sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab.
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat
terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu
disebabkan karena kejadian “A” post hoc non propter hoc.
B. Teori-teori Kausalitas ajaran-ajaran kausalitas
B.1. Teori Ekivalensi aquivalenz-theorie atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua
non dari von Buri Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan
lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat
yang dapat dihilangkan lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya
tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa
ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga
merupakan sebab dari matinya A. Teori ekivalensi ini memakai pengertian
“sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik
dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill di Inggris dalam bukunya :
Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” 1843.
Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum
pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus
diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara
hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.
Kritik keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi
sebelumnya. Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.
Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan
penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang
akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu
beberapa faktor yang kuat dominant, sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-
faktor yang irrelevant yang tidak perlu penting. Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,
sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali
dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini
dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum inconcreto, artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari
peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut-
penganutnya tidak banyak antara lain : 1. Birkmayer 1885 mengemukakan : sebab
adalah syarat yang paling kuat Ursache ist die wirksamste Bedingung
2. Binding. Teorinya
disebut “Ubergewichtstheorie”
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam
keseimbangan antara faktor yang menahan negatif dan faktor yang positif, dimana faktor
yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam
keunggulannya in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi terhadap syarat-syarat yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau
syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor
positif itu.
B.3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum sebelum kejadianin abstracto apakah diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar kans untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat
yang bersangkutan ad-aequare artinya dibuat sama. Oleh karena itu teori ini disebut teori
adequat teori adequate, Ada-quanzttheorie. Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya
hubungan sebab akibat yang adequat : a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya
dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu
menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.
Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena
ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak
disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit
trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara
sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma
tersebut. c. Seorang petani membakar tumpukan rumput
kering hooi, dimana secara kebetulan bersembunyi tidur seorang penjahat hingga
ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari
keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu
maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka
perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu
sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini
ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain : 1. Penentuan subyektif subjective ursprungliche
Prognose. Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui
diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang
menentukan. 2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi
bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan
pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan Beurteilungs standpunkte ini disebut “objektive nachtragliche Prognose”
Rumelin. Sebenarnya dalam teori kausal adequat
subyektif Von Kries itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan; oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab
suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-
ngirakan atau membayangkan voor zien akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya
membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya
dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga
menentukan pertanggunganjawab pidana, jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang
sesungguhnya. Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci
pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu
mati. Pada waktu hujan yang disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati
disambar petir. Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya
pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya
dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate.
Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang
kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain : 1. Simons :
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat,
apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”.
2. Kami Ringkasan Hukum Pidana hal. 47 berpendirian senada dengan Simons. Beliau
katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan,
presumptie, bahwa alur peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini kesimpulan
pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti
hal ikhwal yang berada dan menurut pengalaman kita, dengan kadarnya memadai
sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu sebab”.
3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan- perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan
teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan
penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu
merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan dalam rumusan delik yang
bersangkutan. Mengenai teori adequat dari von Kries, itu
dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu
mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap
perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat
menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam
kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman
manusia pada umumnya dan sebagainya. Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang
sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
dengan nyata teori mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan
tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan,
bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika onmiddellijk
en rechtsreeks a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 .
147 hal 115 sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas
rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh
kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan
sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si
terdakwa pengendara mobil. b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.
Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat
voorwaarde dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena
antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
1937. Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang
pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi stuur dan membiarkan pengemudi
tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena
antara perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang
langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang
sebagai suatu syarat dan bukan sebab. d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei
1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas
tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan
7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
barang angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari
berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat.
Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat”
dengan “kecelakaan itu”.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat