PENDIDIKAN POLITIK DI SD MASJID SYUHADA YOGYAKARTA.

(1)

i

PENDIDIKAN POLITIK DI SD MASJID SYUHADA YOGYAKARTA

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh: Wilis Putri Hapsari NIM 13108241072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

PENDIDIKAN POLITIK DI SD MASJID SYUHADA YOGYAKARTA

Oleh: Wilis Putri Hapsari NIM 13108241072

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan politik di Sekolah Dasar Masjid Syuhada Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di SD Masjid Syuhada Jalan I Dewa Nyoman Oka Nomor 11 A Yogyakarta dengan subjek penelitian perwakilan siswa kelas I sampai kelas VI, guru kelas III dan kelas IV, serta kepala sekolah. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SD Masjid Syuhada menerapkan pendidikan politik di dalam kelas dan di luar kelas. Pendidikan politik yang dilakukan di dalam kelas adalah melalui: a) kurikulum yang diterapkan dalam pembelajaran tercermin pada beberapa mata pelajaran mempunyai muatan politik, nilai dan norma serta buku teks, b) kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan di dalam kelas seperti peraturan kelas, pembentukan pengurus kelas, dan jadwal piket, dan c) peranan guru dalam pembelajaran melalui strategi yang digunakan, manajemen kendala siswa, dan manajemen perbedaan latar belakang. Pendidikan politik yang dilakukan di luar kelas adalah melalui: a) pengkondisian keadaan multikultural komponen sekolah agar kondusif dan kecenderungan kelompok siswa dan b) kegiatan pengembangan diri yang diadakan oleh sekolah untuk melatih sikap politis siswa seperti kegiatan ekstrakulikuler dan kegiatan-kegiatan sekolah di luar kelas.


(3)

iii

POLITICAL EDUCATION IN SD NEGERI MASJID SYUHADA YOGYAKARTA

By:

Wilis Putri Hapsari NIM 13108241072

ABSTRACT

This research is aimed to describe how political education in SD Masjid Syuhada Yogyakarta be held.

This reasearch is belong to qualitative research. This research took place in SD Masjid Syuhada on I Dewa Nyoman Oka street number 11 A Yogyakarta and took representative students of grade I up to grade II, teacher who teach in class III and class IV, and also the head master as the research subject. The data of this research is collected by observation, interview, and doucumentary study. The data analyzation proccess was data reduction, data display, and data conclusion.The data was validate by using sources triangulation and techniques triangulation.

The result of this reseacrh showed that SD Masjid Syuhada held political education inside the clasroom and outside the classroom. Political education that held inside the classroom is conducted by: a) curruculum that use in the learning proccess that will affect political content in some subjects, learning values and norms, and text books that used by the students. b) classroom rituals such as class rules, class organization, and cleanliness duty schedule, and c) teacher role in the learning proccess such as in the teaching strategy that used, how the teacher manage student obsctacle on learning proccess, and how the teacher managet the students background differences. Political education that held outside the classroom is held by: a) multicultural training such as conducting a condusive condiition among multicultural environment in school and students friendship tendency, and b) school development activities to train students political attitude such as extraculicular activities and other school activities outside the classrom.


(4)

iv

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Wilis Putri Hapsari NIM : 13108241072

Program Studi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Judul TAS : Pendidikan Politik di SD Masjid Syuhada Yogyakarta Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tiak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Yogyakarta, 6 Juni 2017 Yang menyatakan,

Wilis Putri Hapsari NIM 13108241072


(5)

v

LEMBAR PERSETUJUAN Tugas Akhir Sripsi dengan Judul

PENDIDIKAN POLITIK DI SD MASJID SYUHADA YOGYAKARTA Disusun oleh:

Wilis Putri Hapsari NIM 13108241072

Telah memenuhi syarat dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk dilaksanakan Ujian Akhir Tugas Akhir Skripsi bagi yang

bersangkutan.

Yogyakarta, 6 Juni 2017

Mengetahui, Disetujui,

Ketua Program Studi Dosen Pembimbing

Drs. Suparlan, M.Pd.I. Fathurrohman, M.Pd.


(6)

vi

HALAMAN PENGESAHAN Tugas Akhir Skripsi

PENDIDIKAN POLITIK DI SD MASJID SYUHADA YOGYAKARTA

Disusun oleh: Wilis Putri Hapsari NIM 13108241072

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Tugas Akhir Skripsi Program Studi Pendidikan Guru Skolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Yogyakarta Pada tanggal TIM PENGUJI

Nama/Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Fathurrohman, M.Pd./Ketua Penguji ... ... Drs. Sigit Dwi K, M.Si./Sekretaris Penguji ... ... Dr. Arif Rohman, M.Si./Penguji Utama ... ...

Yogyakarta,...

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd. NIP. 1960092 198702100 1


(7)

vii

HALAMAN MOTTO

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan

tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan fu-ad, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”


(8)

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT dan dengan mengucap syukur alhamdulillah serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, skripsi ini peneliti persembahkan kepada:

1. Ibu Sugeng Haryati dan Bapak Ruwanto 2. Agama, Nusa dan Bangsa


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin. Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Pendidikan Politik di SD Masjid Syuhada” dengan baik dan lancar.

Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan proposal skripsi.

3. Wakil Dekan I Fakultas Imu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

4. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin penelitian. 5. Bapak Fathurrohman, M. Pd., selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas segala

motivasi, nasihat, bimbingan dan dukungan yang membangun.

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang berharga.

7. Keluarga SD Masjid Syuhada yang telah bersedia menjadi tempat penelitian. 8. Ibuk dan Bapak yang telah memberikan segala jenis keperluan yang tak


(10)

x

doa, motivasi serta semangat yang tak henti-hentinya diberikan selama proses pengerjaan tugas akhir skripsi ini dan seterusnya.

9. Keluarga besar PPMi Rabingah Prawoto yang telah menjadi saksi perjuangan pengerjaan tugas akhir skripsi ini.

10.Saudara-saudaraku yang pernah ditemukan dalam satu medan perjuangan, teman ORMAWA FIP UNY dan UNY semua generasi, serta teman-teman PGSD 2013, terima kasih atas pembelajaran yang luar biasa hebat. 11.Seluruh pihak yang terlibat dalam membantu penulisan dan penyusunan tugas

akhir ini.

Semoga segala bantuan, dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal yang dapat diterima dan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga proposal ini menjadi langkah awal dalam pelaksanaan penelitian yang baik dan memberikan hasi penelitian yang bermanfaat.

Yogyakarta, 6 Juni 2017 Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

SURAT PERNYATAAN... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...7

C. Fokus Masalah ...7

D. Rumusan Masalah ...7

E. Tujuan Penelitian ...7

F. Manfaat Penelitian ...8

BAB II LANDASAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka ...10

1. Pendidikan Politik ...10

a. Pengertian.Pendidikan Politik ...101

b. Tujuan Pendidikan Politik ...106

c. Sosialisasi Politik dan Agen Pendidikan Politik ...20

d. Pendidikan Politik di Sekolah ...28 Halaman


(12)

xii

2. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar ...35

a. Pengertian.Peserta Didik ...35

b. Tugas – Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Dasar ...38

c. Perkembangan Siswa Sekolah Dasar ...40

d. Pandangan Politik Siswa Sekolah Dasar ...52

B. Kajian Penelitian yang Relevan ...53

C. Pertanyaan Penelitian ...56

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...57

B. Setting Penelitian ...58

C. Sumber Data ...58

D. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data ...59

E. Keabsahan Data ...63

F. Analisis Data ...64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian ...68

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ...68

2. Hasil Penelitian...70

B. Pembahasan ...97

1. Pendidikan Politik di Dalam Kelas ...100

2. Pendidikan Politik di Luar Kelas...113

C. Keterbatasan Penelitian ...121

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ...122

B. Saran... ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 125


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahap Perkembangan Peserta Didik Menurut Jean Piaget ... 41

Tabel 2. Tahap Perkembangan Moral Peserta Didik Menurut Jean Piaget... 44

Tabel 3. Tahap Perkembangan Sosial Peserta Didik Menurut Erik Erikson ... 46

Tabel 4. Tahap – Tahap Pengambilan Perspektif ... 48

Tabel 5. Kisi – Kisi Observasi ... 61

Tabel 6. Kisi – Kisi Wawancara ... 62

Tabel 7. Pendidikan Politik di SD Masjid Syuhada di Dalam Kelas ... 86

Tabel 8. Pendidikan Politik di SD Masjid Syuhada di Luar Kelas ... 96 Halaman


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Triangulasi Sumber...64

Gambar 2. Triangulasi Teknik ...64

Gambar 3. Komponen dalam Analisis Data...67

Gambar 4. Latihan Upacara Bendera Hari Senin...72

Gambar 5. Buku Teks Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ...74

Gambar 6. Peraturan dan Sanksi SD Masjid Syuhada ...76

Gambar 7. Struktur Organisasi Pengurus Kelas ...77

Gambar 8. Pembagian Jadwal Piket...79

Gambar 9. Atribut Kenegaraan di Kelas III C SDMS ...80

Gambar 10. Guru Mengajarkan Engklek Sebagai Metode Pembelajaran ...86

Gambar 11. Siswa Bermain dengan Temannya ...90

Gambar 12. Petugas PKS sedang Bertugas ...92

Gambar 13. Pemberangkatan Pesta Siaga ke Goa Selarong ...93

Gambar 14 Persiapan Keberangkatan Outing Class Siswa Kelas III...94

Gambar 15. Kegiatan Market Day ...95 Halaman


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Observasi di Dalam Kelas...129

Lampiran 2. Pedoman Observasi di Luar Kelas...131

Lampiran 3. Kisi-Kisi Wawancara...133

Lampiran 4. Pedoman Wawancara Siswa...134

Lampiran 5. Pedoman Wawancara Guru...136

Lampiran 6. Pedoman Wawancara Kepala Sekolah...137

Lampiran 7. Pedoman Dokumentasi...138

Lampiran 8. Hasil Observasi di Dalam Kelas...139

Lampiran 9. Hasil Observasi di Luar Kelas...144

Lampiran 10. Hasil Reduksi Data, Display Data, dan Penarikan Kesimpulan Observasi di Dalam Kelas ...178

Lampiran 11. Hasil Reduksi Data, Display Data, dan Penarikan Kesimpulan Observasi di Luar Kelas...183

Lampiran 12. Transkrip Wawancara Siswa...203

Lampiran 13. Hasil Reduksi Data, Display Data, dan Penarikan Kesimpulan Wawancara Siswa...215

Lampiran 14. Hasil Reduksi Data, Display Data, dan Penarikan Kesimpulan Wawancara Guru...225

Lampiran 15. Hasil Reduksi Data, Display Data, dan Penarikan Kesimpulan Wawancara Kepala Sekolah...231

Lampiran 16. Hasil Dokumentasi...237

Lampiran 17. Triangulasi Data...240

Lampiran 18. Catatan Lapangan ...248

Lampiran 19. Dokumentasi Foto...265

Lampiran 20. Dokumentasi Pendukung...272

Lampiran 21. Surat-Surat Penelitian...273 Halaman


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan investasi utama yang harus di kembangkan seiring dengan pembangunan yang berjalan dari waktu ke waktu. Pendidikan adalah segala situasi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup (Kadir, et al; 2012: 59). Setiap hal yang terjadi dalam proses pendidikan akan mempengaruhi produk dari pendidikan seperti cara pandang, gaya hidup, kemampuan menyelesaikan masalah dan pengetahuan serta keterampilan hidup lainnya. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional, berbagai elemen pendidikan harus senantiasa mengembangkan kapasitas dan profesionalitasnya sesuai dengan tuntutan zaman.

Interaksi yang baik antara pelaku pendidik dan pelaku terdidik, dalam hal ini adalah guru dan siswa akan menjadi hubungan fungsional untuk mencapai tujuan tertentu. Setiap perkembangannya pendidikan tidak boleh melupakan kebutuhan setiap komponen dalam pendidikan salah satunya adalah peserta didik.

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan (Siswoyo, et al. 2007: 92). Sepanjang


(17)

2

rentang kehidupannya, semenjak dari masa kehamilan sampai meninggal manusia selalu mengalami perubahan baik perubahan dalam bentuk fisik ataupun kemampuan mental psikologis (Poerwanti dan Widodo, 2005: 26). Perkembangan manusia dari masa sebelumnya akan selalu berpengaruh terhadap masa sesudahnya. Anak-anak di sekolah dasar rata-rata mempunyai rentang usia dari 7 sampai 13 tahun dimana seseorang di usia tersebut akan mengalami masa kanak-kanak akhir atau disebut masa bermain (Poerwanti dan Widodo, 2005: 44). Pada masa tersebut manusia akan mengalami belajar yang mencapai kemerdekaan, kebebasan pribadi dan bertanggungjawab.

Peserta didik usia Sekolah Dasar berada dalam tahap pengambilan keputusan diri secara reflektif dari lingkungannya, diperlukan lingkungan yang baik untuk dapat terjadi timbal balik positif dalam diri anak tersebut (Desmita, 2012: 39), pada masa inilah seseorang akan mengalami membentukan karakter yang mendasar. Sekolah sebagai salah satu bentuk lingkungan yang diprogramkan untuk menjadi wadah dari proses pendidikan memegang peranan penting dalam memberikan pengalaman belajar kepada peserta didiknya. Sekolah dalam memberikan pengalaman belajar tidak dapat terlepas dari peranan pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan sinergisitas dari semua aspek komponen sekolah itu sendiri. Sekolah sebagai bentuk pelaksanaan pendidikan pada suatu masa tidak dapat lepas dari kebijakan politik pemerintah pada saat itu.

Politik menurut Budiarjo (2008: 15) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Salah


(18)

3

satu entitas yang sangat erat kaitannya dengan politik adalah negara, dimana akan melibatkan konsep-konsep meliputi kekuasaan, pemerintahan, pengaruh, wewenang, negara, pemerintah, rezim, kebijakan, konflik, dan kepentingan (Darmawan, 2015: 21-47) yang akan turut andil dalam keterlakanaan praktek politik dalam suatu negara tidak terkecuali pada sistem pendidikannya.

Kehidupan sekolah sebagai laboratorium manusia saat ini merupakan salah satu media utama untuk melaksanakan sosialisasi politik. Sekolah sebagai salah satu agen sosialisasi politik mempunyai peranan penting untuk mensosialisasikan ideologi dan dasar negara yang dapat disampaikan langsung dalam proses belajar mengajar di kelas (Darmawan, 2015: 109). Sekolah sejalan peranannya sebagai agen sosialisasi politik tentu saja juga melakukan upaya edukasi politik yang disebut dengan pendidikan politik. Pendidikan politik oleh Edgar Fore (Ustman, 2000: 81) didefinisikan sebagai penyiapan generasi untuk berpikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-pilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam lembaga-lembaga atau berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut. Pendidikan politik juga harus dimulai dari tingkat pendidikan sekolah dasar untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai sistem ketatanegaraan dan peranan seseorang dalam fungsionalis ilmu politik melalui praktek kehidupan. Perkembangan sikap politik di peserta didik sangat ditentukan oleh sekolah tempatnya belajar. Kehidupan peserta didik di tingkat sekolah dasar yang mengalami berbagai dinamika dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya akan membawa pengaruh pada gaya pandang dan presepsinya terhadap sesuatu.


(19)

4

Pada observasi yang dilakukan di lapangan praktek-praktek pendidikan politik seperti tanggung jawab dan pengambilan keputusan yang selama ini menentukan sikap dasar politik dan presepsi seseorang kurang mendapatkan perhatian di berbagai sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang sudah menjadi objek obsevasi peneliti. Asupan pengetahuan siswa mengenai politik hanya ditekankan pada pengetahuan dan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan politik, pada kenyataannya anak membutuhkan rasa kemerdekaan, kebebasan pribadi yang kemudian dibingkai dengan rasa tanggung jawab.

Pengamalan nilai karakter dalam memperjuangkan hak-hak dalam kehidupan sehari-hari siswa kurang tertata dengan baik, hal tersebut ditunjukkan dengan kurangnya penghargaan sesama dan sikap keadilan untuk mendapatkan sesuatu, seperti pada budaya antri yang tidak terlaksana dengan baik saat siswa membeli jajanan di kantin sekolah. Hal tersebut menandakan kurangnya pemahaman mengenai politik yang harus diterima oleh siswa. Politik tidak selalu berhubungan mengenai sistem tata kelola pemerintahan yang dimaknai siswa sebagai sesuatu yang kurang baik. Pendidikan seharusnya menyadarkan hak-hak politik seseorang, ialah untuk menentukan dirinya sendiri, hak untuk memilih, hak-hak untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaannya (Tilaar, 2005: 129). Sekolah melalui sistem otonomi kebijakannya seharusnya mempunyai agenda khusus yang berkaitan dengan pendidikan politik, terutama di sekolah dasar dimana siswa akan mengalami pembentukan karakter dasar. Thomas (2009: 17) mengemukakan bahwa:

Schools are central settings in children’s live for learning about political power, participation and justice. Even five-year-olds after entering school


(20)

5

quickly develop a fairy accurate understanding of the roles of different people in the schools. By the end of their elementary school years they have a very complete understanding of political authority and power.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa sekolah adalah lingkungan utama dimana anak dapat belajar mengenai kekuasaan politik, partisipasi, dan keadilan. Anak-anak dalam usia yang muda setelah masuk sekolah akan dapat memahami peranan berbagai orang yang ada dalam sistem sekolah. Pendidikan politik pada masa sekolah akan mengambil peran yang penting dalam menentukan arah pandangan anak-anak untuk menentukan peran-peran yang tepat. Pandangan seseorang pada masa anak-anak tersebut akan mempengaruhi orientasi politik seseorang pada masa yang akan datang.

Ketidakpahaman anak terhadap politik dan peran pengambilan keputusan di tingkat sekolah dasar akan berimbas pada sikap politiknya ketika dia dewasa yang menyebabkan rendahnya partisipasi politik. Hal tersebut akan menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap agenda-agenda demokrasi salah satu contohnya adalah pada pemilihan umum. Anak-anak yang sudah biasa dilibatkan dalam penentuan kebijakan akan menjadi lebih sadar untuk ikut andil dalam partisipasi politik dimanapun ia berada.

Oleh karena itu, pendidikan politik tidak boleh dilupakan dalam pendidikan anak sejak usia sekolah dasar. Pendidikan politik yang ditanamkan secara esensial bukan formalitas dengan memahami materi politik secara holistik dan mendalam akan memberikan bekal kepada diri peserta didik tersebut untuk menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri dalam menyikapi kepentingan dan kebutuhan hidupnya di kemudian hari. Pelaksanaan pendidikan politik yang baik akan membelajarkan


(21)

6

anak-anak sejak dini untuk menjadi pemimpin masa depan sebagai bagian dari investasi kemajuan bangsa.

Sekolah dalam melakukan perannya untuk memberikan pengalaman pendidikan politik kepada siswanya dapat melalui berbagai cara. Dewey (Thomas: 2009) menyatakan bahwa menciptakan miniatur aktivitas demokrasi di ruang kelas sekolah umum saat ini masih menjadi hal yang dihindari. Apabila anak-anak diberikan kesempatan untuk mengalami aktivitas demokrasi di kehidupan sehari-harinya seperti sekolah dengan memberikan tanggung jawab, memberikan informasi untuk membentuk prespektif pribadi, dan diberikan kewenangan untuk mengatur efektivitas kelompoknya sendiri seperti kelas, maka mereka akan dapat menjadi kader pelaku demokrasi untuk satu sama lain. Situasi yang seperti ini jarang ditemukan di sekolah-sekolah dasar sekarang.

Berdasarkan obeservasi yang dilakukan di SD Masjid Syuhada pada tanggal 10 Januari 2017 dan 16 Januari 2017 diperoleh informasi bahwa SD Masjid Syuhada sebagai sekolah swasta tetap memperhatikan aspek pendidikan politik sebagai pengalaman belajar yang wajib diterima pada anak usia sekolah dasar. Selain pendidikan politik yang disampaikan melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas, SD Masjid Syuhada juga menerapkan pendidikan politik melalui tanggung jawab yang diberikan kepada siswa untuk menjadi pengawas sekolah di pagi hari ataupun pada kegiatan ekstrakulikulernya yang melibatkan siswa untuk bertanggungjawab dan berperan aktif menentukan sebuah kebijakan.


(22)

7

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik terhadap penerapan pendidikan politik di SD Masjid Syuhada yang telah menerapkan pendidikan politik melalui aktivitas belajarnya baik di dalam ataupun diluar kelas. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan politik di SD Masjid Syuhada.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah dapat diidentifikasi yaitu sebagai berikut.

1. Kurangnya perhatian pelaksanaan pendidikan politik di sekolah, terutama di sekolah dasar dimana anak anak mengalami pembentukan sikap politik.

2. Belum diketahuinya penerapan pendidikan politik di SD Masjid Syuhada C.Fokus Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis melakukan memfokuskan masalah hanya pada masalah mengenai pendidikan politik yang dilaksanakan di SD Masjid Syuhada.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masaah tersebut diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah “bagaimana proses pendidikan politik di SD Masjid Syuhada?”

E.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses pendidikan politik di SD Masjid Syuhada.


(23)

8 F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan data informasi dan pengetahuan dalam bentuk gambaran deskriptif pelaksanaan belajar mandiri di SD Masjid Syuhada. Penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

Hasil dari penelitian ini dapat memberian refleksi terhadap penerapan pendidikan politik melalui kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Selain itu penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai deskripsi pelaksanaan pendidikan politik sehingga memberikan contoh dan inspirasi bagi guru lain dalam menerapkan pendidikan politik di tingkat sekolah dasar.

b. Bagi Kepala Sekolah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai refleksi dalam pelaksanaan pendidikan politik yang dilakukan melalui penerapan kebijakan sekolah. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi bagi semua lembaga pendidikan dalam pelaksanaan pendidikan politik.

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan masukan yang membangun sebagai bentuk koreksi diri atas kekurangan peneliti pada umumnya. Penelitian ini juga memberikan masukan positif untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan


(24)

9

mengenai pelaksanaan pendidikan politik di SD Masjid Syuhada sebagai bekal dalam konstribusi di dunia pendidikan di masa yang akan datang.


(25)

10 BAB II

LANDASAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka

1. Pendidikan Politik

Pendidikan dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan keduanya saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain. Pendidikan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa faktor politik dan politik tidak akan dapat berjalan tanpa adanya pendidikan politik. Selanjutnya, dengan dominasi keduanya akan muncul pendidikan politik yang memainkan peran yang penting untuk suatu perubahan atau transformasi sosial politik menuju sistem yang lebih demokrasi dan adil atau ke arah yang lebih baik dari sebelumnya (Fakih, et al. 1999: xi). Pendidikan politik dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh paradigma dan ideologi pendidikan yang dianut dalam mendasari kegiatan politik. Bangsa Indonesia dalam sistem pendidikannya tentusaja tidak luput dalam melaksanakan pendidikan politik dengan ideologi pancasila.

Ditinjau dari sejarah bangsa Indonesia yang melewati beberapa rezim kekuasaan, pendidikan politik ditempatkan sebagai alat untuk mensosialisasikan dan melegitimasi sistem dan struktur sosial politik yang ada. Pendidikan politik yang dilaksanakan oleh pemerintah bertanggungjawab terhadap kepahaman masyarakat terhadap politik yang dapat dibuktikan dengan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum.

Partisipasi masyarakat sebagai salah satu bentuk dari produk pendidikan politik masyarakat tersebut merupakan salah satu praktek aktualisasi diri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kartono (2009: xvi) bahwa aktualisasi diri


(26)

11

merupakan pendidikan politik yang diarahkan pada upaya membina kemampuan mengaktualisasikan diri sebagai pribadi yang otonom bebas dan pada sosialisasi diri yang erat kaitannya dengan statusnya selaku warga negara di suatu negara. Aktualisasi diri tersebut dijelaskan sebagai segala jenis bakat dan kemampuan, sehingga pribadi bisa berkembang, lalu menjadi aktif, kreatif dan berkarya. Oleh karena itu untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam hal pembangunan ataupun struktur sosial yang lain diperlukan pendidikan politik.

a. Pengertian Pendidikan Politik

Konsep pendidikan politik pertama kali muncul bersamaan dengan politik dan pendidikan. Pendidikan dan politik adalah dua konsep yang sudah ada sejak keberadaan manusia dan manusia tersebut sudah mulai berpikir. Pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat karena pendidikan tersebut akan diselenggarakan berdasarkan filsafat dan atau pandangan hidup serta berlangsung dalam latar belakang sosial budaya masyarakat tersebut (Siswoyo, et al., 2013: 1). Selanjutnya mengenai ilmu politik yang tergolong cabang ilmu yang masih muda yang baru berkembang pada abad ke-19 bersama ilmu sosial lainnya, keduanya pendidikan dan politik akan erat berkelindan dalam berkonstribusi terhadap kemajuan peradaban manusia.

Pelaksanaan kegiatan politik banyak terdapat pandangan positif dan negatif yang disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik naluri yang baik ataupun buruk. Hal tersebut diuraikan oleh Budiarjo (2015: 16) sebagai emosi positif yang mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu, dan marah. Selanjutnya Peter Merkl (Budiarjo, 2015: 16) merumuskan bahwa perwajahan


(27)

12

politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Tabiat manusia yang mempengaruhi faktor kecakapan berpolitik tersebut membutuhkan suatu arahan atau rambu yang berupa pendidikan untuk mengendalikannya agar sesuai dengan tujuan yang tepat.

Menurut Rod Hague et al (Budiarjo, 2015: 17) politik adalah kegiatan yang menyangkut bagaimana cara kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan antar anggota-anggotanya. Pendidikan akan mengambil faktor penting untuk mengendalikan pengambilan keputusan kolektif tersebut untuk menjadi sarana untuk mencapai pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.

Pendidikan adalah sebuah aktivitas politik, sebagaimana bahwa politik pada intinya adalah aktivitas pendidikan (Ustman, 2000: 62). Memisahkan keduanya adalah hal yang harus dihindari. Pendidikan diharapkan dapat melakukan transformasi, mengembangkan, dan membentuk generasi sesuai dengan budaya politik yang berlaku. Karena itu, hubungan antara pendidikan dan politik merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.

Eratnya hubungan pendidikan dan politik tersebut oleh Ustman (2000: 63) dapat ditinjau dari sisi-sisi berikut:

1) hubungan antara pendidikan dan pengajaran dengan sistem politik, 2) objek pendidikan, yakni manusia,

3) fungsi-fungsi politik pendidikan, dan

4) peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang.

Hubungan pengajaran dengan sistem politik tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian sosial yang berpengaruh terhadap proses pengajaran. Kajian-kajian


(28)

13

dan sistem sosial tersebut akan berpengaruh secara nyata terhadap praktek pengajaran yang terjadi. Manusia sebagai objek pendidikan dan pelaku pendidikan itu sendiri tidak dapat lepas dari sifat khas manusia yang akan mempengaruhi presepsi dan eksistensinya dalam kontestasi politik. Pengokohan fungsi-fungsi politik sebagai usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari sistem politik yang sedang berlaku mengharuskan pendidikan untuk melakukannya. Hal terakhir mengenai peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang merupakan contoh dari pada aspek politik yang secara langsung berkaitan dengan pendidikan pada suatu negara. Oleh karena itu, praktek pendidikan politik tidak dapat dianggap remeh untuk dilakukan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Pendidikan politik menurut Edgar Fore (Ustman, 2000 : 215) didefinisikan sebagai upaya penyiapan generasi untuk berpikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-pilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam lembaga-lembaga atau berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut. Penyiapan tersebut bukan hanya berupa doktrin untuk mengikuti suatu hal, tetapi merupakan usaha untuk menyiapkan gemerasi supaya dapat memahami struktur-struktur dunia tempat mereka akan hidup di dalamnya, untuk menunaikan berbagai tanggung jawab yang benar dalam kehidupannya, agar mereka mampu membaca kejadian-kejadian sosial. Pendidikan politik dalam hal ini pada intinya adalah mengaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara simbang, berguna, dan demokratis.

Ustman (2000: 87) mendefinisikan pendidikan politik sebagai upaya-upaya yang dicurahkan oleh lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non


(29)

14

formal, yang berusaha membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik yang sejalan dengan kultur politik orang-orang yang bergerak di lembaga-lembaga tersebut seperti pada warga negara, membentuk dan menumbuhkan kesadaran politik dengan segala tingkatannya, yang warga negara menjadi sadar dan mampu memperoleh sendri kesadarannya, membentuk dan menumbuhkan kemampuan partisipasi politik yang ia mampu dan senang berpartisipasi politik secara aktif, dalam ikut memecahkan persoalan-persoalan umum masyarakatnya dengan segala bentuk partisipasi yang memungkinkan, dan yang mengantarkan kepada perubahan menuju yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan yang dimaksud adalah sebuah usaha pencerdasan terhadap seorang individu untuk mampu berperan aktif dalam sebuah sistem politik dari yang sederhana maupun yang kompleks sekalipun seperti negara ataupun dunia internasional.

Pengertian pendidikan politik menurut Kartono (2009: 64) yang merupakan upaya edukatif yang intensional membentuk individu sadar politik, dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggungjawab secara etis/moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Upaya edukatif tersebut membawa individu ke arah yang lebih maju untuk mengembangkan perilaku terdidiknya untuk berinteraksi sosial dengan yang lainnya. Kartono menyebutkan bahwa sebuah proses pendidikan politik tidak dimaksudkan untuk membentuk pribadi intelektual yang terisolasi dari lingkungan sosialnya, melainkan individu yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam konteks politik ataupun mengenai aspek lingkungan budayanya.


(30)

15

Suatu proses pendidikan politik adalah dialog antara peserta didik, pendidik, warga sekolah, pemerintah, ataupun partai politik. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Surbakti (1992: 117) bahwa pendidikan politik dapat diartikan sebagai proses dialog antara pendidik, seperti pemerintah, sekolah, partai politik, dan peserta didik, dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol politik negaranya yang dianggap ideal dan baik.

Ditinjau dari pendekatan pendidikan andragogi dan pedagogi pendidikan politik menempati posisi yang strategis. Berdasarkan penjelasan yang diuraikan oleh Fakih, et al., (1999: xvii) pedagogi sebagai “seni mendidik anak” mempunyai mengertian yang lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang mendapatkan objek pendidikannya sebagai anak-anak, meskipun secara biologis mereka sudah memasuki usia dewasa. Peserta didik dalam hal ini ditempatkan pada objek yang pasif dengan guru sebagai inti terpenting dalam kegiatan belajar. Sebaliknya, andragogi atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menepatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Murid ditempatkan sebagai orang dewasa yang memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk memikirkan cara terbaik untuk menganalisis dan menyimpulkan serta mengambil manfaat pendidikan. Guru dalam hal ini ditempatkan sebagai fasilitator dengan hubungan relasi dengan peserta didik bersifat multikomunikasi.

Pendidikan politik difungsikan sebagai pendidikan andragogi melalui pendekatan tersebut, dimana peserta didik ditempatkan sebagai subyek yang dapat


(31)

16

bersikap kritis dalam menerima muatan politik yang disampaikan dalam pendidikan politik, disamping itu masih terdapat banyak praktek pendidikan yang ditujukan untuk membangun kesadaran kritis tetapi dilakukan secara pedagogi ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan mendasar tentang struktur dan sistem masyarakat, apabila materi tersebut disampaikan dengan cara indoktrinasi, maka disinyalir bahwa proses pendidikan tersebut akan membunuh sikap kritis peserta didik sehingga hasil dari pendidikan tersebut bertentangan dengan tujuan pendidikan kritis.

Pendidikan politik pada intinya merupakan upaya pencerdasan dan penyadaran yang mencakup aktivitas pendidikan diri yang terus berproses sehingga seseorang dapat memahami dirinya sendiri dalam kondisi lingkungan sekitarnya. Selanjutnya setelah melalui proses tersebut seseorang akan mampu menilai segala sesuatu secara kritis dan menentukan sikap-sikap dan cara penanganan permasalahan yang ada di lingkungan hidupnya. Pendidika politik bukan hanya upaya untuk menambah informasi tetapi juga menekankan kepada kemampuan menentukan sikap, menganalisis situasi, dan kecakapan dalam berbuat. Seseorang tidak dapat bekerja secara sendiri dan bebas karena akan selalu terikat ke dalam keberadaan individu-individu lain yang sama-sama memperjuangkan kebutuhannya untuk hidup.

b. Tujuan Pendidikan Politik

Tujuan pendidikan politik yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, rakyat harus


(32)

17

menjalankan tugas partisipasi (Kantaprawira, 2006: 55). Melalui masyarakat yang sadar akan pentingnya partisipasi, sistem politik suatu wilayah akan berjalan dinamis, dimana keterlibatan semua komponen akan bertemu dan menentukan kesepakatan untuk kebaikan bersama.

Tujuan pendidikan politik menurut Kartono (2009: xvii) adalah sebagai berikut:

1) membuat rakyat menjadi melek-politik/sadar politik,

2) dan lebih kreatif dalam partisipasi sosial politik di era pembangunan, 3) sekaligus juga menghumanisasikan masyarakat, agar menjadi “leefbaar”,

yaitu lebih nyaman dan sejahtera untuk dihuni oleh semua warga masyarakat Indonesia.

Pendidikan politik bertujuan untuk membangun masyarakat yang sadar politik dimaksudkan agar masyarakat paham bahwa segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraannya ditentukan melalui politik. Tanpa mereka ketahui harga barang-barang dipasar dapat dikendalikan melalui kekuasaan politik. Apabila masyarakat telah terbuka dan paham terhadap dominasi politik terhadap kesejahteraan hidupnya, masyarakat akan melakukan partisipasi politik untuk dapat berkonstribusi terhadap pembangunan tanah air. Masyarakat juga akan lebih kreatif dalam menanggapi isu-isu politis ataupun non politis yang menyangkut kesejahteraan orang banyak. Kesadaran dan partisipasi masyarakat yang aktif dalam politik makan akan membentuk budaya politik yang kondusif, dimana masyarakat dapat untuk mewujudkan ketahanan negara yang baik dan sejahtera dan nyaman untuk dihuni oleh semua warga masyarakat di Indonesia.

Pendidikan politik tidak hanya bertujuan untuk membangun tetapi juga mengembangkan pengetahuan politik tertentu pada manusia, tetapi juga bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan orientasi-orientasi politik yang meliputi


(33)

18

nilai-nilai, keyakinan, arah, dan perasaan politik, yang menjadikan individu memiliki kesdaran terhadap berbagai situasi politik, persoalan-persoalan regional, nasional, maupun internasional, dan menjadikannya mampu secara sadar dan aktif, berpartisipasi dalam kehidupan politik masyarakat dan sosial.

Berikut adalah uraian tujuan pendidikan politik yang dijelaskan oleh Ustman (2000: 91 s.d 106).

1) Kepribadian Politik

Kepribadian politik merupakan tujuan utama dari proses pendidikan politik, kesadaran dan partisipasi politik tidak akan tercapai tanpa adanya kepribadian politik dalam diri seorang individu. Sejumlah orientasi yang terbentuk dalam diri individu untuk dapat berperan serta dalam politik juga merupakan kepribadian politik yang diantaranya mencakup informasi dan presepsi, pandangan-pandangan yang dimiliki individu untuk berinteraksi dengan politik. Kepribadian politik dapat meliputi: 1) nilai-nilai dan keyakinan dasar yang bermakna atau bermuatan politik baik langsung maupun tak langsung; 2) perasaan, orientasi, dan kecenderunga perilaku yang memiliki arah politik; 3) pengetahuan, wawasan, dan evaluasi politik.

2) Kesadaran Politik

Menurut Syari’ati (Ustman, 2000: 95) manusia yang sadar adalah manusia yang memiliki pandanan ideologis yang kritis, rasa keterikatan dengan masyarakat tertentu, rasa tanggung jawab individu dalam menghadapi problematikanya dan rasa kebermilikan kolektif dalam lingkungannya. Mendukung pendapat tersebut Paulo Ferayeri mengemukakan bahwa kesadaran adalah pengetahuan yang kritis,


(34)

19

pandangan yang benar terhadap realitas, dan pemahaman yang baik terhadap dunia di mana manusia itu hidup, kemudian berusaha mengubahnya. Kesadaran politik tersebut mencakup: 1) pandangan yang komprehesif; 2) wawasan yang kritis; 3) rasa tanggung jawab; 4) keinginan untuk mengubah, dalam rangka mewujudkan kebebasan atau menghadapi berbagai problematika sosial.

Kesadaran politik dapat dicapai dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Arahan politik secara langsung, baik melalui jalur formal maupun nonformal, melalui penjelasan-penjelasan politik, usaha-usaha bimbingan, dan pengajaran politik langsung, yang dilakukan oleh para pemikir dan pemimpin-pemimpin politik, pengalaman masa lalu, ataupun kesadaran yang muncul karena kajian dialog kritis, ataupun kesadaran yang muncul dari belajar mandiri akan membentuk kesadaran politik bagi seseorang. Jenis kultur yang terdapat pada suatu wilayah, perubahan budaya yang terjadi di masyarakat, tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat tertentu akan mempengaruhi kesadaran politik pribadi seseorang.

3) Partisipasi Politik

Partisipasi politik didefinisikan sebagai aktivitas dimana individu dapat melaksanakan peranannya dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk memberi andil dalam menentukan dan mencapai tujuan-tujuan umum kehidupan masyarakat tersebut, dan dalam menentukan sarana terbaik untuk mewujudkannya. Hasrat kuat individu untuk melakukan peran politik secara aktif merupakan dorongan utama partisipasi politik yang nantinya akan dapat dicapai melalui pendidikan politik.


(35)

20

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi politik diantaranya adalah jeni kultur politik, karakter lingkungan politik dan faktor-faktor pembentukan partisipasi politik secara personal seperti aktivitas politik yang berwujud media-media komunikasi, propaganda politik ataupan kecapakan yang dimiliki oleh pribadi individu tersebut. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam hal ini seperti mengikuti berita-berita politik melalui berbagai media, ikut serta dalam agenda-agenda politik seperti kampanye, pemilihan umum, dan lain sebagainya. Terdapat pula tingkat-tingkat partisipasi politik, Ustman (2000: 104) mengklasifikasikan tingkat partisipasi politik menjadi tiga. Pertama kelompok vokalis yang memiliki kegiatan politik dengan melakuka lebih dari satu bentuk partisipasi politik aktif. Kelompok keua adalah kelompok pemikir yang memberikan perhatian kepada penelitian dan bergulan dengan informasi politik. Ketiga adalah kelompok apatais yang tidak pernah mengikuti kegiatan politik. c. Sosialisasi Politik dan Agen Pendidikan Politik

Pendidikan politik dalam penyampaiannya kepada peserta didik akan erat kaitannya dengan sosialisasi politik. Sosialisasi politik dalam menyampaikan muatan pendidikan politik mempunyai berbagai macam agen-agen pendidikan politik, namun sebelumnya sebelum membahas mengenai agen-agen pendidikan politik perlu diketahui makna dari sosialisasi politik pada umumnya.

Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya, Gabriel Almond (Darmawan, 2015: 108) mendefinisikan sosialisasi politik sebagai bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat


(36)

21

berpartisipasi dalam sistem politiknya. Memasyarakatkan nilai-nilai politik merupakan tujuan utama dalam proses sosialisasi politik tersebut. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkungan kultural, lingkungan politik, dan lingkungan sosial dalam masyarakat individu yang bersangkutan, serta mempelajari sikap-sikap politik serta penilaian terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem yang lainnya.

Prewit dan Dawson (Cholisin, 2000: 6.4-6.5) mengajukan adanya teori sosialisasi politik yang melihat dari aspek pola belajar politik yang terkait dengan perkembangan sosial dan pribadi, yaitu sebagai berikut:

1) Teori Psikodinamik

Teori ini berasumsi bahwa kebutuhan dan pengalaman pribadi yang terbentuk pada masa awal kanak-kanak akan menentukan orientasi politik seseorang. 2) Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial menekankan pada faktor eksternal, yaitu penerimaan stimulus dan penguatan dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterima individu dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalam menentukan pandangan yang akan diadopsi seeorang.

3) Teori Perkembangan Kognitif

Teori ini menekankan pada interaksi antara lingkungan dan perkembangan kapasitas berpikir individu. Menurut teori ini kemampuan respon dan


(37)

22

pemahanan individu tentang sesuatu dalam lingkungannya sangat ditentukan oleh kapasitas/kemampuan dasar pemikirannya.

Sosialisasi politik dalam pelaksanaannya tentu saja akan melibatkan pendidikan politik sebagai tujuan instruksional. Prewit dan Dawson juga berpendapat bahwa teori sosialisasi politik memiliki tugas untuk menemukan dan menjelaskan keterkaitan proses dan hasil sosialisasi politik dengan stabilitas politik, demokrasi, kompetensi partai politik, keadilan dan persamaan.

Sosialisasi politik dalam arti luas merupakan pendidikan politik yang berlaku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses tersebut pribadi seseorang dapat belajar politik dalam situasi formal maupun informal. Menurut Cholisin (2000: 6.7-6.8) cara belajar politik yang termasuk tipe sosialisasi politik langsung antara lain:

1) Imitation (Meniru)

Belajar politik dengan metode meniru ini banya dilakukan baik oleh orang tua, muda, pandai, dan bodoh. Hal yang ditiru dapat berupa tingkah laku politik, keterampilan politik, harapan-harapan politik, dan sikap politik. Model dasar untuk dapat melakukan belajar politik dengan metode meniru adalah adanya mobilisasi dan komunikasi, tanpa kedua hal ini sulit untuk dilaksanaan. Contohnya, anak-anak pada umumnya memilih partai politik meniru pilihan orang tua.

2) Anticipatory Socialization (Sosialisasi Antisipatori)

Metode belajar politik dengan metode ini pada dasarnya dengan cara menyiapkan diri tentang peranan politik yang diinginkan. Misalnya orang tua dan


(38)

23

guru baik di lingkungan keluarga ataupun lingkungan sekolah dapat mendefinisikan peranan warga negara yang baik, sehingga anak dapat mengantisipasi peran yang dituntut oleh sistem politik nasional dalam proses pembelajarannya

3) Political Education (Pendidikan Politik)

Dalam belajar politik dengan metode pendidikan politik bersifat dialogis, terbuka, rasional atau penyadaran. Di sekolah pada pendidikan Kewarganegaraan arahnya pada menumbuhkan “Good Citizenship” atau agar anak menjadi efektif bagi bangsanya. Kegiatan yang dilakukan terutama terletak pada berpartisipasi memperoleh informasi-informasi politik, misalnya dengan membaca buku-buku teks, mengikuti perkembangan lewat media massa elektronik dan non-elektronik, membuat paper, melakukan diskusi-diskusi tentang lembaga-lembaga politik dan sebagainya. Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, dan lebih merupakan pengarahan politik mengutamakan pembangkitan emosi, dan lebih mengarahkan politik untuk dukungan kekuatan politik (mobilisasi politik) dari pada peningkatan partisipasi politik. Indoktrinasi ini pada umumnya dilakukan oleh rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status quo. Partai politik pada umumnya juga lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik pada pendidikan politik.

4) Political Experience (Pengalaman Politik)

Metode ini serin ditafsirkan secara tumpang tindih dengan konsep pendidikan politik. Pada pengalaman politik penekanannya pada orang yang


(39)

24

sedang belajar politik (disosialisasikan), sedangkan pada pendidikan politik pada orang yang sedang mensosialisasikan (Socializer). Pengalaman politik tidak mesti politik, misalnya pengalaman pahit melakukan kontak dengan penjabat yang terlibat dalam pembuatan otoriter dapat menyebabkan partisipan menjadi frustasi, bermusuhan dan mengasingkan diri dari proses politik

Selain itu, pelaksanaan sosialisasi politik yang diterima oleh peserta didik dapat melalui berbagai macam sarana. Cholisin (2000: 6.7-6.8) juga mengajukan bentuk sosilalisasi politik secara langsung yang meliputi:

1) Interpersonal Transference (pengalihan hubungan pribadi)

Menurut tipe ini, pengalaman hubungan pribadi sebagai anak dalam keluarga dan sebagai pelajar di sekolah, akan dikembangkan dalam hubungannya dengan figur penguasa.

2) Apprenticeship (magang)

Menurut tipe ini, aktivitas-aktivitas non politik dipandang sebagai praktek atau magang untuk aktivitas politik. Contohnya organisasi pembentuk pribadi seperti Pramuka, organisasi siswa adalah bentuk yang penting dalam pembelajaran politik.

3) Generalization

Menurut tipe ini, kepercayaan dasar dan pola-pola nilai budaya yang merupakan nilai umum (general value), bukan sebagai referensi kearah obyek politik tertentu, biasanya memainkan peranan yang besar dalam menentukan struktur atau pola-pola budaya politik.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa proses sosialisasi politik sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya melingkupi keluarga, lembaga masyarakat, atau budaya sosial dengan nilai dan normanya yang mengikat. Pengaruh-pengaruh dalam proses sosialisasi tersebut juga secara langsung berperan aktif terhadap sosialisasi politik dan pendidikan politik itu sendiri. Untuk dapat mensosialisasikan nilai politik, maka agen politik harus menggunakan metode penyampaian pesan yang tepat. Surbakti (1992: 117-118) menyatakan metode penyampaian pesan tersebut sebagai berikut:


(40)

25

1) Berdasarkan segi metode penyampaian pesan sosialisasi politik dibagi menjadi dua, yakni:

a) Pendidikan Politik yaitu suatu proses dialogis diantara pemberi dan penerima pesan.

b) Indoktrinasi Politik, ialah suatu proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggat pihaknya berkuasa sebagai ideal dan baik.

2) Berdasarkan pada metode, bentuk dan cara penyampaian sosialisasi politik digenerasilsasikan dalam dua bentuk yakni:

a) Sosialisasi Politik Lansung (direct forms of political socialisation). Sosialisasi langsung ini menunjukkan suatu proses dimana hal-hal yang ditransmisikan atau disampaikan secara langsung kepada generais berikutnya. Sosialisasi politik langsung ini dapat berwujud nilai-nilai informasi, sikap-sikap, pandangan-pandangan dan keyakinan mengenai politik secara eksplisit.

b) Sosialiasi Politik Tidak Langsung (Indirect forms of political socialisation). Dalam sosialisasi politik tidak langsung, individu untuk pertama kalinya akan memperoleh hal-hal yang akan mempengaruhi pandangan, sikap-sikap, keyakinan dalam bidang politik.

Sosialisasi politik langsung memungkinkan individu untuk memperoleh nilai-nilai politik, misalnya nilai tentang kekuasaan, demokrasi, keadilan, dan sebagainya. Sosialisasi politik tidak langsung akan membuat individu akan memperoleh nilai-nilai yang berpengaruh terhadap sikap dan keyakinannya di


(41)

26

bidang politik, misalnya nilai tentang kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab, dan sebagainya.

Proses Sosialisasi politik setiap individu akan dapat berjalan lancar apabila didukung oleh agen-agen sosialisasi politik (Darmawan, 2015: 108). Agen-agen sosialisasi politik tersebut adalah peranan yang membantu terbentuknya budaya politik seseorang. Berikut adalah agen-agen yang termasuk ke dalam agen-agen sosialisasi politik tersebut.

1) Keluarga

Keluarga adalah pihak paling awal yang dijumpai oleh seseorang ketika hidup. Pengaruh pihak pertama ini sangat besar terhadap orientasi politik seseorang. Kehadiran keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap budaya politik seseorang, hal ini ditunjukkan dengan terlihatnya kecenderungan bahwa preferensi politik orang tua berpengaruh terhadap preferensi politik anaknya sampai dengan anak tersebut tumbuh dewasa.

2) Teman Bermain (Peer Group)

Teman bermain merupakan agen sosialisasi terpenting selanjutnya setelah keluarga. Teman bermain memiliki pengaruh yang besar pada pembentukan sikap dan karakter seseorang terutama pada masa perkembangannya. Pandangan kolektif teman bermain terhadap sesuatu dapat mengarahkan seseorang untuk sepakat dan berpendapat yang sama, dalam hal ini teman bermain dapat mengarahkan orientasi politik seseorang.


(42)

27

Sekolah yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga pendidikan di lingkungan formal ataupun informal. Sekolah memiliki fungsi yang fleksibel dalam mempengaruhi orientasi politik seseorang, sekolah mempunyai peranan untuk melaksanakan pendidikan politik langsung kepada peserta didik. Sekolah dapat menyampaikan materi politik dalam lingkungan formal seperti lingkungan kelas. Materi politik tersebut dapat beraneka ragam sesuai dengan kurikulum yang berlaku seperti mengenai dasar negara, bentuk pemerintahan, dan lain sebagainya bahkan sampai mengenai hal-hal fundamental seperti ideologi.

4) Tempat Bekerja

Tempat bekerja dapat mempengaruhi pandangan politik seseorang. Hal tersebut dikarenakan tempat bekerja menyediakan ruang diskui bagi seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik. Disamping itu, tempat bekerja memiliki kemungkinan untuk mengarahkan pilihan orientasi politik para pekerjanya.

5) Media Massa

Media massa memiliki peranan penting dalam menjadi agen sosialisasi. Pengetahuan, sikap, nilai dan sebagainya mengenai pandangan politik seseorang adalah hasil pengaruh dari media masa. Kondisi pada zaman sekarang membuktikan bahwa peran media untuk membentuk opini publik terbukti efektif. Sosialisasi kebijakan pemerintah, kampanye politik dan lain sebagainya dapat disampaikan melalui media massa.


(43)

28 6) Kontak Politik Langsung

Kontak politik langsung dimaksudkan sebagai bentuk interaksi antara individu dengan elite politik atau pemerintah secara langsung tanpa melalui perantara. Hal tersebut dapat terjadi pada pemilu langsung, kampanye, ataupun dialog publik yang melibatkan kontak politik.

Agen-agen tersebut adalah hal-hal yang mempengaruhi orientasi politik dari arah luar seorang individu, untuk dapat menentukan arahan politik yang dinilai baik seorang individu harus mempunyai sisi moral yang baik serta pandangan nilai dan norma yang sesuai dengan budaya setempat. Keberadaan moral, nilai, dan norma tersebut akan mempengaruhi pandangan politik seseorang yang berasal dari dalam diri seorang individu.

d. Pendidikan Politik di Sekolah

Dominasi utama orientasi politik yang diterima oleh anak-anak berasal dari sekolah. Sekolah mampu menciptakan lingkungan formal untuk anak-anak mendapatkan orientasi politiknya, keluarga dan teman sebaya boleh menjadi agen sosialisasi politik pertama bagi seseorang tetapi mereka secara langsung tidak mempunyai hukum legal formal yang merupakan kesepakatan bersama dan kebenaran bersama yang diakui oleh masyarakat dengan ruang lingkup seperti negara.

Sekolah dapat mengemas pendidikan politik menjadi sosialisasi politik yang dilakukan melalui berbagai macam kegiatan. Dawson, Prewitt, dan Dawson (1977: 139) membagi menjadi dua bagian hal-hal yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam melaksanakan pendidikan politik atau sosialisasi politik. Bagian


(44)

29

pertama merupakan sosialisasi politik yang dilaksanakan di dalam ruang kelas yang dapat meliputi pengorganisasian kurikulum, kebiasaan di dalam ruang kelas, dan pengaruh guru. Bagian kedua adalah sosialisasi politik yang dilaksanakan di luar ruang kelas yang dapat berupa komposisi sosial yang ada di lingkungan sekolah, kegiatan ekstrakulikuler dan kelompok politik siswa. Masing-masing dari bentuk sosialisasi yang terjadi di sekolah tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1) Di dalam Ruang Kelas

a) Kurikulum

Kurikulum adalah instrumen utama dalam sosialisasi politik. Kurikulum menjadi inti dan hal yang penting dalam proses pendidikan ataupun sosialisasi politik yang terjadi di sekolah. Segala jenis kebutuhan dan akses mengenai politik akan dirumuskan melalui kurikulum dan dengan perencanaan akan diajarkan kepada peserta didik di sekolah. Pemerintah yang sedang berkuasa mempunyai kekuasaan penuh terhadap kewenangan mengatur regulasi kurikulum untuk sampai kepada peserta didik.

Dawson, Prewitt, dan Dawson (1977: 140) membagi kedalam dua jenis instruksi politik yang terdapat dalam sebuah kurikulum, yaitu: pendidikan kewarganegaraan (civic education) dan indoktrinasi politik (political

indoctrination). James Coleman melalui bukunya Education and Political

Development (Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 140) menerangkan bahwa

pembelajaran kewarganegaraan adalah bagian dari pendidikan politik yang melatih seseorang untuk menjadi warga negara yang dapat berpartisipasi dengan baik di dalam negaranya. Indoktrinasi politik hanya terfokus untuk mempelajari


(45)

30

mengenai ideologi politik untuk melanggengkan suatu rezim yang sedang berkuasa.

b) Kebiasaan-kebiasaan di Ruang Kelas

Nilai-nilai politik dapat ditrasnferkan melalui kebiasaan-kebiasaana atau ritual yang dilakukan oleh siswa di ruang kelas. Kebiasaan-kebiasaan umum yang biasa dilakukan oleh siswa di dalam lingkungan sekolah formal diantaranya adalah hormat kepada bendera yang diletakkan di dalam ruang kelas, foto-foto presiden dan pahlawan negara, menyanyikan lagu kebangsaan dan lain sebagainya.

Beberapa instansi formal dalam situasi pendidikan dapat mengubah atau memperkuat pengetahuan politik yang diterima oleh siswa dalam lingkungan keluarganya. Pengalaman kebiasaan-kebiasaan sosialisasi politik yang dilakukan adalam lingkungan sekolah tersebut apabila dilakukan secara terus menerus akan berdampak besar terhadap pandangan dan orientasi politiknya dikemudian hari. Disisi lain ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang bersifat politis yang dilakukan di sekolah tersebut akan mempersiapkan seseorang untuk menghadapi kondisi-kondisi politis sepanjang hidupnya seperti yang diungkapkan oleh Hess dan

Torney (Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 148) sebagai bahwa “this early

orientation prepares the child for later learning and stresses the importance of loyalty for citizen of all ages”.

c) Pengaruh Guru

Guru mempunyai peran penting dalam berbagai aspek perkembangan siswa, tak terkecuali dalam perkembangan politiknya. Guru dapat menciptakan budaya


(46)

31

belajar atau sistem sosial di dalam kelas sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Guru sekolah dasar akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap otoritas keilmuan peserta didiknya. Guru sekolah dasar mempunyai banya murid dalam setiap tahunnya, guru tersebut akan menstransferkan banyak ilmu pengetahuan dan nilai politis kedalam jati diri anak-anak. Hal ini dijelaskan dengan pendapat Dawson, Prewitt, dan Dawson (1977: 152) sebagai berikut.

As the first person to represent to the child the large, imperonal society beyond the personal family circle, the elementary teacher cannot avoid

influencing the impressionable child in ways beyond the formal curriculum.

Pendapat tersebut memperkuat posisi guru sebagai penggiring arah orientasi politik peserta didiknya. Bahkan, pengaruh guru tersebut tidak terbatas dalam peraturan kurikulum saja, melainkan sepanjang guru tersebut dapat berinteraksi dengan siswa.

Guru juga mempunyai peran penting dalam mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik pada masa dewasanya. Praktek pendidikan politik yang sesungguhnya terjadi di sekolah formal adalah pada pendidikan moral dan karakter yang dibangun pada diri peserta didik. Pengetahuan tentang negara, pemerintah nasional, bentuk pemerintahan dan sebagainya merupakan pengetahuan kognitif yang mudah dipelajari dan juga mudah hilang begitu saja. Pendidikan moral dan karakter akan lebih lama berbekas dan bahkan akan melekat pada diri peserta didik sampai ia dewasa dan juga berpengaruh terhadap cara pengambilan orientasi politik.

2) Di luar Ruang Kelas


(47)

32

Sekolah yang mempunyai murid ataupun warga sekolah yang multi etnis akan menciptakan lingkungan sosial yang beragam. Keberadaan multietnis tersebut akan membawa sekolah menjadi lingkungan belajar yang menyentuh sisi-sisi kesadaran keadilan bagi seseorang tak terkecuali pada sisi-sisi politisnya. Dawson, Prewitt, dan Dawson (1977: 139) mengungkapkan.

When child enters the formal educational system, he or she is confronted with a larger and more diversified population of peers and authority figures than he or she experienced in the home or in the smaller, neighborhood peer groups. From these new contacts the young child learns about articulating and solving collective problems, about aserting and protecting rights in competition with others, and about the posibilities or social cooperation of conflict.

Berdasarkan pernyataan tersebut, anak-anak dilingkungan sekolahnya sudah mulai untuk belajar mengelola kepentingannya untuk membentuk kelompok sosial, dan memperjuangkan kepentingan kelompok sosial tersebut di dalam sebuah kompetisi ataupun konflik-konflik tertentu.

b) Kegiatan Ekstrakulikuler dan Kelompok Politik Siswa

Sekolah tertentu akan membuat kegiatan ekstrakulikuler guna menjawab kebutuhan perkembangan zaman dan untuk menyeimbangkan kemampuan siswa dalah bidang kognitif, afektif, ataupun psikomotor, sebagai kegiatan pendukung yang wajib diikuti oleh seluruh siswa baik bersifat wajib ataupun pilihan. Keberadaan dan jenis kegiatan ekstrakulikuler tersebut bergantung kepada kondisi sosiokultural lingkungan sekolah masing-masing. Dawson, Prewitt, dan Dawson (1977: 161) mengkategorikan macam kegiatan ekstrakulikuler menjadi dua yakni kegiatan ekstrakulikuler yang resmi (official) dan yang tidak resmi (unofficial). Kegiatan ekstrakulikuler yang resmi merupakan kegiatan yang mendukung kepentingan sekolah seperti organisasi intra sekolah, club drama, club olahraga


(48)

33

dan lain sebagainya selama menjadi bagian dari kebijakan sekolah. Kegiatan ekstrakulikuler yang tidak resmi merupakan kegiatan ekstrakulikuler yang tidak berada di bawah naungan sekolah, kegiatan ini biasanya mempunyai hubungan dengan kepentingan politik ataupun ideologi tertentu. Kegiatan ekstrakulikuler yang dilaksanakan oleh sekolah akan melatih siswa untuk dapat memberikan partisipasi aktif dan melatihnya untuk mengenal budaya dan nilai-nilai kebudayaan yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. David Ziblatt seorang narasumber dalam buku Political Socialization oleh Dawson, Prewitt, dan Dawson (1977: 161-162) menyatakan bahwa.

The extraculicular activity was given an important position in the philosophy of the democratic school. High school extraculicular activities were to be analogous to adult voluntary associations. Just as amembershup in a voluntary association was believed to have positive effects on an adult’s citizenship copetence, so would the extracurricular activity have positive effects on the teenager. Participation would give him insight and awareness onto social processes. He would acquire an ability to manipulate these processes. He would have a greater understanding of how things get done in the larger political system. He would have more positive orientation toward political phenomena.

Pernyataan tersebut menerangkan bahwa keikutsertaan dalam organisasi ataupun kegiatan ekstrakulikuler akan memberikan dampak positif kepada seorang anak. Partisispasinya dalam organisasi kerelawanan akan meningkatkan kepekaan sosial anak dan pemahaman pandangan politik. Dampak yang lebih jauh dari kegiatan ini akan membawanya untuk lebih memandang positif suatu fenomena politik. Kegiatan ekstrakulikuler di sekolah apabila dimanfaatkan dengan baik oleh seseorang akan membawanya belajar berpartisipasi di dalam sekolah sebagai bentuk miniatur dari sistem sosial masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diikuti akan membelajarkan karakter dan sikapnya untuk menghadapi sistem


(49)

34

politik yang lebih besar lagi. Seperti kelompok olahraga atau kompetisi olah raga akan melatih seseorang untuk mempunyai sikap sportivitas. Contoh lain seperti organisasi siswa intra sekolah akan membuat anak lebih mengenal peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang akan ia hadapi dalam sistem politik dewasa yang sebenarnya.

Akhirnya, praktek pendidikan di sekolah berhubungan secara langsung dengan aktivitas politik. Semakin teredukasi seseorang maka akan semakin tinggi partisipasi politiknya. Berdasarkan penelitian internasional yang dilakukan oleh Almond dan Verba (Dawson, Prewitt, dan Dawson; 1977: 166)) terdapat beberapa temuan yang sama mengenai fakta-fakta individu dengan hubungan pendidikan politiknya sebagai berikut ini.

1) Individu yang lebih terdidik akan sadar bahwa pemerintahan mempunyai dampat yang besar terhadap kesejahteraan individual dari pada seseorang yang kurang terdidik.

2) Individu yang lebih terdidik akan lebih dapat berpartisipasi dan mengikuti politik dan kampanye politik pada pemilihan umum dari pada seseorang yang kurang terdidik.

3) Individu yang lebih terdidik mempunyai informasi politik yang lebih banyak. 4) Individu yang lebih terdidik mempunyai opini yang lebih luas mengenai

subjek politik.

5) Individu yang lebih terdidik lebih mau terlibat dalam diskusi politik.

6) Individu yang lebih terdidik merasa bebas untuk berdiskusi mengenai politik dalam jaringan pergaulan yang lebih luas.


(50)

35

7) Individu yang lebih terdidik lebih mampu untuk mempengaruhi kebijakan politik di sekitarnya.

8) Individu yang lebih terdidik akan menjadi anggota aktif dalam sebuah organisasi.

9) Individu yang lebih terdidik akan merasa lebih percaya diri dalam berekspresi dalam lingkungan sosialnya.

2. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar a. Pengertian Peserta Didik

Siswa di Sekolah Dasar merupakan peserta didik yang mempunyai peran penting dalam suatu proses pendidikan. Tujuan pendidikan menempatkan peserta didik sebagai komponen utama penerima manfaat pendidikan. Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menepati posisi sentral dan menjadi pokok persoalan dan tumpuan perhatian dalam semua proses transformasi pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Noeng Muhadjir (Siswoyo, et al. 2013: 85) bahwa pendidikan selalu berlangsung dengan melibatkan aktor penting yang disebut sebagai subyek penerima di satu pihak dan subyek pemberi di pihak yang lain. Kedua subyek tersebut merupakan unsur utama dalam membentuk aktivitaas pendidikan. Subyek penerima tersebut adalah peserta didik dan subyek pemberi adalah pendidik. Ketidakadaan kedua unsur tersebut berarti juga ketiadaan aktivitas pendidikan.

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan (Siswoyo, et al. 2013: 85). Keberadaan peserta didik tersebut membutuhkan bantuan orang lain untuk berkembang dan


(51)

36

menunjang sebuah aktivitas pendidikan. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan pendapat Arifin (Desmita, 2012: 39) bahwa sebagai individu yang sedang berada dalaam proses pertumbuhan dan perkembangan, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya Peserta didik dianggap masih dalam kondisi lemah tetapi mempunyai potensi untuk berkembang dengan bantuan orang lain yang berperan sebagai pendidik. Istilah peserta didik dalam pendidikan formal atau pada jengang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah sering dikenal sebagai anak didik atau siswa. Penamaan lain peserta didik dalam lembaga pendidikan atau lingkungan pendidikan seperti pondok pesantren adalah santri, keluarga disebut anak, perguruan tinggi disebut mahasiswa, dan lain sebagainya.

Prespektif Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sebagai anggota masyarakat tersebut peserta didik dalam melakukan proses pendidikannya memiliki sebuah tujuan untuk dapat memberikan konstribusi dalam pembangunan masyarakat, demi mewujudkan tujuan tersebut institusi pendidikan di segala jenjang memiliki program-program tertentu untuk menunjang ketercapaian tujuan tersebut.

Sebagai seorang individu yang memiliki peran kehidupan secara umum dan peran sebagai peserta didik dalam suatu sistem pendidikan, peserta didik memiliki karakteristik-karakteristik yang menjadi ciri seorang individu peserta didik. Peserta didik memiliki beberapa karakteristik fundamental yang melekat padanya


(52)

37

dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan usia ataupun jenjang pendidikan yang sedang ia alami. Menurut Desmita (2012: 40) peserta didik adalah individu yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilikinya ini perlu dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga mampu mencapai taraf perkembangan yang optimal.

2) Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya, peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahkan pada penyesuaian dengan lingkungannya.

3) Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Sebagai individu yang sedang berkembang, maka proses pemberian bantuan dan bimbingan perlu mengacu pada tingkat perkembangannya.

4) Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Dalam perkembangannya peserta didik memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan, di sampinng itu, dalam diri peserta didik juga terdapat kecenderungan untuk meepaskan diri dari kebergantungan pada pihak lain. Karena itu, orang tua dan pendidik perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mandiri dan bertanggungjawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri.


(53)

38

b. Tugas-Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada rata-rata usia 12 tahun. Apabila mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, usia anak sekolah dasar berada pada dua masa perkembangan, yaitu pada masa kanak-kanak tengan dengan rentang usia dari 6 tahun sampai 9 tahun, dan masa kanak-kanak akhir dengan rentang usia dari 10 sampai 12 tahun (Desmita. 2012; 35). Pendapat lain menjelaskan bahwa anak usia sekolah dasar berada pada masa perkembangan kanak-kanak akhir yang dialami oleh anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awa yang berkisar pada usia 11 tahun sampai 13 tahun (Siswoyo, et al. 2013; 103). Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mengacu pada karakteristik siswa usia sekolah dasar yang hampir sama, dimana mereka akan mengalami berbagai perkembangan sebagai imbas dari penyesuaian dirinya terhadap lingkungan sekitarnya. Masuk sekolah merupakan fase yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Pada fase tersebut seseorang mengalami perubahan sikap, nilai, dan perilaku yang menyesuaikan kondisi di sekitarnya.

Anak-anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Ia senang bermain, senang melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu guru hendaknnya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan, mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.


(54)

39

Menurut Havighurst (Desmita. 2012; 35), tugas perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi:

1) Menuguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.

2) Membina hidup sehat.

3) Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.

4) Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.

5) Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat.

6) Memperoleh sejumlah konsep yang diperlakukan untuk berpikir efektif. 7) Mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai.

8) Mencapai kemandirian pribadi.

Tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik apabila terdapat interaksi efektif diantara dua unsur penting dalam pendidikan yaitu peserta didik dan pendidik. Apabila peserta didik mempunyai ciri tertentu maka guru sebagai pendidik perlu untuk melakukan upaya dalam mencapai setiap tugas perkembangan tersebut. Oleh karena itu, untuk membantu peserta didik mencapai tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk:

1) Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik. 2) Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa

untuk belajar bergaun dan bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian sosialnya dapat berkembang.


(55)

40

3) Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep.

4) Melaksanakan pembelajaran yang apat mengembangkan nilai-nilai, sehingga siswa mampu menentukan ilihan yang stabil dan menjadi pengangan bagi dirinya.

c. Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Setiap manusia memiliki potensi untuk berkembang menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya dan juga memungkinkan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dikaitkan dengan segala jenis aspek fisik seperti pertambahan berat badan, tinggi badan, panca indra, fungsi-fungsi otot dan lain sebagainya, sedangkan perkembangan dikaitkan dengan kemajuan aspek psikis seperti kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan pribadi, pengendalian emosi, kepekaan spiritual, keimanan, dan ketaqwaan.

Berikut adalah penjelasan mengenai aspek-aspek perkembangan peserta didik yang saling berhubungan dan berkonstribusi dalam membentuk pribadi dan karakter peserta didik.

1) Perkembangan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar

Perkembangan fisik peserta didik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Pertumbuhan fisik anak usia sekolah dasar cenderung lebih stabil dan tenang, hal tersebut terjadi sebelum seorang anak mengalami masa pubertas, masa tenang tersebut sangat bermanfaat untuk digunakan untuk belajar berbagai kemampuan akademik. Anak menjadi


(56)

41

bertambah tinggi, berat, dan lebih kuat untuk dapat mempelajari berbagai macam keterampilan.

Anak setelah melewati masa tersebut akan masuk pada masa pubertas dimana perubahan akan terlihat lebih pesat. Pada masa ini anak akan mengalami perubahan primer dan sekunder yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Melalui perubahan fisik tersebut peserta didik perlu untuk mengembangkan kestabilan gerak serta melatih kordinasi untuk menyempurnakan berbagai keterampilan. Energi yang terdapat pada diri anak perlu disalurkan kedalam kegiatan-kegiatan yang melatih keterampilan menuju keseimbangan tubuh. Aktif dalam bergerak akan membantu anak untuk mengomtimalkan perkembangan fisik pada masa ini.

2) Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah Dasar

Perkembangan kognitif anak usia Sekolah Dasar juga sering dikenal dengan perkembangan intelektual. Menurut Jean Piaget (Siswoyo, et al. 2013: 100), tokoh penting dalam bidang psikologi perkembangan, membagi perkembangan intelektual peserta didik menjadi empat tahap, meliputi: 1) tahap sensori motor, 2) tahap pra-oprasional, 3) tahap operasional konkret, dan 4) tahap operasional formal. Keempat tahap perkembangan tersebut dijelaskan lebih lengkap melalui tabel berikut:

Tabel 1. Tahap Perkembangan Peserta Didik Menurut Jean Piaget Umur

(Tahun)

Fase

Perkembangan Perubahan Perilaku 0,0 –

2,0

Tahap Sensori Motor

Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata tersesarnya dalah tangisan. Pengetahuan dapat


(57)

42

disampaikan kepada mereka dalam tahapan ini tidak dapat hanya menggunakan gambar sebagai alat peraga, melinkan harus menggunakan sesuatu yang bergerak.

2,0 -7,0

Tahap Pra-operasional

Peserta didik pada usia ini senang meniru perilaku orang tua dan guru yang pernah ia lihat dalam merespon suatu keadaan, perilaku orang, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau.

7,0 – 11,0

Tahap Operaasional

Konkret

Peserta didik pada tahap perkembangan ini sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume dan jumlah. Peserta didik juga sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret. 11,0 –

14,0

Tahap Operasional

Formal

Peserta didik telam

memiliki kemampuan

mengkoordinasikan dua ragam kemampuan kognitif, secara serentak maupun berurutan.

Berdasarkan pengklasifikasian tahapan perkembangan tersebut, maka anak usia sekolah dasar yang rata-rata berusia dari 7 tahun sampai 12 tahun masuk pada tahap perkembangan psikologis operasional konkret. Pada masa ini tahap intelektual anak yang sebelumnya tidak jelas atau samar-samar akan lebih konkret dan dapat dipahami. Mereka akan mampu memecahkan masalah yang bersifat konkret dan mampu berpikir logis meski masih pada keterbatasan.

Peserta didik dalam masa operasional konkret dapat melakukan banyak pekerjaan pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat mereka lakukan pada masa sebelumnya. Pemahaman peserta didik tentang konsep ruangan, kausalitas, kategorisasi, konversi, dan penjumlahan lebih baik (Izzaty, et al. 2013:


(58)

43

105). Praktek nyata tahapan pemahaman anak pada masa perkembangan ini adalah mereka dapat mengingat jalan pulang ke rumah dari sekolah dengan baik karena mereka mempunyai ide tentang jarak dari satu tempat ke tempat lain, lama waktu tempuhnya, dan dapat mengingat rute dan tanda jalan.

Peserta didik dalam tahap ini mampu berpikir induktif secara logis. Mereka mampu membuat keputusan berdasarkan sebab akibat dan memecahkan soal cerita sederhana. Cara menarik kesimpulan mereka dimulai dari melihat dan mengamati kejadian-kejadian disekitar mereka dengan gejala khusus dari lingkungan sekitar kemudian menarik kesimpulan. Contohnya adalah ayam paman berkokok, ayam kakek berkokok, ayam ayah berkokok, jadi semua ayam berkokok.

Berbagai peningkatan kemampuan berpikir intelektual peserta didi juga menyebabkan berkurang rasa egonya dan mulai bersikap sosial. Anak-anak mulai mengerti bagaimana menjaga sesuatu dengan baik. Pengalaman hidupnya memberikan pengalaman untuk bekal pengambilan keputusan berikutnya. Anak sudah mampu untuk berpikir, belajar, mengingat, dan berkomunikasi, karena proses kognitifnya tidak lagi egosentris melainkan lebih logis. Mereka juga sudah mampu untuk mengurutkan dan mengklasifikasikan suatu benda berdasarkan ciri-ciri tertentu.

3) Perkembangan Bahasa Anak Usia Sekolah Dasar

Bersamaan dengan bertambanya usia, anak-anak semakin banyak memiliki perbendaharaan kata. Anak-anak di lingkungan sekolah semakin banyak menggunakan kata yang tepat untuk menjelaskan sesuatu seperti memukul,


(59)

44

melempar, menendang dan menampar, di samping itu anak-anak juga mampu memilih kata yang tepat dan logis untuk merepresentasikan suatu keadaan. Menurut Izzaty, at al. (2013: 106) anak kelas satu mampu merespon pertanyaan orang dewasa dengan sederhana, dan anak kelas enam mampu menceritakan kembali satu bagai pendek dari buku, film, atau pertunjukan televisi.

4) Perkembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar

Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral merupakan proses yang sangat penting karena pada masa ini anak-anak akan mulai memahami nilai dan norma yang berlaku di lingkungan sekitarnya yang kemudian akan banyak berkonstribusi terhadap pembentukan pribadi dan karakter anak.

Penelitian Jean Piaget mengenai tahapan perkembangan moral anak dijelaskan oleh Dwi Siswoyo, et al. (2013: 107) dengan tabel sebagai berikut.

Tabel 2. Tahap Perkembangan Moral Peserta Didik Menurut Jean Piaget Umur

(Tahun)

Fase

Perkembangan Perubahan Perilaku 0,0 –

3,0 Non Morality

Anak belum memiliki atau mengenal moral

4,0 –

8,0 Heteronomous

Anak sudah mulai menerima dan memiliki aturan begitu saja dari orang lain yang diandang tidak bisa diubah.Tahap ini disebut sebagai masa realisme (stage

of moral realism) atau

moralitas berkendala (constraint morality). Tugas dan kewajiban pada masa ini dipandang sebagai wujud suatu kepatuhan


(1)

268

Keadaan di dalam Kelas Siswa Berdiskusi

Pembelajaran PKn dengan Praktek Buku Pegangan Siswa


(2)

269

Latihan Upacara Bendera Upcara Bendera Hari Senin

Siswa Bermain Bersama Siswa Tertib


(3)

270

Kegiatan Pramuka Ekstrakulikuler Pencak Silat

Pemberangkatan Outing Class IV Pemberangkatan Outing Class III

Kegiatan Market Day


(4)

271 Kebersamaan Siswa dan

Orang Tua saat Market Day

Siswa Meletakkan Sepatu di Rak

Siswa Melaksanakan Piket Kelas

Peneliti Bersama Siswa Setelah Wawancara

Peneliti Bersama Siswa Setelah Wawancara


(5)

272 Lampiran 20.

Dokumentasi Pendukung

SUSUNAN UPACARA BENDERA HARI SENIN

Upacara Bendera hari ... tanggal ... Siap dimulai

1. Pemimpin peleton menyiapkan barisannya masing-masing. 2. Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara.

3. Penghormatan kepada pemimpin upacara, dipimpin oleh pemimpin peleton yang paling kanan.

4. Laporan pemimpin peleton kepada pemimpin upacara. 5. Pembina upacara memasuki lapangan upacara.

6. Penghormatan kepada Pembina upacara, dipimpin oleh pemimpin upacara. 7. Laporan pemimpin upacara kepada Pembina upacara, bahwa upacara siap

dimulai.

8. Pengibaran Bendera merah putih.

9. Penghormatan kepada sang merah putih, dipimpin oleh pemimpin upacara, diiringi menyanyikan lagu Indonesia Raya.

10.Mengheningkan cipta dipimpin oleh Pembina upacara.

11.Pembacaan pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 oleh petugas. 12.Pembacaan teks pancasila oleh Pembina upacara, dan diikuti oleh seluruh

peserta upacara.

13.Amanat Pembina upacara, pasukan diistirahatkan. 14.Menyanyikan lagu wajib.

15.Pembacaan do’a oleh petugas.

16.Laporan pemimpin upacara kepada Pembina upacara, bahwa upacara telah selesai.

17.Penghormatan kepada Pembina upacara dipimpin oleh pemimpin upacara. 18.Pembina upacara dipersilakan meninggalkan lapangan upacara.

19.Pengumuman – pengumuman.

20.Penghormatan kepada pemimpin upacara dipimpin oleh pemimpin peleton yang paling kanan.

21.Pemimpin upacara meninggalkan lapangan upacara.


(6)

273 Lampiran 21.