Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

97 Organisasikegiatan, upacara bendera dan latihan upacara bendera, pemutaran lagu-lagu nasional melalui pengeras suara, kegiatan pembelajaran di luar outing class, kegiatan Market Day dan media penyampai informasi seperti mading sekolah dan koperasi sekolah

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SD Masjid Syuhada benar menerapkan pendidikan politik baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Pendidikan dan segala proses yang terlibat dalam pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik, karena pada dasarnya praktek pendidikan itu sendiri juga dipengaruhi oleh kekuatan politik yang berkuasa. Hal tersebut dirasakan oleh kepala sekolah SDMS sebagai suatu tantangan yang harus dijawab dengan mulai mengedukasi siswa ke arah hal yang politis sejak usia sekolah dasar. Kepala sekolah dan guru berpendapat yang sama bahwa anak usia SD memang harus mendapatkan pendidikan politik sebagai pijakan awal dalam menentukan sikap politis. Pendidikan politik yang diajarkan untuk anak SD bukanlah ditujukan sebagai bentuk penerapan politik praktis, tetapi lebih ke arah pembentukan sikap dan karakter dari masing-masing individu peserta didik. Untuk mengembangkan pendidikan politik ini, selain pembelajaran di dalam kelas, SDMS juga 98 mempunyai berbagai macam program pengembangan kepribadian untuk mengembangkan karakter siswa di luar kelas. Penerapan pendidikan politik yang dilakukan oleh SDMS tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 53 bahwa “During late childhood, between age nine and thirteeen, political outlooks take on new character”. Karakter yang akan dimiliki oleh anak tersebut yang akan menjadi pijakan baginya untuk menentukan sikap partisipasi dalam hal politis ketika dia dewasa dan mempunyai kepribadian utuh sebagai warga masyarakat yang turut serta berkonstribusi terhadap pengambilan kebijakan. Pengetahuan dan keterampilan siswa yang diberikan melalui pendidikan politik akan memberikan kesadaran dan rasa tanggung jawab dari diri siswa sendiri terhadap lingkungan disekitarnya. Anak usia sekolah dasar akan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian sistemik dari lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap keadaan lingkungannya tersebut. Anak akan belajar bersikap, dan mencoba berbagai macam trial and error terhadap segala situasi yang dihadapi di lingkungannya untuk menemukan sikap yang benar terhadap suatu hal, dari sini sikap yang dipilih tersebut akan dikristalisasi oleh siswa tersebut menjadi bentuk karakter dan kepribadian. Bentuk karakter dan kepribadian ini selanjutnya akan berkonstribusi terhadap pembentukan kedewasaannya di kemudian hari yang kemudian akan menentukan sikap politisnya sebagai bentuk kesadaran dari menjadi bagian warga negara yang baik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan SDMS sebagai sekolah telah mengambil perannya sebagai salah satu agen sosialisasi politik. Seperti yang 99 diungkapkan oleh Thomas 2009: 17 “Schools are central settings in children’s live for learning about political power, participation and j ustice”. Sekolah memiliki izin formal dalam menyetting suasana belajar dan asupan materi pelajaran yang diterima oleh siswanya, oleh karena itu karakterisasi sikap politis siswa sangat bergantung dalam kegiatan-kegiatan dan materi pembelajaran yang didapatkan oleh siswa melalui sekolah. Sekolah akan membelajarkan siswanya untuk tahu mengenai kekuasaan politis, partisipasi politik, dan keadilan untuk sesama baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas, dan dari tingkat yang makro seperti sistem ketatanegaraan ataupun tingkat yang mikro seperti pengurus kelas. Pengetahuan mengenai kekuasaan politis akan didapatkan siswa salah satunya melalui Pendidikan Kewarganegaraan di dalam kelas. Siswa akan mendapatkan pengertian mengenai wewenang dan fungsi lembaga kenegaraan, sistem kenegaraan, dan ilmu tata negara lainnya. Hal yang demikian merupakan materi awal yang diterima siswa mengenai kekuasaan politis atas suatu negara, walaupun guru di lapangan mengeluhkan bahwa siswa akan sulit memahami materi-materi yang memuat bahasan berat fungsi lembaga negara. Siswa juga mendapat pengalaman untuk melatih keterampilan berpolitik melalui kepengurusan kelas, walaupun dalam hal ini peran guru masih terhitung besar dalam menentukan siapa yang akan menjadi ketua kelas dan siapa yang akan menempati posisi-posisi pengurus kelas lainnya. Hal ini dikarenakan guru sebagai orang tua di kelas tentu saja mengetahui karakteristik masing-masing siswanya, walaupun demikian guru di SDMS telah memberikan kesempatan bagi siswanya untuk memilih ketua kelas secara demokratis. Siswa juga akan belajar untuk 100 melakukan partisipasi sosial dan belajar bersikap adil dalam segala sesuatu melalui kegiatan-kegiatan pengembangan diri di luar kelas yang disediakan oleh sekolah. Kegiatan pengembangan diri tersebut dapat berupa kegiatan ekstrakulikuler ataupun kegiatan-kegiatan lain yang melatih jiwa politis siswa seperti kegiatan pembelajaran di luar, festival jajanan, kompetisi lomba dan lain sebagainya. SDMS yang merupakan salah satu sekolah swasta atau non negeri tetap membelajarkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kepada siswanya. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tersebut memang merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada peserta didik di lingkungan pendidikan formal. Kenyataannya di zaman sekarang telah banyak sekolah-sekolah swasta yang mulai mengganti mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan pelajaran-pelajaran lain yang dikemas lebih umum dan lebih mengarah kepada pembentukan karakter. Implementasi mata pelajaran Pendidikan Kewargenegaraan pun juga sesuai dengan apa yang tercantum dari kurikulum, sehingga asupan pengetahuan mengenai kewarganegaraan siswa di SDMS akan sama dengan siswa di sekolah negeri lainnya. SDMS juga mempunyai berbagai jenis kegiatan pengembangan diri diluar kelas sebagai salah satu bentuk usaha pendidikan politik dengan tujuan penanaman karakter kebangsaan, cinta tanah air, dan mengasah jiwa politis siswa. 1. Pendidikan Politik di Dalam Kelas Pendidikan politik yang diterapkan di kelas oleh SDMS diantaranya adalah proses belajar mengajar yang dilakukan sesuai dengan arahan kurikulum. 101 Kurikulum yang dipakai di SDMS merupakan kurikulum yang diadopsi dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. SDMS saat ini menerakap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dalam pembelajaran, walaupun pernah untuk menerapkan Kurikulum 2013. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan kepala sekolah, SDMS masih menggungakan KTSP, tetapi dalam penerapan pembelajarannya telah mengarah kepada pendekatan tematik integratif yang ada pada muatan Kurikulum 2013. Baik KTSP maupun Kurikulum 2013 keduanya memiliki muatan politis dalam proses pembelajarannya, pada KTSP muatan pendidikan politik dapat dilihat pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, ataupun mata pelajaran lain yang secara tersirat menyimpan muatan tersebut, sedangkan pada Kurikulum 2013 mata pelajaran dikemas secara tematik integratif akan selalu memuat pendidikan politik di setiap pembelajarannya. Kurikulum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik yang formal dan dalam penentuannya menjadi peranan kebijakan sekolah untuk menggunakannya atau tidak. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977:140 mengungkapkan “The curriculum is potentially one of the major instruments of political socialization.” Hal tersebut sejalan dengan praktek yang ditemui dalam keberlangsungan penelitian. KTSP sebagai kurikulum yang dipakai di SDMS secara tersurat memberlakukan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran lain yang memiliki muatan politis. Mata pelajaran yang diajarkan tersebut mengenalkan siswa terhadap karakter politis untuk mengarah kepada pengetahuan mengenai politik dan sikap karakter pada internalisasi norma dan perilaku. 102 Kurikulum menempati fungsi utama untuk menentukan porsi pendidikan politik yang diterima oleh siswa, melalui kurikulum akan tersaji pemetaan materi dan arahan skenario pembelajaran di dalam kelas, guru yang taat dan tidak banyak melakukan improvisasi pembelajaran akan mengadopsi kurikulum sebagai tungkai kemudi pembelajaran di kelas. Oleh karena itu kurikulum sangat vital perannya untuk memonitor kemampuan politis siswa yang dapat dilihat secara teoritis ataupun praktis. Kurikulum juga dapat digunakan sebagai alat pemerintah untuk mengatur keterlaksanaan pemerintahannya. Telah ada pada sejarah bangsa Indonesia bahwa terdapat pemerintahan dengan presiden terlama yaitu pada masa pemerintahan orde baru atau masa pemerintahan Presiden ke-2, Presiden Soeharto. Pada masa presiden Seoharto, pendidikan politik digunakan sebagai alat kekuasaan yang dimaksudkan untuk memberikan arahan-arahan materi untuk kepentingan negara. Kurikulum yang ada sekarang merupakan kurikulum yang telah disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak dalam belajar dan bertindak. Kurikulum juga mempunyai makna kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP yang dipakai oleh SDMS memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar merupakan tujuan yang akan dicapai guru melalui proses belajar mengajar. Pembelajaran anak sekolah dasar di kelas rendah akan lebih mengarah kepada pembentukan sikap yang lebih bersifat praktis, konten materi secara teori yang didapatkan oleh anak kelas rendah hanya sebatas pada nilai-nilai dan norma. 103 Pelaksanaan segala jenis proses belajar mengajar yang dilakukan di dalam kelas tidak dapat terlepas dalam pemberlakuan nilai dan norma yang tercermin pada setiap sikap yang ditunjukkan oleh aktor pembelajaran tersebut. Norma dan nilai yang ditunjukkan pada proses pembelajaran merupakan salah satu ritual pembelajaran atau kebiasaan yang dilakukan oleh siswa, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa guru memiliki andil yang besar dalam munculnya nilai dan norma dalam diri siswa. Peraturan kelas yang disepakati dan dipahami bersama akan membantu siswa untuk lebih taat dalam menerampakan nilai dan norma yang baik, selain peraturan tersebut, pendidikan yang didapatkan siswa di rumah juga akan sangat berpengaruh terhadap nilai dan norma yang sering ditunjukan siswa di dalam kelas. Beberapa contoh nilai dan norma yang ditunjukkan siswa ketika melakukan aktivitas di dalam kelas adalah kesopanan dan religius. Siswa akan bersalaman dengan hormat kepada orang yang lebih tua yang diumpainya di dalam kelas, kondisi lain pada permunculan nilai dan norma kesopanan adalah pada saat proses pembelajaran berlangsung. Siswa bersama guru turut serta menjaga ketertiban agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan kondusif. Siswa meminta izin kepada bapakibu guru apabila akan meninggalkan kelas untuk urusan apapun, hal tersebut sudah secara refleks akan terjadi, karena peraturan yang demikian sudah terinternalisasi pada diri peserta didik sejak mengenyam pendidikan formal di SDMS. Guru akan menegur apabila siswa tidak tertib dalam meninggalkan kelas, dan masuk kelas apabila tidak meminta izin terlebih dahulu. Siswa dan guru juga tetap menjaga nilai dan norma, beberapa contoh diantaranya adalah siswa antusias 104 mendengar penjelasan guru, mengangkat tangan ketika akan bertanya, dan dapat bekerja sama dengan teman selama proses pembelajaran berlangsung. Diantara nilai dan norma yang mendukung kondusivitas pembelajaran tersebut, masih terdapat beberapa perilaku siswa yang kurang mendukung berjalannya kondusivitas tersebut. Salah satu diantaranya adalah siswa yang gaduh di kelas, jalan-jalan, dan tidak mau diajak kerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan, namun, hal tersebut jarang terjadi dan masih di bawah penanganan. Pembiasaan pelaksanaan nilai dan norma tersebut merupakan bagian dari pendidikan politik dalam hal penanaman karakter positif kepada siswa. Hal ini merupakan salah satu bentuk pendidikan politik dalam definisi pendidikan politik yang dijelaskan oleh Surbakti 1992: 117 bahwa pendidikan politik dapat diartikan sebagai proses dialog antara pendidik, seperti pemerintah, sekolah, partai politik, dan peserta didik, dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol politik negaranya yang dianggap ideal dan baik. Pendidikan yang mengedepankan nilai dan norma yang baik akan membawa sebuah kedewasaan politis sebagai salah satu bekal untuk menentukan sikap partisipasi yang akan diambil secara bertahap ataupun secara spontan. Pembiasaan pelaksanaan nilai dan norma yang dilakukan secara berulang-ulang akan terinternalisasi ke dalam karakter diri seseorang yang kemudian akan menjadi dasar penentuan sikapnya di masa depan. Nilai dan norma yang baik akan sangat membantu siswa untuk menumbuhkan karakter baik. Penanaman nilai dan norma tersebut akan optimal apabila dilakukan sejak anak berada di bangku sekolah. Peran sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah 105 peran strategis dalam membentuk karakter dan pribadi siswa. SDMS sebagai sekolah swasta berbasis islam tentu saja akan mendidik peserta didiknya untuk mempunyai karakter yang islami termasuk nilai dan norma yang diajarkan dalam program pendidikannya. Hal tersebut tercermin pada nilai dan norma yang diterapkan pada pembelajaran, adab menghargai ilmu selalu ditekankan oleh guru dalam pembelajaran. Anak akan lebih taat dalam menerima perintah-perintah positif dari guru dan anak juga akan lebih taat kepada peraturan yang dibuat untuk kepentingan bersama. Nilai dan norma tersebut secara lebih kuat disematkan dalam bentuk tertulis melalui kurikulum yang digunakan oleh SDMS sehingga para pelaku pendidikan baik guru atau pun siswa akan selalu diingatkan pada ketercapaian pembelajaran sesuai dengan kurikulum. Bentuk lain dari pendidikan politik yang dapat dilakukan melalui pemberlakuan kurikulum tertentu adalah melalui penggunaan buku teks. SDMS menggunakan buku teks terbalu sesuai dengan kurikulum yang digunakan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan KTSP. Masing-masing anak memiliki buku teks wajib pada mata pelajaran yang diharuskan. Observasi penelitian menunjukkan bahwa pada saat pelajaran berlangsung, anak-anak selalu menggunakan buku teks sendiri-sendiri. Beberapa anak terlihat tidak membawa buku, bukan tidak punya tetapi karena alasan lain, dan temannya akan selalu berbagi buku kepunyaan kepada teman lain yang tidak membawa buku. Penggunaan buku teks sebagai media penyaluran pendidikan politik diungkapakan oleh Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 144 “Consiously or not, textbooks and other teaching materials justify and rationalize political 106 practices.”. Segala bentuk media atau materi yang digunakan dalam pembelajaran dapat menjadi alat untuk menyampaikan pendidikan politik, salah satu contohnya adalah buku teks pelajaran. Materi atau konten-konten yang terdapat dalam buku pelajaran harus menyesuaikan kurikulum yang berlaku. Konten yang terdapat dalam buku tersebut sudah diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kurikulum untuk tiap jenjang kelas. Pembuat konten tersebut adalah pemerintah melalui pihak-pihak yang berkewenangan, sehingga buku teks merupakan turunan dari kebijakan pemerintah untuk dikonsumsi oleh anak sekolah dasar. Peredaran dan izin penerbitan buku juga merupakan proses prosedur yang sudah ditentukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu. Hal yang demikian memungkinkan pemerintah untuk memberikan informasi atau pengetahuan yang menguntungkan pemerintah. Hal yang tidak dipungkiri adalah baik atau buruknya kualitas pendidikan suatu negara juga ditentukan oleh kekuasaan yang sedang berkuasa pada saat itu. Selain pada pembelajaran yang memuat nilai dan norma, pendidikan politik di kelas juga dilakukan dengan mengenalkan simbol-simbol politik negaranya yang dianggap ideal dan baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh SDMS yang memajang lambang negara, foto presiden dan wakil presiden, dan beberapa slogan kebhinekaan di setiap kelasnya. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 146 menjelaskan bahwa nilai poltik ditransferkan melalui kebiasaan yang dilakukan di dalam kelas. Kebiasaan tersebut diantaranya adalah hormat kepada bendera, menyanyikan lagu-lagu patriotis, menghormati pahlawan nasional dan momentum kebangsaan, dan dikenalkan dengan simbol-simbol kenegaraan seperti gambar 107 dan lain sebagainya. Masyarakat Indonesia di lingkungan formal akan selalu memajang foto presiden dan wakil presiden serta lambang negara di ruang-ruang resmi tak terkecuali di lingkungan pendidikan dalam berbagai jenjang. Hal ini termasuk pada pendidikan politik apabila dimaksudkan sebagai upaya bentuk pembelajaran dan penanam sikap politis yang terjadi di lingkungan pendidikan, dengan demikian peserta didik akan dengan mudah menghafal nama presiden mereka. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 54 mengungkapkan “Children in the lower grades know the name of the precident and mayor, but few know much about their roles and duties .” Pernyataan tersebut sesuai dengan data yang didapatkan oleh peneliti di lapangan. Siswa kelas I sekolah dasar telah dapat dengan mudah menyebutkan nama presiden mereka tetapi belum dapat mendeskripsikan tugasnya secara jelas. Siswa kelas VI dapat menyebutkan nama presiden dengan benar dan juga dapat pula menyebutkan kewenangannya sebagai presiden dengan tepat. Fenomena yang terjadi dilapangan tersebut adalah salah satu contoh nyata dari produk pendidikan politik yang dilaksanakan baik di lingkungan sekolah ataupun di lingkungan keluarga. Hal tersebut merupakan bentuk penghormatan dan hubungan paling nyata antara anak-anak dan sistem kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Hess dan Torney 1967: 58 bahwa “Young children relate to the President as they do figures they know personally, expressing strong emotional attachment to him and expecting protection from him”. Pernyataan tersebut bermakna bahwa anak-anak akan mengetahui sosok presiden secara personal dengan namanya, dan mempunyai presepsi bahwa presiden tersebut adalah sosok pelindung bagi mereka. Hal tersebut sesuai dengan 108 tahap perkembangan pengambilan prespektif menurut Robert Selman Desmita, 2012: 175, anak-anak usia 8 – 10 sadar bahwa orang lain memiliki suatu perpektif sosial yang didasarkan atas pemikiran orang itu, yang mungkin sama atau berbeda dengan pemikirannya, tetapi anak cenderung berfokus pada perspektifnya sendriri dan bukan mengkoordinasikan sudut pandang. Anak-anak Anak usia sekolah dasar memang belum mempunyai hak pilih secara resmi dan juga belum mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan hal tersebut, tetapi secara praktek sudah mampu untuk memihak. Anak usia sekolah dasar masih banyak dipengaruhi oeh opini yang ia dapatkan di lingkungan keluarga ataupun lingkungan sekolah. Prespektif anak-anak pada tahap ini akan cenderung mengarah kepada hal yang berfokus terhadap dirinya tanpa mempertimbangkan prespektif orang lain, walaupun anak tersebut paham bahwa orang lain mempunyai pandangan yang berbeda mengenai suatu hal. Anak-anak di sekolah dasar sudah mulai dikenalkan terhadap kepemimpinan kelas dimana terdapat struktur di dalam kelas yang akan memberikan kewenangan tertentu kepada seseorang yang masuk ke dalam struktur tersebut. Pemilihan pengurus kelas di kelas bawah akan cenderung lebih diarahkan oleh guru daripada pembentukan pengurus di kelas atas. Siswa kelas atas akan lebih sadar dalam memilih temannya yang memang berkemampuan untuk menjadi pengurus kelas. Siswa kelas bawah akan memandang temannya yang mendapat amanah sebagai teman yang yang harus dipatuhi perintahnya. Pembiasaan kepengurusan kelas ini akan membawa dampak positif terhadap perkembangan sosial ataupun keterampilan politis siswa, walaupun dampak 109 negatif juga bisa ditemui ketika hal ini tidak pendapatkan pendampingan yang baik dari guru. Siswa akan dikenalkan mengenai wewenang, kekuasaan, tanggung jawab, dan keadilan melalui kepengurusan kelas, walaupun siswa belum dikenalkan definisi mengenai hal tersebut, mereka akan merasakannya secara praktek langsung. Siswa yang dapat mengelolanya dengan baik akan mendapat citra positif dari teman-temannya, dimana dia akan lebih dipercaya dan disukai oleh teman-temannya, dengan demikian siswa akan memiliki pribadi positif dengan karakter luhur sebagai modal awal menentukan sikap politisnya pada kesempatan-kesempatan selanjutnya. Dampak negatif akan ditemui apabila siswa gagal dalam mengelola amanah yang dimiliki, tanpa arahan yang jelas atau input positif dari lingkungan rumah atau bimbingan dari guru, siswa dapat saja melakukan perbuatan negatif dengan kewenangan yang dipunyainya. Banyak ditemui dilapangan, bahwa siswa dalam kasus ini akan sewenang-wenang menyuruh temannya untuk melakukan hal yang dia inginkan dengan sikap intimidatif, siswa yang melakukan hal tersebut akan mendapat citra buruk dan cenderung tidak disukai oleh temannya. Dampak yang lebih besar lagi akan terjadi apabila karakter negatif ini terinternalisasi dalam diri siswa dan kembali terulang pada kesempatan pengambilan sikap politis selanjutnya. Pendidikan politik di kelas juga dapat dilaksanakan melalui pengelompokkan ketugasan belajar ataupun kelompok kegiatan dalam kelas lainnya seperti kelompok tugas piket. Hal tersebut juga terjadi di ruang kelas SDMS. Kelompok teman bermain atau peer group merupakan salah satu dariagen-agen sosialisasi politik Darmawan, 2015: 108. Agen-agen sosialisasi 110 politik tersebut adalah peranan yang membantu terbentuknya budaya politik seseorang. Kelompok ketugasan siswa akan memberikan kesempatan bagai siswa untuk bertanggung jawab mengenai tugasnya, misalnya dalam piket kelas. Jadwal piket kelas akan membagi siswa menjadi kelompok-kelompok yang bertugas untuk membersihkan kelas, dalam membersihkan kelas siswa akan berlatih untuk berbagai peran dan tanggung jawab dari sini juga siswa akan belajar mengenai kepercayaan dan memahami teman. Kelompok piket yang baik akan memaksimalkan semua anggotanya untuk turut serta melaksanakan tugas tanpa terkecuali, melalui lingkungan yang baik ini siswa akan secara optimal dapat belajar mengenai distribusi tanggung jawab yang akan memberikan dampak positif terhadap karakter siswa. Lingkungan pertemanan atau kelompok yang sulit diajak kerjasama akan berdampak negatif terhadap kepribadian siswa, tidak jarang akan memberikan trauma dalam pertemanan. Oleh karena itu, pengawalan dan bimbingan orang dewasa sangat diperlukan untuk kelangsungan target kerja kelompok ketugasan. Guru menempati peran sentral saat pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan pendidikan politik diantaranya melalui strategi yang digunakan dalam menyampaiakan suatu materi pelajaran, manajemen kendala belajar siswa dan penanganan masalah, serta manajemen dinamika perbedaan individu di kelas. Anak usia sekolah dasar akan bertemu dengan sosok guru sebagai role model utama penentuan sikap, perilaku, dan bahkan dalam hal pandangan politik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di lapangan, ditemukan bahwa guru memang memiliki pengaruh yang nyata terhadap orientasi politik 111 peserta didiknya. Guru mempunyai peranan untuk mengendalikan budaya belajar di kelas dengan demokratis ataupun dengan sistem hadiah dan hukuman. Guru kelas tentu saja sudah mempunyai banyak informasi mengenai karakteristik masing-masing siswanya, sehingga tidak jarang guru menggunakan otoritasnya dalam menentukan pembagian kelompok ataupun pemilihan ketua kelas. Sesuai yang diungkapkan oleh Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 149 bahwa “The teacher have an authority in the classroom and also have a position of general respects and trust in his or her community.” Guru memiliki posisi yang strategis dalam pencapaian keberhasilan pendidikan politik. Berbagai jenis input yang diterima siswa melalui guru sebagai orang utama penyalur pengetahuan siswa akan berpengaruh terhadap sikap-sikap karakter yang di munculkan siswa sebagai tanda keberhasilan belajarnya. Segala bentuk hal pengajaran yang diterima oleh siswa merupakan rekayasan dari guru. Guru yang terampil dalam menyampaikan mendidikan politik akan membuat siswanya lebih paham mengenai hal-hal politis di sekitarnya. Oleh karena itu kepahaman siswa, atau tingkat partisipasi siswa terhadap politik sangat ditentukan oleh keberhasilan pendidikan politik yang dilakukan oleh guru di kelas. Guru sekolah dasar berperan penting dalam memupuk rasa toleransi siswa. Lingkungan kelas yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda memerlukan rasa toleransi untuk mencapai situasi kelas yang kondusif dan harmonis. Penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi akan menambah wawasan siswa dan pengalaman belajarnya. Guru dapat memilih metode atau stategi pembelajaran yang sesuai atau yang pas dalam penyampaian materinya. 112 Setiap siswa tentu saja akan memiliki kendala belajar yang berbeda-beda atau kurang lebih sama, disini peran guru sangat berpengaruh untuk memanajemen dan membantu siswa agar dapat menyelesaikan kendala belajarnya tersebut. Perbedaan individu yang diakibatkan oleh perbedaan latar belakang ataupun faktor lain tentu saja tidak jarang akan menimbulkan konflik yang dialami siswa. Oleh karena itu timbul peran guru untuk dapat memberikan tawaran solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Pandangan guru terhadap pendidikan politik yang seharusnya diterima oleh siswa juga berpengaruh terhadap asupan pendidikan politik siswa. Pandangan ini dapat menjadi arah improvisasi guru dalam pembelajaran yang kemudian mengarah kepada opini-opini politis yang dikemukakan oleh guru karena dipandang perlu disampaikan oleh siswa. Guru di SDMS dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti mengungkapkan bahwa materi mengenai sistem kenegaraan terlalu sulit diterima oleh siswa, menurut guru pembelajaran yang harus diterima oleh siswa adalah mengenai nilai dan norma, yang mengarah kepada pembentukan karakter siswa. Secara garis besar guru dapat melakukan pendidikan politik selama proses pembelajaran dari awal sampai akhir, karena guru selalu mempunyai celah dan peran yang strategis dalam membentuk pengetahuan dan konsep diri siswa. Guru dapat melakukan pendidikan politik melalui ceramah ataupun pandangan opini yang bersifat politis. Mengingat betapa vitalnya peran guru sebagai penyampai pendidikan politik, guru harus berhati-hati dalam mengelola pembelajaran agar asupan materi yang disampaikan layak diterima oleh siswa. Guru harus meningkatkan kapasitas dan senantiasa up to date agar dapat menyampaikan informasi yang akurat kepada siswa, dengan peran guru 113 yang optimal dalam pendidikan politik, maka akan menjadikan siswa lebih paham terhadap keilmuanyya dan dapat menunaikan tugas belajar dan tugas perkembangan pada usianya yang akan berdampak pada pembentukan karakter sebagai dasar utama bagi siswa untuk dapat menentukan sikap politis di kesempatan selanjutnya. 2. Pendidikan Politik di Luar Kelas SD Masjid Syuhada memiliki berbagai sarana untuk menerapkan pendidikan politik di luar kelas. Letak geografis SDMS yang tepat dijantung kota Yogyakarta menyebabkan banyak warga masyarakat yang bekerja di kota Yogyakarta baik di sektor publik atau privat menyekolahkan anak mereka di SDMS. Hal tersebut menyebabkan domisili siswa di SDMS berasal dari luar kota dengan jarak yang jauh dari sekolah. Kepala sekolah SDMS juga menjelaskan bahwa memang hanya sedikit sekali siswa dari lingkungan sekitar yang menempuh pendidikan di SDMS. Jarak rumah yang jauh ini menyebabkan perbedaan latar belakang dan kondisi sosial budaya dari setiap siswa, kondisi ini membentuk lingkungan multikultural yang dapat memberikan siswa sarana pendidikan politik. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi multikultural yang ada di SDMS baik dari sisi latar belakang siswa ataupun perbedaan sosial komponen sekolah lain berlangsung kondusif. Kondusivitas tersebut ditunjukan dengan terjalinnya hubungan antar komponen yang terjalin dengan baik tanpa terdapat kesenjangan sosial yang berarti. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 159 mengungkapkan bahwa ketika anak memasuki dunia sekolah, ia akan bertemu 114 dengan berbagai macam keberagaman teman dan pihak-pihak yang mempunyai kewenangan tertentu seperti guru, kepala sekolah, ataupun satpam sekolah. Interaksi yang dilakukan siswa dengan mereka akan membelajarkan siswa untuk memecahkan masalah bersama, melaksanakan hak dan kewajibaan masing- masing, dan berkemungkinan untuk menjalin kerja sama ataupun berkonflik. Hubungan harmonis yang terjalin antar komponen sekolah menunjukkan adanya timbal balik positif antar komponen yang berinteraksi. Sikap saling menghargai dan menjalani aktivitas sesuai dengan perannya masing-masing adalah sebuah hal yang diterapkan untuk mewujudkan keharmonisan tersebut. Siswa yang dihadapkan dengan kondisi lingkungan yang multikultural akan lebih terlatih dalam toleransi dan pengertian terhadap lingkungan. Lingkungan sekolah yang multikultural merupakan miniatur dari keberagaman bangsa Indonesia. Oleh karena itu lingkungan multikultural sekolah yang harmonis akan membelajarkan siswa untuk bersikap dan mempersiapkan diri untuk menghadapi lingkungan multikutural di tataran kenegaraan di kehidupan selanjutnya. Kecenderungan siswa dalam berkelompok atau memilih teman juga tidak mempermasalahkan latar belakang ataupun perbedaan sosialnya. Siswa akan berkelompok atau berteman dengan teman yang dia sukai dan memiliki kesukaan ataupun aktivitas yang sama. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 159 mengungkapkan bahwa “A person’s contacts with other individuals affect his or her way viewing the social an political world.”. Lingkungan multikultural mengajarkan seseorang untuk dapat berinteraksi dengan orang lain dengan adil dan baik. Kecenderungan seorang untuk membentuk kelompok sosial memang 115 pasti terjadi, tak terkecuali pada anak usia SD. Siswa SD akan lebih senang berkelompok dan bermain dengan teman yang disenanginya atau dengan teman yang memiliki kesukaan yang sama. Hal yang ditemukan di lapangan oleh penulis adalah bagi anak usia SD perbedaan status sosial tidaklah berpengaruh terhadap kecenderungan pertemanan mereka. Anak SD akan berteman dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang sosial budaya mereka, ketika terdapat konflik mereka mudah sekali untuk berekonsiliasi kemudian kembali bermain bersama. Hal yang demikian jarang terjadi ketika mereka beranjak dewasa, konflik yang muncul akibat kesadaran akan perbedaan tidak dapat dihindari. Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti dari wawancara non struktural kepada siswa kelas VI, sudah mulai terjadi mengkotak-kotakan sosial dan kelompok bullying walaupun masih dalam taraf wajar. Kejadian tersebut menjadi sebuah indikasi bahwa kesadaran akan perbedaan di usia yang semakin dewasa akan berimplikasi kepada konflik sosial, antisipasi tahap awal yang dapat dilakukan adalah melakukan edukasi dan pemahaman akan perbedaan, sikap toleransi, saling menghargai, dan kesadaran untuk berbagi. Usaha-usaha tersebut dapat dilakukan sejak dini oleh berbagai kalangan yang berinteraksi dengan peserta didik baik di lingkungan formal maupun non formal. Terdapat banyak pembelajaran luar kelas yang menjadi wadah bagi siswa SDMS untuk pengembangan sikap politisnya. SDMS memiliki kurang lebih 12 kegiatan ekstrakulikuler yang dapat diikuti oleh siswa baik yang bersifat wajib ataupun yang tidak bersifat wajib. Ekstrakulikuler yang wajib diikuti oleh siswa diantaranya adalah kegiatan ekstrakulikuler pramuka untuk semua kelas, 116 ekstrakulikuler PKS untuk kelas IV, dan kegiatan dokter kecil untuk kelas V. Kegiatan ekstrakulikuler yang dapat dipilih oleh siswa diantaranya adalah futsal, pencak silat, karate, musik, hadroh, MTQ, renang, dan tari. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 161 mengungkapkan bahwa “The extraculicular activity was given an important position in the philosophy of the democratic school. Participation would give him insight and awareness onto social processes”. Hal tersebut menjelaskan bahwa kegiatan ekstrakulikuler dapat membelajarkan seseorang mengenai kepekaan sosial, melalui rasa tersebut seseorang dapat membangun jiwa toleransi dan kesalehan sosial. Guru di SDMS juga tidak lepas dari peran untuk membelajarkan peserta didiknya tentang rasa toleransi dengan prakteknya. Lingkungan praktek tersebut secara lebih nyata dapat ditemukan di dalam kegiatan luar kelas seperti kegiatan ekstrakulikuler dari pada kegiatan dalam kelas yang lebih berorientasi kepada pembelajaran yang teoritis. Ekstrakulikuler yang bersifat wajib adalah ekstrakulikuler PKS untuk kelas IV dan dokter kecil untuk kelas V. Keberadan ekstrakulikuler PKS berawal dari permasalahan lalulintas keberangkatan siswa saat pagi hari. Kepala sekolah mempunyai gagasan untuk membelajarkan siswa mengenai keberanian, tanggung jawab dan membantu satpam dalam mengatur lalu lintas keberangkatan di pagi hari. PKS merupakan ekstrakulikuler yang wajib diikuti oleh semua siswa kelas IV, setiap siswa akan mempunyai jadwal jaga setiap satu bulan sekali. Siswa dikelompokkan bersama siswa dari kelas lain, dengan ini siswa memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan siswa kelas lain, sehingga mereka dapat semakin luas membuat jaringan pertemanan. Sebelum terjun kelapangan siswa 117 mendapat latihan dari polisi setempat baik Polda ataupun Polsek, kemudian siswa dilantik bersama di stadion Mandala Krida, di semesters selanjutnya siswa kelas IV akan mendapatkan materi penguatan sehingga lebih paham dalam melaksanakan tugasnya. Selama penelitian berlangsung peneliti belum pernah menemui suatu hari dimana semua petugas PKS yang berjaga di hari itu datang semua untuk bertugas. Hal tersebut dikarenakan anak-anak mempunyai semangat yang berubah-ubah, hal ini mendapat pemakluman dari sekolah sehingga tidak mendapatkan sanksi yang berarti, tetapi akan menjadi pertimbangan nilai akhir untuk kegiatan ekstrakulikuler PKS. Berbeda dengan PKS, dokter kecil sebagai kegiatan ekstrakulikuler wajib di kelas V, tidak diikuti oleh semua murid pada jenjang kelas tersebut. Dokter kecil mempunyai mekanisme seleksi yaitu pada awal semester, semua siswa kelas V akan melalui tes dokter kecil dimana siswa yang mempunyai nilai 50 terbaik akan direkrut menjadi dokter kecil yang selanjutnya akan mendapat jadwal jaga pada hari-hari tertentu. Implikasi keberadaan PKS dan dokter kecil sangat bermanfaat terhadap perkembangan belajar siswa. Siswa yang dapat menjalankan tugas dengan baik akan mempunyai rasa kepuasan yang akan membuatnya ingin untuk melakukan lebih baik lagi. PKS akan mengajarkan siswa untuk dapat bertahan dan berani melayani teman dan membantunya menyeberang jalan, tanpa pandang bulu perbedaan terhadap temannya tersebut. Dokter kecil akan mengajarkan siswa mengenai tanggung jawab untuk merawat teman yang sakit. Siswa yang menjadi dokter kecil akan lebih peka terhadap temannya yang sakit daripada siswa yang tidak menjadi dokter kecil, dari sini siswa akan belajar untuk menumbuhkan sifat kesalehan 118 sosial yang kemudian akan memperkokoh bangunan karakternya untuk dapat menentukan sikap politis pada kesempatan-kesempatan selanjutnya. Salah satu bentuk sosialisasi politik secara langsung Cholisin 2000: 6.7- 6.8 adalah apprenticeship atau magang untuk aktivitas politik, salah satu kegiatan yang termasuk dalam hal ini adalah Pramuka sebagai aktivitas yang dapat membentuk pribadi. Pramuka merupakan kegiatan kepanduan yang diterapkan dalam satuan pendidikan di semua jenjang di Indonesia. Teknis penerapan dan manajemen kegiatan tersebut diserahkan kepada kebijakan masing-masing satuan pendidikan. SDMS mengemas kegiatan Pramuka menjadi ekstrakulikuler wajib yang diikuti oleh seluruh jenjang kelas. Materi dan kegiatan yang diajarkan disesuaikan dengan tingkat kemampuan belajar masing-masing jenjang kelas. Kegiatan Pramuka mengajarkan siswa untuk berorganisasi dalam kelompok yang disebut dengan barung. Berdasarkan temuan penulis dilapangan, ketua barung dipilih karena dia yang paling aktif, tidak jarang di luar kegiatan pramuka seorang ketua barung disegani oleh teman-temannya, hal ini terjadi di kelas III. SDMS juga memiliki kegiatan disamping kegiatan ekstrakulikuler sebagai wadah bagi siswa untuk mengembangkan jiwa politiknya. Beberapa dari kegiatan tersebut adalah outing class, dan market day. Outing class adalah kegiatan pembelajaran di luar kelas dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu dengan maksud edukatif. Selama waktu penelitian, terdapat dua kelas yang melaksanakan kegiatan pembelajaran di luar yaitu kelas III dan kelas IV. Kelas III mengunjungi Bumi Merapi sedangkan kelas IV mengunjungi BMKG. Kegiatan market day memberikan kesempatan bagi anak-anak di semua kelas untuk berkelompok dan 119 menentukan barang apa yang akan dijual. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melatih kemandirian finansial siswa dan memupuk jiwa kewirausahaan. Kedua jenis kegiatan tersebut baik outing class dan market day adalah kesempatan yang sangat potensial bagi siswa untuk berlatih berdemokrasi. Dawson, Prewit, dan Dawson 1977: 161 mengungkapkan bahwa kegiatan berbasis sekolah terutama yang diselenggarakan dan berhubungan langsung dengan sekolah akan melatih siswa untu melakukan parsipasi sosial dan membelajarkan mereka untuk melakukan nilai dan norma kultural yang terdapat pada kegiatan tersebut. Kegiatan outing class akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk dapat berpartisipasi di lingkungan sosialnya secara lebih intens, karena dalam mengadakan perjalanan bersama akan timbul rasa saling memiliki dan rasa saling menjaga keselamatan satu sama lain. Beberapa siswa yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik akan terlihat menonjol untuk mengatur dan memastikan setiap temannya mendapatkan perlakuan yang adil. Hal ini dapat menjadi sarana atau kesempatan guru untuk mengenal peserta didiknya lebih dalam lagi, sehingga dapat menentukan pemberian perlakuan yang tepat sesuai kebutuhan dan karakter siswanya masing-masing. Begitu juga dengan kegiatan market day yang sangat bermanfaat untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan siswa. Guru di setiap kelas membagi peserta didiknya menjadi tiga kelompok besar dan memilih seorang ketua kelompok, melalui kelompok ini siswa akan latihan berdemokrasi dalam menentukan masakan atau barang apa yang akan mereka jual saat kegiatan market day berlangsung. Penyajian yang bagus dan kerjasama kelompok yang kondusif mencerminkan keberhasilan proses politis dalam menentukan arah gerak 120 kelompok yang beberapa diantaranya terjadi melalui penentuan hal yang akan diperjualkan dan pembagian tugas dalam mengelola kelompok tersebut. Pendidikan politik di luar kelas selain mengajarkan toleransi dalam lingkungan multikultural ataupun melalui kegiatan ekstrakulikuler dan kegiatan sekolah lainnya, juga dilaksanakan melalui upacara bendera dan pemutaran lagu- lagu kebangsaan melalui pengeras suara sekolah. Upacara merupakan kegiatan yang wajib dilakukan di semua jenjang sekolah, dalam kegiatan ini siswa akan belajar bagaimana cara menghormati bendera merah putih, menghafal pancasila, UUD 1945, dan berbagai atribut upacara lainnya. Pendidikan politik secara eksplisit dapat terlihat dalam proses pelaksanaan upacara. Lagu-lagu kebangsaan yang juga dinyanyikan dalam upacara juga menjadi lagu yang tidak jarang diputarkan oleh pengeras suara sekolah sebagai tanda pergantian mata pelajaran. Lagu-lagu ini walaupun dipandang normal dan lazim diperdengarkan memuat pesan moral sebagai bentuk dan usaha untuk memupuk rasa cinta tanah air yang tidak lain merupakan salah satu proses pendidikan politik. Koperasi sekolah juga hadir sebagai sektor pendukung pendidikan politik. Koperasi sekolah menyediakan berbagai macam buku-buku yang memuat materi dan informasi kenegaraan seperti Undang – Undang Dasar, pengetahuan umum ke Indonesiaan ataupun cerita rakyat tanah air yang semuanya itu akan menambah pengetahuan siswa dan menjadi referensi tambahan bagi siswa untuk menentukan sikap politis pada kesempatan selanjutnya. 121

C. Keterbatasan Penelitian