrak penjaminan

4) kontrak yang melibatkan kewenangan pengadilan.

c. Setiap negara harus dapat memberikan pengaturan yang relevan atas kontrak elektronik yang berlangsung.

Di Indonesia sendiri peraturan khusus tentang ini tidak ada diatur oleh sebab itu yang menjadi landasan aspek hukum dari bisnis e-commerce adalah KUH Perdata, dan perundang-undangan positif lainnya seperti :

1. Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

3. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6. Undang-Undang tentang Hak Milik Kekayaan Intelektual

7. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-undang No. 36 Tahun 1999 dan PP No. 52 Tahun 2000 tentang Telekomunikasi khususnya mengatur setiap orang atau institusi yang menggunakan


(27)

internet, membuka warung internet, menggunakan jaringan area lokal (local area

network) dan sejenisnya harus meminta izin dari pemerintah. Hal ini menjadikan

dasar hukum dan melatarbelakangi kegiatan bisnis e-commerce untuk dapat berdiri dan bergerak walaupun aspek hukum yang ditimbulkan oleh e-commerce sendiri belum ada pengaturannya sehingga harus mengacu pada analogi peraturan positif yang ada.

Baru pada awal tahun 2008, pemerintah Indonesia yang digawangi oleh Depkominfo membidani lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE lebih khusus lagi pada Bab V Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 menciptakan suatu rezim aturan baru dibidang transaksi elektronik yang selama ini kosong. Meskipun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal ini sangat penting untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna sarana

e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan

Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.

Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen. Transaksi elektronik dalam e-commerce tentu saja melibatkan pelaku usaha dan konsumen. Meskipun terlihat sebagai sebuah transaksi maya, transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum UUPK untuk saling mendukung satu sama lainnya.


(28)

BAB III

SISTEM PERLINDUNGAN KONSUMEN

DAN KERAHASIAAN INFORMAL

A. Arti Perlindungan Konsumen dan Kerahasiaan Informal 1. Perlindungan Konsumen

Berbicara tentang pengertian perlindungan konsumen, maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang pengertian konsumen. Pengertian konsumen menurut pendapat umum atau dengan kata lain pengertian konsumen menurut pendapat masyarakat secara umum adalah pembeli, penyewa, nasabah, penumpang angkutan umum atau pada pokoknya adalah langganan dari pada pengusaha, baik itu berupa barang atau jasa atau dapat juga kita katakan sebagai pemakai.

Pengertian konsumen menurut masyarakat secara umum disini adalah tidak salah, karena hal tersebut mereka alami setiap harinya. Masyarakat umum memberikan batasan konsumen tersebut adalah berdasarkan pada pengalaman sehari-hari.

Mengenai pengertian konsumen ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) terdapat beberapa istilah yang pada satu sisi dapat merupakan konsumen dan pada sisi lainnya dapat pula merupakan sebagai pelaku usaha. Namun kesemuanya itu (istilah-istilah KUHP dan KUHD) tidak ada menyebutkan batasan konsumen secara khusus. Istilah-istilah tersebut antara lain, pembeli, penyewa, peminjam, pemakai dan sebagainya. Yang jika diteliti lebih dalam maka kesemua istilah tersebut di atas adalah


(29)

merupakan pemakai yang dalam hal ini dapat pula disebut konsumen, begitu juga didalam KUHD juga ditemukan istilah penumpang namun juga tidak ada mengatur batasan khusus tentang konsumen.

Konsumen (consumer), secara harfiah berarti "seseorang yang membeli barang atau yang menggunakan jasa" atau "seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu" juga "sesuatu atau seorang yang menggunakan persediaan atau sejumlah barang". 16 Menurut AZ. Nasution pengertian konsumen adalah : "Tiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu". 17

16

AZ. Nasution I, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 46.

17

Ibid.

Setiap orang sebagaimana yang dimaksud di atas adalah orang alamiah maupun yang diciptakan oleh hukum (badan hukum), perkataan mendapat disini dimaksudkan memperoleh barang atau jasa itu oleh konsumen (transaksi konsumen) tidak saja berdasarkan suatu hukum (sewa menyewa, pinjam pakai, jual beli, perjanjian jasa angkutan dan sebagainya). Tetapi mungkin juga terjadi karena pemberian hadiah, sumbangan, baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersil maupun non komersil.

Dalam pada itu, perkataan mendapat secara sah di sini dimaksudkan adalah mendapatkan suatu barang atau jasa-jasa dengan cara yang tidak bertentangan atau melawan hukum, sedangkan maksud kegunaan tertentu disini memberikan tolak ukur perbedaan antara berbagai konsumen atau dengan kata lain bahwa barang yang didapat itu mempunyai tujuan tertentu dengan didapatnya barang tersebut.


(30)

Berkaitan dengan itu Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) merumuskan batasan konsumen yaitu : "Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjual belikan". 18

Sementara itu Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI) memberikan batasan konsumen sebagai berikut yaitu "Pemakai barang atau jasa yang disediakan dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak diperdagangkan kembali". 19 Sementara pada ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah : "Pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiten

delijke gebruiken van goerdeven en de ensten) yang diserahkan kepada mereka oleh

pengusaha (order nemer)". 20

Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan arti konsumen, yaitu : "Setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan". 21

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa pengertian konsumen adalah "Setiap orang pemakai barang maupun jasa yang tidak untuk diperdagangkan kembali". 22

18

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hal. 13.

19

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran Tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hal. 4.

20

Ibid, hal. 4.

21

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet I, Daya Widya, 1999, hal. 11-12.

22


(31)

Selanjutnya, perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.23

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

24

:

Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkannya kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.

Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan, purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaiatan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

23

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 9.

24


(32)

2. Kerahasiaan Informal

Dewasa ini aturan hukum tentang kerahasiaan informal yang berkaitan dengan pemanfaatan internet muncul terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisional yang tidak sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsep-konsep hukum yang sudah mapan seperti

kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep ini berada pada posisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang terlibat dalam

pemanfaatan internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan

kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini, seorang pakar cyberlaw dari Michigan State University yang bernama Aron Mefford, sampai pada kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan internet, sebenarnya telah terjadi semacam ”paradigma baru yang lebih khusus” dalam menentukan jati diri pelaku satu perbuatan hukum dari lebih khusus (citizens) menjadi lebih global (nitizens).

Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena

cyberspace ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang

cukup akomodatif terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul akibat

pemanfaatan internet. Aturan hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal needs) para pihak yang terlibat di dalam transaksi-transaksi lewat internet. Berkaitan dengan hal tersebut, Atif Latifulhayat, cenderung menyetujui proposal dari Arron Mefford tersebut yang mengusulkan adaya “Lex Informatica/peraturan khusus tentang teknologi informasi” (Independent

Net Law/peraturan yang independen yang mengatur mengenai dunia maya) sebagai “Foundation of Law on the Internet/lembaga yang khusus memberikan


(33)

peraturan/hukum mengenai dunia cyber”. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai “Lex Mercatoria” yang merupakan suatu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon kebutuhan-kebutuhan hukum (the

legal needs) para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan sistem hukum

nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi bisnis atau perdagangan internasional. Dengan demikian, maka cyberlaw dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang berkaitan langsung dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan internet.

Secara garis besar, ruang lingkup cyberlaw ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek hukum dari transaksi bisnis melalui media elektronik/internet, Merek dagang/alamat di internet (Trademark/Domain Name), kerahasiaan dan keamanan di internet (Privacy and Security on the internet), hak cipta (copyright), peraturan-peraturan mengenai isi situs di internet (content regulation), penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan sebagainya. Ruang lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi pada pemanfaatan internet di kemudian hari.

B. Prinsip Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen.

Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentunya prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas hanya terdapat dalam hukum perlindungan konsumen, akan tetapi juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang meningkat.


(34)

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut antara lain25

a. Let The Buyer Beware

:

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagai konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Akhirnya konsumen didikte oleh pelaku usaha, jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih hal itu karena kelalaian konsumen itu sendiri.

b. The Due Care Theory

Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha melanggar prinsip kehati-hatian.

c. The Privity of Contract

25


(35)

Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban uintuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Asas-asas tersebut antara lain :

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dalam arti materil dan spirituil.


(36)

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 adalah :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.


(37)

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Dalam penerapan hukum pidana di bidang perlindungan konsumen dikenal beberapa asas baru yang selama ini cenderung belum diterapkan dalam penggunaan hukum pidana, terutama dalam KUHP, asas-asas tersebut antara lain :

1. Asas Pembuktian Terbalik

Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijsslast) merupakan sistem baru dalam hukum pidana. Pembuktian terbalik yang dikenal dalam sistem pertanggungjawaban pidana ini berbeda dengan sistem pembuktian konvensional, dimana seseorang yang mengajukan sesuatu dalil, dalam hal ini jaksa penuntut umum, membuat dakwaan atau tuduhan melakukan perbuatan pidana kepada pelaku usaha, maka jaksa penuntut umum tersebutlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa.

Namun dengan asas pembuktian terbalik, terdakwa dibebankan kewajiban untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Dalam Pasal 22 UUPK beban pembuktian terbalik tidak semata-mata dibebankan kepada terdakwa (pelaku usaha), tetapi jaksa penuntut umum juga mempunyai hak untuk melakukan pembuktian jika dipandang perlu. 2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pasal 61 UUPK menentukan, penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan atau pengurusnya. Pasal ini menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang konsumen. Korporasi


(38)

dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan disamping orang atau pengurus. Dengan demikian criminal liability dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus atau pimpinan suatu perusahaan (factual leader), maupun juga terhadap pihak pemberi perintah dari perusahaan itu (instruction giver). Kesimpulan itu berangkat dari kemampuan korporasi melakukan tindak pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

3. Vicarious Liability

Dalam teori pertanggungjawaban pidana, pelaku usaha tidak dapat berdalih bahwa suatu perbuatan yang ada dilingkungan usahanya bukan dilakukannya, atau bukan atas perintahnya. Pelaku usaha dalam sistem hukum pidana tertentu dituntut bertanggung jawab atas setiap perbuatannya termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.

Vicarious Liabilty dapat diidentifikasi oleh undang-undang jika timbul

hal-hal sebagai berikut 26

a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain bilamana seseorang tersebut telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Di sini dibutuhkan suatu syarat tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle)

:

26

Hamzah Hatrik, Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 hal. 116


(39)

Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruh atau pekerja, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikannya (the servants act is the

matters act in law).

C. Kepentingan-kepentingan Konsumen

Untuk lebih memudahkan dan mendasarkan diri pada pemahaman umum masyarakat tentang kepentingannya sebagai konsumen, maka bahasan tentang kepentingan konsumen ini dilakukan dengan menggunakan pengelompokan bentuk, yaitu :

a. Kepentingan fisik

b. Kepentingan sosial-ekonomi c. Kepentingan perlindungan hukum

Kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa yang menjadi perhatian utama dalam upaya perlindungan konsumen adalah kepentingan-kepentingan konsumen. Hal ini disebabkan bahwa sesungguhnya seluruh rakyat itu adalah konsumen (pengguna atau pemakai barang atau jasa kebutuhan hidup), tidak perlu diragukan lagi bahwa kesemua hak dan kepentingan rakyat sebagaimana ditentukan dalam hukum positif, terutama yang berkaitan dengan penggunaan barang atau jasa konsumen, adalah hak dan kepentingan konsumen. Untuk lebih jelasnya pengelompokkan kepentingan konsumen tersebut di atas, di bawah ini akan dicoba untuk menguraikannya satu persatu.


(40)

Kepentingan fisik konsumen yang dimaksud disini adalah kepentingan badani konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan atau jiwa mereka dalam penggunaan barang atau jasa konsumen. Dalam setiap perolehan barang atau jasa konsumen, haruslah barang atau jasa itu memenuhi kebutuhan hidup dari konsumen tersebut dan memberikan manfaat baginya (tubuh dan jiwanya).

Kepentingan fisik konsumen yang dimaksud adalah kepentingan badani konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan tumbuh dan atau jiwa mereka dalam penggunaan barang atau jasa konsumen. Dalam setiap perolehan barang atau jasa konsumen, haruslah barang atau jasa itu memenuhi kebutuhan hidup dari konsumen tersebut dan memberikan manfaat baginya (tubuh dan jiwanya).

Kepentingan fisik konsumen dapat terganggu kalau suatu peroleh barang atau jasa malah menimbulkan kerugian berupa gangguan kesehatan badan atau ancaman pada keselamatan jiwanya. Misalnya peristiwa "biskuit beracun" yang mengakibatkan korban 141 jiwa dan 35 orang diantaranya meninggal dunia. hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa amonium bikarbonat, yaitu sejenis bahan pembuat biskuit supaya renyah, telah tertukar dengan sodium nitrit, sejenis bahan berbahaya pada waktu pemindahan bahan-bahan tersebut.

Dari kasus di atas dapatlah dikatakan bahwa kepentingan fisik konsumen telah terganggu, artinya bahwa pada mulanya konsumen tersebut telah mengkomsumsi biskuit tersebut adalah untuk menghilangkan rasa lapar yang mungkin dideritanya, namun karena kurangnya pengawasan terhadap tersebut, baik oleh pemerintah ataupun dari produsen atau pengusaha itu sendiri sehingga menyebabkan kerugian yang sangat vital bagi konsumen yaitu dengan hilangnya


(41)

nyawa dari konsumen tersebut dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupannya dan bukan sebaliknya yaitu menimbulkan kerugian bagi dirinya ataupun keluarganya.

2. Kepentingan sosial - ekonomis

Kepentingan sosial ekonomis konsumen menghendaki agar setiap konsumen dapat memperoleh hasil maksimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi meraka dalam mendapatkan barang atau jasa kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan ini, tertentu saja konsumen harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab tentang produk konsumen tersebut, yaitu informasi yang informatif tentang segalah kebutuhan hidup yang diperlukannya.

Informasi yang diperlukan konsumen dapat diperoleh dari pengusaha melalui iklan dalam rangka memperkenalkan dan memasarkan suatu produk maupun dari pemerintah dan lembaga atau organisasi konsumen yang ada, yaitu melalui pemberitahuan tentang produk-produk yang boleh beredar dan yang tidak boleh beredar, seperti misalnya produk yang sudah kadaluasa.

Hasil optimal bagi konsumen hanya dapat dicapai apabila konsumen dalam pembelian kebutuhan hidupnya memperoleh barang atau jasa senilai harga yang harus dibayarnya untuk itu. Misalnya memperoleh barang atau jasa senilai harga yang harus dibayarnya untuk itu. Contoh lain kalau seorang konsumen mengeluarkan biaya sebesar Rp. 3.500,- untuk membeli gula pasir seberar 1 kg atau 10 ons, maka ia seharusnya mendapatkan sebanyak itu yaitu 1 kg atau 10 ons dan bukan 8 atau 9 ons.


(42)

Dengan keluarnya Undang-undang No. 8 tahun 1999 yaitu Undang-undang perlindungan konsumen, maka tentunya kepastian hukum konsumen akan lebih terjamin sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Pasal 1 angka (1) dari Undang-undang tersebut.

Lain halnya sebelum Undang-undang perlindungan konsumen ini lahir, dimana konsumen sering mendapatkan kesulitan dalam hal menggunakan haknya sebagai konsumen. Hal ini antara lain dapat disebabkan oleh karena peraturan-peraturan yang ada mengatur tentang perlindungan konsumen tersebut tidak mengatur secara khusus, yang ada pada saat itu (sebelum 20 April 1999) hanyalah peraturan-peraturan yang hanya sekedar sampiran saja dari pokok permasalahan yang diatur, baik itu masalah keperdataan, administratif ataupun masalah pidana. Namun dengan keadaan dewasa ini, dimana teknologi semakin canggih, maka :

Kehadiran suatu kaedah hukum (legal precept), aturan hukum (regula

juris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan hukum (law enforcement) yang lebih jitu dan mantap adalah merupakan dambaan

masyarakat Indonesia sekarang, sehingga para produsen, konsumen bahkan segenap lapisan masyarakat akan memetik hasilnya. 27

Dengan adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen ini akan memberikan dampak yang positif bagi dunia usaha, yakni dunia usaha dipacu untuk meningkatkan kualitas atau mutu produk suatu barang dan jasa sehingga produknya

Demikian pun bukan berarti dengan keluarnya undang-undang ini semua permasalahan tentang konsumen akan dapat diatasi sedemikian cepat, akan tetapi dengan keluarnya undang-undang ini yang menjadi dambaan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang dalam kapasitasnya sebagai konsumen diharapkan konsumen tersebut mendapat kepastian hukum yang lebih pasti dalam mengadakan hubungan dengan para produsen ataupun penyelenggara jasa, sehingga dengan demikian maka para produsen ataupun penyelenggara jasa tidak lagi dapat bertindak semaunya yang dapat menyebabkan kerugian pada konsumen.

27

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 183.


(43)

memiliki keunggulan kompetitif didalam dan luar negeri. Maka dengan demikian akan adanya perimbangan antara konsumen dan produsen, dengan mana konsumen akan merasakan suatu kepuasan terhadap barang atau jasa yang dibutuhkannya, karena mempunyai kualitas atau mutu yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 8 tahun 1999, yaitu perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Adapun maksud dari pasal ini adalah bahwa perlindungan konsumen ini diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu :

1. Asas manfaat, dimaksudkan disini untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil maupun sprituil.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.


(44)

5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

Kepentingan hukum bagi masyarakat Indonesia dalam kapasitasnya sebagai konsumen, merupakan suatu kepentingan dan kebutuhan yang sah. Adalah suatu hal yang tidak adil bagi konsumen Indonesia, bila kepentingan mereka tidak seimbang dan tidak adil bagi konsumen Indonesia, bila kepentingan mereka tidak seimbang dan tidak dihargai sebagaimana penghargaan pada kepentingan kalangan usaha atau bisnis.

Dengan ditetapkannya oleh MPR garis-garis besar tentang perlindungan kepentingan konsumen dalam kebijaksanaan pembangunan lima tahun keenam (periode 1999-2004), sesungguhnya dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya undang-undang perlindungan konsumen.

Dalam Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dikelompokkan kepentingan-kepentingan konsumen itu dalam berbagai bentuk hak konsumen yang terdiri atas :

a) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

b) Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan atau jasa.

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.


(45)

e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g) Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana mestinya.

i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan adanya ketentuan dari pasal ini, maka tentunya hak-hak dari pada konsumen tersebut akan lebih pasti adanya. Namun demikian tidak semua konsumen dapat memanfaatkan hak-haknya tersebut sepenuhnya meskipun telah ditentukan oleh suatu peraturan yang khusus mengatur masalah perlindungan konsumen. Hal ini seperti yang telah pernah disebutkan sebelumnya antara lain disebabkan oleh kelemahan yang melekat pada diri konsumen itu sendiri, seperti dari segi pendidikan, kemampuan ekonomis, daya tawar, dari segi organisasi dan juga dapat disebabkan oleh keengganan dari pada konsumen itu sendiri dalam mengajukan tuntutan terhadap pihak yang telah merugikan kepentingannya dalam kapasitasnya sebagai konsumen.

D. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Selama orde baru, upaya dari berbagai pihak untuk memiliki Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak pernah terwujud, sehingga hak-hak konsumen selalu tidak diperdulikan oleh pelaku usaha. Kalaupun ada perlindungan hukum,


(46)

sifatnya hanya sporadis dalam beberapa peraturan perundang-undangan, dan penegakan baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha tidak optimal. Konsumen dalam menggunakan hak yuridisnya secara penuh dan pelaku usaha sering mengabaikan kewajibannya untuk melindungi konsumen terhadap produk-produk yang dihasilkan.

Secara harfiah diketahui, perlindungan konsumen berarti upaya pembelaan konsumen dalam seluruh sistem suatu struktur perekonomian. Orientasinya adalah perubahan keadaan menjadi lebih menguntungkan dan memperkuat peran dan posisi konsumen. Undang-undang Dasar 1945 menyatakan dalam Pasal 27 "segala warga negara Republik Indonesia bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

1. Hak dan Kewajiban Konsumen a. Hak Konsumen

Dari Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 ini terkandung arti bahwa hak-hak konsumen adalah hak-hak-hak-hak konstitusional, artinya diakui oleh hukum.

Sejalan dengan itu Tan Kamello mengemukakan bahwa :

Hak konsumen merupakan wewenang yang diberikan oleh hukum untuk melakukan suatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan hukum. Hak konsumen itu tertuju kepada pihak-pihak yang mengedarkan produk sampai ke pasar yakni mereka yang memegang kewajiban hukum tersebut. 28

1. hak memperoleh keamanan (the right to safety)

Di Amerika Serikat, Presiden John F. Keneddy mengemukakan ada 4 (empat) hak dasar yang menjadi hak konsumen, yaitu :

28

Tan Kamello, Praktek Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia Sebagai Produk Asing di Pasar Nasional, Makalah dalam Pelatihan Manajemen dan Hukum Perdagangan, Medan, 1988, hal. 10.


(47)

2. hak memilih (the right to choose)

3. hak mendapatkan informasi (the right to be informed) 4. hak untuk didengar (the right to be heard) 29

Sementara itu menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia 30

1. Hak atas keamanan dan keselamatan

yang menjadi hak-hak konsumen yaitu :

Hak ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan dalam memakai/menggunakan barang dan/atau jasa. Karena itu setiap pengusaha dalam setiap memproduksi suatu barang dan/atau jasa harus memenuhi :

a. memenuhi persyaratan peraturan yang telah ditentukan oleh pemerintah.

b. Menjamin hasil produksinya aman/tidak berbahaya bila dimakan atau digunakan.

2. Hak untuk mendapatkan informasi.

Hak ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang benar pada setiap barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi ;

a. dengan mendapatkan informasi yang benar dan lengkap, konsumen akan dapat mencegah atau mengurangi bentuk kerugian atau bencana.

b. Informasi tersebut antara lain meliputi :

a. keterangan tidak hanya mengenai kehebatan dan manfaat dari suatu barang, tetapi yang lebih penting adalah akibat-akibat sampingan yang dapat timbul dari pemakaian barang/produk tersebut.

b. Cara penggunaan, cara merawat.

Informasi barang atau jasa dapat diperoleh : a. secara langsung oleh pedagang.

b. Tercantum pada label barang tersebut.

29

Munir fuady, Op.Cit, hal. 199.

30


(48)

c. Melalui promosi pada media massa, brosur, para salesman/salesgirl, dll. 3. Hak untuk memilih

Konsumen mempunyai hak untuk memilih/memakai barang dan jasa yang dibutuhkan secara bebas, atas dasar keyakinan diri sendiri bukan karena dipengaruhi dari luar.

Dalam memilih/menentukan sesuatu barang dan/atau jasa, konsumen berhak menentukan pilihannya baik kualitas maupun kuantitasnya.

4. Hak untuk didengar

Hak ini dimaksudkan sebagai hak konsumen secara kolektif atau individu untuk didengar pendapatnya mengenai berbagai keputusan atau kebijaksanaan yang akan berakibat pada dirinya.

Hak untuk didengar dapat diungkapkan dengan cara : mengadu kepada produsen/penjual/instansi yang berkaitan dengan masalah tersebut apabila ia dirugikan atau dikecewakan dalam mengkonsumsi barang an/atau jasa.

5. Hak untuk mendapat lingkungan yang bersih dan sehat.

Hak ini dimaksudkan agar konsumen mendapatkan lingkungan hidup yang baik bebas dari berbagai pencemaran (polusi).

b. Kewajiban Konsumen

Selain itu yayasan lembaga konsumen Indonesia juga terdapat kewajiban konsumen, sebab untuk mendapat hak, harus juga memenuhi kewajiban.

Adapun kewajiban konsumen menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu :


(49)

Bertanggungjawab untuk bertindak lebih waspada dan kritis terhadap harga dan mutu suatu barang atau jasa yang digunakan, serta akibat lain yang mungkin ditimbulkan.

2. Berani bertindak atas kesadaran.

Berani bertindak guna melindungi dirinya sendiri maupun secara berkelompok dalam upaya menjamin perlakuan yang adil.

3. Memiliki kepedulian sosial

Turut bertanggungjawab serta waspada terhadap segala akibat yang ditimbulkan oleh sikap dan pola konsumsi kita bagi orang lain terutama golongan masyarakat bawah.

4. Tanggungjawab terhadap lingkungan hidup.

Memiliki rasa tanggungjawab dalam melestarikan lingkungan hidup. 5. Memiliki rasa kesetiakawanan.

Maksudnya adalah mempunyai rasa tanggungjawab sosial untuk menggalang kekuatan guna mempengaruhi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan konsumen.

Usaha yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Indonesia untuk menyebarkan hak dan kewajiban konsumen, baik melalui media massa, maupun selebaran berupa brosur, kiranya belum dapat mencapai hasil sebagainya yang diharapkan, oleh karena itu untuk memperkuat hak dan kewajiban tersebut sekarang telah ada di dalam Undang-Undang Perlindungan Knsumen.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan hak-hak dan kewajiban konsumen sebagai berikut :


(50)

Dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyaman, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa ;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan ;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen ;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.


(51)

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati ;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Setiap berbicara tentang konsumen selalu dihadapkan dengan produsen/pelaku usaha yang saling berhubungan erat. Untuk itu selalu dikatakan bahwa dalam setiap kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen (pemakai barang dan/atau jasa).

Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk-produk tertentu tanpa ada keluhan atau kerugian. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan produsun sebagai pelaku usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik berupa sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 31

Penjelasan Pasal 1 angka (3) menyebutkan : "pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain".32

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan tempat yang sama bagi pelaku usaha dan konsumen dimata hukum.

31

Pasal 1 angka (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

32


(52)

Didalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan hak-hak dan kewajiban dari pelaku usaha.

a. Hak Pelaku Usaha

Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak pelaku usaha adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama apabila tersebut secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban Pelaku Usaha

Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan kewajiban pelaku usaha yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.


(53)

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku ;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan ;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jsa yang diperdagangkan ;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

Selain memberikan hak dan kewajiban bagi pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga diberikan ketentuan yang berisikan larangan-larangan tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang ini bagi pelaku usaha disebutkan dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 18.

E. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen.

Istilah atau pengertian hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen merupakan istilah yang sering disamaartikan. Ada yang mengatakan hukum konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen, namun ada juga yang membedakannya, dengan mengatakan bahwa baik mengenai substansi maupun


(54)

mengenai penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain. Hingga kini para pakar belum banyak memberikan pengertian tentang kedua jenis istilah tersebut.

Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban.33

Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya, dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen. Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah :

34

Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.

Hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai :

35

33

Janus Sidabalok, Op.cit, hal 45

34

A.Z. Nasution, Op.Cit hal 22

35

Ibid.

Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut :


(1)

dan pelanggan (subscriber). Hubungan ini menunjukkan hubungan antara CA sebagai penyelenggara jasa dan subscriber sebagai konsumen. Sebagai penyelenggara jasa, CA harus menjamin hak-hak subscriber, antara lain :

a. Keleluasaan Pribadi (Privacy)

Termaktub dalam Pasal 4 butir 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999. b. Ketepatan (Accuracy)

Termaktub dalam Pasal 4 butir 2, 3 dan 8 Undang-undang No. 8 Tahun 1999. c. Kepemilikan (Property)

Termaktub dalam Pasal 4 butir 8 Undang-undang No. 8 Tahun 1999. d. Kemudahan mengakses (Accessibility)


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Sistem keamanan informasi dalam e-commerce merupakan suatu perdagangan khusus yang dasarnya adalah perdagangan konvensional. Oleh karena itu selama tidak diatur secara khusus maka ketentuan perdagangan konvensional, misalnya jual beli ketentuan KUH Perdata berlaku juga terhadapnya.

2. Dalam transaksi melalui internet banyak aspek-aspek yang perlu untuk dilindungi secara umum antara lain : keyakinan (confidentiality), kejujuran (integrity), keaslian (authenticity) dan non-repudiation. Karena kehadiran internet yang merupakan hasil dari kemajuan teknologi informasi selain telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat, juga menciptakan modus-modus baru perbuatan melawan hukum misalnya pembobolan kartu kredit, menyusup (hacking) terhadap situs-situs dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut tentu sangat merugikan konsumen dan juga pelaku usaha. Untuk itu telah diupayakan melalui pengamanan situs dan keamanan data konsumen. Untuk menjaga keamanan informasi dalam bisnis e-commerce digunakan sistem pengacakan data (cryptography), tanda tangan digital (digital signature), dan certificate authority untuk memberikan jaminan terhadap kerahasiaan (confidentiality), keutuhan (integrity), keabsahan (authenticity) dan transaksi dapat dijadikan barang bukti yang tidak bisa disangkal (non-repudiation).


(3)

3. Penerapan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat memberikan perlindungan bagi para konsumen yang melakukan transaksi melalui internet di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan sistem informasi yang mengacu kepada kepentingan konsumen dalam arti mengacu kepada akses yang secara mudah dapat dilakukan, jelas dan dapat menciptakan sebuah proses yang membawa diri pembeli untuk seolah-olah terlibat langsung dengan produk yang akan mereka beli serta kepada sistem informasi yang jujur dan dapat menjamin keamanan serta kenyamanan dari konsumen pengguna jasa internet. Dasar hukum dari sistem informasi atas kepentingan hukum konsumen adalah dengan memperhatikan hukum perlindungan konsumen (Undang-Undang No. 8 Tahun 1999) dan perkembangan teknologi informasi (Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, PP No. 52 Tahun 2000 dan Keppres No. 9 Tahun 2003).

B. Saran

1. Diharapkan agar Pemerintah mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang beroperasi secara virtual dan lintas batas.

2. Pemerintah harus menghindari pelarangan yang tidak semestinya pada e-commerce. Orang-orang harus dapat mencantumkan perjanjian sah, setidaknya dengan keterlibatan atau campur tangan pemerintah, untuk dapat membeli dan menjual produk atau layanan melalui internet.

3. Melakukan pengkajian terhadap perundang-undangan nasional yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan-persoalan hukum akibat dari transaksi di internet misalnya


(4)

undang-undang dan peraturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, Perlindungan Konsumen, Penyiaran dan Telekomunikasi, Perseroan Terbatas, Penanaman Modal Asing, Perpajakan, Hukum Kontrak, Hukum Pidana dan sebagainya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Awad, Elias, Electronic Commerce, by Pearson Education, Inc, New Jersey, 2002. Bintang, Sanusi, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2000.

Centre of Human Resources Development, Introduction To E-Commerce, Materi Pelatihan Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasinya, Medan, 20 Desember 2002.

Darus, Mariam, E-Commerce Tinjauan Dari Aspek Keperdataan, Makalah Seminar Nasional, Medan, 2001.

---, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Eko, Richardus, E-Commerce Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001.

Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Hamzah, Hatrik, Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Komar, K., Mieke, et.al., Cyberlaw : Suatu Pengantar, ELIPS, Bandung, 2002. Maman, Ade S., Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2002.

Muis, Abdul, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, FH Hukum USU, Medan, 1990.

---, Bunga Rampai Hukum Dagang, FH-USU, Medan, 1990.

Nasution, A.Z., Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

Rajagukguk, Erman, et.al., Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000.

Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.


(6)

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasido, Jakarta, 2000.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Sitompul, Asril, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Alumni, Bandung, 2001.

Soepraptomo, Heru, Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia, Makalah Seminar yang Diselenggarakan oleh Badan Penelitiand an Pengembangan Daerah Sumatera Utara, 20 Desember 2002.

Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1978.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1999.