101
kesusilaan. Semua faktor dan sifat diatas hanya dapat diatasi oleh perempuan sendiri dengan keberanian dan peran sesuai dan atau sepadan dengan laki-laki.
14
Perempuan Jawa senada dengan Kaum feminis radikal yang berpendapat bahwa perempuan ditindas oleh kaum laki-laki, makanya perempuan harus keluar dari kondisi ini.
Kaum feminis saat ini lebih fokus pada bagaimana menata kehidupan yang lebih adil bagi perempuan dan laki-laki? Dengan kata lain masalah yang ditimbulkan oleh sistem budaya itu
yang menjadi fokus perhatian dan mengusahakan budaya hidup yang lebih adil.
15
Perempuan dengan keberaniannya harus tampil dan bertanya tentang keputusan para pemimpin.
Perempuan mempunyai kemampuan untuk menentukan sendiri hidup dan memperjuangkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
16
Berdasarkan atas ulasan dan pandangan-pandangan yang sudah disampaikan maka ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dan penegasan yaitu: Perempuan Jawa
bermartabat sebagai ciptaan Tuhan, Identitas perempuan Jawa berbudaya Jawa, dan Perempuan Jawa sebagai agen perubahan.
4.4.1. Martabat Perempuan.
Perempuan Jawa sebagai mana perempuan yang lain, merupakan perempuan yang memiliki martabat dihadapan Sang Pencipta. Walaupun Perempuan Jawa adalah
mencerminkan wajah ketertindasan dan tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki.
14
Shanti Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty, Cet I, 1988, 155.
15
Natar, Ketika Perempuan berteologi : Berteologi Feminis Kontektual, 27-28.
16
Natar, Ketika Perempuan, 37-39.
102
Sebaliknya, perempuan menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.
17
Perempuan sejak lama selalu dilekati dengan sifat-sifat
nrimo
, pasrah,
lembah manah
, setia, atau halus. Pembakuan sifat ini menjadi cenderung ideologis karena muncul dalam
konstruksi sosial yang acapkali meminggirkan perempuan. Inferioritas sering menjadi momok bagi perempuan, karena dioperasionalkan melalui mekanisme sosial, kultural, dan
kekuasaan. Sambungan “keapesan” perempuan terus mendapati fragmen-fragmen yang tragis.
Babad Tanah Jawi
pun secara eksplisit membenarkan nasib apes perempuan. Bagi orang Jawa, Perempuan digambarkan sebagai orang yang harus dihormati oleh anaknya
karena surga terletak di bawah kaki ibu. Setidaknya ada
term
di masyarakat Jawa yang biasa digunakan untuk menyebut perempuan sebagai Wadon. Wadon berasal dari bahasa Kawi,
“Wadu” yang artinya
kawula
atau abdi. Secara istilah bisa diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki. Perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi
agar bisa memerankan dengan baik peran-peran ini. Perempuan dituntut untuk selalu merealisasikan tiga kewajiban perempuan
tri perkawis
. Dan yang dimaksud dengan tiga kewajiban itu adalah kedudukannya sebagai
wadon
,
wanita
, maupun
estri.
Dalam kehidupan perempuan Jawa juga sering kita dengar istilah
masak, macak, manak
yang artinya pandai
memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunan. Meski terlihat sederhana istilah tersebut, tapi sebenarnya ketiga kata tersebut memiliki makna yang sangat
dalam. Harkat dan martabat perempuan dalam
Babad Tutur
menjadi suatu sisi terang untuk merevisi sisi gelap yang terdapat dalam
Serat Panitisastra. Serat Panitisastra
merupakan
17
Konsep perempuan Jawa yang tertuang dalam Novel “Hati Sinden” karya Dwi Rahayuningnsih, 2011 Yogyakarta : Diva Press.
103
tanda proses perubahan dan pada masa sastra Jawa Madya menjadi obyek fungsional yang selalu dibayangi oleh konvensi rasial dan religi yang paternalistik. Pemahaman itu merupakan
dampak atas mekanisme dari kekuasaan yang mengacu pada keraton. Sastra Jawa memang didominasi oleh para pujangga keraton yang tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang
paternalistik, yakni keraton dan kolonial.
Pada konteks itulah maka perempuan mendapat tempat kehormatan, lebih bermartabat
dan tidak diposisikan di lapisan bawah. Persepsi terdahulu yang dilandasi kultur feodalisme
konvensional tidak lagi mendapatkan tempat, karena keberadaan perempuan sebagai kaum
feminin semakin dihormati, dijunjung tinggi dan berperan sejajar dengan laki-laki, walaupun dari sisi biologis terdapat perbedaan alami melahirkan, itu wajar.
Di kalangan terbatas kampus dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, persoalan kesetaraan gender ditinjau dari berbagai perspektif sudah banyak dibahas dan dibincangkan
untuk kemudian diimplementasikan. Mereka lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasinya. Namun di kalangan awam sesungguhnya hal demikian belum
nampak diinternalisasikan secara optimal. Sesungguhnya persoalan ini sangat bergantung
kaum perempuan itu sendiri, karena eksistensi perempuan sebagai entitas secara kemanusiaan
mestinya sejajar dengan kaum laki-laki. Bukankah nasib akan berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya sendiri?
Padahal Allah menciptakan manusia dengan tingkat harkat atau tingkat derajat kemanusiaan yang sama bagi lelaki dan perempuan. Cerita penciptaan versi abad ke-10 SZB
menulis, ... Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Kejadian 2:18 Dalam bahasa aslinya digunakan
nomina ezer
, yang berarti pihak yang mampu membantu. Bahkan Allah disebut
ezer
di Mazmur 115:9-11. Jadi, sebutan
ezer
sama sekali
104
tidak bersifat merendahkan, bahkan sebenarnya mengagungkan. Lalu cerita itu menyebut perempuan sebagai penolong yang sepadan. Bahasa aslinya
neged
yang berarti sepantar. Penciptaan yang ditulis empat abad kemudian mencatat, ... menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Kejadian 1:27 Perhatikan bahwa yang diciptakan sesuai dengan citra Allah bukan hanya gender lelaki,
melainkan juga gender perempuan. Jadi, kedua versi cerita itu sama-sama mengakui bahwa lelaki dan perempuan diciptakan dengan martabat kemanusiaan yang sama tingkatnya
. 4.4.2.
Perempuan Sebagai Manusia Berbudaya
Budaya patriarki mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada umumnya memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan dominasi
laki-laki. Kebudayaan Jawa menempatkan perempuan sebagai
the scond sex
. Dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlalu
dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat Jawa bahwa istri adalah
konco wingking.
Namun
konco wingking
yang dapat diartikan menjadi orang yang berada dibelakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang
menentukan. Oleh sebab itu, merupakan kemunduran jika meniru budaya-budaya tertentu di Timur
Tengah dalam pemahaman tentang perempuan. Di sana ada negara yang melarang anak perempuan bersekolah, melarang perempuan mengemudi mobil atau motor, melarang
perempuan berjalan tanpa suami pada malam hari, melarang perempuan menduduki jabatan tertentu, dan banyak larangan lain. Juga ada peraturan yang mengharuskan perempuan
berpakaian begini atau begitu, mengharuskan perempuan membawa izin tertulis dari suami
105
bila bepergian ke luar negeri, atau mengharuskan perempuan bersedia dimadu oleh suaminya.
18
Dalam budaya universal, ketertindasan perempuan, menurut Ortner merupakan manivestasi dari pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan
posisi laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan memberikan pembedaan antara masyarakat manusia dan alam. Kebudayaan berupaya mengendalikan dan
menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh sebab itu kebudayaan berada pada posisi superior dan alam dipihak inferior. Kebudayaan diciptakan
untuk menguasai, mengelola dan mengendalikan alam untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan masyarakat. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan, maka
perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, dan laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan. Oleh karenanya merupakan suatu hal yang alami jika perempuan berada pada posisi yang
dikontrol, dikendalikan dan dikuasai. Konsep ini ada kesamaan dengan konsep orang Turki tentang perempuan, bahwa perempuan diasosiasikan dengan tanah dan laki-laki diasosiasikan
dengan benih padi sebagai pemahaman atas reproduksi.
4.4.3. Perempuan Sebagai Agen Perubahan Budaya