10
BAB II LANDASAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pendidikan Politik
Pendidikan dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan keduanya saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama
lain. Pendidikan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa faktor politik dan politik tidak akan dapat berjalan tanpa adanya pendidikan politik. Selanjutnya, dengan
dominasi keduanya akan muncul pendidikan politik yang memainkan peran yang penting untuk suatu perubahan atau transformasi sosial politik menuju sistem
yang lebih demokrasi dan adil atau ke arah yang lebih baik dari sebelumnya Fakih, et al. 1999: xi. Pendidikan politik dalam prakteknya sangat dipengaruhi
oleh paradigma dan ideologi pendidikan yang dianut dalam mendasari kegiatan politik. Bangsa Indonesia dalam sistem pendidikannya tentusaja tidak luput dalam
melaksanakan pendidikan politik dengan ideologi pancasila. Ditinjau dari sejarah bangsa Indonesia yang melewati beberapa rezim
kekuasaan, pendidikan politik ditempatkan sebagai alat untuk mensosialisasikan dan melegitimasi sistem dan struktur sosial politik yang ada. Pendidikan politik
yang dilaksanakan oleh pemerintah bertanggungjawab terhadap kepahaman masyarakat terhadap politik yang dapat dibuktikan dengan partisipasi masyarakat
dalam pemilihan umum. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu bentuk dari produk pendidikan
politik masyarakat tersebut merupakan salah satu praktek aktualisasi diri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kartono 2009: xvi bahwa aktualisasi diri
11 merupakan pendidikan politik yang diarahkan pada upaya membina kemampuan
mengaktualisasikan diri sebagai pribadi yang otonom bebas dan pada sosialisasi diri yang erat kaitannya dengan statusnya selaku warga negara di suatu negara.
Aktualisasi diri tersebut dijelaskan sebagai segala jenis bakat dan kemampuan, sehingga pribadi bisa berkembang, lalu menjadi aktif, kreatif dan berkarya. Oleh
karena itu untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam hal pembangunan ataupun struktur sosial yang lain diperlukan pendidikan politik.
a. Pengertian Pendidikan Politik Konsep pendidikan politik pertama kali muncul bersamaan dengan politik
dan pendidikan. Pendidikan dan politik adalah dua konsep yang sudah ada sejak keberadaan manusia dan manusia tersebut sudah mulai berpikir. Pendidikan
mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat karena pendidikan tersebut akan diselenggarakan berdasarkan filsafat dan atau pandangan hidup serta berlangsung
dalam latar belakang sosial budaya masyarakat tersebut Siswoyo, et al., 2013: 1. Selanjutnya mengenai ilmu politik yang tergolong cabang ilmu yang masih muda
yang baru berkembang pada abad ke-19 bersama ilmu sosial lainnya, keduanya pendidikan dan politik akan erat berkelindan dalam berkonstribusi terhadap
kemajuan peradaban manusia. Pelaksanaan kegiatan politik banyak terdapat pandangan positif dan negatif
yang disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik naluri yang baik ataupun buruk. Hal tersebut diuraikan oleh Budiarjo 2015: 16 sebagai
emosi positif yang mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu, dan marah. Selanjutnya Peter Merkl Budiarjo, 2015: 16 merumuskan bahwa perwajahan
12 politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan,
dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Tabiat manusia yang mempengaruhi faktor kecakapan berpolitik tersebut membutuhkan suatu arahan atau rambu yang
berupa pendidikan untuk mengendalikannya agar sesuai dengan tujuan yang tepat. Menurut Rod Hague et al Budiarjo, 2015: 17 politik adalah kegiatan yang
menyangkut bagaimana cara kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan antar anggota-anggotanya. Pendidikan akan mengambil faktor penting untuk mengendalikan pengambilan keputusan kolektif tersebut
untuk menjadi sarana untuk mencapai pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
Pendidikan adalah sebuah aktivitas politik, sebagaimana bahwa politik pada intinya adalah aktivitas pendidikan Ustman, 2000: 62. Memisahkan keduanya
adalah hal yang harus dihindari. Pendidikan diharapkan dapat melakukan transformasi, mengembangkan, dan membentuk generasi sesuai dengan budaya
politik yang berlaku. Karena itu, hubungan antara pendidikan dan politik merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.
Eratnya hubungan pendidikan dan politik tersebut oleh Ustman 2000: 63 dapat ditinjau dari sisi-sisi berikut:
1 hubungan antara pendidikan dan pengajaran dengan sistem politik,
2 objek pendidikan, yakni manusia,
3 fungsi-fungsi politik pendidikan, dan
4 peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang.
Hubungan pengajaran dengan sistem politik tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian sosial yang berpengaruh terhadap proses pengajaran. Kajian-kajian
13 dan sistem sosial tersebut akan berpengaruh secara nyata terhadap praktek
pengajaran yang terjadi. Manusia sebagai objek pendidikan dan pelaku pendidikan itu sendiri tidak dapat lepas dari sifat khas manusia yang akan mempengaruhi
presepsi dan eksistensinya dalam kontestasi politik. Pengokohan fungsi-fungsi politik sebagai usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari sistem politik yang
sedang berlaku mengharuskan pendidikan untuk melakukannya. Hal terakhir mengenai peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang merupakan contoh
dari pada aspek politik yang secara langsung berkaitan dengan pendidikan pada suatu negara. Oleh karena itu, praktek pendidikan politik tidak dapat dianggap
remeh untuk dilakukan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan politik menurut Edgar Fore Ustman, 2000 : 215 didefinisikan
sebagai upaya penyiapan generasi untuk berpikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-pilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam
lembaga-lembaga atau berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut. Penyiapan tersebut bukan hanya berupa doktrin untuk mengikuti suatu
hal, tetapi merupakan usaha untuk menyiapkan gemerasi supaya dapat memahami struktur-struktur dunia tempat mereka akan hidup di dalamnya, untuk menunaikan
berbagai tanggung jawab yang benar dalam kehidupannya, agar mereka mampu membaca kejadian-kejadian sosial. Pendidikan politik dalam hal ini pada intinya
adalah mengaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara simbang, berguna, dan demokratis.
Ustman 2000: 87 mendefinisikan pendidikan politik sebagai upaya-upaya yang dicurahkan oleh lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non
14 formal, yang berusaha membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik yang
sejalan dengan kultur politik orang-orang yang bergerak di lembaga-lembaga tersebut seperti pada warga negara, membentuk dan menumbuhkan kesadaran
politik dengan segala tingkatannya, yang warga negara menjadi sadar dan mampu memperoleh sendri kesadarannya, membentuk dan menumbuhkan kemampuan
partisipasi politik yang ia mampu dan senang berpartisipasi politik secara aktif, dalam ikut memecahkan persoalan-persoalan umum masyarakatnya dengan segala
bentuk partisipasi yang memungkinkan, dan yang mengantarkan kepada perubahan menuju yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui
bahwa pendidikan yang dimaksud adalah sebuah usaha pencerdasan terhadap seorang individu untuk mampu berperan aktif dalam sebuah sistem politik dari
yang sederhana maupun yang kompleks sekalipun seperti negara ataupun dunia internasional.
Pengertian pendidikan politik menurut Kartono 2009: 64 yang merupakan upaya edukatif yang intensional membentuk individu sadar politik, dan mampu
menjadi pelaku politik yang bertanggungjawab secara etismoril dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Upaya edukatif tersebut membawa individu ke arah yang
lebih maju untuk mengembangkan perilaku terdidiknya untuk berinteraksi sosial dengan yang lainnya. Kartono menyebutkan bahwa sebuah proses pendidikan
politik tidak dimaksudkan untuk membentuk pribadi intelektual yang terisolasi dari lingkungan sosialnya, melainkan individu yang mampu berinteraksi dengan
lingkungannya dalam konteks politik ataupun mengenai aspek lingkungan budayanya.
15 Suatu proses pendidikan politik adalah dialog antara peserta didik, pendidik,
warga sekolah, pemerintah, ataupun partai politik. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Surbakti 1992: 117 bahwa pendidikan politik dapat
diartikan sebagai proses dialog antara pendidik, seperti pemerintah, sekolah, partai politik, dan peserta didik, dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol politik negaranya yang dianggap ideal dan baik.
Ditinjau dari pendekatan pendidikan andragogi dan pedagogi pendidikan politik menempati posisi yang strategis. Berdasarkan penjelasan yang diuraikan
oleh Fakih, et al., 1999: xvii pedagogi sebagai “seni mendidik anak” mempunyai
mengertian yang lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang mendapatkan objek pendidikannya sebagai anak-anak, meskipun secara biologis mereka sudah
memasuki usia dewasa. Peserta didik dalam hal ini ditempatkan pada objek yang pasif dengan guru sebagai inti terpenting dalam kegiatan belajar. Sebaliknya,
andragogi atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menepatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Murid ditempatkan sebagai
orang dewasa yang memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik
untuk memikirkan cara terbaik untuk menganalisis dan menyimpulkan serta mengambil manfaat pendidikan. Guru dalam hal ini ditempatkan sebagai
fasilitator dengan hubungan relasi dengan peserta didik bersifat multikomunikasi. Pendidikan politik difungsikan sebagai pendidikan andragogi melalui
pendekatan tersebut, dimana peserta didik ditempatkan sebagai subyek yang dapat
16 bersikap kritis dalam menerima muatan politik yang disampaikan dalam
pendidikan politik, disamping itu masih terdapat banyak praktek pendidikan yang ditujukan untuk membangun kesadaran kritis tetapi dilakukan secara pedagogi
ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan mendasar tentang struktur dan sistem masyarakat, apabila materi
tersebut disampaikan dengan cara indoktrinasi, maka disinyalir bahwa proses pendidikan tersebut akan membunuh sikap kritis peserta didik sehingga hasil dari
pendidikan tersebut bertentangan dengan tujuan pendidikan kritis. Pendidikan politik pada intinya merupakan upaya pencerdasan dan
penyadaran yang mencakup aktivitas pendidikan diri yang terus berproses sehingga seseorang dapat memahami dirinya sendiri dalam kondisi lingkungan
sekitarnya. Selanjutnya setelah melalui proses tersebut seseorang akan mampu menilai segala sesuatu secara kritis dan menentukan sikap-sikap dan cara
penanganan permasalahan yang ada di lingkungan hidupnya. Pendidika politik bukan hanya upaya untuk menambah informasi tetapi juga menekankan kepada
kemampuan menentukan sikap, menganalisis situasi, dan kecakapan dalam berbuat. Seseorang tidak dapat bekerja secara sendiri dan bebas karena akan selalu
terikat ke dalam keberadaan individu-individu lain yang sama-sama memperjuangkan kebutuhannya untuk hidup.
b. Tujuan Pendidikan Politik Tujuan pendidikan politik yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik
rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, rakyat harus
17 menjalankan tugas partisipasi Kantaprawira, 2006: 55. Melalui masyarakat yang
sadar akan pentingnya partisipasi, sistem politik suatu wilayah akan berjalan dinamis, dimana keterlibatan semua komponen akan bertemu dan menentukan
kesepakatan untuk kebaikan bersama. Tujuan pendidikan politik menurut Kartono 2009: xvii adalah sebagai
berikut: 1
membuat rakyat menjadi melek-politiksadar politik, 2
dan lebih kreatif dalam partisipasi sosial politik di era pembangunan, 3
sekaligus juga menghumanisasikan masyarakat, agar menjadi “leefbaar”, yaitu lebih nyaman dan sejahtera untuk dihuni oleh semua warga
masyarakat Indonesia.
Pendidikan politik bertujuan untuk membangun masyarakat yang sadar politik dimaksudkan agar masyarakat paham bahwa segala sesuatu yang
menyangkut kesejahteraannya ditentukan melalui politik. Tanpa mereka ketahui harga barang-barang dipasar dapat dikendalikan melalui kekuasaan politik.
Apabila masyarakat telah terbuka dan paham terhadap dominasi politik terhadap kesejahteraan hidupnya, masyarakat akan melakukan partisipasi politik untuk
dapat berkonstribusi terhadap pembangunan tanah air. Masyarakat juga akan lebih kreatif dalam menanggapi isu-isu politis ataupun non politis yang menyangkut
kesejahteraan orang banyak. Kesadaran dan partisipasi masyarakat yang aktif dalam politik makan akan membentuk budaya politik yang kondusif, dimana
masyarakat dapat untuk mewujudkan ketahanan negara yang baik dan sejahtera dan nyaman untuk dihuni oleh semua warga masyarakat di Indonesia.
Pendidikan politik tidak hanya bertujuan untuk membangun tetapi juga mengembangkan pengetahuan politik tertentu pada manusia, tetapi juga bertujuan
untuk membentuk dan mengembangkan orientasi-orientasi politik yang meliputi
18 nilai-nilai, keyakinan, arah, dan perasaan politik, yang menjadikan individu
memiliki kesdaran terhadap berbagai situasi politik, persoalan-persoalan regional, nasional, maupun internasional, dan menjadikannya mampu secara sadar dan
aktif, berpartisipasi dalam kehidupan politik masyarakat dan sosial. Berikut adalah uraian tujuan pendidikan politik yang dijelaskan oleh
Ustman 2000: 91 s.d 106. 1
Kepribadian Politik Kepribadian politik merupakan tujuan utama dari proses pendidikan politik,
kesadaran dan partisipasi politik tidak akan tercapai tanpa adanya kepribadian politik dalam diri seorang individu. Sejumlah orientasi yang terbentuk dalam diri
individu untuk dapat berperan serta dalam politik juga merupakan kepribadian politik yang diantaranya mencakup informasi dan presepsi, pandangan-pandangan
yang dimiliki individu untuk berinteraksi dengan politik. Kepribadian politik dapat meliputi: 1 nilai-nilai dan keyakinan dasar yang bermakna atau bermuatan
politik baik langsung maupun tak langsung; 2 perasaan, orientasi, dan kecenderunga perilaku yang memiliki arah politik; 3 pengetahuan, wawasan, dan
evaluasi politik. 2
Kesadaran Politik Menurut Syari’ati Ustman, 2000: 95 manusia yang sadar adalah manusia
yang memiliki pandanan ideologis yang kritis, rasa keterikatan dengan masyarakat tertentu, rasa tanggung jawab individu dalam menghadapi problematikanya dan
rasa kebermilikan kolektif dalam lingkungannya. Mendukung pendapat tersebut Paulo Ferayeri mengemukakan bahwa kesadaran adalah pengetahuan yang kritis,
19 pandangan yang benar terhadap realitas, dan pemahaman yang baik terhadap
dunia di mana manusia itu hidup, kemudian berusaha mengubahnya. Kesadaran politik tersebut mencakup: 1 pandangan yang komprehesif; 2 wawasan yang
kritis; 3 rasa tanggung jawab; 4 keinginan untuk mengubah, dalam rangka mewujudkan kebebasan atau menghadapi berbagai problematika sosial.
Kesadaran politik dapat dicapai dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Arahan politik secara langsung, baik melalui jalur formal maupun nonformal,
melalui penjelasan-penjelasan politik, usaha-usaha bimbingan, dan pengajaran politik langsung, yang dilakukan oleh para pemikir dan pemimpin-pemimpin
politik, pengalaman masa lalu, ataupun kesadaran yang muncul karena kajian dialog kritis, ataupun kesadaran yang muncul dari belajar mandiri akan
membentuk kesadaran politik bagi seseorang. Jenis kultur yang terdapat pada suatu wilayah, perubahan budaya yang terjadi di masyarakat, tingkat pendidikan
dan keterampilan masyarakat tertentu akan mempengaruhi kesadaran politik pribadi seseorang.
3 Partisipasi Politik
Partisipasi politik didefinisikan sebagai aktivitas dimana individu dapat melaksanakan peranannya dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia
mempunyai kesempatan untuk memberi andil dalam menentukan dan mencapai tujuan-tujuan umum kehidupan masyarakat tersebut, dan dalam menentukan
sarana terbaik untuk mewujudkannya. Hasrat kuat individu untuk melakukan peran politik secara aktif merupakan dorongan utama partisipasi politik yang
nantinya akan dapat dicapai melalui pendidikan politik.
20 Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi politik diantaranya
adalah jeni kultur politik, karakter lingkungan politik dan faktor-faktor pembentukan partisipasi politik secara personal seperti aktivitas politik yang
berwujud media-media komunikasi, propaganda politik ataupan kecapakan yang dimiliki oleh pribadi individu tersebut. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam hal
ini seperti mengikuti berita-berita politik melalui berbagai media, ikut serta dalam agenda-agenda politik seperti kampanye, pemilihan umum, dan lain sebagainya.
Terdapat pula tingkat-tingkat partisipasi politik, Ustman 2000: 104 mengklasifikasikan tingkat partisipasi politik menjadi tiga. Pertama kelompok
vokalis yang memiliki kegiatan politik dengan melakuka lebih dari satu bentuk partisipasi politik aktif. Kelompok keua adalah kelompok pemikir yang
memberikan perhatian kepada penelitian dan bergulan dengan informasi politik. Ketiga adalah kelompok apatais yang tidak pernah mengikuti kegiatan politik.
c. Sosialisasi Politik dan Agen Pendidikan Politik Pendidikan politik dalam penyampaiannya kepada peserta didik akan erat
kaitannya dengan sosialisasi politik. Sosialisasi politik dalam menyampaikan muatan pendidikan politik mempunyai berbagai macam agen-agen pendidikan
politik, namun sebelumnya sebelum membahas mengenai agen-agen pendidikan politik perlu diketahui makna dari sosialisasi politik pada umumnya.
Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya, Gabriel Almond Darmawan, 2015: 108 mendefinisikan sosialisasi politik
sebagai bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat
21 berpartisipasi dalam sistem politiknya. Memasyarakatkan nilai-nilai politik
merupakan tujuan utama dalam proses sosialisasi politik tersebut. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkungan kultural, lingkungan politik,
dan lingkungan sosial dalam masyarakat individu yang bersangkutan, serta mempelajari sikap-sikap politik serta penilaian terhadap politik. Maka sosialisasi
politik itu merupakan mata rantai paling penting diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan
sistem yang lainnya. Prewit dan Dawson Cholisin, 2000: 6.4-6.5 mengajukan adanya teori
sosialisasi politik yang melihat dari aspek pola belajar politik yang terkait dengan perkembangan sosial dan pribadi, yaitu sebagai berikut:
1 Teori Psikodinamik
Teori ini berasumsi bahwa kebutuhan dan pengalaman pribadi yang terbentuk pada masa awal kanak-kanak akan menentukan orientasi politik seseorang.
2 Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan pada faktor eksternal, yaitu penerimaan stimulus dan penguatan dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterima individu
dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalam menentukan pandangan yang akan diadopsi seeorang.
3 Teori Perkembangan Kognitif
Teori ini menekankan pada interaksi antara lingkungan dan perkembangan kapasitas berpikir individu. Menurut teori ini kemampuan respon dan
22 pemahanan individu tentang sesuatu dalam lingkungannya sangat ditentukan
oleh kapasitaskemampuan dasar pemikirannya. Sosialisasi politik dalam pelaksanaannya tentu saja akan melibatkan
pendidikan politik sebagai tujuan instruksional. Prewit dan Dawson juga berpendapat bahwa teori sosialisasi politik memiliki tugas untuk menemukan dan
menjelaskan keterkaitan proses dan hasil sosialisasi politik dengan stabilitas politik, demokrasi, kompetensi partai politik, keadilan dan persamaan.
Sosialisasi politik dalam arti luas merupakan pendidikan politik yang berlaku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses tersebut
pribadi seseorang dapat belajar politik dalam situasi formal maupun informal. Menurut Cholisin 2000: 6.7-6.8 cara belajar politik yang termasuk tipe
sosialisasi politik langsung antara lain: 1
Imitation Meniru Belajar politik dengan metode meniru ini banya dilakukan baik oleh orang
tua, muda, pandai, dan bodoh. Hal yang ditiru dapat berupa tingkah laku politik, keterampilan politik, harapan-harapan politik, dan sikap politik. Model dasar
untuk dapat melakukan belajar politik dengan metode meniru adalah adanya mobilisasi dan komunikasi, tanpa kedua hal ini sulit untuk dilaksanaan.
Contohnya, anak-anak pada umumnya memilih partai politik meniru pilihan orang tua.
2 Anticipatory Socialization Sosialisasi Antisipatori
Metode belajar politik dengan metode ini pada dasarnya dengan cara menyiapkan diri tentang peranan politik yang diinginkan. Misalnya orang tua dan
23 guru baik di lingkungan keluarga ataupun lingkungan sekolah dapat
mendefinisikan peranan warga negara yang baik, sehingga anak dapat mengantisipasi peran yang dituntut oleh sistem politik nasional dalam proses
pembelajarannya 3
Political Education Pendidikan Politik Dalam belajar politik dengan metode pendidikan politik bersifat dialogis,
terbuka, rasional atau penyadaran. Di sekolah pada pendidikan Kewarganegaraan arahnya pada menumbuhkan “Good Citizenship” atau agar anak menjadi efektif
bagi bangsanya. Kegiatan yang dilakukan terutama terletak pada berpartisipasi memperoleh informasi-informasi politik, misalnya dengan membaca buku-buku
teks, mengikuti perkembangan lewat media massa elektronik dan non-elektronik, membuat paper, melakukan diskusi-diskusi tentang lembaga-lembaga politik dan
sebagainya. Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, dan lebih
merupakan pengarahan politik mengutamakan pembangkitan emosi, dan lebih mengarahkan politik untuk dukungan kekuatan politik mobilisasi politik dari
pada peningkatan partisipasi politik. Indoktrinasi ini pada umumnya dilakukan oleh rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status quo. Partai politik
pada umumnya juga lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik pada pendidikan politik.
4 Political Experience Pengalaman Politik
Metode ini serin ditafsirkan secara tumpang tindih dengan konsep pendidikan politik. Pada pengalaman politik penekanannya pada orang yang
24 sedang belajar politik disosialisasikan, sedangkan pada pendidikan politik pada
orang yang sedang mensosialisasikan Socializer. Pengalaman politik tidak mesti politik, misalnya pengalaman pahit melakukan kontak dengan penjabat yang
terlibat dalam pembuatan otoriter dapat menyebabkan partisipan menjadi frustasi, bermusuhan dan mengasingkan diri dari proses politik
Selain itu, pelaksanaan sosialisasi politik yang diterima oleh peserta didik dapat melalui berbagai macam sarana. Cholisin 2000: 6.7-6.8 juga mengajukan
bentuk sosilalisasi politik secara langsung yang meliputi: 1
Interpersonal Transference pengalihan hubungan pribadi Menurut tipe ini, pengalaman hubungan pribadi sebagai anak dalam
keluarga dan sebagai pelajar di sekolah, akan dikembangkan dalam hubungannya dengan figur penguasa.
2 Apprenticeship magang
Menurut tipe ini, aktivitas-aktivitas non politik dipandang sebagai praktek atau magang untuk aktivitas politik. Contohnya organisasi pembentuk
pribadi seperti Pramuka, organisasi siswa adalah bentuk yang penting dalam pembelajaran politik.
3
Generalization Menurut tipe ini, kepercayaan dasar dan pola-pola nilai budaya yang
merupakan nilai umum general value, bukan sebagai referensi kearah obyek politik tertentu, biasanya memainkan peranan yang besar dalam
menentukan struktur atau pola-pola budaya politik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa proses sosialisasi politik sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya melingkupi keluarga, lembaga
masyarakat, atau budaya sosial dengan nilai dan normanya yang mengikat. Pengaruh-pengaruh dalam proses sosialisasi tersebut juga secara langsung
berperan aktif terhadap sosialisasi politik dan pendidikan politik itu sendiri. Untuk dapat mensosialisasikan nilai politik, maka agen politik harus
menggunakan metode penyampaian pesan yang tepat. Surbakti 1992: 117-118 menyatakan metode penyampaian pesan tersebut sebagai berikut:
25 1
Berdasarkan segi metode penyampaian pesan sosialisasi politik dibagi menjadi dua, yakni:
a Pendidikan Politik yaitu suatu proses dialogis diantara pemberi dan penerima
pesan. b
Indoktrinasi Politik, ialah suatu proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol
yang dianggat pihaknya berkuasa sebagai ideal dan baik. 2
Berdasarkan pada metode, bentuk dan cara penyampaian sosialisasi politik digenerasilsasikan dalam dua bentuk yakni:
a Sosialisasi Politik Lansung direct forms of political socialisation. Sosialisasi
langsung ini menunjukkan suatu proses dimana hal-hal yang ditransmisikan atau disampaikan secara langsung kepada generais berikutnya. Sosialisasi
politik langsung ini dapat berwujud nilai-nilai informasi, sikap-sikap, pandangan-pandangan dan keyakinan mengenai politik secara eksplisit.
b Sosialiasi Politik Tidak Langsung Indirect forms of political socialisation.
Dalam sosialisasi politik tidak langsung, individu untuk pertama kalinya akan memperoleh hal-hal yang akan mempengaruhi pandangan, sikap-sikap,
keyakinan dalam bidang politik. Sosialisasi politik langsung memungkinkan individu untuk memperoleh
nilai-nilai politik, misalnya nilai tentang kekuasaan, demokrasi, keadilan, dan sebagainya. Sosialisasi politik tidak langsung akan membuat individu akan
memperoleh nilai-nilai yang berpengaruh terhadap sikap dan keyakinannya di
26 bidang politik, misalnya nilai tentang kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab,
dan sebagainya. Proses Sosialisasi politik setiap individu akan dapat berjalan lancar apabila
didukung oleh agen-agen sosialisasi politik Darmawan, 2015: 108. Agen-agen sosialisasi politik tersebut adalah peranan yang membantu terbentuknya budaya
politik seseorang. Berikut adalah agen-agen yang termasuk ke dalam agen-agen sosialisasi politik tersebut.
1 Keluarga
Keluarga adalah pihak paling awal yang dijumpai oleh seseorang ketika hidup. Pengaruh pihak pertama ini sangat besar terhadap orientasi politik
seseorang. Kehadiran keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap budaya politik seseorang, hal ini ditunjukkan dengan terlihatnya kecenderungan bahwa
preferensi politik orang tua berpengaruh terhadap preferensi politik anaknya sampai dengan anak tersebut tumbuh dewasa.
2 Teman Bermain Peer Group
Teman bermain merupakan agen sosialisasi terpenting selanjutnya setelah keluarga. Teman bermain memiliki pengaruh yang besar pada pembentukan sikap
dan karakter seseorang terutama pada masa perkembangannya. Pandangan kolektif teman bermain terhadap sesuatu dapat mengarahkan seseorang untuk
sepakat dan berpendapat yang sama, dalam hal ini teman bermain dapat mengarahkan orientasi politik seseorang.
3 Sekolah
27 Sekolah yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga pendidikan di
lingkungan formal ataupun informal. Sekolah memiliki fungsi yang fleksibel dalam mempengaruhi orientasi politik seseorang, sekolah mempunyai peranan
untuk melaksanakan pendidikan politik langsung kepada peserta didik. Sekolah dapat menyampaikan materi politik dalam lingkungan formal seperti lingkungan
kelas. Materi politik tersebut dapat beraneka ragam sesuai dengan kurikulum yang berlaku seperti mengenai dasar negara, bentuk pemerintahan, dan lain sebagainya
bahkan sampai mengenai hal-hal fundamental seperti ideologi. 4
Tempat Bekerja Tempat bekerja dapat mempengaruhi pandangan politik seseorang. Hal
tersebut dikarenakan tempat bekerja menyediakan ruang diskui bagi seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik. Disamping itu, tempat bekerja
memiliki kemungkinan untuk mengarahkan pilihan orientasi politik para pekerjanya.
5 Media Massa
Media massa memiliki peranan penting dalam menjadi agen sosialisasi. Pengetahuan, sikap, nilai dan sebagainya mengenai pandangan politik seseorang
adalah hasil pengaruh dari media masa. Kondisi pada zaman sekarang membuktikan bahwa peran media untuk membentuk opini publik terbukti efektif.
Sosialisasi kebijakan pemerintah, kampanye politik dan lain sebagainya dapat disampaikan melalui media massa.
28 6
Kontak Politik Langsung Kontak politik langsung dimaksudkan sebagai bentuk interaksi antara
individu dengan elite politik atau pemerintah secara langsung tanpa melalui perantara. Hal tersebut dapat terjadi pada pemilu langsung, kampanye, ataupun
dialog publik yang melibatkan kontak politik. Agen-agen tersebut adalah hal-hal yang mempengaruhi orientasi politik dari
arah luar seorang individu, untuk dapat menentukan arahan politik yang dinilai baik seorang individu harus mempunyai sisi moral yang baik serta pandangan
nilai dan norma yang sesuai dengan budaya setempat. Keberadaan moral, nilai, dan norma tersebut akan mempengaruhi pandangan politik seseorang yang berasal
dari dalam diri seorang individu. d. Pendidikan Politik di Sekolah
Dominasi utama orientasi politik yang diterima oleh anak-anak berasal dari sekolah. Sekolah mampu menciptakan lingkungan formal untuk anak-anak
mendapatkan orientasi politiknya, keluarga dan teman sebaya boleh menjadi agen sosialisasi politik pertama bagi seseorang tetapi mereka secara langsung tidak
mempunyai hukum legal formal yang merupakan kesepakatan bersama dan kebenaran bersama yang diakui oleh masyarakat dengan ruang lingkup seperti
negara. Sekolah dapat mengemas pendidikan politik menjadi sosialisasi politik yang
dilakukan melalui berbagai macam kegiatan. Dawson, Prewitt, dan Dawson 1977: 139 membagi menjadi dua bagian hal-hal yang dapat dilakukan oleh
sekolah dalam melaksanakan pendidikan politik atau sosialisasi politik. Bagian
29 pertama merupakan sosialisasi politik yang dilaksanakan di dalam ruang kelas
yang dapat meliputi pengorganisasian kurikulum, kebiasaan di dalam ruang kelas, dan pengaruh guru. Bagian kedua adalah sosialisasi politik yang dilaksanakan di
luar ruang kelas yang dapat berupa komposisi sosial yang ada di lingkungan sekolah, kegiatan ekstrakulikuler dan kelompok politik siswa. Masing-masing dari
bentuk sosialisasi yang terjadi di sekolah tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1
Di dalam Ruang Kelas a
Kurikulum Kurikulum adalah instrumen utama dalam sosialisasi politik. Kurikulum
menjadi inti dan hal yang penting dalam proses pendidikan ataupun sosialisasi politik yang terjadi di sekolah. Segala jenis kebutuhan dan akses mengenai politik
akan dirumuskan melalui kurikulum dan dengan perencanaan akan diajarkan kepada peserta didik di sekolah. Pemerintah yang sedang berkuasa mempunyai
kekuasaan penuh terhadap kewenangan mengatur regulasi kurikulum untuk sampai kepada peserta didik.
Dawson, Prewitt, dan Dawson 1977: 140 membagi kedalam dua jenis instruksi politik yang terdapat dalam sebuah kurikulum, yaitu: pendidikan
kewarganegaraan civic
education dan
indoktrinasi politik
political indoctrination. James Coleman melalui bukunya Education and Political
Development Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 140 menerangkan bahwa pembelajaran kewarganegaraan adalah bagian dari pendidikan politik yang
melatih seseorang untuk menjadi warga negara yang dapat berpartisipasi dengan baik di dalam negaranya. Indoktrinasi politik hanya terfokus untuk mempelajari
30 mengenai ideologi politik untuk melanggengkan suatu rezim yang sedang
berkuasa. b
Kebiasaan-kebiasaan di Ruang Kelas Nilai-nilai politik dapat ditrasnferkan melalui kebiasaan-kebiasaana atau
ritual yang dilakukan oleh siswa di ruang kelas. Kebiasaan-kebiasaan umum yang biasa dilakukan oleh siswa di dalam lingkungan sekolah formal diantaranya
adalah hormat kepada bendera yang diletakkan di dalam ruang kelas, foto-foto presiden dan pahlawan negara, menyanyikan lagu kebangsaan dan lain
sebagainya. Beberapa instansi formal dalam situasi pendidikan dapat mengubah atau
memperkuat pengetahuan politik yang diterima oleh siswa dalam lingkungan keluarganya. Pengalaman kebiasaan-kebiasaan sosialisasi politik yang dilakukan
adalam lingkungan sekolah tersebut apabila dilakukan secara terus menerus akan berdampak besar terhadap pandangan dan orientasi politiknya dikemudian hari.
Disisi lain ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang bersifat politis yang dilakukan di sekolah tersebut akan mempersiapkan seseorang untuk menghadapi kondisi-
kondisi politis sepanjang hidupnya seperti yang diungkapkan oleh Hess dan Torney Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 148 sebagai bahwa “this early
orientation prepares the child for later learning and stresses the importance of loyalty for citizen of all ages
”. c
Pengaruh Guru Guru mempunyai peran penting dalam berbagai aspek perkembangan siswa,
tak terkecuali dalam perkembangan politiknya. Guru dapat menciptakan budaya
31 belajar atau sistem sosial di dalam kelas sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
Guru sekolah dasar akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap otoritas keilmuan peserta didiknya. Guru sekolah dasar mempunyai banya murid dalam
setiap tahunnya, guru tersebut akan menstransferkan banyak ilmu pengetahuan dan nilai politis kedalam jati diri anak-anak. Hal ini dijelaskan dengan pendapat
Dawson, Prewitt, dan Dawson 1977: 152 sebagai berikut. As the first person to represent to the child the large, imperonal society
beyond the personal family circle, the elementary teacher cannot avoid influencing the impressionable child in ways beyond the formal curriculum.
Pendapat tersebut memperkuat posisi guru sebagai penggiring arah orientasi politik peserta didiknya. Bahkan, pengaruh guru tersebut tidak terbatas dalam
peraturan kurikulum saja, melainkan sepanjang guru tersebut dapat berinteraksi dengan siswa.
Guru juga mempunyai peran penting dalam mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik pada masa dewasanya. Praktek pendidikan
politik yang sesungguhnya terjadi di sekolah formal adalah pada pendidikan moral dan karakter yang dibangun pada diri peserta didik. Pengetahuan tentang negara,
pemerintah nasional, bentuk pemerintahan dan sebagainya merupakan pengetahuan kognitif yang mudah dipelajari dan juga mudah hilang begitu saja.
Pendidikan moral dan karakter akan lebih lama berbekas dan bahkan akan melekat pada diri peserta didik sampai ia dewasa dan juga berpengaruh terhadap cara
pengambilan orientasi politik. 2
Di luar Ruang Kelas a
Komposisi Sosial Lingkungan Sekolah
32 Sekolah yang mempunyai murid ataupun warga sekolah yang multi etnis
akan menciptakan lingkungan sosial yang beragam. Keberadaan multietnis tersebut akan membawa sekolah menjadi lingkungan belajar yang menyentuh sisi-
sisi kesadaran keadilan bagi seseorang tak terkecuali pada sisi politisnya. Dawson, Prewitt, dan Dawson 1977: 139 mengungkapkan.
When child enters the formal educational system, he or she is confronted with a larger and more diversified population of peers and authority figures
than he or she experienced in the home or in the smaller, neighborhood peer groups. From these new contacts the young child learns about
articulating and solving collective problems, about aserting and protecting rights in competition with others, and about the posibilities or social
cooperation of conflict.
Berdasarkan pernyataan tersebut, anak-anak dilingkungan sekolahnya sudah mulai untuk belajar mengelola kepentingannya untuk membentuk kelompok
sosial, dan memperjuangkan kepentingan kelompok sosial tersebut di dalam sebuah kompetisi ataupun konflik-konflik tertentu.
b Kegiatan Ekstrakulikuler dan Kelompok Politik Siswa
Sekolah tertentu akan membuat kegiatan ekstrakulikuler guna menjawab kebutuhan perkembangan zaman dan untuk menyeimbangkan kemampuan siswa
dalah bidang kognitif, afektif, ataupun psikomotor, sebagai kegiatan pendukung yang wajib diikuti oleh seluruh siswa baik bersifat wajib ataupun pilihan.
Keberadaan dan jenis kegiatan ekstrakulikuler tersebut bergantung kepada kondisi sosiokultural lingkungan sekolah masing-masing. Dawson, Prewitt, dan Dawson
1977: 161 mengkategorikan macam kegiatan ekstrakulikuler menjadi dua yakni kegiatan ekstrakulikuler yang resmi official dan yang tidak resmi unofficial.
Kegiatan ekstrakulikuler yang resmi merupakan kegiatan yang mendukung kepentingan sekolah seperti organisasi intra sekolah, club drama, club olahraga
33 dan lain sebagainya selama menjadi bagian dari kebijakan sekolah. Kegiatan
ekstrakulikuler yang tidak resmi merupakan kegiatan ekstrakulikuler yang tidak berada di bawah naungan sekolah, kegiatan ini biasanya mempunyai hubungan
dengan kepentingan politik ataupun ideologi tertentu. Kegiatan ekstrakulikuler yang dilaksanakan oleh sekolah akan melatih siswa untuk dapat memberikan
partisipasi aktif dan melatihnya untuk mengenal budaya dan nilai-nilai kebudayaan yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. David Ziblatt seorang
narasumber dalam buku Political Socialization oleh Dawson, Prewitt, dan Dawson 1977: 161-162 menyatakan bahwa.
The extraculicular activity was given an important position in the philosophy of the democratic school. High school extraculicular activities
were to be analogous to adult voluntary associations. Just as amembershup in a voluntary association was believed to have positive
effects on an adult’s citizenship copetence, so would the extracurricular activity have positive
effects on the teenager. Participation would give him insight and awareness onto social processes. He would acquire an ability to manipulate these
processes. He would have a greater understanding of how things get done in the larger political system. He would have more positive orientation toward
political phenomena.
Pernyataan tersebut menerangkan bahwa keikutsertaan dalam organisasi ataupun kegiatan ekstrakulikuler akan memberikan dampak positif kepada
seorang anak. Partisispasinya dalam organisasi kerelawanan akan meningkatkan kepekaan sosial anak dan pemahaman pandangan politik. Dampak yang lebih jauh
dari kegiatan ini akan membawanya untuk lebih memandang positif suatu fenomena politik. Kegiatan ekstrakulikuler di sekolah apabila dimanfaatkan
dengan baik oleh seseorang akan membawanya belajar berpartisipasi di dalam sekolah sebagai bentuk miniatur dari sistem sosial masyarakat. Kegiatan-kegiatan
yang diikuti akan membelajarkan karakter dan sikapnya untuk menghadapi sistem
34 politik yang lebih besar lagi. Seperti kelompok olahraga atau kompetisi olah raga
akan melatih seseorang untuk mempunyai sikap sportivitas. Contoh lain seperti organisasi siswa intra sekolah akan membuat anak lebih mengenal peraturan-
peraturan dan prosedur-prosedur yang akan ia hadapi dalam sistem politik dewasa yang sebenarnya.
Akhirnya, praktek pendidikan di sekolah berhubungan secara langsung dengan aktivitas politik. Semakin teredukasi seseorang maka akan semakin tinggi
partisipasi politiknya. Berdasarkan penelitian internasional yang dilakukan oleh Almond dan Verba Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 166 terdapat beberapa
temuan yang sama mengenai fakta-fakta individu dengan hubungan pendidikan politiknya sebagai berikut ini.
1 Individu yang lebih terdidik akan sadar bahwa pemerintahan mempunyai
dampat yang besar terhadap kesejahteraan individual dari pada seseorang yang kurang terdidik.
2 Individu yang lebih terdidik akan lebih dapat berpartisipasi dan mengikuti
politik dan kampanye politik pada pemilihan umum dari pada seseorang yang kurang terdidik.
3 Individu yang lebih terdidik mempunyai informasi politik yang lebih banyak.
4 Individu yang lebih terdidik mempunyai opini yang lebih luas mengenai
subjek politik. 5
Individu yang lebih terdidik lebih mau terlibat dalam diskusi politik. 6
Individu yang lebih terdidik merasa bebas untuk berdiskusi mengenai politik dalam jaringan pergaulan yang lebih luas.
35 7
Individu yang lebih terdidik lebih mampu untuk mempengaruhi kebijakan politik di sekitarnya.
8 Individu yang lebih terdidik akan menjadi anggota aktif dalam sebuah
organisasi. 9
Individu yang lebih terdidik akan merasa lebih percaya diri dalam berekspresi dalam lingkungan sosialnya.
2. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
a. Pengertian Peserta Didik Siswa di Sekolah Dasar merupakan peserta didik yang mempunyai peran
penting dalam suatu proses pendidikan. Tujuan pendidikan menempatkan peserta didik sebagai komponen utama penerima manfaat pendidikan. Peserta didik
adalah salah satu komponen manusiawi yang menepati posisi sentral dan menjadi pokok persoalan dan tumpuan perhatian dalam semua proses transformasi
pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Noeng Muhadjir Siswoyo, et al. 2013: 85 bahwa pendidikan selalu berlangsung dengan melibatkan aktor
penting yang disebut sebagai subyek penerima di satu pihak dan subyek pemberi di pihak yang lain. Kedua subyek tersebut merupakan unsur utama dalam
membentuk aktivitaas pendidikan. Subyek penerima tersebut adalah peserta didik dan subyek pemberi adalah pendidik. Ketidakadaan kedua unsur tersebut berarti
juga ketiadaan aktivitas pendidikan. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pendidikan Siswoyo, et al. 2013: 85. Keberadaan peserta didik tersebut membutuhkan bantuan orang lain untuk berkembang dan
36 menunjang sebuah aktivitas pendidikan. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan
pendapat Arifin Desmita, 2012: 39 bahwa sebagai individu yang sedang berada dalaam proses pertumbuhan dan perkembangan, peserta didik memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya Peserta didik dianggap masih dalam kondisi lemah tetapi
mempunyai potensi untuk berkembang dengan bantuan orang lain yang berperan sebagai pendidik. Istilah peserta didik dalam pendidikan formal atau pada jengang
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah sering dikenal sebagai anak didik atau siswa. Penamaan lain peserta didik dalam lembaga pendidikan atau lingkungan
pendidikan seperti pondok pesantren adalah santri, keluarga disebut anak, perguruan tinggi disebut mahasiswa, dan lain sebagainya.
Prespektif Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa peserta didik diartikan sebagai anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sebagai anggota masyarakat
tersebut peserta didik dalam melakukan proses pendidikannya memiliki sebuah tujuan untuk dapat memberikan konstribusi dalam pembangunan masyarakat,
demi mewujudkan tujuan tersebut institusi pendidikan di segala jenjang memiliki program-program tertentu untuk menunjang ketercapaian tujuan tersebut.
Sebagai seorang individu yang memiliki peran kehidupan secara umum dan peran sebagai peserta didik dalam suatu sistem pendidikan, peserta didik memiliki
karakteristik-karakteristik yang menjadi ciri seorang individu peserta didik. Peserta didik memiliki beberapa karakteristik fundamental yang melekat padanya
37 dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan usia ataupun jenjang pendidikan
yang sedang ia alami. Menurut Desmita 2012: 40 peserta didik adalah individu yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1 Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas,
sehingga ia merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilikinya ini perlu dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga mampu mencapai taraf
perkembangan yang optimal. 2
Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya, peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang
ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahkan pada penyesuaian dengan lingkungannya.
3 Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan
perlakuan manusiawi. Sebagai individu yang sedang berkembang, maka proses pemberian
bantuan dan
bimbingan perlu
mengacu pada
tingkat perkembangannya.
4 Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Dalam
perkembangannya peserta didik memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan, di sampinng itu, dalam diri peserta didik juga terdapat
kecenderungan untuk meepaskan diri dari kebergantungan pada pihak lain. Karena itu, orang tua dan pendidik perlu memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mandiri dan bertanggungjawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri.
38 b. Tugas-Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Dasar
Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada rata-rata usia 12 tahun. Apabila mengacu pada pembagian tahapan
perkembangan anak, usia anak sekolah dasar berada pada dua masa perkembangan, yaitu pada masa kanak-kanak tengan dengan rentang usia dari 6
tahun sampai 9 tahun, dan masa kanak-kanak akhir dengan rentang usia dari 10 sampai 12 tahun Desmita. 2012; 35. Pendapat lain menjelaskan bahwa anak usia
sekolah dasar berada pada masa perkembangan kanak-kanak akhir yang dialami oleh anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awa
yang berkisar pada usia 11 tahun sampai 13 tahun Siswoyo, et al. 2013; 103. Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mengacu pada karakteristik siswa usia
sekolah dasar yang hampir sama, dimana mereka akan mengalami berbagai perkembangan sebagai imbas dari penyesuaian dirinya terhadap lingkungan
sekitarnya. Masuk sekolah merupakan fase yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Pada fase tersebut seseorang mengalami perubahan sikap, nilai, dan
perilaku yang menyesuaikan kondisi di sekitarnya. Anak-anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik yang berbeda dengan
anak-anak yang usianya lebih muda. Ia senang bermain, senang melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu guru hendaknnya mengembangkan
pembelajaran yang mengandung unsur permainan, mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan
kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.
39 Menurut Havighurst Desmita. 2012; 35, tugas perkembangan anak usia
sekolah dasar meliputi: 1
Menuguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.
2 Membina hidup sehat.
3 Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4 Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5 Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat. 6
Memperoleh sejumlah konsep yang diperlakukan untuk berpikir efektif. 7
Mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai. 8
Mencapai kemandirian pribadi. Tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik apabila terdapat interaksi
efektif diantara dua unsur penting dalam pendidikan yaitu peserta didik dan pendidik. Apabila peserta didik mempunyai ciri tertentu maka guru sebagai
pendidik perlu untuk melakukan upaya dalam mencapai setiap tugas perkembangan tersebut. Oleh karena itu, untuk membantu peserta didik mencapai
tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk: 1
Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik. 2
Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaun dan bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian
sosialnya dapat berkembang.
40 3
Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep.
4 Melaksanakan pembelajaran yang apat mengembangkan nilai-nilai, sehingga
siswa mampu menentukan ilihan yang stabil dan menjadi pengangan bagi dirinya.
c. Perkembangan Siswa Sekolah Dasar Setiap manusia memiliki potensi untuk berkembang menjadi sosok yang
lebih baik dari sebelumnya dan juga memungkinkan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dikaitkan dengan segala jenis aspek fisik seperti
pertambahan berat badan, tinggi badan, panca indra, fungsi-fungsi otot dan lain sebagainya, sedangkan perkembangan dikaitkan dengan kemajuan aspek psikis
seperti kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan pribadi, pengendalian emosi, kepekaan spiritual, keimanan, dan ketaqwaan.
Berikut adalah penjelasan mengenai aspek-aspek perkembangan peserta didik yang saling berhubungan dan berkonstribusi dalam membentuk pribadi dan
karakter peserta didik. 1
Perkembangan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar Perkembangan fisik peserta didik mencakup berat badan, tinggi badan,
termasuk perkembangan motorik. Pertumbuhan fisik anak usia sekolah dasar cenderung lebih stabil dan tenang, hal tersebut terjadi sebelum seorang anak
mengalami masa pubertas, masa tenang tersebut sangat bermanfaat untuk digunakan untuk belajar berbagai kemampuan akademik. Anak menjadi
41 bertambah tinggi, berat, dan lebih kuat untuk dapat mempelajari berbagai macam
keterampilan. Anak setelah melewati masa tersebut akan masuk pada masa pubertas
dimana perubahan akan terlihat lebih pesat. Pada masa ini anak akan mengalami perubahan primer dan sekunder yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Melalui perubahan fisik tersebut peserta didik perlu untuk mengembangkan kestabilan gerak serta melatih kordinasi untuk menyempurnakan berbagai
keterampilan. Energi yang terdapat pada diri anak perlu disalurkan kedalam kegiatan-kegiatan yang melatih keterampilan menuju keseimbangan tubuh. Aktif
dalam bergerak akan membantu anak untuk mengomtimalkan perkembangan fisik pada masa ini.
2 Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah Dasar
Perkembangan kognitif anak usia Sekolah Dasar juga sering dikenal dengan perkembangan intelektual. Menurut Jean Piaget Siswoyo, et al. 2013: 100, tokoh
penting dalam bidang psikologi perkembangan, membagi perkembangan intelektual peserta didik menjadi empat tahap, meliputi: 1 tahap sensori motor, 2
tahap pra-oprasional, 3 tahap operasional konkret, dan 4 tahap operasional formal. Keempat tahap perkembangan tersebut dijelaskan lebih lengkap melalui
tabel berikut: Tabel 1. Tahap Perkembangan Peserta Didik Menurut Jean Piaget
Umur Tahun
Fase Perkembangan
Perubahan Perilaku 0,0
– 2,0
Tahap Sensori Motor
Pada usia ini mereka belum mengerti
akan motivasi
dan senjata
tersesarnya dalah
tangisan. Pengetahuan
dapat
42 disampaikan
kepada mereka
dalam tahapan ini tidak dapat hanya
menggunakan gambar
sebagai alat peraga, melinkan harus menggunakan sesuatu yang
bergerak.
2,0 - 7,0
Tahap Pra-operasional
Peserta didik pada usia ini senang meniru perilaku orang tua
dan guru yang pernah ia lihat dalam merespon suatu keadaan,
perilaku orang, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau.
7,0 –
11,0 Tahap
Operaasional Konkret
Peserta didik pada tahap perkembangan ini sudah mulai
memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume dan
jumlah. Peserta didik juga sudah mampu
berpikir sistematis
mengenai benda-benda
dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
11,0 –
14,0 Tahap
Operasional Formal
Peserta didik
telam memiliki
kemampuan mengkoordinasikan dua ragam
kemampuan kognitif,
secara serentak maupun berurutan.
Berdasarkan pengklasifikasian tahapan perkembangan tersebut, maka anak usia sekolah dasar yang rata-rata berusia dari 7 tahun sampai 12 tahun masuk pada
tahap perkembangan psikologis operasional konkret. Pada masa ini tahap intelektual anak yang sebelumnya tidak jelas atau samar-samar akan lebih konkret
dan dapat dipahami. Mereka akan mampu memecahkan masalah yang bersifat konkret dan mampu berpikir logis meski masih pada keterbatasan.
Peserta didik dalam masa operasional konkret dapat melakukan banyak pekerjaan pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat mereka lakukan
pada masa sebelumnya. Pemahaman peserta didik tentang konsep ruangan, kausalitas, kategorisasi, konversi, dan penjumlahan lebih baik Izzaty, et al. 2013:
43 105. Praktek nyata tahapan pemahaman anak pada masa perkembangan ini
adalah mereka dapat mengingat jalan pulang ke rumah dari sekolah dengan baik karena mereka mempunyai ide tentang jarak dari satu tempat ke tempat lain, lama
waktu tempuhnya, dan dapat mengingat rute dan tanda jalan. Peserta didik dalam tahap ini mampu berpikir induktif secara logis. Mereka
mampu membuat keputusan berdasarkan sebab akibat dan memecahkan soal cerita sederhana. Cara menarik kesimpulan mereka dimulai dari melihat dan
mengamati kejadian-kejadian disekitar mereka dengan gejala khusus dari lingkungan sekitar kemudian menarik kesimpulan. Contohnya adalah ayam
paman berkokok, ayam kakek berkokok, ayam ayah berkokok, jadi semua ayam berkokok.
Berbagai peningkatan kemampuan berpikir intelektual peserta didi juga menyebabkan berkurang rasa egonya dan mulai bersikap sosial. Anak-anak mulai
mengerti bagaimana menjaga sesuatu dengan baik. Pengalaman hidupnya memberikan pengalaman untuk bekal pengambilan keputusan berikutnya. Anak
sudah mampu untuk berpikir, belajar, mengingat, dan berkomunikasi, karena proses kognitifnya tidak lagi egosentris melainkan lebih logis. Mereka juga sudah
mampu untuk mengurutkan dan mengklasifikasikan suatu benda berdasarkan ciri- ciri tertentu.
3 Perkembangan Bahasa Anak Usia Sekolah Dasar
Bersamaan dengan bertambanya usia, anak-anak semakin banyak memiliki perbendaharaan kata. Anak-anak di lingkungan sekolah semakin banyak
menggunakan kata yang tepat untuk menjelaskan sesuatu seperti memukul,
44 melempar, menendang dan menampar, di samping itu anak-anak juga mampu
memilih kata yang tepat dan logis untuk merepresentasikan suatu keadaan. Menurut Izzaty, at al. 2013: 106 anak kelas satu mampu merespon pertanyaan
orang dewasa dengan sederhana, dan anak kelas enam mampu menceritakan kembali satu bagai pendek dari buku, film, atau pertunjukan televisi.
4 Perkembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar
Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral
merupakan proses yang sangat penting karena pada masa ini anak-anak akan mulai memahami nilai dan norma yang berlaku di lingkungan sekitarnya yang
kemudian akan banyak berkonstribusi terhadap pembentukan pribadi dan karakter anak.
Penelitian Jean Piaget mengenai tahapan perkembangan moral anak dijelaskan oleh Dwi Siswoyo, et al. 2013: 107 dengan tabel sebagai berikut.
Tabel 2. Tahap Perkembangan Moral Peserta Didik Menurut Jean Piaget Umur
Tahun Fase
Perkembangan Perubahan Perilaku
0,0 –
3,0 Non Morality
Anak belum memiliki atau mengenal moral
4,0 –
8,0 Heteronomous
Anak sudah
mulai menerima dan memiliki aturan
begitu saja dari orang lain yang diandang tidak bisa
diubah.Tahap
ini disebut
sebagai masa realisme stage of
moral realism
atau moralitas
berkendala constraint morality. Tugas
dan kewajiban pada masa ini dipandang
sebagai wujud
suatu kepatuhan
45 9,0
– 12,0
Autonomous Moral pada tahap ini
sudah mulai dipandang oleh anak
sebagai persetujuan
bersama secara timbal balik, dapat dipelihara dan diubah
sesuai kebutuhan kolektif yang disebut
sebagai moralitas
bekerjasama collaborate
morality. Tugas
dan kewajiban pada masa ini
dipandang sebagai kesesuaian dengan harapan-harapan dan
kesejahteraan bersama.
Berdasarkan data tersebut dalam usia sekolah dasar peserta didik mengalami perkembangan moral sesuai dengan umurnya. Anak-anak di kelas tinggi kelas 4,
5, dan 6 akan lebih dapat memahami aturan yang berlaku tanpa membutuhkan bimbingan. Anak di kelas rendah kelas 1, 2, dan 3 masih cenderung memerlukan
bimbingan untum memahami dan melakukan aturan tertentu seperti berseragam dan lain sebagainya. Beberapa sekolah dasar juga menerapkan aturan khusus dan
beban khusus pada anak yang berada di kelas tinggi karena dipandang memiliki kemampuan pemahaman moral yang sudah berkembang dari pada anak kelas
rendah. 5
Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah Dasar Perkembangan sosial anak tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan
emosi, keduanya akan membentuk tingkah laku sosial. Anak-anak dalam masa perkembangannya akan selalu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya
seperti keluarga, teman sebaya, dan sekolah yang semuanya mengambil peran penting untuk mengembangkan dunia sosial anak.
46 Erik Erickson Siswoyo, et al. 2013: 103 seorang ahli dalam bidang
psikologi anak, mengembangkan teori yang menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial dengan mengembangkan teori perkembangan psikososial
theory of Psychosocial Development. Berikut adalah tabel tahap-tahap perkembangan sosial menurut teori tersebut.
Tabel 3. Tahap Perkembangan Sosial Peserta Didik Menurut Erikson Umur
Tahun Fase
Perkembangan Perubahan Perilaku
0,0 – 1,0
Trust vs Mistrust Tahap
pertama adalah
tahap penngembangan
rasa percaya diri kepada orang lain.
2,0 – 3,0
Autonomy vs Shame
Anak pada tahap ini akan sangat terpengaruh oleh orang-
orang penting disekitarnya. 4,0
–5,0 Insiative vs Guilt
Anak pada masa ini akan banyak bertanya dalam segala
hal, mereka juga mengalami perkembangan ide sampai hal-
hal yang fantasi
6,0 – 11,0
Industry vs Inferiority
Anak-anak pada masa ini sudah
mampu mengerjakan
tugas sekolah dan termotivasi untuk belajar.
12,0 –
1820 Ego-identity vs
Role on Fusion Tahap ini manusia ingin
mencari identitas dirinya. Anak yang sudah beranjak menjadi
remaja mulai tampil memegang peranan sosial di masyarakat.
1819 - 30 Intimacy vs
Isolation Memasuki
tahap ini
manusia sudah
mulai siap
menjalin hubungan intim dengan orang lain.
30 - 60 Generativity vs
Stagantion Tahap ini ditandai dengan
munculnya rasa kepedulian yang tulus terhadap sesama yang
terjadi saat seseorang telah memasuki masa dewasa.
47 Berdasarkan tahap tersebut anak usia sekolah dasar berada pada tahap
Industry vs Inferiority yang mulai menyesuaikan dirinya terhadap kondisi disekitarnya dan sudah mampu belajar dan berada di dalam lingkungan akademik
formal seperti sekolah. Peserta didik pada tahap ini masih membutuhkan bantuan untuk memahami dan melakukan sesuatu dan menuntut untuk diperhatikan dan
diapresiasi tindakannya. Apabila peserta didik gagal dalam melewati tahap ini maka akan berkembang rasa inferiority pribadi yang tidak baik untuk digunakan
dalam nteraksi sosial. 6
Karakteristik Konsep Diri Anak Usia Sekolah Dasar Sejalan dengan perkembangan fisik, kognitif, dan kemampuan sosial, anak
usia sekolah dasar juga mengalami perubahan pandangan terhadap dirinya sendiri. Anak-anak mengalami penurunan dalam konsep diri karena perubahan tuntutan
yang dialaminya dalam tuntuan akademik semenjak anak masuk sekolah. Anak- anak mulai membandingkan dirinya dengan anak-anak lain di lingkungannya, hal
ini menyebabkan penilaian terhadap harga dirinya lebih realistis. Anak-anak pada masa sekolah dasar juga cenderung untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai,
dan menghindari hal-hal yang kurang mereka sukai. Hal ini memungkinkan anak untuk senantiasa meningkatkan kepercayaan dirinya dengan melakukan hal-hal
yang mereka kuasai. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh McDevitt dan Ormrod Desmita, 2012: 173 sebagai berikut.
Children routinely find themselves at the bottom of the heap must do some fancy footwork to keep their self esteem intact. Often, they focus on
perfomance areas in which they excel and doscount areas that give them trouble. Perhaps because they have s many domains and experiences to
consider as they look for strengths in their own performance, most children
48 maintain fairly high and stable self-esteem during the elementary school
year. Uraian tersebut menjelaskan bahwa apabila anak sudah menguasai suatu
bidang maka dia akan fokus pada bidang itu dan memberikan perhatian yang kurang kepada bidang-bidang lain. Hal ini yang menyebabkan anak akan
mempertahankan harga diri mereka dengan fokus terhadap bidang tersebut selama tahun-tahun sekolah dasar.
Robert Selman Desmita, 2012: 175 berpendapat bahwa pengambilan keputusan anak terdiri dari lima tahap yang berlangsung dari umur 3 tahun sampai
15 tahun. Melalui tahapan pengambilan keputusan anak tersebut dapat diidentifikasi bagaimana anak-anak memandang dirinya dan orang lain dalam
suatu prespektif seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut. Tabel 4. Tahap-Tahap Pengambilan Perspektif
Tahap Pengambilan Prespektif
Usia Deskripsi
Perspektif yang egosentris
3 – 6
Anak dapat menyebutkan perasaan
orang lain,tetapi
tidak melihat hubungan sebab dan akibat pemikiran dan
tindakan sosial
Pengambilan Perspektif sosial
internasional 6
– 8 Anak sadar bahwa orang lain
memiliki suatu
perpektif sosial yang didasarkan atas
pemikiran orang itu, yang mungkin sama atau berbeda
dengan pemikirannya.
Pengambilan keputusan diri
reflektif 8
– 10 Anak sadar bahwa setiap
orang sadar akan perspektif orang
lain dan
bahwa kesadaran ini memengaruhi
pandangan dirinya
dan pandangan orang lain.
Saling mengambil prespektif
10 - 12 Anak
remaja menyadari
bahwa baik
diri sendiri
49 maupun orang lain dapat
memandang satu sama lain secara timbal balik dan secara
serentak sebagai subjek.
Pengambilan perspektif sistem
sosial dan konvensional
12 – 15
Anak remaja
menyadari pengambilan
perspektif bersama
tidak selalu
menghasilkan pemahaman
yang sempurna. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa anak-anak usia 6 tahun
sudah mulai memahami perbedaan pandangannya dengan orang lain. Mereka telah mampu menghargai orang lain yang berbeda pandangan dengannya. Anak-
anak sudah mulai siap untuk memasuki dunia sosial sebaya untuk melanjutkan tugas perkembangannya.
7 Perkembangan Spiritualitas Anak Usia Sekolah Dasar
Muhammad Idrus Desmita, 2012: 281 menjelaskan bahwa anak usia 7 –
11 tahun sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak sudah mulai mampu untuk berpikir logis dan mengatur dunia dengan kategori-kategori baru.
Naratif dan cerita masih menjadi pokok dalam tahap ini karena anak lebih mudah memahami informasi yang disampaikan melalui naratif dan cerita. Sebagai anak
yang tengah berada dalam tahap pemikian operasional konkret, maka anak-anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan
interpretasi secara konkret. Seperti yang mempengaruhinya dalam konsep keagamaan. Menurut Desmita 2012: 281 pada awalnya anak akan memahami
Tuhan sebagai sebuah konsep konkret-anthropomorfis ang mempunyai perwujudan riil serta memiliki sifat-sifat pribadi seperti manusia. Namun, seiring
perkembangan kognitifnya, anak mulai mampu memahami Tuhan sebagai wujud
50 yang abstrak, seperti Tuhan itu satu, Tuhan itu amat dekat, Tuhan ada di mana-
mana, dan lain sebagainya. d. Pandangan Politik Siswa Sekolah Dasar
Sebagai pribadi yang berkembang tentu saja anak-anak juga mengalami perkembangan orientasi politik. Anak di masa perkembangannya dari berbagai
aspek perkembangan dalam dirinya akan terus berubah sampai akhir hidupnya. Pandangan politik orang dewasa tentu saja akan dipengaruhi oleh apa yang dia
dapatkan pada masa anak-anak. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Dawson, Prewitt, dan Dawson 1977: 49 bahwa the study of political
socialization makes similar assumptions: in childhood we find the roots of adult political life. Orientasi politik orang dewasa akan berakar pada masa anak-
anaknya. Pengalaman masa kecil anak-anak akan berpengaruh pada pandangannya di masa depan, berbagai macam input yang didapatkan oleh
seseorang pada masa anak-anak termasuk bagaimana ia mendapatkan sosialisasi politik dari orang luar akan mengarahkan pandangannya terhadap suatu hal yang
bersifat politis. Dawson, Prewitt, dan Dawson 1997: 50 membagi sikap politik manusia
periode Pra Dewasa menjadi tiga bagian sesuai dengan usianya yakni: 1 masa kanak-kanak awal early childhood yaitu usia lima sampai sembilan tahun, 2
masa kanak-kanak akhir late childhood yaitu usia sembilan sampai tiga belas tahun, dan 3 masa remaja adolescence yaitu usia tiga belas sampai delapan
belas tahun. Pengkategorian tersebut adalah klasifikasi kasar apabila dibandingkan dengan periodisasi usia manusia sebenarnya yang kompleks.
51 Berdasarkan kategoriasasi tersebut anak-anak usia sekolah dasar melewati dua
masa periodisasi yaitu: 1 masa kanak-kanak awal early childhood dan 2 masa kanak-kanak akhir late childhood yang dijelaskan sebagai berikut.
8 Masa Kanak-kanak Awal Early Childhood
Easton dan Hess Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1979: 50 berpendapat bahwa.
Every piece of evidence indicates that the child’s political world begins to take shape well before he even enters elementary school and that it
undergoes the most rapid change during these years.
Penjelasan dari pernyataan tersebut adalah bahwa dunia politik anak-anak sudah dimulai sejak ia belum masuk sekolah dasar dan kemudian berkembang
pesat setelah memasuki sekolah dasar. Sebelum masa pra sekolah anak-anak dengan bantuan keluarganya yang paling berpengaruh telah mampu mengetahui
simbol-simbil politik seperti bendera. Orientasi politik yang dimiliki oleh anak- anak pada usia ini seperti perasaan religius yang cenderung belum memiliki
pengetahuan kognitif. Pendekatan kepartaian atau partai politik juga sudah mulai dikenali anak-
anak mulai dari tahap usia ini. Mereka sudah mampu untuk menyebutkan nama- nama partai yang terkenal serta warna dan lambang politisnya. Pendekatan
kepartaian tersebut mereka dapatkan dari sosialisasi politik di sekitarnya baik dari keluarga, maupun media masa.
Anak-anak di masa ini juga sudah menyadari keberadaan kelas sosial, ras, dan agama yang dimilikinya. Kelas sosial diketahui oleh anak-anak melalui
perbedaan si miskin dan si kaya, dari sinilah anak-anak memulai untuk
52 membentuk kecenderungan lingkungan sosial mereka. Ras disadari anak-anak
melalui perbedaan warna kulit, cara berbicara, dan lain sebagainya, dan perbedaan agama diketahui anak melalui kecenderungan perilaku atau kegiatan-kegiatan
keagamaan yang dilakukan. Dasar dunia politik anak-anak sudah mulai terbentuk dan mereka sadar untuk membentuk kelompok sosial diantaranya.
Pendekatan politik anak-anak usia ini juga dilakukan melalui pengenalam wewenang dan tanggung jawab kekuasaan. Anak-anak mulai untuk memahami
tanggung jawab guru, kepala sekolah, satpam sekolah, dan lain sebagainya di lingkungan sekolah. Anak-anak juga sudah dikenalkan dengan wewenang dan
tanggung jawab presiden sebagai kepala negara, gubernur, wali kota, dan sebagainya.
9 Masa Kanak-kanak Akhir Late Childhood
Masa kanak-kanak akhir akan membawa orientasi politik anak-anak untuk lebih kepada pembentukan moral dan karakter dan membuat masa ini menjadi
tahap paling penting untuk membelajarkan politik kepada anak-anak seperti yang diungkapkan oleh Easton dan Hess Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 54.
During late childhood, between age nine and thirteen, political outlooks take on new character. Changes in politicak perceptions between the early
childhood perion and the end of late childhood are so great that for some scholars this is the most important period for political learning.
Anak-anak pada masa ini sudah mulai mengurai emosional dan ego sektoral mereka dan lebih menghargai keberadaan orang lain. Fokus terhadap diri
sendiri sudah mulai dapat dihindari sehingga anaak sudah mulai dapat berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan kedudukannya. Anak sudah mulai menyadari
53 bahwa harus terdapat berbedaan untuk berinteraksi terhadap teman sebaya, orang
tua, ataupun teman yang lebih muda. Ketika anak-anak pada usia lebih muda telah mampu mengidentifikasi tugas
dan wewenang presiden dan penjabat pemerintahan lainnya, anak-anak pada masa ini lebih mampu untuk memahaminya dengan akurat berdasarkan resiko atas
jabatan tersebut. Anak-anak pada masa anak-anak awal telah mampu untuk menyebutkan nama presiden, maka pada masa anak-anak akhir dia telah mampu
untuk mengidentifikasi fungsi dan resiko dari jabatan tersebut.
B. Kajian Penelitian yang Relevan