11
STUDI TENTANG PENGGUNAAN LAGU-LAGU POP ROHANI DALAM IBADAH DI JEMAAT GMIT AGAPE
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gereja Masehi Injili di Timor atau biasa dikenal dengan sebutan GMIT merupakan salah satu gereja dari gereja-gereja di Indonesia yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia PGI. GMIT yang terletak bagian timur Indonesia lebih tepatnya provinsi Nusa Tenggara Timur NTT memiliki kurang lebih 2000 jemaat dan 44 klasis. Jemaat GMIT terdiri
dari jemaat pribumi antara lain suku Timor, Sabu, Rote, Alor, Flores dan lain sebagainya dan dari sejumlah GMIT yang ada di kota Kupang, setidaknya ada salah satu jemaat GMIT memiliki
warna yang berbeda dibandingkan gereja GMIT yang lain yaitu jemaat GMIT Agape karena sebagian besar terdiri dari jemaat Tionghoa dan sebagian kecilnya ialah jemaat pribumi
berdasarkan jumlah anggota jemaat Tionghoa 187 Jiwa dan jemaat Pribumi 105 Jiwa. Ada denominasi etnis yang terjadi, perpaduan orang-orang Tionghoa dan orang-orang pribumi
tentunya telah melalui proses sejarah yang cukup panjang sehingga terbentuknya GMIT Agape. Jemaat GMIT Agape awalnya merupakan pecahan dari gereja GMIT Kota Kupang. Kemudian
orang-orang Tionghoa bergabung dengan jemaat pribumi dan membentuk sebuah vocal group bernama Imanuel. Vocal group Imanuel ini berusaha untuk membantu pembangunan gereja
dengan mencari dana tetapi di mata jemaat pribumi keberadaan orang-orang Tionghoa tidak diperhitungkan sehingga timbul ketidaknyamanan di antara jemaat pribumi dan jemaat
Tionghoa. Pada tahun 1968 orang-orang Tionghoa bertemu dengan seorang pendeta bernama Stephen Tong ketika sedang melakukan Kebaktian Kebangunan Rohani KKR di Gereja Kota
Kupang. Tong bertemu dengan orang-orang Tionghoa di jemaat Kota Kupang dan memberi dorongan bagi mereka untuk bertumbuh dalam pelayanan.
Orang-orang Tionghoa suka sekali bernyanyi dan membuat mereka membentuk paduan suara yang diberi nama Pelita, namun pelayanan mereka melalui paduan suara yang dibentuk membuat
orang-orang pribumi semakin tidak menyukai keberadaan orang-orang Tionghoa akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat orang-orang Tionghoa dalam bernyanyi. Bagi orang-orang
Tionghoa bernyanyi saja tidak cukup. Ada kerinduan untuk melayani sesama Tionghoa dan dilayani oleh orang Tionghoa dan dari kerinduan inilah yang membuat mereka mencari pelayan
orang Tionghoa untuk melayani mereka, pelayan biasa mereka sebut sebagai hamba Tuhan. Pada
tahun 1969 ada seorang pelayan yang berasal dari SAAT orang Tionghoa pandai berbahasa
12
mandarin melakukan pelayanan di Gereja Kota Kupang. Orang-orang Tionghoa mulai bertumbuh dan memiliki tekad untuk hidup “mandiri”. Tekad itu dimulai dari mencari dana
untuk membeli sebuah tempat agar dijadikan sebagai Pos Pekabaran Injil PI. Setelah memiliki pos PI, pada saat itu belum dilayani oleh pendeta melainkan penginjil-penginjil dari SAAT dan
oleh karena pos PI yang telah berjalan dengan baik mengakibatkan jumlah jemaat semakin banyak maka jemaat Tionghoa mula-mula tersebut memiliki keinginan untuk membangun gereja
sendiri dan akhirnya tekad dari orang-orang Tionghoa untuk membangun gereja sendiri dengan cara meminta permohonan izin kepada Gubernur NTT namun pada waktu itu ditolak hingga
sampai pada tingkat pengadilan tapi pada akhirnya atas keputusan dari pihak sinode maka jemaat diperbolehkan untuk membangun gereja namun dengan tiga syarat yakni, 1 harus di bawah
naungan GMIT, 2 harus berbaur dengan jemaat pribumi 3 tidak diperbolehkan membawa masuk cunghae chungi ke dalam gereja
1
. Proses sejarah yang cukup panjang dan pada akhirnya GMIT Agape mulai terbentuk dan
berdiri sendiri sejak tahun 1980 dengan mayoritas jemaat Tionghoa. GMIT Agape membawa warna yang berbeda dibandingkan dengan gereja GMIT yang lainnya. Pasalnya, perbedaan itu
mulai terlihat dari struktur organisasi. Sejak GMIT Agape mulai berdiri, kepemimpinan dalam struktur organisasi tidak dipimpin oleh seorang pendeta melainkan dipimpin oleh seorang warga
jemaat dan hal ini diteruskan sampai periode saat ini 2014-2017. Perbedaan yang lain juga terdapat dalam suasana peribadatan, tata ibadah yang digunakan tetap sama dengan tata ibadah
GMIT namun isinya yang berbeda. Isi yang berbeda itu terdapat pada nyanyian-nyanyian jemaat yang digunakan bukanlah nyanyian-nyanyian yang sama dengan gereja GMIT pada umumnya.
Perbedaan GMIT Agape membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut salah satu perbedaan yakni suasana peribadatan GMIT Agape dengan warna tata ibadah yang berbeda. Tata
ibadah lebih khusus pada unsur tata ibadah yakni nyanyian-nyanyian yang digunakan menjadi unsur penting dalam peribadahan karena menyanyi dan memuji Tuhan merupakan pelayanan
utama di dalam kebaktian gereja karena setelah di surga kelak, nubuat akan berhenti, khotbah akan berakhir namun nyanyian dan puji-pujian tidak akan berakhir.
2
Kutipan dari Karl Barth mengenai hakikat gereja bahwa pada dasarnya “Gereja adalah umat yang bernyanyi, Gereja yang
tidak bernyanyi bukanlah gereja”
3
. Gereja tidak terlepas dari nyanyian-nyanyian yang ada dalamnya jadi bayangkan apabila gereja tidak memiliki nyanyian-nyanyian jemaat maka ada
sesuatu yang hilang. Nyanyian ialah suatu perpaduan yang harmonis antara lagu dan syair yang
1
Hasil wawancara de ga para Je aat da Pe gi jil ula- ula juli
5 pukul -12:30 dan 17:00-20:30.
2
Madrasah Alkitab Asia Tenggara Malang. Puji-Pujian Kristen Malang, 1976, 1.
3
Ismail, Andar. Selamat Melayani Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, 19,20.
13
isinya memiliki arti dan makna tertentu
4
. Jadi gereja yang tidak bisa terlepas dari nyanyian- nyanyian yang memiliki arti dan makna hidup saat umat datang dan menyembah kepada Tuhan
melalui nyanyian-nyanyian tersebut. Tradisi gereja yang bernyanyi adalah kelanjutan dari agama Yahudi yang memberi ruang penting bagi kedudukan nyanyian dalam Ibadah di Bait Allah
5
. Seperti misalnya, Perjanjian Lama telah menguraikan adanya nyanyian-nyanyian umat seperti
kitab Mazmur yang merupakan kitab nyanyian umat Israel dan doa yang dipanjatkan kepada Allah, nyanyian dalam kitab Mazmur itu berupa pujian dan ratapan dari umat Israel kepada Allah
sebagai rasa ungkapan syukur dan pengalaman-pengalaman iman yang dialami oleh umat Israel, sehingga Mazmur memiliki tempat dalam liturgi di ibadah di Sinagoge. Tidak hanya berpatokan
pada kitab Mazmur ada pula Nyanyian-nyanyian yang ada di dalam Perjanjian Lama, nyanyian Musa dan Miryam Kel 15, nyanyian syukur Hizkia, Nyanyian Debora Hak 5 Nyanyian Hana
1 Sam 2
6
. Selain Perjanjian Lama, Perjanjian Baru juga tidak terlepas dengan adanya nyanyian- nyanyian, Yesus juga pernah bernyanyi ketika Ia hendak pergi ke bukit Zaitun bersama dengan
murid-murid Mat 26 : 30, Surat-surat Paulus khususnya dalam Surat Efesus menguraikan nasihat Paulus kepada jemaat untuk saling menguatkan seorang dengan yang lain melalui
Mazmur, Kidung Puji-pujian dan nyanyian rohani Ef 5:19
7
Jadi, nyanyian-nyanyian sudah ada dan akan terus ada dalam kehidupan bergereja karena nyanyian merupakan bagian dalam
pergumulan iman jemaat yang di dalamnya terdapat pesan-pesan moral, rasa ungkapan syukur dan juga sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan.
Nyanyian-nyanyian jemaat adalah salah satu unsur di dalam liturgi. Liturgi sangat penting dalam berlangsungnya peribadatan di gereja karena menurut Riemer liturgi itu merupakan sarana
untuk bagaimana supaya dapat menghidupkan kepercayaan jemaat dalam komunitas gereja dan memberi pancaran Kristus kepada orang-orang yang belum berada dalam komunitas
8
dan oleh karena itulah Ibadah ialah suatu kegiatan yang dilakukan oleh komunitas orang-orang yang
percaya kepada Allah yakni dengan pelayanan kepada Allah
9
. Jadi, Liturgi yang mampu menguatkan kehidupan berjemaat dilihat dari pengaruh unsur-unsur liturgi termasuk nyanyian-
nyanyian jemaat. Nyanyian-nyanyian di dalam gereja tentunya memiliki peran, fungsi dan kedudukan yang penting dalam peribadahan. Nyanyian-nyanyian gereja seharusnya bersifat
ekumenis, yang dapat diterima secara bersama-sama, hal ini diperlukan karena ada nyanyian- nyanyian yang syairnya mengandung dogma gereja yang bersangkutan sehingga nyanyian itu
4
Mawane, M. Th. Gereja yang Bernyanyi. Yogyakarta: PBMR ANDI, 2004, 4.
5
Ismail, Andar. Selamat Melayani Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, 16.
6
Olst E.H. Van .Alkitab dan Liturgi. Jakarta: Gunung Mulia, 2011 8,9.
7
Mawane, M. Th. Gereja yang Bernyanyi. Yogyakarta: PBMR ANDI, 2004, 22.
8
G. Riemer. Cermin Injil. Jakarta : Litindo, 1995 ,20.
9
Rachman, Rasid. Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi.Jakarta : Gunung Mulia 2010, 3.
14
jelas ditolak oleh komunitas gereja yang lain
10
jadi perlu untuk meninjau kembali nyanyian- nyanyian gereja berdasarkan persetujuan bersama demi pertumbuhan dan kesatuan iman jemaat.
Salah satu semangat oikumene dapat dikatakan berhasil juga melalui nyanyian, untuk mengenal pemahaman iman dalam satu gereja, buku nyanyian adalah salah satunya yang perlu diperhatikan
gereja
11
. Buku-buku nyanyian tentunya diperhatikan oleh gereja-gereja di Indonesia dengan
keberadaan Yayasan Musik Gerejawi yang telah menyusun nyanyian-nyanyian berupa Kidung Jemaat 1984, Pelengkap Kidung Jemaat 1999, Nyanyikanlah Kidung Baru 1975 kemudian
ada nyanyian Gita Bakti milik Gereja Protestan Indonesia bagian Barat GPIB sedangkan lagu- lagu pop rohani telah muncul pada akhir abad ke 18 di Negeri Belanda yang disebut dengan
nyanyian-nyanyian rohani. Nyanyian-nyanyian rohani tersebut kemudian diperluas dan membawa pengaruh sampai ke Indonesia yaitu dengan sejumlah nyanyian-nyanyian Injili dari
Tahun 1807 dan pada tahun 1825 diterjemahkan oleh Pdt. Le Bruijn di Timor menjadi nyanyian- nyanyian yang cocok untuk kebangunan rohani dan bercorak pietis.
12
Lagu-lagu pop rohani tidak memiliki kedudukan dan fungsi yang jelas dalam tata liturgi
13
berbeda dengan Kidung Jemaat yang memiliki tempat dan fungsi dalam liturgi seperti misalnya nyanyian pembukaan, nyanyian
pengakuan dosa, nyanyian pemberitaan firman dan nyanyian penutup terdapat lengkap dalam Kidung Jemaat sedangkan lagu-lau pop rohani tidak memiliki kedudukan dalam tata liturgi.
Tradisi GMIT rupanya ada kesepakatan bersama untuk menggunakan nyanyian-nyanyian gereja yang dapat diterima bersama yakni berupa Kidung Jemaat KJ Pelengkap Kidung Jemaat PKJ
Nyanyikanlah Kidung Baru NKB dan juga lagu-lagu pop rohani namun setiap gereja diberi catatan untuk supaya ada keseimbangan dalam menggunakan nyanyian jemaat baik itu nyanyian-
nyanyian secara eukumenis maupun lagu-lagu pop rohani. Kesepakatan dari pihak sinode tidak digunakan secara baik oleh jemaat GMIT Agape
sehingga jemaat seringkali ditegur oleh sinode karena tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Namun jemaat GMIT Agape sepertinya menikmati dengan aturan yang dibuat oleh
mereka sendiri salah satunya ialah ketidakseimbangan nyanyian-nyanyian yang digunakan dalam ibadah, jemaat lebih dominan menggunakan lagu-lagu pop rohani pada saat ibadah-ibadah
berlangsung baik itu ibadah umum maupun ibadah kategorial. Lagu-lagu pop rohani dapat didefinisikan sebagai kumpulan nyanyian-nyanyian rohani yang berada di luar dari kesepakatan
10
Mawane, M. Th. Gereja yang Bernyanyi. Yogyakarta: PBMR ANDI, 2004, 50.
11
Damaputera, Eka. Bergumul dalam Pengharapan Struggling in Hope Jakarta: BPK Gunung Mulia: 1999, 108-109.
12
De Jonge, Christian. Apa itu Calvinisme? Jakarta: Gunung Mulia: 2008, 186.
13
Majelis Sinode GPIB, Katekasasi GPIB. Jakarta:2010 ,204.
15
nyanyian-nyanyian yang digunakan secara eukumenis dan nyanyian pop rohani ini berkaitan erat dengan penghayatan iman pribadi bukan tentang nilai-nilai etis yang terkandung di dalamnya.
Walaupun pada dasarnya lagu-lagu pop rohani itu tidak memiliki kedudukan dan fungsi seperti yang ada dalam kidung jemaat namun jemaat GMIT Agape tetap menggunakan lagu-lagu pop
rohani tersebut. GMIT Agape juga tidak terlepas dengan munculnya pro dan kontra. Pro itu berupa keadaan
warga jemaat yang sepertinya menikmati perbedaan mereka dalam hidup berjemaat selama itu tidak menghambat tugas dan pelayanan mereka untuk mewujudkan gereja yang misioner. Kontra
juga terjadi bagi jemaat yang bukan dari kalangan GMIT Agape dengan alasan bahwa GMIT Agape tidak mengikuti peraturan GMIT dan berbagai keputusan-keputusan yang telah disepakati
bersama. Salah satu aturan yang tidak menjadi bagian dalam kehidupan berjemaat di GMIT Agape ialah struktur organisasi yang terlihat mulai dari ketua majelis jemaat yang bukan seorang
pendeta melainkan seorang warga jemaat kemudian suasana ibadah yang lebih mengarah pada pentakosta. Ada juga konflik yang telah terjadi di GMIT Agape hingga persoalan tersebut
sampai pada tingkat sinode dan kemudian berakhir di pengadilan. Status GMIT Agape sudah menjadi pembahasan serius pada tingkat sinode dikarenakan kontra yang terjadi dan berdasarkan
notulensi dari sidang sinode, banyak orang mengeluh melihat status GMIT Agape saat ini dengan kedudukan dalam GMIT Agape yang rupanya sangat berbeda dengan gereja GMIT yang
lain sehingga mengundang perhatian baik itu pada di tingkat sinode maupun jemaat non-GMIT Agape. Jadi, berbagai nuansa berbeda yang ada di GMIT Agape dan mengundang banyak
perhatian masyarakat serta berangkat dari pembahasan latar belakang maka penulis memilih salah satu perbedaan yang dimiliki GMIT Agape yakni dari suasana peribadatan yang unik
dilihat dari nyanyian-nyanyian jemaat yang digunakan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh dan di dalam tulisan ini judul yang dipilih ialah,
“STUDI TENTANG PENGGUNAN LAGU-LAGU POP ROHANI DALAM IBADAH DI JEMAAT GMIT
AGAPE ”
1.2 Rumusan Masalah