B. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari modul ini peserta diklat
diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya,   tindak   pidana,   adanya   hubungan
sebab   akibat  causaliteit,   causalitat,   sifat melawan
hukum, kesalahan
dan pertanggungjawaban   pidana,   kesengajaan,
kealpaan,   delik   pelanggaran,   pemidanaan, percobaan,  penyertaan,  penggabungan  tindak
pidana,   dasar   penghapus   pidana,   gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
IV. POKOK BAHASAN
a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana. b. Tindak Pidana.
c. Hubungan sebab akibat causaliteit, causalitat. d. Sifat   melawan   hukum  rechtswdrig,   unrecht,
wederrechtelijk, onrechmatig. e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
f. Kesengajaan dolus, intent, opzet, vorsatz. g. Kealpaan culpa.
h. Kesalahan dalam delik pelanggaran. i. Pidana dan pemidanaan hukum penitensier.
j. Percobaan poging, attempt. k. Penyertaan.
l. Penggabungan   tindak   pidana  samenloop
concursus.
m. Alasan      dasar   penghapus   pidana straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.
n. Gugurnya   kewenangan   menuntut   dan menjalankan pidana.
V. FASILITAS  MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum
pidana antara lain :
a Modul asas-asas hukum pidana; b Internet;
c Peraturan perundang-undangan; d Literatur yang terkait.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. RUANG   BERLAKUNYA   HUKUM   PIDANA MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang- undangan   pidana   berkaitan   dengan  waktu  dan
tempat  perbuatan   dilakukan.   Serta   berlakunya hukum   pidana   menurut  waktu  menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang   melakukan   perbuatan  feit  pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas  nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali Terdapat dalam Pasal 1 ayat
1 KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas   perbuatan   yang   dirumuskan   dalam   suatu
aturan   perundang-undangan   yang   telah   ada terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat 1 berbunyi dan berhak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan   Pasal   28   J   ayat   2   Undang-undang   Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan   yang   ditetapkan   dengan   undang-
undang   dengan   maksud   semata-mata   untuk menjamin   pengakuan   serta   penghormatan   atas
hak   dan   kebebasan   orang   lain   dan   untuk memenuhi   tuntutan   yang   adil   sesuai   dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan   ketertiban   umum   dalam   suatu   masyarakat
demokratis”.   Karenanya   asas   ini   dapat   pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan  sejarah asas  ini  dirumuskan  oleh Anselm   von   Feuerbach   dalam   teori   :  “vom
psychologishen   zwang   paksaan   psikologis” dimana   adagium   :   nullum   delictum   nulla   poena
sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla   poena   sine   lege   tiada   pidana   tanpa
undang-undang -
Nulla Poena sine crimine tiada pidana tanpa perbuatan pidana
- Nullum   crimen   sine   poena   legali   tiada
perbuatan   pidana   tanpa   undang-undang pidana yang terlebih dulu ada
Adagium ini menganjurkan supaya : 1 Dalam   menentukan   perbuatan-
perbuatan   yang   dilarang   di   dalam peraturan   bukan   saja   tentang
macamnya perbuatan
yang harusdirumuskan   dengan   jelas,   tetapi
juga   macamnya   pidana   yang diancamkan;
2   Dengan   cara   demikian   maka   orang yang   akan   melakukan   perbuatanyang
dilarang   itu   telah   mengetahui   terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya   jika   nanti   betul-betul melakukan perbuatan;
3 Dengan demikian dalam batin orang itu akan   mendapat   tekanan   untuk   tidak
berbuat.   Andaikata   dia   ternyata melakukan   juga   perbuatan   yang
dilarang,   maka   dinpandang   dia menyetujui   pidana   yang   akan
dijatuhkan kepadanya. Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang
dimaksud dalam asas legalitas yaitu : 1 Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam   dengan   pidana   kalau   hal   itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu   aturan   undang-undang.   Hal   ini dirumuskan   dalam   Pasal   1   ayat   1
KUHP. 2 Untuk   menentukan   adanya   perbuatan
pidana   tidak   boleh   digunakan   analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan
penafsiran ekstensif. 3 Aturan-aturan   hukum   pidana   tidak
berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a Tidak   dapat   dipidana   kecuali   ada ketentuan   pidana   berdasar   peraturan
perundang-undangan formil. b Tidak
diperkenankan Analogi
pengenaan   suatu   undang-undang terhadap   perbuatan   yang   tidak   diatur
oleh undang-undang tersebut. c Tidak   dapat   dipidana   hanya
berdasarkan  kebiasaan   Hukum   tidak tertulis.
d Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas lex Certa.
e Tidak boleh Retroaktif berlaku surut f Tidak   boleh   ada   ketentuan   pidana
diluar Undang-undang. g Penuntutan
hanya dilakukan
berdasarkan   atau   dengan   cara   yang ditentukan undang-undang.
B. RUANG   BERLAKUNYA   HUKUM   PIDANA MENURUT TEMPAT LEX LOCI
Teori   tetang   ruang   lingkup   berlakunya   hukum pidana   nasional   menurut   tempat   terjadinya.
Perbuatan  yurisdiksi   hukum   pidana   nasional, apabila   ditinjau   dari   sudut   Negara   ada   2   dua
pendapat yaitu : a. Perundang-undangan   hukum   pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi   diwilayah   Negara,   baik   dilakuakan
oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain asas territorial.
b. Perundang-undangan   hukum   pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan
diluar   wilayah   Negara.   Pandangan   ini disebut   menganut  asas   personal  atau
prinsip nasional aktif. Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya
hukum   pidana   menurut   ruang   tempat   dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam
hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
I. Asas Teritorial.
II. Asas Personal nasional aktif.
III. Asas Perlindungan nasional pasif
IV. Asas Universal.
Ad. I. Asas Teritorial
Asas   ini   diatur   juga   dalam   Kitab   Undang- Undang Hukum Pidana KUHP yaitu dalam
pasal   2   KUHP   yang   menyatakan   : “Ketentuan   pidana   dalam   perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia”. Pasal   ini   dengan   tegas   menyatakan   asas
territorial,   dan   ketentuan   ini   sudah sewajarnya   berlaku   bagi   Negara   yang
berdaulat.   Asas   territorial   lebih   menitik beratkan   pada   terjadinya   perbuatan
pidana   di   dalam   wilayah   Negara   tidak mempermasalahkan   siapa   pelakunya,
warga Negara atau orang asing. Sedang
dalam   asas   kedua   asas   personal   atau asas   nasional   yang   aktif   menitik
beratkan   pada   orang   yang   melakukan perbuatan
pidana, tidak
mempermasalahkan   tempat   terjadinya perbuatan   pidana.   Asas   territorial   yang
pada saat ini banyak diikuti oleh Negara- negara di dunia termasuk Indonesia. Hal
ini   adalah   wajar   karena   tiap-tiap   orang yang berada dalam wilayah suatu Negara
harus   tunduk   dan   patuh   kepada peraturan-peraturan   hukum   Negara
dimana yang bersangkutan berada. Perluasan   dari   Asas   Teritorialitas  diatur
dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di   luar   wilayah   Indonesia   melakukan
tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Ketentuan   ini   memperluas   berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa
perahu   kendaraan   air   dan   pesawat terbang   lalu   dianggap   bagian   wilayah
Indonesia.   Tujuan   dari   pasal   ini   adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di
dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di
wilayah   udara   bebas,   tidak   termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga
ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana   diatas   alat   pelayaran   Indonesia
diluar   wilayah   Indonesia.  Alat   pelayaran pengertian   lebih   luas   dari   kapal.   Kapal
merupakan   bentuk   khusus   dari   alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut
bebas dan laut wilayah Negara lain. Asas-asas  Extra   Teritorial      kekebalan
dan   hak-hak   Istimewa   Immunity   and Previlege.
 Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.
 Pejabat-pejabat   perwakilan   asing dan keluarganya.
 Pejabat-pejabat   pemerintahan Negara   asing   yang   berstatus
diplomatik yang dalam perjalanan melalui   Negara-negara   lain   atau
menuju Negara lain.  Suatu   angkatan   bersenjata   yang
terpimpin.  Pejabat-pejabat
badan Internasional.
 Kapal-kapal   perang   dan   pesawat udara   militer     ABK   diatas   kapal
maupun di luar kapal.
Ad. II. Asas Personal
Asas   Personal  atau  Asas   Nasional  yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya
terhadap   warga   Negara   yang   sedang berada   dalam   wilayah   Negara   lain   yang
kedudukannya   sama-sama   berdaulat. Apabila   ada   warga   Negara   asing   yang
berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan   tindak   pidana   dan   tindak
pidana   dan   tidak   diadili   menurut   hukum Negara   tersebut   maka   berarti
bertentangan   dengan   kedaulatan   Negara tersebut.   Pasal   5   KUHP   hukum   Pidana
Indonesia   berlaku   bagi   warga   Negara Indonesa   di   luar   Indonesia   yang
melakukan   perbuatan   pidana   tertentu Kejahatan   terhadap   keamanan   Negara,
martabat kepala Negara, penghasutan, dll. Pasal 5 KUHP menyatakan :
“1.   Ketetentuan   pidana   dalam perundang-undangan   Indonesia
diterapkan   bagi   warga   Negara yang di luar Indonesia melakukan :
salah   satu   kejahatan   yang tersebut   dalam   Bab   I   dan   Bab   II
Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah
satu   perbuatan   yang   oleh   suatu ketentuan
pidana dalam
perundang-undangan   Indonesia dipandang   sebagai   kejahatan,
sedangkan   menurut   perundang- undangan   Negara   dimana
perbuatan   itu   dilakukan   diancam dengan pidana.
2.   Penuntutan   perkara   sebagaimana dimaksud   dalam   butir   2   dapat
dilakukan   juga   jika   terdakwa menjadi   warga   Negara   sesudah
melakukan perbuatan”. Sekalipun   rumusan   pasal   5   ini   memuat
perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,
sehingga   seolah-olah   mengandung   asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal
5   KUHP   memuat   asas   melindungi kepentingan nasional asas nasional pasif
karena : Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi
warga   Negara   diluar   wilayah   territorial
wilyah   Indonesia   tersebut   hanya   pasal- pasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai perlindungan
terhadap kepentingan   nasional.   Sedangkan   untuk
asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan   hukum   pidana   bagi
warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan  pasal  5  ayat  2  adalah  untuk mencegah   agar   supaya   warga   Negara
asing   yang   berbuat   kejahatan   di   Negara asing   tersebut,   dengan   jalan   menjadi
warga Negara Indonesia naturalisasi. Bagi   Jaksa   maupun   hakim   Tindak
Pidana   yang   dilakukan   di   negara   asing tersebut, apakah menurut undang-undang
disana   merupakan   kejahatan   atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan,
karena   mungkin   pembagian   tindak pidananya   berbeda   dengan   di   Indonesia,
yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan
dilakukan   diancam   dengan   pidana, sedangkan   menurut   KUHP   Indonesia
merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Ketentuan pasal 6 KUHP :
“  Berlakunya   pasal   5   ayat   1   butir   2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
dijatuhkan   pidana   mati,   jika   menurut perundang-undangan   Negara   dimana
perbuatan   dilakukan   terhadapnya   tidak diancamkan pidana mati”.
Latar   belakang   ketentuan   pasal   6   ayat 1   butir   2   KUHP   adalah   untuk
melindungi kepentingan nasional timbal balik  mutual   legal   assistance.  Oleh
karena   itu   menurut   Moeljatno,   sudah sewajarnya   pula   diadakan   imbangan
pulu   terhadap   maksimum   pidana   yang mungkin   dijatuhkan   menurut   KUHP
Negara asing tadi.
Ad. III. Asas Perlindungan
Sekalipun   asas   personal   tidak   lagi digunakan   sepenuhnya   tetapi   ada   asas
lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum   pidana   nasional   terhadap
perbuatan   pidana   yang   terjadi   di   luar wilayah Negara
Pasal   4   KUHP   seteleh   diubah   dan ditambah   berdasarkan   Undang-undang
No. 4 Tahun 1976 “Ketentuan   pidana   dalam   perundang-
undangan     Indonesia   diterapkan   bagi setiap   orang   yang   melakukan   di   luar
Indonesia : 1. Salah   satu   kejahatan   berdasarkan
pasal-pasal   104,   106,   107, 108 dan 131;
2. Suatu   kejahatan   mengenai   mata uang   atau   uang   kertas   yang
dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun   mengenai   materai   yang
dikeluarkan   dan   merek   yang digunakan   oleh   Pemerintah
Indonesia; 3. Pemalsuan   surat   hutang   atau
sertifikat   hutang   atas   tanggungan suatu   daerah   atau   bagian   daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon,   tanda   deviden   atau   tanda
bunga   yang   mengikuti   surat   atau sertifikat   itu,   dan   tanda   yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut   atau   menggunakan   surat-
surat   tersebut   di   atas,   yang   palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan
tidak palsu; 4. Salah   satu   kejahatan   yang   disebut
dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut
dan   pasal   447   tentang   penyerahan kendaraan   air   kepada   kekuasaan
bajak   laut   dan   pasal   479   huruf   j tentang   penguasaan   pesawat   udara
secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan
penerbangan sipil. Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
melindungi   kepentingan   yaitu   melindungi kepentingan   nasional   dan   melindungi
kepentingan   internasional   universal. Pasal   ini   menentukan   berlakunya   hukum
pidana   nasional   bagi   setiap   orang   baik warga   Negara   Indonesia   maupun   warga
negara   asing   yang   di   luar   Indonesia melakukan   kejahatan   yang   disebutkan
dalam pasal tersebut. Dikatakan   melindungi   kepentingan
nasional   karena   pasal   4   KUHP   ini memberlakukan   perundang-undangan
pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan
perbuatan-perbuatan   yang   merugikan kepentingan nasional, yaitu :
1 Kejahatan   terhadap   keamanan Negara   dan   kejahatan   terhadap
martabat      kehormatan   Presiden Republik   Indonesia   dan   Wakil
Presiden Republik Indonesia pasal 4 ke-1
2 Kejahatan   mengenai   pemalsuan mata   uang   atau   uang   kertas
Indonesia   atau   segel      materai   dan merek   yang   digunakan   oleh
pemerintah Indonesia pasal 4 ke-2 3 Kejahatan   mengenai   pemalsuan
surat-surat   hutang   atau   sertifkat- sertifikat   hutang   yang   dikeluarkan
oleh  Negara  Indonesia atau bagian- bagiannya pasal 4 ke-3
4 Kejahatan   mengenai   pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan
pesawat udara Indonesia pasal 4 ke- 4
Ad. IV. Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh   pengecualian-pengecualian   dalam
hukum   internasional.   Bahwa   asas melindungi kepentingan internasional asas
universal adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap   Negara   di   dunia   wajib   turut
melaksanakan tata hukum sedunia hukum internasional.
Dikatakan   melindungi   kepentingan internasional kepentingan universal karena
rumusan   pasal   4   ke-2   KUHP   mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang
kertas dan pasal 4   ke-4 KUHP mengenai pembajakan   kapal   laut   dan   pembajakan
pesawat   udara   tidak   menyebutkan   mata uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan   atau   kapal   laut   dan   pesawat terbang   negara   mana   yan   dibajak.
Pemalsuan   mata   uang   atau   uang   kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP
menyangkut   mata   uang   atau   uang   kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut   mata   uang   atau   uang   kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat   terbang   yang   dimaksud   dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal
laut   Indonesia   atau   pesawat   terbang Indonesia,   dan   mungkin   juga   menyangkut
kapal   laut   atau   pesawat   terbang   Negara asing.
Jika   pemalsuan   mata   uang   atau   uang kertas,   pembajakan   kapal,   laut   atau
pesawat   terbang   adalah   mengenai kepemilikan   Indonesia,   maka   asas   yang
berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional asas nasional pasif.
Jika   pemalsuan   mata   uang   atau   uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang   adalah   mengenai   kepemilikan Negara   asing,   maka   asas   yang   berlaku
adalah   asas   melindungi   kepentingan internasional asas universal.
Pasal 7 KUHP “Ketentuan   pidana   dalam   perundang-
undangan   Indonesia   berlaku   bagi   setiap pejabat   yang   di   luar   Indonsia   melakukan
salah   satu   tindak   pidana   sebagaimana
dimaksudkan   dalam   Bab   XXVIII   Buku Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana   korupsi.   Akan   tetapi   pasal-pasal tersebut pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,
417,   418,   419,   420,   423,   425,   435   telah dirubah   oleh   Undang-undang   No.   20   Tahun
2001   tentang   perubahan   atas   UU   No.   31 Tahun   1999   tentang   Pemberantasan   Tindak
Pidana   Korupsi   dengan   rumusan   tersendiri sekalipun   masih   menyebut   unsur-unsur   yang
terdapat   dalam   masing-masing   pasal   KUHP yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal
7   KUHP   masih   dapat   diterapkan   ?   untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16
UU   No.   31   Tahun   1999   tentang pemberantasan   Tindak   Pidana   Korupsi   yang
berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan,   sarana   atau   keterangan   untuk terjadinya   tindak   pidana   korupsi   dipidana
dengan   pidana   yang   sama   sebagai   pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam   pasal   2,   pasal   3,   pasal   5   sampai dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP “Ketentuan   pidana   dalam   perundang-
undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Indonesia,   sekalipun   di   luar   perahu, melakukan   salah   satu   tindak   pidana
sebagaimana   dimaksudkan   dalam   Bab XXIX   Buku   Kedua     dan   Bab   IX   buku
ketiga,   begitu   pula   yang   tersebut   dalam peraturan   mengenai   surat   laut   dan   pas
kapal   di   Indonesia,   maupun   dalam ordonansi perkapalan”.
Dengan   telah   diundangkannya   tindak pidana   tentang   kejahatan   penerbangan
dan   kejahatan   terhadap   sarana prasarana   penerbangan   berdasarkan   UU
No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam
KUHP   pada   Buku   Kedua   Bab   XXIX   A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab
XXIX   A   Buku   Kedua   ke   dalam   pasal   8 KUHP   adalah   juga   menjadi   kenyataan
bahwa   kejahatan   penerbangan   sudah digunakan   sebagai   bagian   dari   kegiatan
terorisme   yang   dilakukan   oleh   kelompok terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya  pasal-pasal  2-5-7  dan 8 dibatasi   oleh   pengecualian-pengecualian
yang   diakui   dalam   hukum-hukum internasional.
Menurut   Moeljatno,   pada   umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
1 Kepala Negara beserta keluarga dari Negara   sahabat,   dimana   mereka
mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku
bagi mereka
2 Duta   besar   Negara   asing   beserta keluarganya meeka juga mempunyai
hak eksteritorial. 3 Anak buah kapal perang asing yang
berkunjung   di   suatu   Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut
hukum   internasional   kapal   peran adalah   teritoir   Negara   yang
mempunyainya 4 Tentara   Negara   asing   yang   ada   di
dalam   wilayah   Negara   dengan persetujuan Negara itu.
BAB III
TINDAK PIDANA
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga   saat   ini   belum   ada   kesepakatan   para sarjana   tentang   pengertian  Tindak   pidana
strafbaar   feit.  Menurut   Prof.   Moeljatno   S.H., Tindak   Pidana   adalah   perbuatan   yang   dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman   sanksi   yang   berupa   pidana   tertentu,
bagi   barang   siapa   yang   melanggar   aturan tersebut.
Terdapat 3 tiga hal yang perlu diperhatikan :  Perbuatan   pidana   adalah   perbuatan   oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
 Larangan   ditujukan   kepada   perbuatan yaitu   suatu   keadaan   atau   kejadian   yang
ditimbulkan   oleh   kelakuan   orang, sedangkan   ancaman   pidana   ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan   yang   erat,   oleh   karena   antara
kejadian   dan   orang   yang   menimbulkan kejadian   itu   ada   hubungan   erat   pula.   “
Kejadian   tidak   dapat   dilarang   jika   yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat   diancam   pidana   jika   tidak   karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat   dipidananya   perbuatan  die   strafbaarheid
van   het   feit  dan   dapat   dipidananya   orang strafbaarheid van den person. Sejalan dengan itu
memisahkan   pengertian   perbuatan   pidana criminal   act  dan   pertanggungjawaban   pidana
criminal   responsibility.   Pandangan   ini   disebut pandangan   dualistis   yang   sering   dihadapkan
dengan   pandangan   monistis   yang   tidak membedakan keduanya.
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam   suatu   peraturan   perundang-undangan pidana   selalu   mengatur   tentang   tindak   pidana.
Sedangkan   menurut   Moeljatno  “Tindak   pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi
yang   berupa   pidana   tertentu   bagi   barang   siapa yang   melanggar   larangan   tersebut”.  Untuk
mengetahui   adanya   tindak   pidana,   maka   pada umumnya   dirumuskan   dalam   peraturan
perundang-undangan   pidana   tentang   perbuatan- perbuatan   yang   dilarang   dan   disertai   dengan
sanksi.   Dalam   rumusan   tersebut   ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau
sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat   dibedakan   dari   perbuatan   lain   yang   tidak
dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya   saja,   yaitu   dapat   dilarang   dengan
ancaman pidana kalau dilanggar. Menurut   Simons,   unsur-unsur   tindak   pidana
strafbaar feit adalah :  Perbuatan  manusia  positif  atau  negative,
berbuat   atau   tidak   berbuat   atau membiarkan.
 Diancam dengan pidana statbaar gesteld  Melawan hukum onrechtmatig
 Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband staand
 Oleh   orang   yang   mampu   bertanggung jawab toerekeningsvatoaar person.
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana  strafbaar
feit. Unsur Obyektif :
 Perbuatan orang
 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
 Mungkin   ada   keadaan   tertentu   yang
menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281   KUHP   sifat   “openbaar”  atau  “dimuka
umum”. Unsur Subyektif :
 Orang yang mampu bertanggung jawab
 Adanya   kesalahan  dollus   atau   culpa.
Perbuatan   harus   dilakukan   dengan kesalahan.
Kesalahan   ini   dapat   berhubungan   dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Sementara   menurut   Moeljatno   unsur-unsur perbuatan pidana :
 Perbuatan manusia
 Yang   memenuhi   rumusan   dalam   undang-
undang syarat formil 
Bersifat melawan hukum syarat materiil Unsur-unsur   tindak   pidana   menurut   Moeljatno
terdiri dari : 1 Kelakuan dan akibat
2 Hal   ikhwal   atau   keadaan   tertentu   yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi Yaitu   mengenai   diri   orang   yang
melakukan   perbuatan,   misalnya   unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam
delik   jabatan   seperti   dalam   perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo.   Pasal   1   ayat   1   sub   c   UU   No.   3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima
hadiah.   Kalau   yang   menerima   hadiah
bukan   pegawai   negeri   maka   tidak mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi Yaitu   mengenai   keadaan   di   luar   si
pembuat,   misalnya   pasal   160   KUHP tentang   penghasutan   di   muka   umum
supaya   melakukan   perbuatan   pidana atau   melakukan   kekerasan   terhadap
penguasa umum. Apabila penghasutan tidak   dilakukan   di   muka   umum   maka
tidak mungkin diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
menentukan,   memperingan   atau   memperberat pidana yang dijatuhkan.
1   Unsur   keadaan   yang   menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal   164   KUHP  :  barang   siapa
mengetahui   permufakatan   jahat   untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104,
106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa
dicegah   dengan   sengaja   tidak memberitahukannya   kepada   pejabat
kehakiman   atau   kepolisian   atau   kepada
yang   terancam,   diancam,   apabila kejahatan   jadi   dilakukan,   dengan   pidana
penjara   paling   lama   satu   tahun   empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah. Kewajiban   untuk   melapor   kepada   yang
berwenang,   apabila   mengetahui   akan terjadinya   suatu   kejahatan.   Orang   yang
tidak   melapor   baru   dapat   dikatakan melakukan   perbuatan   pidana,   jika
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu
adalah merupakan unsur tambahan. Pasal   531   KUHP  :  barang   siapa   ketika
menyaksikan   bahwa   ada   orang   yang sedang menghadapi maut, tidak memberi
pertolongan   yang   dapat   diberikan kepadanya
tanpa selayaknya
menimbulkan   bahaya   bagi   dirinya   atau orang lain, diancam, jika kemudian orang
itu   meninggal,   dengan   pidana   kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan   memberi   pertolongan   pada orang yang sedang menghadapi   bahaya
maut   jika   tidak   memberi   pertolongan, orang   tadi   baru   melakukan   perbuatan
pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya   tadi   kemudian   lalu   meninggal
dunia.   Syarat   tambahan   tersebut   tidak dipandang sebagai unsur delik perbuatan
pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. 2 Keadaan   tambahan   yang   memberatkan
pidana Misalnya   penganiayaan   biasa   pasal   351
ayat   1   KUHP   diancam   dengan   pidana penjara   paling   lama   2   tahun   8   bulan.
Apabila penganiayaan
tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana
diperberat menjadi 5 tahun pasal 351 ayat 2   KUHP,   dan   jika   mengakibatkan   mati
ancaman   pidana   menjad   7   tahun   pasal 351   ayat   3  KUHP.   Luka   berat   dan   mati
adalah   merupakan   keadaan   tambahan yang memberatkan pidana
3 Unsur melawan hukum
Dalam   perumusan   delik   unsur   ini   tidak selalu   dinyatakan   sebagai   unsur   tertulis.
Adakalanya   unsur   ini   tidak   dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat
melawan   hukum   atau   sifat   pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah
atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau
ancaman   kekerasan   memaksa   seorang wanita   bersetubuh   di   luar   perkawinan”.
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap   orang   mengerti   bahwa   memaksa
dengan   kekerasan   atau   ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau
sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila   dicantumkan   maka   jaksa   harus
mencantumkan   dalam   dakwaannya   dan oleh  karenanya  harus  dibuktikan.  Apabila
tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang   didakwakan   dapat   dibuktikan   maka
secara   diam-diam   unsure   itu   dianggap ada.
Unsur   melawan   hukum   yang   dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan   barang   orang   lain   dengan
maksud   untuk   memilikinya   secara melawan hukum.
Pentingnya   pemahaman   terhadap pengertian   unsur-unsur   tindak   pidana.
Sekalipun permasalahan
tentang “pengertian”   unsur-unsur   tindak   pidana
bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat   penting   dan   menentukan   bagi
keberhasilan   pembuktian   perkara   pidana. Pengertian   unsur-unsur   tindak   pidana
dapat diketahui dari doktrin pendapat ahli ataupun   dari   yurisprudensi   yan
memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang   yang   semula   tidak   jelas
atau   terjadi   perubahan   makna   karena perkembangan   jaman,   akan   diberikan
pengertian   dan   penjelasan   sehingga
memudahkan   aparat   penegak   hukum menerapkan peraturan hukum.
Bagi   Jaksa   pentingnya   memahami   pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :
1 Untuk   menyusun   surat   dakwaan,   agar dengan jelas;
2 Dapat   menguraikan   perbuatan   terdakwa yang   menggambarkan   uraian   unsur   tindak
pidana   yang   didakwakan   sesuai   dengan pengertian      penafsiran   yang   dianut   oleh
doktrin maupun yurisprudensi; 3
Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
kepada   saksi   atau   ahli   atau   terdakwa untuk   menjawab   sesuai   fakta-fakta   yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
4 Menentukan   nilai   suatu   alat   bukti   untuk membuktikan   unsur   tindak   pidana.   Biasa
terjadi   bahwa   suatu   alat   bukti   hanya berguna   untuk   menentukan   pembuktian
satu   unsur   tindak   pidana,   tidak   seluruh unsur tindak pidana;
5 Mengarahkan   jalannya   penyidikan   atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan
secara   obyektif.   Dalil-dalil   yang   digunakan dalam   pembuktian   akan   dapat
dipertanggungjawabkan   secara   obyektif karena   berlandaskan   teori   dan   bersifat
ilmiah; 6 Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian
penerapan   fakta   perbuatan   kepada   unsur- unsur tindak pidana yang didakwakan, atau
biasa   diulas   dalam   analisa   hukum,   maka pengertian-pengertian   unsur   tindak   pidana
yang   dianut   dalam   doktrin   atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran
hukum,   harus   diuraikan   sejelas-jelasnya karena   ini   menjadi   dasar   atau   dalil   untuk
berargumentasi.
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Di   bawah   ini   akan   disebut   berbagai   pembagian jenis delik.
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian   delik   atas   kejahatan   dan pelanggaran   ini   disebut   oleh   undang-undang.
KUHP   buku   ke   II   memuat   delik-delik   yang
disebut   :   pelanggaran   criterium   apakah   yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis
delik   itu   ?   KUHP   tidak   memberi   jawaban tentang   hal   ini.   Ia   hanya   membrisir   atau
memasukkan   dalam   kelompok   pertama kejahatan   dan   dalam   kelompok   kedua
pelanggaran. Tetapi   ilmu   pengetahuan   mencari   secara
intensif ukuran kriterium untuk membedakan kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat : a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2
jenis delik, ialah : 1. Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan   keadilan,   terlepas   apakah
perbuatan   itu   diancam   pidana   dalam suatu   undang-undang   atau   tidak,   jadi
yang   benar-benar   dirasakan   oleh masyarakat   sebagai   bertentangan
dengan   keadilan   misal   :   pembunuhan, pencurian.   Delik-delik   semacam   ini
disebut “kejahatan” mala perse.
2. Wetsdelicten Ialah   perbuatan   yang   oleh   umum   baru
disadari   sebagai   tindak   pidana   karena undang-undang   menyebutnya   sebagai
delik,   jadi   karena   ada   undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal :
memarkir  mobil di  sebelah kanan  jalan mala   quia   prohibita.   Delik-delik
semacam   ini   disebut   “pelanggaran”. Perbedaan   secara   kwalitatif   ini   tidak
dapat   diterima,   sebab   ada   kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena
tercantum   dalam   undang-undang pidana,   jadi   sebenarnya   tidak   segera
dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa   keadilan.   Dan   sebaliknya   ada
“pelanggaran”,   yang   benar-benar dirasakan   bertentangan   dengan   rasa
keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian   itu   tidak   memuaskan   maka
dicari ukuran lain. b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi   kriminologi,   ialah   “pelanggaran”   itu
lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai pembagian delik dalam kejahatan
dan   pelanggaran   itu   terdapat   suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional
1963   tersebut   di   atas   juga   berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam
dua macam delik itu harus ditiadakan. Kejahatan ringan :
Dalam   KUHP   juga   terdapat   delik   yang digolongkan   sebagai   kejahatan-kejahatan
misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 1, 315, 407.
2. Delik formil dan delik materiil delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan
perumusan secara materiil a. Delik   formil   itu   adalah   delik   yang
perumusannya   dititikberatkan   kepada perbuatan   yang   dilarang.   Delik   tersebut
telah   selesai   dengan   dilakukannya perbuatan   seperti   tercantum   dalam
rumusan delik.    Misal : penghasutan pasal 160   KUHP,   di   muka   umum   menyatakan
perasaan   kebencian,   permusuhan   atau penghinaan   kepada   salah   satu   atau   lebih
golongan   rakyat   di   Indonesia   pasal   156 KUHP; penyuapan pasal 209, 210 KUHP;
sumpah   palsu   pasal   242   KUHP; pemalsuan   surat   pasal   263   KUHP;
pencurian pasal 362 KUHP. b. Delik   materiil   adalah   delik   yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki  dilarang. Delik ini
baru   selesai   apabila   akibat   yang   tidak dikehendaki   itu   telah   terjadi.   Kalau   belum
maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal   :   pembakaran   pasal   187   KUHP,
penipuan pasal 378 KUHP, pembunuhan pasal 338 KUHP. Batas antara delik formil
dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik   commisionis,   delik   ommisionis   dan delik   commisionis   per   ommisionen
commissa a. Delik   commisionis   :   delik   yang   berupa
pelanggaran   terhadap   larangan,   ialah
berbuat   sesuatu   yang   dilarang,   pencurian, penggelapan, penipuan.
b. Delik   ommisionis   :   delik   yang   berupa pelanggaran  terhadap  perintah,   ialah  tidak
melakukan   sesuatu   yang   diperintahkan yang diharuskan, misal : tidak menghadap
sebagai   saksi   di   muka   pengadilan   pasal 522   KUHP,   tidak   menolong   orang   yang
memerlukan   pertolongan   pasal   531 KUHP.
c. Delik   commisionis   per   ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan
larangan   dus   delik   commissionis,   akan tetapi   dapa   dilakukan   dengan   cara   tidak
berbuat.   Misal   :   seorang   ibu   yang membunuh anaknya dengan tidak memberi
air   susu   pasal   338,   340   KUHP,   seorang penjaga   wissel   yang   menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel pasal 194 KUHP.
4. Delik   dolus   dan   delik   culpa   doleuse   en culpose delicten
a. Delik   dolus   :   delik   yang   memuat   unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,
245, 263, 310, 338 KUHP b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan
sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,
360 KUHP.
5. Delik   tunggal   dan   delik   berangkai enkelvoudige en samenge-stelde delicten
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik   berangkai   :   delik   yang   baru merupakan   delik,   apabila   dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 penadahan sebagai kebiasaan
6. Delik   yang   berlangsung   terus   dan   delik selesai voordurende en aflopende delicten
Delik   yang   berlangsung   terus   :   delik   yang mempunyai   ciri   bahwa   keadaan   terlarang   itu
berlangsung   terus,   misal   :   merampas kemerdekaan seseorang pasal 333 KUHP.
7. Delik   aduan   dan   delik   laporan klachtdelicten en niet klacht delicten
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan   apabila   ada   pengaduan   dari   pihak
yang   terkena   gelaedeerde   partij   misal   :
penghinaan   pasal   310   dst.   jo   319   KUHP perzinahan   pasal   284   KUHP,   chantage
pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2. Delik aduan
dibedakan menurut sifatnya, sebagai : a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal
284,   310,   332.   Delik-delik   ini   menurut sifatnya   hanya   dapat   dituntut   berdasarkan
pengaduan. b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal
367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini   ada   hubungan   istimewa   antara   si
pembuat dan orang yang terkena. Catatan   :   perlu   dibedakan   antara   aduan   den
gugatan dan  laporan.  Gugatan dipakai  dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka
pengadilan,   karena   B   tidak   membayar hutangnya   kepada   A.   Laporan   hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8. Delik   sederhana   dan   delik   yang   ada pemberatannya      peringannya   eenvoudige
dan   gequalificeerde      geprevisilierde delicten
Delik   yang   ada   pemberatannya,   misal   : penganiayaan   yang   menyebabkan   luka   berat
atau   matinya   orang   pasal   351   ayat   2,   3 KUHP, pencurian pada waktu malam hari dsb.
pasal   363.   Ada   delik   yang   ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak- kanak   pasal   341   KUHP.   Delik   ini   disebut
“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan   pasal   351   KUHP,   pencurian
pasal 362 KUHP.
9. Delik   ekonomi   biasanya   disebut   tindak pidana ekonomi dan bukan delik ekonomi
Apa   yang   disebut   tindak   pidana   ekonomi   itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955,   UU   darurat   tentang   tindak   pidana ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana   diuraika   terdahulu,   bahwa   unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,
pada   dasarnya   yang   dapat   melakukan   tindak pidana itu manusia naturlijke personen. Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Rumusan   delik   dalam   undang-undang   lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”.   Kata   “barang   siapa”   ini   tidak   dapat diartikan lain dari pada “orang”.
b. Dalam   pasal   10   KUHP   disebutkan   jenis-jenis pidana   yang   dapat   dikenakan   kepada   tindak
pidana, yaitu : 1. pidana pokok :
a. pidana mati b. pidana penjara
c. pidana kurungan d. pidana   denda,   yang   dapat   diganti
dengan pidana kurungan 2. pidana tambahan :
a. pencabutan hak-hak tertentu b. perampasan barang-barang tertentu
c. dimumkannya keputusan hakim Sifat   dari   pidana   tersebut   adalah
sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum   pidana   yang   dilihat   ada      tidaknya
kesalahan   pada   terdakwa,   memberi   petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.
d. Pengertian   kesalahan   yang   dapat   berupa kesengajaan   dan   kealpaan   itu   merupakan
sikap dalam batin manusia. Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia
tidak   ada   sesuatu   yang   dapat   melakukan   tindak pidana   misalnya   badan   hukum   ?   dalam   KUHP
terdapat   pasal   yang   seakan-akan   menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke
arah   dapat   dipidana   suatu   badan   hukum,   suatu perkumpulan atau badan korporasi lain. Menurut
pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan   sesuatu   fungsi   dalam   sesuatu
korporasi.   Seorang   anggota   pengurus   dapat membebaskan   diri,   apabila   dapat   membuktikan
bahwa   pelanggaran   itu   dilakukan   tanpa   ikut campurnya.
Keterangan   :   di   dalam   hukum   acara,   ini   disebut “pembalikan   beban   pembuktian”   omkering   van
bewijslast. Dalam   KUHP   juga   ada   pasal   lain   yang
kelihatannya   juga   menyangkut   korporasi   sebagai subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam
pidana   adalah   orang,   buka   korporasinya.   Vide pasal  169  :  “ikut  serta  dalam  perkumpulan  yang
terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus  atau  komisaris  perseroan  terbatas  dan
sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu   adalah   manusia,   sesuai   dengan   penjelasan
M.v.T terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia”.   Akan   tetapi   ajaran   ini   sudah ditinggalkan.   Dalam   hukum   positip   Indonesia,
misalnya   dalam   “ordonansi   barang-barang   yang diawasi”   S.1948-144   dan   “Ordonansi
pengendalian   harga”   S.1948-295   terdapat ketentuan   yang   mengatur   apabila   suatu   badan
hukum   melakuka   tindak   pidana   yang   disebut dalam   ordonansi-ordonansi   itu.   Ordonansi   obat
bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau dalam   UU   Darurat   tentang   pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana
dalam  ayat 1  dan 2 dengan  tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
Pompe hal. 83 menyatakan mengenai persoalan ini terjemahan “Untuk sebagian peradilan dengan
dibantu   oleh   ilmu   pengetahuan   hukum   harus menemukan   sendiri   penyelesaian   untuk   problem
dalam materi baru ini”. Van   Hattum   hal.   147   :   “agaknya   perlu   untuk
menggambarkan   pertumbuhan   ajaran   ini   agak lebih   luas   dari   pada   biasanya   dalam   buku
pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya   akan   menduduki   tempat   yang   penting
dalam   hukum   pidana   kita.   Persoalan   mengenai penyertaan   dan   kesalahan   dalam   pada   itu   akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”. Dalam   pada   itu   sekarang   suda   pasti,   bahwa
menurut Hoge  Raad,  korporasi dapat melakukan tindak   pidana,   ya   bahkan   kadang-kadang
korporasi   sajalah   yang   dapat   menjadi   pembuat, bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan
bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam
hal.   477   van   Hattum   menulis   a.l.   :   terjemahan ………….   sebaiknya   pembentuk   undang-undang
membuat   ketentuan-ketentuan   umum   dalam   hal suatu   tindak   pidana   dilakukan   oleh   suatu
korporasi.
BAB IV
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT CAUSALITEIT, CAUSALITAT
A. Kausalitas
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil   selanjutnya   disebut   delik   materiil,
terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan
essentialia  dari  delik tersebut.  Berbeda  dengan dengan   delik   formil   terjadinya   akibat   itu   hanya
merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang
dalam delik itu, maka delik materiil itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.
Misalnya : Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja
merampas   nyawa   orang   lain   dihukum   karena pembunuhan.
Keadaan   yang   menentukan   di   sini   adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya
si A. Oleh   karenanya   untuk   dapat   menuntut
seseorang misalnya X yang dilakukan melakukan suatu   perbuatan   yang   menyebabkan   matinya
seseorang,   maka   harus   dapat   dibuktikan   bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya
A.   “akibat”   ini   artinya   “perubahan   atas   suatu keadaan”   dimana   dapat   berupa   suatu
pembahayaan   atau   perkosaan   terhadap kepentingan hukum.
Hubungan sebab
akibat causaliteitsvraagstuk   ini   penting   dalam   delik
materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya door
het gevolg gequafili ceerde delicten misal pasal- pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333
ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan   kausalias   ini   terjadi   karena kesulitan   untuk   menetapkan   apa   yang   menjadi
sebab   dari   suatu   akibat.   Perlu   diketahui   bahwa persoalan   ini   tidak   hanya   terdapat   dalam
lingkungan   hukum   pidana   saja,   akan   tetapi   juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum
perdata   dalam   penentuan   ganti   rugi   dan   dalam hukum   dagang   misalnya   dalam   persoalan
asuransi. Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan
ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap
sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa   teori   kausalita.   Teori-teori   hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang.   Akibat   kongkrit   harus   bisa ditelusuri sampai ke sebab.
Akan   tetapi   sebenarnya   tidak   boleh dipandang   terlampau   sederhana.   Dalam   filsafat
terdapat   “peringatan”,   bahwa   kejadian   “B”   yang terjadi   sesudah   kejadian   “A”,   belum   tentu
disebabkan   karena   kejadian   “A”   post   hoc   non propter hoc.
B. Teori-teori Kausalitas ajaran-ajaran kausalitas
B.1.   Teori   Ekivalensi   aquivalenz-theorie   atau Bedingungstheorie   atau   teori   condition   sine   qua
non dari von Buri Teori   ini   mengatakan   :   tiap   syarat   adalah
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan
lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai   nilai   yang   sama.   Kalau   satu   syarat dihilangkan,   maka   tidak   akan   terjadi   akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat
yang   dapat   dihilangkan   lazim   dirumuskan   “nicht hiin   weggedacht   warden   kann   dan   seterusnya
tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa
ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati.   Penganiayaan   ringan   terhadap   A   itu   juga
merupakan sebab dari matinya A. Teori   ekivalensi   ini   memakai   pengertian
“sebab”   sejalan   dengan   pengertian   yang   dipakai dalam   logika.   Dalam   hubungan   ini   baik
dikemukakan,   bahwa   terlepas   satu   sama   lain, John   Stuart   Mill   di   Inggris   dalam   bukunya   :
Sistem   of   Logic   berpendapat,   “bahwa  “sebab  itu adalah “the whole of antecedents” 1843.
Van   Hamel,   seorang   penganut   teori ekivalensi   berpendapat   bahwa   “untuk   hukum
pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan   diatur   oleh   teori   kesalahan   yang   harus
diterapkan   dengan   sebaik-baiknya”.   Di   sini dijelaskan,   bahwa   harus   dibedakan   antara
hubungan   kausal   dan   pertanggung   jawaban pidana.
Kritik      keberatan   terhadap   teori   ini   : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir,   sebab   tiap-tiap   “sebab”   sebenarnya merupakan   “akibat”   dari   “sebab”   yang   terjadi
sebelumnya. Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.
Yang   merupakan   sebab   bukan   hanya   ditikam  A, tetapi   juga   penjualan   pisau   itu   kepada   A   dan
penjualan   pisau   itu   tidak   ada,   apabila   tidak   ada pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu   seterusnya.   Berhubungan   dengan
keberatan   itu,   maka   ada   teori-teori   lain   yang hendak membatasi  teori  tersebut  teori-teori  yang
akan   disebutkan   di   bawah   ini,   mengambil   dari sekian   faktor   yang   menimbulkan   akibat   itu
beberapa   faktor   yang   kuat   dominant,   sedang faktor-faktor   lainnya   dipisahkan   sebagai   faktor-
faktor yang irrelevant yang tidak perlu  penting. Kebaikan   teori   ini   :   mudah   diterapkan,
sehingga   tidak   banyak   menimbulkan   persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali
dalam   membatasi   lingkungan   berlakunya pertanggungjawaban   pidana.   Teori   ekivalensi   ini
dapat   dipandang   sebagai   pangkal   dari   teori-teori lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi
Teori-teori   ini   memilih   secara   post   actum inconcreto,   artinya   setelah   peristiwa   kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih   sebab   yang   paling   menentukan   dari
peristiwa   tersebut;   sedang   faktor-faktor   lainnya hanya   merupakan   syarat   belaka.   Penganut-
penganutnya tidak banyak antara lain : 1. Birkmayer   1885   mengemukakan   :   sebab
adalah   syarat   yang   paling   kuat   Ursache   ist die wirksamste Bedingung
2. Binding. Teorinya
disebut “Ubergewichtstheorie”
Dikatakan   :   sebab   dari   sesuatu   perubahan adalah   identik   dengan   perubahan   dalam
keseimbangan   antara   faktor   yang   menahan negatif dan faktor yang positif, dimana faktor
yang   positif   itu   lebih   unggul.   Yang   disebut “sebab”   adalah   syarat-syarat   positif   dalam
keunggulannya   in   ihrem   Ubergerwicht-bobot yang   melebihi   terhadap   syarat-syarat   yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau
syarat   terakhir   yang   menghilangkan keseimbangan   dan   memenangkan   faktor
positif itu.
B.3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori   ini   melihat   secara   ante   factum sebelum   kejadianin   abstracto   apakah   diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada   umumnya   dapat   menimbulkan   akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa,   atau   menurut   perhitungan   yang   layak,
mempunyai kadar kans untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat
yang   bersangkutan   ad-aequare   artinya   dibuat sama.   Oleh   karena   itu   teori   ini   disebut   teori
adequat   teori   adequate,   Ada-quanzttheorie. Contoh-contoh   tentang   ada   atau   tidaknya
hubungan sebab akibat yang adequat : a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya
dapat   mengakibatkan   hidung   keluar   darah. Akan   tetapi   apabila   orang   yang   pukul   itu
menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.
Ini   suatu   akibat   yang   abnormal,   yang   tidak biasa.
b. Seorang   yang   menyetir   mobil   terpaksa mengerem   sekonyong-konyong,   oleh   karena
ada  pengendara sepeda  hendak  menyebrang jalan   yang   membelok,   sedang   ini   tidak
disangka-sangka   oleh   pengendara   mobil. Pengendara   mobil   ini   mendapat   penyakit
trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan   bahwa   perbuatan   pengendara
sepeda   itu   tidak   merupakan   penyebab   yang adequate   untuk   timbulnya   penyakit   trauma
tersebut. c. Seorang   petani   membakar   tumpukan   rumput
kering   hooi,   dimana   secara   kebetulan bersembunyi      tidur   seorang   penjahat   hingga
ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate   ?   Jawabannya   tergantung   dari
keadaan.   Jika   biasanya   menurut   pengalaman sehari-hari,   tidak   timbul   akibat   semacam   itu
maka   perbuatan   petani   itu   bukanlah   sebab. Akan   tetapi   apabila   di   daerah   itu   merupakan
kebiasaan   orang   untuk   bersembunyi   atau menginap   dalam   tumpukan   rumput,   maka
perbuatan   petani   itu   benar-benar   mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal   yang   merupakan   persoalan   dalam   teori   ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu
sebab   itu   pada   umumnya   cocok   untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini
ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain : 1. Penentuan   subyektif   subjective   ursprungliche
Prognose.   Disini   yang   dianggap   sebab   ialah apa   yang   oleh   sipembuat   dapat   diketahui
diperkirakan   bahwa   apa   yang   dilakukan   itu pada   umumnya   dapat   menimbulkan   akibat
semacam itu Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan   si   pembuatlah   yang
menentukan. 2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
hal-hal   yang   secara   obyektif   kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui.  Jadi
bukan   yang   diketahui   atau   yang   dapat diketahui   oleh   sipembuat,   melainkan
pengetahuan dari hakim.
Dasar   penentuan   Beurteilungs   standpunkte   ini disebut   “objektive   nachtragliche   Prognose”
Rumelin. Sebenarnya   dalam   teori   kausal   adequat
subyektif Von Kries itu tersimpul unsur penentuan tentang   kesalahan;   oleh   karena   itu   dapat
dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab
suatu   perbuatan   baru   dianggap   sebagai   sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-
ngirakan   atau   membayangkan   voor   zien   akan terjadinya   akibat   atau   kalau   orang   umumnya
membayangkan   terjadinya   akibat   itu;   jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya
dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga
menentukan   pertanggunganjawab   pidana,   jadi bukan   teori   kausalitas   dalam   arti   yang
sesungguhnya. Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci
pekerjanya,   tetapi   tidak   berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu
mati.   Pada   waktu   hujan   yang   disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu   tempat   dengan   harapan   agar
orang   itu   disambar   petir.   Harapan   itu terkabul   dan   pekerjanya   itu   mati
disambar petir. Menurut   teori   ekivalensi   :   ya,   sebab   seandainya
pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia   tidak   mati.   Konsekwensi   ini   umumnya
dipandang   terlalu   jauh.   Oleh   karena   itu   lebih memuaskan   apabila   dipakai   teori   adequate.
Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat   lain   pada   umumnya   tidak   mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir.   Penyambaran   petir   adalah   hal   yang
kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain : 1. Simons :
Dikatakan   olehnya   :   “suatu   perbuatan   dapat disebut   sebagai   sebab   dari   suatu   akibat,
apabila   menuntut   pengalaman   manusia   pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
bahwa   dari   perbuatan   sendiri   akan   terjadi akibat itu”.
2. Kami   Ringkasan   Hukum   Pidana   hal.   47 berpendirian   senada   dengan   Simons.   Beliau
katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum   itu   terdiri   atas   persangkaan,
presumptie, bahwa alur peristiwa di dunia ini ada   biasa   dan   normal.   Ini   kesimpulan
pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada   umumnya,   biasanya,   dengan   mengikuti
hal   ikhwal   yang   berada   dan   menurut pengalaman   kita,   dengan   kadarnya   memadai
sesuatu  akibat,  itulah  yang  dianggap  sebagai suatu sebab”.
3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan- perbuatan   yang   dalam   keadaan   tertentu   itu
mempunyai   strekking   untuk   menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan   terhadap   teori-teori   kausalitas tersebut   di  atas   :   teori  ekuivalentie  dapat   dikatakan
teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu   penambahan.   Teori   ini   ditambah   dengan
penentuan   ada   dan   tidaknya   unsur   kesalahan   pada sipembuat,   dan   memberi   keterangan   yang   cukup
memuaskan   apakah   sesuatu   perbuatan   itu
merupakan   sebab   dari   sesuatu   akibat   yang dimaksudkan   dalam   rumusan   delik   yang
bersangkutan. Mengenai   teori   adequat   dari   von   Kries,   itu
dapat   juga   dikatakan,   bahwa   teori   tersebut   sesuai dengan   jiwa   hukum   pidana.   Hukum   Pidana   itu
mempunyai   tugas   untuk   melindungi   kepentingan hukum   terhadap   perkosaan   dan   perbuatan   yang
membahayakan.   Berhubung   dengan   tugas   tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap
perbuatan-perbuatan   yang   agaknya   mendatangkan kerugian.   Dalam   hal   ini   teori   adequat   dapat
menunjukkan   perbuatan-perbuatan   tersebut.   Akan tetapi   kelemahan   teori   ini   tidak   mudah   dalam
kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang   misalnya   biasanya,   kadar,   pengalaman
manusia pada umumnya dan sebagainya. Dalam   yurisprudensi   Hindia   Belanda,   yang
sesuai   dengan   asas   konkordantie   pada   waktu   itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
dengan   nyata   teori   mana   yang   dipakai. Hooggerechtshof  condong   ke   teori   adequate.  Akan
tetapi   dalam   pada   itu   di   dalam   berbagai   putusan pengadilan   dapat   ditunjukkan   adanya   persyaratan,
bahwa   antara   perbuatan   dan   akibat   harus   ada hubungan   yang   langsung   dan   seketika   onmiddellijk
en rechtsreeks a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 .
147   hal   115   sebuah   mobil   menabrak   sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas
rel   dan   seketika   itu   dilindas   oleh   kereta   api. Terlindasnya   pengendara   sepeda   motor   oleh
kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat   langsung   dan   segera   dari   penabrakan
sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat   dipertanggungjawabkan   atas   kesalahan   si
terdakwa pengendara mobil. b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang   ayah   yang   membiarkan   anaknya   yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.
Anak   tersebut   menabrak   orang.   Disini   memang perbuatan   si   ayah   dapat   disebut   syarat
voorwaarde   dari   tabrakan   itu,   akan   tetapi   tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena
antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan   Politierechter   Palembang   8   Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
1937. Perbuatan terdakwa  yang tidak  menarik seorang
pengemudi   mobil   yang   sembrono   dari   tempat kemudi   stuur   dan   membiarkan   pengemudi
tersebut   terus   menyopir   tidak   dianggap   sebagai sebab  dari  kecelakaan  yang  terjadi,  oleh  karena
antara   perbuatan   terdakwa   dan   terjadinya kecelakaan   itu   tidak   terdapat   hubungan   yang
langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi   itu   tetap   menyopir,   hanya   dipandang
sebagai suatu syarat dan bukan sebab. d. Putusan   Penagadilan   Negeri   Pontianak   7   Mei
1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas
tenggelamnya   satu   kapal   yang   disebabkan   oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan
7   orang   meninggal   dunia,   oleh   karena   terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
barang   angkutan   dalam   kapal   in   casu   tidak mempedulikan   peringatan-peringatan   dari
berbagai   pihak   tentang   terlalu   beratnya   muatan pada waktu kapal akan berangkat.
Di   dalam   pertimbangan   juga   disebut   bahwa perbuatan   terdakwa   mempunyai   “hubungan   erat”
dengan “kecelakaan itu”.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan   dalam   delik   comisionis   per   ommisionem
commissa delik omissi yang tak sesungguhnya. Jenis  kedua  ini  sebenarnya  delik commissi yang
dilakukan   dengan   “tidak   berbuat”.   Pada   delik omissi  persoalannya  mudah,  karena  delik  omissi
itu   adalah   delik   formil,   sehingga   tidak   ada persoalan tentang kausalitas.
Yang   ada   persoalan   ialah   pada   delik commisionis   per   omission   commissa.   Pada   delik
ini   ada   pelanggaran   larangan   dengan   “tidak berbuat”.   Dalam   persoalan   ini   ada   beberapa
pendirian : a. Tidak   mungkin   orang   tidak   berbuat   bisa
menimbulkan   akibat.   Pendirian   ini   didasarkan kepada   dalil   ilmu   pengetahuan   alam   yang
berbunyi   bahwa   dari   keadaan   negatif   tidak mungkin   timbul   kedaan   positif.   Pendirian   ini
tidak   bisa   diterima,   karena   dalil   pengetahuan alam   tidak   tepat   untuk   dipakai   dalam   ilmu
pengetahuan   rokhani   seperti   hukum   pidana ini.
b. Yang   disebut   sebab   ialah   perbuatan   yang positif   yang   dilakukan   oleh   sipembuat   pada
saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi
susu,   yang   disebut   sebagai   sebab   ialah “sesuatu   yang   dilakukan   ibu   itu   pada   saat   ia
tidak   memberi   susu   itu,   misal   pergi   ke   toko. Teori   ini   dinamakan   “teori   berbuat   lain.   Teori
inipun   tidak   dapat   diterima,   karena   kepergian ibu   itu   tidak   bisa   dianggap   ada   perhubungan
dengan akibat itu. c. Yang   disebut   sebagai   sebab   ialah   perbuatan
yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal
seorang   penjaga   wesel   yang   menyebabkan kecelakaan   kereta   api   karena   tidak
memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi   sebab   ialah   apa   yang   dilakukan
penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab   sulit   dilihat   hubungannya   antara
penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.
d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab   dari   sesuatu   akibat,   apabila   ia
mempunyai   kewajiban   hukum   untuk   berbuat. Kewajiban itu  timbul  dari  hukum,  tidak  hanya
yang   nyata-nyata   tertulis   dalam   suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan
yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku   dalam   masyarakat   yang   teratur.   Di
bawah   ini   diberi   contoh-contoh   apakah   ada kewajiban berbuat atau tidak :
1 Ada   anak   yang   dibunuh;   orang   tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab   sebagai   ikut   berbuat   dalam
pembunuhan ? Jawab   Hof   Amsterdam   23   Oktober
1883:   tidak,   tetapi   memang   sikap semacam   itu   sangat   tercela   laakbaar
dan tidak patut. 2 Seorang   penjaga   gudang   membiarkan
pencuri   melakukan   aksinya,   ia   dapat dipertanggungjawabkan,   sebab  sebagai
penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,
bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu   akibat.   “Tidak   berbuat”   sebenarnya   juga
merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa delik omissi yang tidak
sesungguhnya “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat   sama   sekali”   akan   tetapi   “tidak   berbuat
sesuatu”, yang
diharapkan untuk
diperbuatdilakukan.   Maka   dengan   pengertian   ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan
“berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk   terjadinya   suatu   akibat.   Sedang   menurut
teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat   juga   mempunyai   kadar   untuk   terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”. Akhirnya   perlu   diperhatiakn   bahwa   soal
hubungan  kausal ini  terletak  dalam segi obyektif yang   menyangkut   perbuatan   dari   keseluruhan
syarat   pemidanaan,   jadi   harus   dibedakan   dari persoalan   kesalahan   atau   pertanggungan   jawab
pidana   yang   merupakan   segi   subyektifnya,   ialah yang menyangkut orangnya.
BAB IV
SIFAT MELAWAN HUKUM
Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk, Onrechmatig
A. Istilah dan Pengertian
KUHP memakai istilah bermacam-macam :
a. tegas   dipakai   istilah   “melawan   hukum”,
wederrechtelijk   dalam   pasal   167,   168,   335   1, 522;
b. dengan   istilah   lain   misalnya   :   “tanpa
mempunyai hak untuk itu” pasal 303, 548, 549; “tanpa   izin”   zonder   verlof   pasal   496,   510;
“dengan melampaui kewenangannya” pasal 430; “tanpa   mengindahkan   cara-cara   yang   ditentukan
oleh peraturan umum” pasal 429. Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan
unsur   sifat   melawan   hukum   itu   tegas-tegas   dalam sesuatu   rumusan   delik   karena   pembentuk   undang-
undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak dicantumkan   dengan   tegas,   yang   berhak   atau
berwenang   untuk   melakukan   perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,
mungkin dipidana pula. Arti  istilah bersifat  melawan hukum itu  terdapat  tiga
pendirian: 1. bertentangan dengan hukum Simons
2. bertentangan dengan hak subyektief recht orang lain Noyon
3. tanpa   kewenangan   atau   tanpa   hak,   hal   ini   tidak perlu bertentangan dengan hukum H.R.
Salah   satu   unsur   dari   tindak   pidana   adalah unsur   sifat   melawan   hukum.   Unsur   ini   merupakan
suatu   penilaian   obyektif   terhadap   perbuatan,   dan bukan   terhadap   si   Pembuat.   Bilamana   sesuatu
perbuatan   itu   dikatakan   melawan   hukum   ?   Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam
rumusan   delik   sebagaimana   dirumuskan   dalam undang-undang”.   Dalam   bahasa   Jerman   ini   disebut
“tatbestandsmaszig”.   Tasbestand   disini   dalam   arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana
dirumuskan   dalam   peraturan   pidana.   Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male,
ialah masing-masing unsur dari rumusan delik. Pengecualian   atas   tasbestand   mer   male,
dapat   dikecualikan   atas   perbuatan   yang   memenuhi rumusan   delik   tatbestandsmaszig   itu   tidak
senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin
ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan   tersebut.   Misalnya   dalam   melaksanakan
perintah undang-undang ps. 50 KUHP : 1
regu   penembak,   yang   menembak mati   seorang   terhukum   yang   telah   dijatuhi
hukuman   pidana   mati,   memenuhi   unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka
tidak melawan hukum. 2
Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat
dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP,   karena   ia   melaksanakan   undang-undang
terdapat   dalam   peraturan   hukum   acara   pidana sehingga tidak ada unsur melawan hukum.
Di   dalam   kedua   contoh   tersebut   hal   yang menghapuskan   sifat   melawan   hukumnya   perbuatan
terdapat   di   dalam   undang-undang.   Namun   dalam kasus :
- seorang   ayah   memukul   seorang   pemuda   yang
memperkosa anak-anaknya
- seorang   menembak   mati   temannya   atas
permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,
karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan -
seorang   bioloog   membedah   binatang-binatang vivisectie untuk penyelidikan ilmiah.
Maka   timbul   persoalan   ada   tidaknya   sifat   melawan hukumnya   perbuatan.   Contoh   lain   yang
mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah : -
Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936 Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama
dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut hukum   adat   dilarang   kawin.   Berhubung   dengan
pelanggaran   adat   ini,   maka   Mamak   dari perempuan ini bersama-sama dengan orang lain
mendatangi   orang   tersebut   untuk   dimintai pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki
itu   ke   Wali   Negeri.   Oleh   karena   perempuan   itu tidak   mau   membuka   pintu   rumahnya   pintu
didobrak.
Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP merusak ketentraman
rumah,   dan   memidana   Mamak   3   bulan   penjara dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan
- Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933
Seorang   dokter   hewan   di   kota   Huizen   dengan sengaja   memasukkan   sapi-sapi   yang   sehat   ke
dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit   mulut   dan   kuku,   sehingga   membahayakan
sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu   tegas-tegas   masuk   dalam   rumusan   delik
tesebut   dalam   pasal   82   undang-undang   ternak, ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam
keadaan yang membahayakan  mengkhawatirkan. Ketika   dituntut,   dokter   hewan   mengemukakan
pada   pokoknya,   bahwa   perbuatan   itu   dilakukan untuk   kepentingan
peternakan.   Putusan Mahkamah Agung     Belanda : Pasal 82 Undang-
undang   ternak   tidak   dapat   diterapkan   kepada dokter   hewan  itu.   Pertimbangannya   antara  lain   :
“tidak   dapat   dikatakan,   bahwa   seseorang   yang melakukan   perbuatan   yang   diancam   pidana   itu
mesti   dipidana,   apabila   undang-undang   sendiri tidak   dengan   tegas-tegas   menyebut   adanya
alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum
tidak   dicantumkan   di   dalam   rumusan   delik   dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena
dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal
yang   bersangkutan   tidak   berlaku   terhadap perbuatan   yang   secara   letterlijk   memenuhi
rumusan delik”.
Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
Menjawab   persoalan   tersebut   maka   hukum   pidana membagi   ajaran   sifat   melawan   hukum   dalam   dua
sudut pandang yaitu : 1.
menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil
suatu   perbuatan   itu   bersifat   melawan   hukum, apabila   perbuatan   diancam   pidana   dan
dirumuskan   sebagai   suatu   delik   dalam   undang-
undang;   sedang   sifat   melawan   hukumnya perbuatan   itu   dapat   hapus,   hanya   berdasarkan
suatu   ketentuan   undang-undang.   Jadi   menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
atau   bertentangan   dengan   undang-undang hukum tertulis.
Menurut   Simons,   “Memang   boleh   diakui,   bahwa suatu   perbuatan,   yang   masuk   larangan   dalam
sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan   hukum,   akan   tetapi   tidak   adanya   sifat
melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
pengecualian berlakunya ketentuan  larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum
tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak
boleh diartikan lain daripada secara limitatief. 2.
menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu   perbuatan   itu   melawan   hukum   atau   tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang
yang   tertulis   saja,   akan   tetapis   harus   dilihat berlakunya   azas-azas   hukum   yang   tidak   tertulis.
Sifat   melawan   hukumnya   perbuatan   yang   nyata- nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus
berdasarkan   ketentuan   undang-undang   dan   juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis uber
gezetzlich. Jadi   menurut   ajaran   ini   melawan   hukum   sama
dengan   bertentangan   dengan   undang-undang hukum   tertulis   dan   juga   bertentangan   dengan
hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya   sebagaimana   para   sarjana   yang
menganut   ajaran   sifat   melawan   hukum   yang meteriil ialah :
a Von   Liszt   :   perkosaan   atau   pembahayaan terhadap   kepentingan   hukum   hanyalah
bersifat   melawan   hukum   materiil   materiel rechts widrig, jika perbuatan itu bertentangan
dengan   tujuan   ketertiban   hukum   den Zwecken der das Zusammenleben regelnden
Recht   sordnung   widerspricht;   kalau   tidak
bertentangan   dengan   tujuan   itu,   maka   tidak bersifat melawan hukum.
b Zu Dohna mengatakan : Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika
perbuatan   itu   merupakan   upaya   yang   haq untuk   tujuan   yang   haq   richtiges   Mittel   zum
techten   zwecke.   Contohnya   ialah   seorang yang   memukulpemuda   yang   memperkosa
anak   perempuannya.   Di   sini   menurut   Zu Dohna   perbuatan   ayahnya   tidak   bersifat
melawan hukum. c
M.E. Mayer mengatakan : Perbuatan itu melawan hukum materiil atau
tidak,   ditentukan   oleh   norma   kebudayaan kulturnorm. Sifat melawan hukum itu, berarti
bertentangan dengan kulturnorm yang diakui oleh   negara.   Kalau   perbuatan   itu   sesuai
dengan   kulturnorm   itu   maka   sifat   melawan hukumnya hapus.
d Zevenbergen
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif   yang   berdiri   sendiri,   yang   biasanya
ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai
hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh
ketertiban   hukum.   Dalam   hal   ada   keraguan mengenai   sifat   melawan   hukum   maka   tidak
boleh ada penjatuhan pidana. e Van Hattum
Dengan   adanya   keputusan   Hoge   Raad tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
dengan   itu   menurut   hemat   saya   mer   van Hattum   telah   diterima   ajaran   sifat   melawan
hukum   yang   materiil   oleh   Hoge   Raad   dan telah   dipecahkan   persoalan   mer   azas-azas
yang   boleh   dikatakan   benar   dalam   ajaran “penentuan   hukum”   dewasa   ini   in   de
hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist. Persaksian terhadap sifat melawan hukum
yang materiil itu harus dilakukan secara hati-
hati, dan istimewa hakim harus membuka diri pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal
abortus   protus   ps.   348   KUHP   bisa   tidak melanggar   hukum   berdasarkan   petunjuk
eugenetisch   atau   sosial.   Eugenetiek   adalah ajaran   yang   mempelajari   perbaikan   ras
keturunan. Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya
perbuatan,   bila   suatu   perbuatan   itu   memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda  indikasi
bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
alat pembenar rechtvaardigingsgrond. Bagi mereka yang   menganut   ajaran   sifat   melawan   hukum   yang
formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum   yang   tertulis,   sedang   penganut   ajaran   sifat
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis.
Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara   kongkrit   yang   sedang   dihadapi   harus
mempertimbangkan :
a. Apabila   ada   persoalan   mengenai   hukum   yang tidak   tertulis   yang   bertentangan   dengan   hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul- betul   sampai   dimanakah   hukum   tak   tertulis   itu
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat   dengan   sah.   Benarkah   yang   dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga   dipandang   adil      benar   oleh   seluruh
masyarakat pada umumnya. b. Apabila   ada   persoalan   mengenai   hukum   yang
tidak   tertulis   yang   bertentangan   dengan   hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
betul   sampai   dimanakah   hukum   tak   tertulis   itu dapat   menghapuskan   kekuatan   berlakunya
peraturan yang tertulis dsb. c. Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan
masyarakat   dapat   menyisihkan   peraturan   yang tertulis, yang dibuat dengan sah.
Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap- tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari
keputusan   itu.   Maka   hakim   harus   benar-benar mengetahui   bagaimanakah   keadaan   masyarakat
lebih-lebih   keadaan   masyarakat   Indonesia   yang dinamis   yang   bergerak   menuju   suatu   masyarakat
yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat
menangkap   apa   yang   sedang     terjadi   dalam masyarakat,   agar   supaya   putusannya   tidak
kedengaran   sumbang.   Hakim   dengan   seluruh kepribadiannya   harus   bertanggung   jawab   atas
kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.
Mengenai   pengertian   melawan   hukum   yang   materiil itu perlu   dibedakan :
- dalam fungsinya yang negatif
Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya   yang   negatif   mengakui   kemungkinan
adanya  hal-hal  yang  ada  di   luar   undang-undang melawan   hukumnya   perbuatan   yang   memenuhi
rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
- dalam fungsinya yang positif
Pengertian   sifat   melawan   hukum   yang   materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu
perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak   nyata   diancam   dengan   pidana   dalam
undang-undang,   apabila   bertentangan   dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar
undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
Kalau  Seminar  Hukum  Nasional  tersebut   di  atas menganut   ajaran   sifat   melawan   hukum   yang
materiil   tentunya   hal   tersebut   dalam   fungsinya yang   negatif.   Ini   adalah   konsekwensi   dari
diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang
ini   dimana   juga   masih   tercantum   azas   seperti tersebut   dalam   pasal   1.   Suatu   negara   yang
mengakui   azas   nullum   delictum   dalam   arti   yang sebenarnya tidak mungkin  menganut ajaran sifat
melawan   hukum   yang   materiil   dalam   fungsinya yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan
bahwa   B   telah   membunuh   C   kakak   dari   A. Memang   di   daerah   yang   bersangkutan   ada
anggapan   bahwa   hutang   nyawa   harus   disaur dengan nyawa.
B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum
Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan delik :
1. ada   yang   tercantum   dengan
tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan
2. ada   pula   yang   tidak
tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada perbedaan paham :
a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai   fungsi   yang   positif   untuk
sesuatu   delik   artinya   ada   delik   kalau perbuatan   itu   bersifat   melawan   hukum,
maka   harus   dibuktikan.   Sifat   melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif.
b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai   fungsi   yang   negatif   artinya   :
tidak ada unsur sifat melawan hukum pada
perbuatan   merupakan   pengecualian   untuk adanya   suatu   delik,   maka   tidak   perlu
dibuktikan. Yang   menganggap   sifat   melawan   hukum   itu
mempunyai   fungsi   yang   positif   merupakan   unsur konstitutif   a.l.   van   Hamel   dan   Zevenbergen.   Yang
menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi yang   negatif   adalah   Simons.   Pendapat   Simons,
“ajaran   sifat   melawan   hukum   untuk   hukum   pidana pada   umumnya   hanyalah   mempunyai   hubungan
dengan   pertanyaan   apakah   ada   pengecualian   yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.
Prof.   Muljatno   yang   meskipun   menganggap   unsur sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak
dapat   ditinggalkan”,   namun   berpendirian,   bahwa   itu tidak   berarti   bahwa   dalam   lapangan   procesueel
acara   pemeriksaan   perkara   sifat   itu   harus dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum.
Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap  dengan diam-diam ada,  kecuali jika
dibuktikan   sebaliknya   oleh   terdakwa,   karena   pada umumnya   dengan   mencocoki   rumusan   undang-
undang   sifat   melawan   hukumnya   perbuatan   sudah ternyata   pula.   Hazewinkel-Suringa   memandang   sifat
melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.
C. Putatif Delik
Dalam   pembicaraan   unsur   sifat   melawan   hukum   ini ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini
terjadi  jika  seorang   mengira  telah  melakukan  delict, padahal   perbuatannya   itu   sama   sekali   bukan   suatu
delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum.
BAB V
KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab Zurechnungsfahigkeit
– Toerekeningsvatbaarheid
Telah   disebutkan,   bahwa   untuk   adanya   pertanggung- jawab   pidana   diperlukan   syarat   bahwa   pelaku   mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan   apabila   ia   tidak   mampu
bertanggung jawab. Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-
jawab   ?  Apakah   ukurannya   untuk   menyatakan   adanya kemampuan   bertanggung   jawab   itu   ?   KUHP   tidak
memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda   dijumpai   beberapa   definisi   untuk   “kemampuan
bertanggung jawab”. Simons   :   “kemampuan   bertanggung   jawab     dapat
diartikan   sebagai   suatu   keadaan   psychis   sedemikian, yang   membenarkan   adanya   penerapan   sesuatu   upaya
pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.
Dikatakan   selanjutnya,   bahwa   seseorang     mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a. Ia   mampu   untuk   mengetahui   atau   menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Van   Hamel   :   kemampuan   bertanggung   jawab   adalah suatu   keadaan   normalitas   psychis   dan   kematangan
kecerdasan yang membawa 3 kemampuan : a. Mampu   untuk   mengerti   nilai   dari   akibat-akibat
perbuatannya sendiri b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu
menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan c. Mampu   untuk   menentukan   kehendaknya   atas
perbuatannya-perbuatannya itu Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-
jawabkan   ialah   orang   yang   dapat   mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.
Definisi   van   Bemmelen   ini   singkat,   akan   tetapi   juga kurang   jelas,   sebab   masih   dapat   ditanyakan   kapankah
seseorang   itu   dikatakan   “dapat   mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut” ?
Adapun   Memorie   van   Toelichting   memori   penjelasan secara   negative   menyebutkan   mengenai   kemampuan
bertanggung jawab itu, antara lain demikian : Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku
: a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih
antara   berbuat   dan   tidak   berbuat   mengenai   apa yang   dilarang   atau   diperintahkan   oleh   undang-
undang. b. Dalam   hal   ia   ada   dalam   suatu   keadaan   yang
sedemikian   rupa,   sehingga   tidak   dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk   setiap   kali   dalam   kejadian   yang   kongkrit   dalam
praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk
mengukur   hal   tersebut,   apabila   orang   yang   normal jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk
menilai   dengan   pikiran   atau   perasaannya   bahwa
perbuatannya   itu   dilarang   oleh   undang-undang   dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.
Dalam   persoalan   kemampuan   bertanggung   jawab   itu ditanyakan   apakah   seseorang   itu   merupakan   “norm-
adressat”   sasaran   norma,   yang   mampu.   Seorang terdakwa   pada   dasarnya   dianggap   supposed   mampu
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya lihat pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana.
2. Kesalahan 2.1. Pengertian Kesalahan
Dipidananya   seseorang   tidaklah   cukup   dengan membuktikan   bahwa   orang   itu   telah   melakukan
perbuatan   yang   bertentangan   dengan   hukum   atau bersifat   melawan   hukum.   Jadi   meskipun   perbuatannya
memenuhi   rumusan   delik   dalam   undang-undang   dan tidak   dibenarkan   an   objective   breach   of   a   penal
provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
untuk   penjatuhan   pidana.   Untuk   dapat dipertanggungjawabkannya   orang   tersebut   masih   perlu
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt.
Dengan   perkataan   lain,   orang   tersebut   harus   dapat dipertanggungjawabkan   atas   perbuatannya   atau   jika
dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan   kepada   orang   tersebut.   Dalam
hal   ini   berlaku   asas   “TIADA   PIDANA   TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen
straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa “culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan.
Asas   ini   tidak   tercantum   dalam   KUHP   Indonesia atau   dlam   peraturan   lain,   namun   berlakunya   asas
tersebut   sekarang   tidak   diragukan.  Akan   bertentangan dengan   rasa  keadilan,  apabila  ada  orang  yang  dijatuhi
pidana  padahal  ia  sama  sekali  tidak  bersalah,  Pasal  6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman UU No. 4
2004  berbunyi : Tiada  seorang juapun dapat  dijatuhi pidana,   kecuali   apabila   pengadilan,   karena   alat
pembuktian   yang   sah   menurut   undang-undang, mendapat   keyakinan,   bahwa   seorang   yang   dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu,
sangat   menentukan   akibat   dari   perbuatan   seseorang, dapat   juga   dikenal   dari   pepatah   Jawa   “sing     salah,
seleh”   yang   bersalah   pasti   salah.   Untuk   adany pemidanaan   harus  ada  kesalahan  pada   sipelaku. Asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam   ilmu   hukum   pidana   dapat   dilihat pertumbuhan   dari   hukum   pidana   yang   menitikberatkan
kepada perbuatan orang beserta akibatnya Tatstrafrecht atau   Erfolgstrafrecht   ke   arah   hukum   pidana   yang
berpijak   pada   orang   yang   melakukan   tindak   pidana taterstrafrecht,   tanpa   meninggalkan   sama   sekali   sifat
dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada   dewasa   ini   dapat   disebut   sebagai   Sculdstrafrecht,
artinya   bahwa,   penjatuhan   pidana   disyaratkan   adanya kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem   hukum   di   Negara   Eropa   Kontinental,   unsur
kesalahan   sebagai   syarat   untuk   penjatuhan   pidana   di Negara   Anglo   Saxon   tampak   dengan   adanya   maxim
asas   “Actus   non   facit   reum   nisi   mens   sit   rea”   atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil
will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat   pada   sipelaku   subjective   gilt   ini   berupa   intent
kesengajaan setidak-tidaknya negligence kealpaan.
2.2. Dasar Pemikiran
Filosofi   dasar   yang   mempersoalkan   kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat
dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran   tentang   hubungan   antara   perbuatan
dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak
adanya kesalahan ada 3 pendapat dari : a.
Aliran   klasik   yang   melahirkan   pandangan indeterminisme,   yang   pada   dasarnya
berpendapat,   bahwa   manusia   mempunyai kehendak   bebas   free   will   dan   ini   merupakan
sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa ada   kebebasan   kehendak   maka   tidak   ada
kesalahan   dan   apabila   tidak   ada   kesalahan,
maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.
b. Aliran   positivist   yang   melahirkan   pandangan
determinisme   mengatakan,   bahwa   manusia tidak   mempunyai   kehendak   bebas.   Keputusan
kehendak   ditentukan   sepenuhnya   oleh   watak dalam  arti  naPasalu-naPasalu  manusia  dalam
hubungan kekuatan satu sama lain dan motif- motif ialah perangsang-perangsang yang datang
dari  dalam  atau  dari  luar  yang  mengakibatkan watak   tersebut.   Ini   berarti   bahwa   seseorang,
tidak   dapat   dicela   atas   perbuatannya   atau dinyatakan   mempunyai   kesalahan,   sebab   ia
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu
tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Justru   karena   tidak   adanya   kebebasan
kehendak   itu   maka   ada   pertanggungan-jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi
terhadap   perbuatan   yang   dilakukan   itu   berupa
tindakan   maatregel   untuk   ketertiban masyarakat,   dan   bukannya   pidana   dalam   arti
penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku.
c. Dalam   pandangan   ketiga   melihat
bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu   untuk   hukum   pidana   tidak   menjadi   soal
irrelevant.   Kesalahan   seseorang   tidak dihubungkan   dengan   ada   dan   tidak   adanya
kehendak bebas
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah
ini   disebutkan   pendapat-pendapat   dari   berbagai penulis.
a. MEZGER   mengatakan   :   kesalahan   adalah keseluruhan   syarat   yang   memberi   dasar   untuk
adanya   pencelaan   pribadi   terhadap   si   pelaku tindak   pidana   Schuldist   der   Erbegriiffder
Vcrraussetzungen,   die   aus   der   Strafcat   einen
personlichen   Verwurf   gegen   den   Tater begrunden.
b. SIMONS   mengartikan   kesalahan   itu   sebagai pengertian   yang   “sociaal   ethisch”   dan
mengatakan antara lain : “Sebagai   dasar   untuk   pertanggungan   jawab
dalam   hukum   pidana   ia   berupa   keadaan psychisch   dari   si   pelaku   dan   hubungannya
terhadap   perbuatannya,”   dan   dalam   arti   bahwa berdasarkan   keadaan   psychisch   jiwa   itu
perbuatannya   dapat   dicelakakan   kepada   si pelaku”.
c. VAN   HAMEL   mengatakan,   bahwa   “kesalahan dalam   suatu   delik   merupakan   pengertian
psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena
perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab   dalam   hukum   Schuld   is   de   verant
woordelijkheid rechtens”. d. VAN   HATTUM   berpendapat   :   “Pengertian
kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam   mana   seseorang   dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan   hukum,   meliputi   semua   hal,   yang
bersifat   psychisch   yang   terdapat   dapat keseluruhan  yang  berupa  strafbaarfeit  termasuk
si pelakunya al  het geen psychisch  is aan dat complex,   dat   bestaat   uit   een   strafbaar   feit   en
deswege een strafbare dader. e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa”
mengatakan   :   “Pengertian   salah   dosa mengandung   celaan.   Celaan   ini   menjadi
dasarnya   tanggungan   jawab   terhadap   hukum pidana”.   Selanjutnya   ia   katakan   :   “Salah   dosa
berada,   jika   perbuatan   dapat   dan   patut dipertanggungkan   atas   si   perbuat;   harus   boleh
dicela   karena   perbuatan   itu;   perbuatan   itu mengandung   perlawanan   hak;   perbuatan   itu
harus   dilakukan,   baik   dengan   sengaja,   maupun dengan salah”.
f. POMPE   mengatakan   antara   lain   :   “Pada pelanggaran   norma   yang   dilakukan   karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan
hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah
kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam   arti   ini   kesalahan   hanya   dipandang
sebagai   hubungan   psychologis   batin   antara pelaku   dan   perbuatannya.   Hubungan   batin
tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada   kesengajaan   hubungan   batin   itu   berupa
menghendaki perbuatan beserta akibatnya dan pada   kealpaan   tidak   ada   kehendak   demikian.
Jadi   di   sini   hanya   digambarkan   deskriptif keadaan   batin   berupa   kehendak   terhadap
perbuatan atau akibat perbuatan. Dari   pengertian-pengertian   kesalahan   dari
beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
- Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini   menentukan   kesalahan   seseorang   tidak   hanya
berdasar   sikap   batin   atau   hubungan   batin   antara pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu
harus   ada   unsur   penilaian   atau   unsur   normatif terhadap   perbuatannya.   Penilaian   normatif   artinya
penilaian   dari   luar   mengenai   hubungan   antara sipelaku dengan perbuatannya.
“Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan   memakai   ukuran-ukuran   yang   terdapat
dalam   masyarakat,   ialah   apa   yang   seharusnya diperbuat   oleh   sipelaku   secara   extreem   dikatakan
bahwa   “kesalahan   seseorang   tidaklah   terdapat dalam  kepala  sipelaku,   melainkan di  dalam kepala
orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang
memberi   penilaian   pada   instansi   terakhir   adalah hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap
diperhatikan,   akan   tetapi   hanya   merupakan   unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban
pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan
bertanggungjawab   dan   tidak   adanya   alasan penghapus kesalahan.
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut : a. menurut   akibatnya   ia   ada   hal   yang   dapat
dicelakakan verwijtbaarheid b. menurut   hakekatnya   ia   adalah   hal   dapat
dihindarkannya vermijdbaar-heid perbuatan yang melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah dimengerti   bahwa   kesalahan   itu   mengandung   unsur
pencelaan   terhadap   seseorang   yang   telah   melakukan tindak   pidana.   Jadi   orang   yang   bersalah   melakukan
sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan   kepadanya,   pencelaan   disini   bukannya
pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan   hukum   yang   berlaku.   Bukan   “ethische
schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti dikatakan   oleh   van   Hamel.   Namun   demikian,   untuk
adanya   kesalahan   hemat   kami   harus   ada   pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,
bahwa “das  Recht ist  das ethische Minimum”. Setidak- tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati
tata   dalam   masyarakat,   yang   terdiri   dari   sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup
bersama.
1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana
Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu :
a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya,
yang   dapat   disamakan   dengan   pengertian “pertanggungjawaban   dalam   hukum   pidana”;   di
dalamnya   terkandung   makna   dapat   dicelanya verwijtbaarheid sipelaku atas perbuatannya. Jadi
apabila   dikatakan,   bahwa   orang   bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti
bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. b.
kesalahan   dalam   arti   bentuk   kesalahan sculdvorm yang berupa :
1. kesengajaan   dolus,   opzet,   vorzatz   atau intention atau
2. kealpaan culpa,
onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence.
c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan
culpa seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. Pemakaian   istilah   “kesalahan”   dalam   arti   ini
sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”.
Dengan diterimanya pengertian kesalahan dalam arti luas   sebagai   dapat   dicelanya   si   pelaku   atas
perbuatannya,   maka   berubahlah   pengertian kesalahan   yang   psychologis   menjadi   pengertian
kesalahan yang normatif normativer schuldbegriff.
2. Unsur-unsur   dari   kesalahan   dalam   arti   yang
seluas-luasnya
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :
a. adanya   kemampuan   bertanggungjawab
pada sipelaku
schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit;   artinya   keadaan   jiwa sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah
orang   tertentu   menjadi   “normadressat”   yang mampu.
b. hubungan   batin   antara   sipelaku   dengan
perbuatannya,   yang   berupa   kesengajaan   dolus atau   kealpaan   culpa,   ini   disebut   bentuk-bentuk
kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
c. tidak   adanya   alasan   yang   menghapus
kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa   yang   disebut   dalam   a   dan   b   ada,   ada
kemungkinan   bahwa   ada   keadaan   yang mempengaruhi   sipelaku   sehingga   kesalahannya
hapus,   misalnya   dengan   adanya   kelampauan batas pembelaan terpaksa ps. 49 KUHP
Kalau   ketiga-tiga   unsur   ada   maka   orang   yang bersangkutan   bisa   dinyatakan   bersalah   atau
mempunyai   pertanggungan   jawab   pidana,   sehingga bisa dipidana.
Dalam   pada   itu   harus   diingat   bahwa   untuk   adanya kesalahan   dalam   arti   yang   seluas-luasnya
pertanggungan   jawab   pidana   orang   yang bersangkutan   harus   pula   dibuktikan   terlebih   dahulu
bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan   hukum   maka   tidak   ada   perlunya   untuk
menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya   seseorang   yang   melakukan   perbuatan
yang   melawan   hukum   tidak   dengan   sendirinya mempunyai   kesalahan,   artinya   tidak   dengan
sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah   sebabnya,   maka   kita   harus   senantiasa
menyadari   akan   dua   pasangan   dalam   syarat-syarat pemidaan ialah adanya :
1. dapat   dipidananya   perbuatan
strafbaarheid van het feit 2.
dapat   dipidananya   orangnya atau pelakunya strafbaarheid van de persoon.
BAB VI
KESENGAJAAN
DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas- luasnya pertanggungjawaban pidana adalah hubungan
batin   antara   si   pelaku   terhadap   perbuatan,   yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui
arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. Memorie van Toelichting,   yang   mengartikan   “kesengajaan”   opzet
sebagai   :   “menghendaki   dan   mengetahui”   willens   en wetens. Pompe : 166. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa
sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.   Orang   yang   melakukan   perbuatan   dengan
sengaja   menghendaki   perbuatan   itu   dan   disamping   itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan
itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada   anaknya,   menghendaki   dan   sadar   akan
perbuatannya.
1. Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan   sengaja,   yang   berisi   menghendaki   dan
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak wilstheorie
Inti   kesengajaan   adalah   kehendak   untuk mewujudkan   unsur-unsur   delik   dalam   rumusan
undang-undang Simons, Zevenbergen b. Teori pengetahuan  membayangkan voorstelling-
theorie Sengaja   berarti   membayangkan   akan   akibat
timbulnya   akibat   perbuatannya;   orang   tak   bisa menghendaki   akibat,   melainkan   hanya   dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa   yang   diketahui   atau   dibayangkan   oleh
sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. Frank.
Terhadap   perbuatan   yang   dilakukan   sipelaku   kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui
bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori
adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja.
2. Bentuk Kesengajaan
Dalam   hal   seseorang   melakukan   sesuatu dengan   sengaja   dapat   dibedakan   3   bentuk   sikap
batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut :
a. kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk untuk mencapai suatu tujuan yang dekat; dolus
directus b. kesengajaan dengan sadar kepastian opzet met
zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn c. kesengajaan   dengan   sadar   kemungkinan   dolus
eventualis atau voorwaardelijk-opzet Bentuk   kesengajaan   ini   merupakan   bentuk
kesengajaan   yang   biasa   dan   sederhana.   Perbuatan sipelaku   bertujuan   untuk   menimbulkan   akibat   yang
dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan   berbuat   demikian.   Ia   menghendaki   perbuatan
beserta akibatnya. Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B
agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan motif.   Motif   suatu   perbuatan   adalah   alasan   yang
mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb.
Dalam   hal   delik   materiil   harus   dihubungkan   faktor kausa   yang   menghubungkan   perbuatan   dengan
akibat kausalitas dimana : 1. akibat   yang   memang   dituju   sipelaku.   Ini   dapat
merupakan delik tersendiri atau tidak. 2. akibat   yang   tidak   didinginkan   tetapi   merupakan
suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh 1 :
A  hendak  membunuh   B  dengan   tembakan   pistol.   B duduk   di   balik   kaca   jendela   restoran.   Penembakan
terhadap   B   pasti   akan   memecahkan   kaca   pemilik restoran itu.
Terhadap   terbunuhnya   B   kesengajaan   merupakan tujuan  sedangkan  terhadap  rusaknya   kaca  ps.   406
KUHP   ada   kesengajaan   dengan   keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya
tujuan. Dalam   hal   ini   ada   keadaan   tertentu   yang   semula
merupakan   diperkirakan   sipelaku   sebagai kemungkinan   terjadi   kemudian   ternyata   benar-benar
terjadi   merupakan   resiko   yang   harus   diemban sipelaku.
Contoh 2 :
A   hendak   membalas   dendam   B   yang   bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga
akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap
mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap   tertuju   pula   pada   matinya   istri   B.   Dalam
batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan baginya.
Jadi dalam kasus ini : Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B
dan   kesengajaan   dengan   keinsyafan   kemungkinan terhadap kematian istri B Arrest H.R. 9 Maret 1911
Contoh 3 :
Seorang   yang   melakukan   penggelapan,   merasa bahwa   akhirnya   ia   akan   ketahuan.   Ia   ingin
menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak membunuh   dirinya   dengan   merencanakan   sustu
kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.
Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi 1 ton itu dapat dibayarkan kepada soprnya.
Tetapi   ini   gagal,   ia   tidak   mati,   hanya   luka-luka. Beberapa   penumpang   bis   mengalami   luka   dan
seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J   Raad   van   Justitie   Semarang   yang   diperkuat
oleh   Hoogerechtshof   dalam   tingkat   banding menyatakan   terdakwa   bersalah   telah   melakukan
penganiayaan   berat.   Pertimbangannya   antara   lain sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang- penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini
ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan perbuatan   itu,   meskipun   ia   sadr   akan   akibat   yang
mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi Officier van Justitie pada
R.v.J di Semarang.
3. Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki
suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan   tetapi   keadaan   menyebabkan   ia   tidak   dapat
mengelak dari suatu keadaan tertentu. Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya   di   jalan   dalam   kota.   Dimuka   ia   lihat
sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila ia   tetap   dalam   kecepatan   yang   sama   tanpa
menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya
itu   beberapa   anak   luka   atau   mati,   maka   disini   ada kesengajaan   unuk   menganiaya   atau   membunuh,
meskipun   tidak   dapat   dikatakan   bahwa   ia mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki
hal   itu,   dalam   arti,   meskipun   ia   sadar   akan kemungkinan   tentang   luka   dan   matinya   anak   ia
mendesak   kesadaran   itu   kebelakang   dan   menerima apa   boleh   buat   kemungkinan   itu,   dengan
melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya. Di  atas  telah  disebutkan  2  teori  yang  menerangkan
bagaimana   sikap   batin   seseorang   yang   melakukan perbuatan   dengan   sengaja.   Bagaimanakah
menerangkan   adanya   kesengajaan   dengan   sadar kemungkinan dolus eventualis ?
Berdasarkan   teori   kehendak,   jika   sipelaku menetapkan   dalam   batinnya,   bahwa   ia   lebih
menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti   akan   ada   akibat   yang   ia   tidak   harapkan,   dari
pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga  ditujukan  kepada  akibat   yang  tidak   diharapkan
itu. Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui
membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat yang   tak   dikehendaki,   tetapi   bayangkan   itu   tidak
mencegah   dia   untuk   tidak   berbuat;   maka   dapat dikatakan,   bahwa   kesengajaan   diarahkan   kepada
akibat yang mungkin terjadi itu. Dalam   kedua   teori   itu   digambarkan,   bahwa   dalam
batin si – pelaku terjadi suatu proses,  bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu
yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa  boleh  buat  “In
Kauf   nehmen   theorie”atau”   op   de   koop   toe   nemen theorie”.
Menurut   teori   apa   boleh  buat   “In   Kauf   nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie” keadaan
batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut:
a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci   atau   takut   akan   kemungkinan   timbulnya
akibat itu b. akan   tetapi   meskipun   ia   tidak   menghendakinya,
namun apabila toh keadaanakibat itu timbul, apa boleh   buat   hak   itu   diterima   juga,   ini   berarti   ia
berani memikul resiko.”
Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri   Modderman   mengatakan,   bahwa
“voorwaardelijkk   opzet”   dolus   eventualis   itu   ada, apabila   kehendak   kita   langsung   ditujukan   pada
kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa   keadaan  tertentu  masih  akan  terjadi,   namun
kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan   teori   apa   boleh   buat   ini   maka   sebenarnya tidak   perlu   lagi   untuk   membedakan   kesengajaan
dengan   sadar   kepastian   dan   kesengajaan   dengan sadar kemungkinan.
Dalam   uraian-uraian   diatas   penentuan   tentang kesengajaan   si-pelaku   adalah   dengan   melihat
bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya.   Demikian   itu   karena   kesengajaan
dipandang   sebagai   sikap   batin   pelaku   terhadap perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah
mudah   bagi   Hakim   untuk   menentukan   bahwa   sikap batin   yang   berupa   kesengajaan   atau   kealpaan   itu
benar-benar   ada   pada   pelaku.   Orang   tidak   dapat secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain,
lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.
Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam
banyak   hal   hakim   baru   mengobyektifkan   adanya kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:
A   melepaskan   tembakan   kepada   B   dalam   jarak   2 meter.
Meskipun   A   mungkin,   bahwa   ia   mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap
akan   menentukan   adanya   kesengajaan   tersebut, kecuali   apabila   dapat   diterima   alasan-alasan   yang
sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi atau   bahwa   matinya   B   itu   disebabkan   karena
kekhilafan dari A. Dalam   hal   ini   diragukan   adanya   kesenjajaan,
sehingga   ada   pembebasan.   Hakim   harus   sangat berhati-hati.   Kesengajaan   berwarna   gekleurd   dan
tidak berwarna kleurloos. Persoalan ini berhubungan dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan
itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang bersifat melawan hukum ?
Mengenai   hal   ini   ada   2   pendapat,   ialah   yang mengatakan bahwa:
a. sifat   kesengajaan   itu   berwarna   dan   kesengajaan melakukan   sesuatu   perbuatan   mencakup
pengetahuan   sipelaku   bahwa   perbuatanya melawan  hukum  dilarang;  harus ada hubungan
antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya   perbuatan.   Dikatakan,   bahwa   sengaja
disini   berarti   dolus   malus,   artinya   sengaja   untuk berbuat jahat boos opzet. Jadi menurut pendirian
yang   pertama,   untuk   adanya   kesengajaan   perlu bahwa   sipelaku   menyadari   bahwa   perbuatannya
dilarang.   Penganutnya   antara   lain   Zevenbergen, yang   mengatakan   dalam   bukunya   leerboek   van
het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman 169,   bahwa:   Kesengajaan   senantiasa   ada
hubungannya   dengan   dolus   molus,   dengan perkataan   lain   dalam   kesengajaan   tersimpul
adanya   kesadaran   mengenai   sifat   melawan hukumnya   perbuatan.”   Untuk   adanya
kesengajaan,   di   perlukan   syarat,   bahwa   pada sipelaku   ada   kesadaran,   bahwa   perbuatannya
dilarang danatau dapat dipidana b. Kesengajaan tidak berwarna
Kalau   dikatakan   bahwa   kesengajaan   itu   tak berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya
kesengajaan   cukuplah   bahwa   sipelaku   itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak
perlu   tahu   bahwa   perbuatannya   terlarang      sifat melawan hukum.
Dapat   saja   sipelaku   dikatakan   berbuat   dengan sengaja,   sedang   ia   tidak   mengetahui   bahwa
perbuatannya   itu   dilarang   atau   bertentangan dengan hukum.
Penganut-penganutnya   antara   lain   :   Simons, Pompe,   Jonkers.   Menurut   M.v.T.   tidak   perlu   ada
“boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian : “Akan   tetapi   untuk   berbuat   dengan   sengaja   itu
apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan   suatu   perbuatan   yang   menurut   tata
susila   tidak   dibenarkan   zadelijk   ongeoorlooid   ? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau
perlukah adanya “kesengajaanj jahat” boos opzet ?
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu   berwarna   ialah   akan   merupakan   beban   yan
berat   bagi   jaksa   apabila   untuk   membuktikan adanya   kesengajaan,   tiap   kali   ia   harus
membuktikan   bahwa   pada   terdakwa   ada kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya
perbuatan   itu.   Sebaliknya,   alasan   bahwa kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi
termasuk   kesengajaan,   berisi   bahwa   sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.
Apabila   ia   sama   sekali   tidak   sadar   akan   itu, meskipun   pada   kenyataannya   ia   melakukan
perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana.
4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP
M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara lain,   bahwa   “unsur-unsur   delik   yang   terletak
dibelakang   perkataan   opzettelijk   dengan   sengaja dikuasai atau diliputi olehnya”.
Oleh   karena   itu   pembentuk   undang-undang menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan
“opzettelijk”   itu.   bacalah   ps.   151   dan   152   dan bandingkan   letak   perkataan   sengaja   dalam   kedua
pasal   tersebut.   Unsur   yang   terletak   di   muka perkataan   “opzettelijk”   disebut   “diobjektip-kan”
geobjektiveerd,   artinya   dilepaskan   dari   kekuasaan kesengajaan.   Jadi   tidak   perlu   dibuktikan   bahwa
kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut, seperti   halnya   ps.   152.   Lihat   ps.   303   KUHP.
Kesengajaan   disini   harus   ditujukan   kepada   hal-hal apa saja ? Pecahkanlah sendiri
Dalam  hal  itu   asas  yang  dianut   M.v.T.   itu  tidak berlaku   untuk   semua   delik.   Ada   pengecualiannya.
Lihat   ps.   187   KUHP.   Di   sini   ada   keadaan-keadaan, yang   disebut   di   belakang   perkataan   sengaja,
diobjektipkan,   sehingga   tak   perlu   dibuktian   bahwa kesengajaan   pelaku   ditujukan   kepada   hal   tersebut
yang   diobjektipkan,   artinya   yang   tidak   perlu ditanyakan   apakah   sipelaku   mengetahui   atau
menghendakinya,   ialah   “dapat   terjadinya   bahaya umum atau bahaya maut tersebut”.
Demikianlah   teknik   perundang-undangan   yang diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi
masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks
resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh karena   itu   teknik   perundang-undangan   dalam
menyusun   kalimat   tentunya   tidak   dapat   atau   tidak perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks
terjemahan   yang   diusahakan   oleh   beberapa   penulis sekarang   ini   tidak   ada   jalan   lain   bagi   pelaksana
hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah teks   Bahasa   Belanda   dan   mendasarkan   penafsiran
pada teks tersebut. Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met
het   oogmerk   om   ........   dengan   tujuan   untuk, misalnya pada delik pencurian ps. 362, pemalsuan
surat ps. 263, ialah yang disebut “Tendenz-delikte” atau   Absicht-delikte”,   ada   pendapat   bahwa   unsur
tersebut   bukannya   unsur   kesengajaan,   melainkan unsur   melawan   hukum   subjektif.   Unsur   ini
memberi.sifat   atau   arah   dari   perbuatan   yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met het oogmerk om..............dengan tujuan untuk.........,
misalnya   dalam   delik   pencurian   pasal   362, pemalsuan surat pasal 263, ialah apa yang disebut
“Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,
melainkan   unsur   melawan   hukum   yang   subjektif. Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan. 4.1. Kata “dan”
Dalam   KUHP   teks   Belanda,   dalam   merumuskan sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:
- Sengaja   tanpa   ada   rumusan   unsur   melawan
hukum wederrechtelijk -
Sengaja   melawan   hukum   wederrechtelijk   tanpa kata dan
- Meyisipkan   kata   “dan”   diantara   perkataan
“sengaja”   dan   perkataan   “melawan   hukum”,   jadi merumuskan   sebagai   “sengaja   dan   melawan
hukum” opzettelijk en wederrechtelijk.
Contoh: Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk
van devrijhiid berooft of berooft houdt.............. Dalam   pasal   ini   jelas   bahwa   kesengajaan   meliputi
melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan
itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat dengan   sengaja.  Apabila   ia   dengan   iktikad   baik   te
goeder   trouw   mengira,   bahwa   ia   dalam   keadaan tertentu   boleh   merampas   kemerdekaan   seseorang,
maka   ia   tak   dapat   dipidana.   Disini   ada   kesesatan yang bisa membebaskan.
Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig goed  dat geheel  of ten deele  aan  een  onder  toebe
hoort,   vernielt,   beschadigt,   onbruik   baar   maakt   of wegmaakt, wordt.....................
Dalam   rumusan   dalam   bahasa   Belanda   yang demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan
hukumnya   perbuatan   juga   harus   diliputi   oleh
kesengajaan.   Mengenai   hal   ini   terdapat   tiga pandangan:
a. Perkataan   “en”   dan   menunjukkan   kedudukan yang   sejajar.   Kesengajaan   pelaku   tidak   perlu
ditujukan   kepada   sifat   melawan   hukumnya perbuatan,   dengan   perkataan   lain   sifat   melawan
hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu bahwa perbuatannya melawan hukum.
Contoh   pasal   406   :   Seorang   pekerja   yang mendapat   perintah   dari   pemilik   rumah   untuk
membongkar   rumahnya,   tetapi   sebelum melaksanakan   perintah   tersebut,   tanpa   diketahui
olehnya   rumah   itu   ganti   pemilik.   Ia   terus   saja membongkar.   Ia   merusak   dengan   sengaja   dan
dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana. b. Perkataan “en” dan tidak ada artinya.
Semua   delik   yang   menurut   unsur   “sengaja melawan   hukum”   dapat   dibaca   “sengaja   dan
melawan   hukum”,   yang   berarti   dua   hal   yang terpisah   dan   tidak   berpengaruh   satu   sama   lain,
meskipun tidak ada perkataan “en” dan tersebut : Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
c. Perkataan “en” dan tidak ada artinya Berbeda   dengan   pendapat   ke   2   tersebut,
pendapat   ini   justru   mengartikan   sengaja   dan melawan   hukum   “sebagai”   sengaja   melawan
hukum.   Jadi   meskipun   ada   perkataan   dan, kesengajaan   sipelaku   harus   ditujukan   kepada
melawan   hukumnya   perbuatan,   sesuai   dengan asas,   bahwa   semua   unsur   yang     terletak   di
belakang   perkataan   sengaja   dikuasai   olehnya. Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut
di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia sama   sekali   tidak   mengetahui   sifat   melawan
hukumya perbuatan yang ia lakukan. Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang
pertama,   sedang   Vos,   Zevenbergen,   Langemeyer mengikuti   pendapat   yang   ketiga.   Hoge   Raad
mengikuti   pendapat   pertama.   Dalam   arrest   tgl.   21 Desember   1914   dimuat   antara   lain   :   karena   antara
unsur   kesengajaan   dan   unsur   melawan   hukum   ada
perkataan   “en”,   maka   unsur   melawan   hukum   tidak diliputi oleh kesengajaan.
Bagi   Prof.   Muljatno   perkataan   “dan”   diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”
tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus
tahu   bahwa   yang   dilakukan   itu   bersifat   melawan hukum.
5. Kesengajaan Menurut Doktrin
Dalam   ilmu   pengetahuan   dikenal   beberapa   macam kesengajaan :
a. dolus premeditatus
Bentuk   ini   mengacu   pada   rumusan   delik   yang mensyaratkan   unsur   “dengan   rencana   lebih
dahulu”   met   voorbedachte   rade   sebagai   unsur yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam
delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340, 342 KUHP.
Istilah   tersebut   meliputi   bagaimana   terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau
tingkat   kesengajaan.   Menurut   M.v.T.   untuk “voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan
dengan tenang” een tijdstip van kalm overleg, van bedaard   nedenken.   Untuk   dapat   dikatakan   “ada
rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika melakukan   tindak   pidana   tersebut,   memikirkan
secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia lakukan.
b. dolus determinatus dan indeterminatus
Unsurnya   ialah   pendirian   bahwa   kesengajaan dapat   lebih   pasti   atau   tidak.   Pada   dolus
determinatus,   pelaku   misalnya   menghendaki matinya   orang   tertentu,   sedang   pada   dolus
indeterminatus   pelaku   misalnya   menembak   ke arah   gerombolan   orang   atau   menembak
penumpang-penumpang   dalam   mobil   yang   tidak mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air
minum, dan sebagainya.
c. dolus alternativus
Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain
d. dolus indirectus, Versari in re illicita
Ajaran   tentang   “dolus   indirectus”   mengatakan, bahwa   semua   akibat   dari   perbuatan   yang
disengaja,   dituju   atau   tidak   dituju,   diduga   atau tidak   diduga,   itu   dianggap   sebagai   hal   yang
ditimbulkan   dengan   sengaja.   Ajaran   ini   dengan tegas   ditolak   oleh   pembentuk   undang-undang.
Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal Perancis.   Dolus   ini   ada,   apabila   dari   suatu
perbuatan   yang   dilarang   dan   dilakukan   dengan sengaja   timbul   akibat   yang   tidak   diinginkan.
Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang
sebagai “meutre”.
Hazewinkel-Suringa menganggap   hal   ini   sebagai   suatu   pengertian
yang tidak baik.
Ajaran   dolus   indirectus   ini   mengingatkan   orang kepada   ajaran   kuno   hukum   kanonik   tentang
pertanggung-jawab,   ialah   versari   in   re illicita.menurut   ajaran   ini   seseorang   yang
melakukan   perbuatan   terlarang   juga dipertanggung-jawabkan   atas   semua   akibatnya.
Dipertanggung-jawabkan   dalam   hukum   pidana, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama
sekali   olehnya   dan   timbul   secara   kebetulan.   Di Inggris   dan   Spanyol   pengertian   dolus   indirectus
adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus eventualis”.
e. dolus directus
Ini   berarti,   bahwa   kesengajaan   sipelaku   tidak hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan
juga kepada akibat perbuatannya.
f. dolus generalis
Pada   delik   materiil   harus   ada   hubungan   kausal antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak
dikehendaki undang-undang.
Misalkan   seseorang   yang   bermaksud   untuk membunuh   orang   lain,   telah   melakukan
serangkaian   perbuatan   misalnya   mencekik   dan kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut
otopsi   pemeriksaan   mayat   matinya   orang   ini disebabkan   karena   tenggelam,   jadi   pada   waktu
dilempar ke air ia belum mati. Menurut   ajaran   kuno   disini   ada   dolus   generalis,
ialah   harapan   dari   terdakwa   secara   umum   agar orang   yang   dituju   itu   mati,   bagaimanapun   telah
tercapai.   Simons   menyetujui   jenis   dolus   ini. Hazewinkel-Suringa   menganggap   hal   tersebut
secara   dogmatis   tidak   tepat.   Perbuatan   pertama mencekik   dikualifikasikan   sebagai   “percobaan
pembunuhan”,   sedang   perbuatan   kedua melempar   ke   kali   merupakan   perbuatan   yang
terletak      di   luar   lapangan   hukum   pidana   atau “menyebabkan   matinya   orang   karena
kealpaannya”. Contoh :
Seorang   Ibu   yang   ingin   melepaskan   diri   dari bayinya,   menaruh   bayi   itu   di   pantai   dengan
harapan   agar   dibawa   oleh   arus   pasang.   Akan tetapi   air   pasangnya   tidak   setinggi   yang
diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak
tepat   seperti   yang   dibayangkan   oleh   sipelaku, namun   karena   akibat   yang   dikenhendaki   telah
terjadi,   maka   disini   menurut   von   Hippel   ada pembunuhan   yang   direncanakan.   Pendirian   von
Hippel   ada   pembunuhan   yang   direncanakan. Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat
H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.
BAB VII
KEALPAAN CULPA
CULPA   dalam   arti   sempit,   SCHULD,   NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE,   FAHRLASSIGKEIT,
SEMBRONO, TELEDOR. Disamping   sikap   batin   berupa   kesengajaan   ada   pula
sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa   delik.   Akibat   ini   timbul   karena   ia   alpa,   ia
sembrono,   teledor,   ia   berbuat   kurang   hati-hati   atau kurang penduga-duga.
Dalam   buku   II   KUHP   terdapat   beberapa   pasal   yang memuat   unsur   kealpaan.   Ini   adalah   delik-delik   culpa
culpose delicten. Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188 :
Karena   kealpaannya   menimbulkan peletusan, kebakaran dst
Pasal 231 4 :
Karena   kealpaannya   sipenyimpan menyebabkan   hilangnya   dan
sebagainnya barang yang disita Pasal 359
: Karena   kealpaannya   menyebabkan
matinya orang Pasal 360
: Karena   kealpaannya   menyebabkan
orang luka berat dsb. Pasal 409
: Karena   kealpaannya   menyebabkan
alat-alat perlengkapan jalan api dsb hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya,   sedang   dalam   arti   sempit   adalah   bentuk
kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian   membahayakan   keamanan   orang   atau
barang,   atau   mendatangkan   kerugian   terhadap seseorang   yang   sedemikian   besarnya   dan   tidak   dapat
diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap   larangan   penghati-hati,   sikap   sembrono
teledor,   pendek   kata   “   schuld”   kealpaan   yang
menyebabkan   keadaan   tadi”.er   zijn   feiten,   die   de algemene   vefligheid   van   onen   of   goederen   zozeer   in
gevaar   brengen   of   zo   groot   en   onherstelbaar   nadeel bijzondere   personen   berokkenen,   dat   de   wet   ook   de
onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer
gaan”
1. Pengertian kealpaan atau culpa dalam arti sempit
Menurut   M.v.T   kealpaan   disatu   pihak   berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan
hal   yang   kebetulan   toevel   atau   caous.kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada
kesengajaan,   akan   tetapi   bukannya   kesengajaan   yang ringan.
Beberapa   penulis   menyebut   beberapa   syarat   untuk adanya kealpaan:
a. Hazenwinkel – Suringa
Ilmu   pengetahuan   hukum   dan   jurispruden mengartikan “schuld” kealpaan sebagai:
kekurangan penduga – duga atau kekurangan penghati-hati.
b. Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat: 1. tidak
mengadakan penduga-duga
sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2. tidak  mengadakan penghati-hati sebagaimana
diharuskan oleh hukum.
c. Simons:
Pada umumnya “schuld” kealpaan mempunyai dua unsur :
1. Tidak adanya penghati-hati, di samping 2. dapat diduganya akibat
d. Pompe.
Ada   3   macam   yang   masuk   kealpaan anachtzaamheid:
1. Dapat mengirakan kunnen venvachten timbulnya akibat
2. Mengetahui   adanya   kemungkinan   kennen   der mogelijkheid
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan kunnen kennen van de mogelijkheid
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau   dapat   mengetahuinyaitu   menyangkut   juga
kewajiban   untuk   menghindarkan   perbuatannya =untuk tidak melakukan perbuatan.
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif,   dan   tidak   secara   fisik   atau   psychis.
Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang   yang   sesungguh-sungguhnya   maka
haruslah   ditetapkan   dari   luar   bagaimana seharusnya ia berbuat  dengan mengambil ukuran
sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a. “Orang   pada   umunya”   ini   berarti   bahwa
tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya.
b. Untuk   menentukan   adanya   kealpaan   ini
harus   dilihat   peristiwa   demi   peristiwa.   Yang harus   memegang   ukuran   normatif   dari
kealpaan   itu   adalah   Hakim.   Undang-undang mewajibkan   seseorang   untuk   melakukan
sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya,   dalam   peraturan   lalu-lintas   ada
ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan
dari kiri harus didahulukan”. Apabila   seorang   pengendara   dalam   hal   ini
berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang diatur   itu,   maka   apabila   perbuatannya   itu
mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka   berat,   maka   ia   dapat   dikatakan   karena
kealpaannya   mengakibatkan   orang   lain Pasal. 360 1 K.U.H.P
Dalam   hubungan   ini   VOS   mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
hukum   telah   tersimpul   di   dalam   culpa   itu sendiri.
Ia   menyatakan   antara   lain   “Memang   culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,
namun   culpa   menunjukkan   kepada   tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu
tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin   perbuatan   itu   perbuatan   yang
abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa. Dalam   delik   culpoos   tidak   mungkin
diajukan   alasan   pembenar   rechtvaar digingsgrond.
c. Untuk   adanya   pemidanaan   perlu   adanya kekurangan   hati-hati   yang   cukup   besar,   jadi
harus   culpa   lata   dan   bukanya   culpa   levis kealpaan yang sangat ringan.
2. Bentuk kealpaan
Pada   dasarnya   orang   berfikirdan   berbuat   secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak
berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 dua bentuk yaitu
a. Kealpaan yang disadari bewuste schuld Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan   beserta   akibatnya,   akan   tetapi   ia percaya   dan   mengharap-harap   bahwa   akibatnya
tidak akan terjadi b. Kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld.
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak   menyadari   kemungkinan   akan   timbulnya
sesuatu   akibat,   padahal   seharusnya   ia   dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang
tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat   berat.   VAN   HATTUM   mengatakan,   bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang
mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan yang ada pada  pelaku,   yang  tidak   merupakan   dolus   eventualis”.
Hemat   kami   perbedaan   tersebut   tidak   banyak   artinya. Kealpaan   merupakan   pengertian   yang   normatif   bukan
suatu   pengertian   yang   menyatakan   keadan   bukan feitelijk   begrip.   Penentuan   kealpaan   seseorang   harus
dilakukan   dari   luar,   harus   disimpulkan   dari   situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa” Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188,
409   dapat   disebut   delik-delik   culpoos   dalam   arti   yang sesungguhnya.   Disamping   itu   ada   delik-delik   yang   di
dalam   perumusanya   memuat   unsur   kesengajaan   dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.
Muljatno   menamakan   delik-delik   tersebut   sebagai   delik yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya: Pasal 480 penadahan
Pasal   483,   484   delik   yang   menyangkut   pencetak   dan penerbit.
Pasal 287, 288, 292 delik-delik kesusilaan. Rumusan   yang   dipakai   dalam   delik-delik   tersebut   ialah
“diketahui”   atau   “mengerti”   bentuk   kesengajaan   dan “sepatutnya   harus   di-duga”   atau   “seharusnya   menduga
bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan   hanya   tertuju   kepada   salah   tertuju   kepada
salah satu unsur dari delik itu. -
Pada   delik   penadahan   ditujukan   kepada   hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari
kejahatan”. -
Pada delik-delik kesusilaan pasal 287 dan pasal 288   ditujukan   kepada   “umur-wanita   belum   lima
belas   tahun,   atau   kalau   umurnya   tak   ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
- Pada   delik   Pasal   292   ditujukan   kepada   unsur   “
belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”.
- Pada   delik-delik   Pasal   483   dan   Pasal   484
ditujukan   kepada   unsur   “pelakuorang   yang menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat
dituntut, atau menetap diluar Indonesia. Dalam surat dakwaan:
a. Cukup   dicantumkan   uraian   kata-kata
presis   seperti   apa   yang   dirumuskan   dalam undang-undang,   jadi   misalnya   untuk   delik   dalam
pasal   480   :   benda,   yang   diketahui   atau sepatutnya   harus   diduga,   bahwa   diperoleh   dari
kejahatan”. b.
Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan   dalam   pemeriksaan   pengadilan
ditetapkan oleh Hakim. c.
Pembuktiannya   cukup   secara   normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest   Hooggerchtshof   dalam   tingkat   kasasi   yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang
membebaskan   terdakwa   yang   dituduh   melakukan “schuldheling”   pasal   480,   Hooggerechtshof   H.G.H
menyatakan   bahwa   wet   tidak   mengharuskan   adanya dugaan   pada   terdakwa   sepatutnya   harus   menduga
bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-
betul mempunyai dugaan atau tidak. Kelapaan   orang   lain   tidak   dapat   meniadakan   kealpaan
dari terdakwa.   Contoh : a.
terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang
tidak   memakai   lampu.   Pengendara   gerobag   alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00
melanggar  sekaligus 4  orang yang sedang tidur di tengah  jalan  raya.  Dalam kasus  inipun  tidak  boleh
dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau   ada   dan   tidak   adanya   kealpaan   pada
pengemudi   mobil,   apakah   ia   kurang   hati-hati   dan kurang-menduga-duga   ?   bagaimana   keadaan
mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan   indikasi   dari   kealpaannya.   Apabila
lampunya   normal,   maka   seharusnya   ia   dapat
mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan.
BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN
Persoalan   kesalalahan   pada   tindak   pidana   berupa pelanggaran.   Pada   tidak   pidana   berupa   kejahatan
diperlukan   adanya   kesengajaan   atau   kealpaan.   Dalam undang-undang   unsur-unsur   dinyatakan   dengan   tegas
atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana   itu.   Dalam   rumusan   tindak   pidana   berupa
pelanggaran   pada   dasarnya   tidak   ada   penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut
apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau
tidak   tercantum   dalam   rumusan   Undang-undang,   maka tidak  perlu  dicantumkan  dalam  surat   tuduhan  dan juga
tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” de leer an het   matericle   feit   ajaran   perbuatan   materiil   dimana
menurut M.v.T. : Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan
pemeriksaan   secara   khusus   tentang   adanya kesengajaan,   bahkan   adanya   kealpaan   juga   tidak,   lagi
pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuattidak berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak. Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 arrest air
dan susu. Duduk perkara;
A.B.,   pengusaha   veehouder   menyuruh   melever   susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,
pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni dicampur air. D tidak tahu menahu
tentang   hal   itu.   Pasal   303a   dan   344   Peraturan   Polisi Umum   mengancam   dengan   pidana   Barang   siapa
melever   susu   dengan   nama   susu   murni,   padahal
dicampur   dengan  sesuatu  tidak   murni.   Ini   merupakan tindak pidana berupa pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana. A.B.   mengajukan   kasasi,   dengan   alasan   yang   lebih
kurang demikian: a.   Rechtbank  Amsterdam   salah   menerapkan   Pasal   47
W.v.S   Belanda   Pasal   55   K.U.H.P,   sebab   telah memutuskan   secara   tidak   benar   bahwa   A.B.   telah
menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki   terlebih   dahulu   apakah   pelaku   materiil
ialah D tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu. b.   tidak   terjadi   persoalan   apakah   pelaku   materiil   D
dianggap   tidak   berhak   untuk   menyelidiki   murni   dan tidaknya susu yang disuruh melevernya.
c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak
murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.
Permohonan   kasasi   ini   ditolak   oleh   Hooge   Raad,   dan terhadap   alasan   yang   dikemukakan   oleh   A.B.   H.R.
memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi A B
telah menyuruh pelayannya D untuk melever susu dengan   sebutan   “susu   murni”   padahal   dicampur
dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D. b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas
bahwa   orang   yang   melakukan   perbuatan   itu   harus mempunyai kesalahan “enige schuld”, akan tetapi ini
tidak   dapat   disimpulkan   bahwa   orang   yang   tidak mempunyai kesalahan sama sekali geheel gemis van
schuld peraturan ini dapat diterapkan kepada. c. tidak   ada   suatu   alasanpun,   terutama   dalam   riwayat
W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur   kesalahan   tidak   dicantumkan   dalam   rumusan
delik,   khususnya   dalam   pelanggaran,   pembentuk Undang-undang   menyetujui   sistem,   orang     yang
berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang- undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama
sekali asas : afwezigheid van alle schuld.
d. Untuk   menerima   sistim   tersebut   dalam   c,   yang bertentangan dengan rasa  keadilan  dan  asas ”tiada
pidana   tanpa   kesalahan”   yang   juga   dianut   dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata
dalam rumusan delik. Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum
pidana. Dengan arrest itu, maka: a.
ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan. b.
Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi Belanda berlaku asas ”tiada pidana
tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld.
BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN HUKUM PENITENSIER
Sebelum   membahas   materi   ini   terlebih   dahulu   kita memahami   apa   yang   dimaksud   dengan   pidana   dan
pemidanaan.   Pidana   merupakan   nestapaderita   yang dijatuhkan   dengan   sengaja   oleh   negara   melalui
pengadilan   dimana   nestapa   itu   dikenakan   pada seseorang   yang   secara   sah   telah   melanggar   hukum
pidana   dan   nestapa   itu   dijatuhkan   melalui   proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana the
criminal justice process merupakan struktur, fungsi, dan proses   pengambilan   keputusan   oleh   sejumlah   lembaga
kepolisian,   kejaksaan,pengadilan      lembaga pemasyarakatan yang berkenaan dengan penanganan
pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan. Pemidanaan   merupakan   penjatuhan   pidanasentencing
sebagai   upaya   yang   sah   yang   dilandasi   oleh   hukum
untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah
dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi   pidana   berbicara   mengenai   hukumannya   dan
pemidanaan   berbicara   mengenai   proses   penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran   pidana   karena   pidana   juga   berfungsi
sebagai   pranata   sosial.   Dalam   hal   ini   pidana   sebagai bagian   dari   reaksi   sosial   manakala   terjadi   pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan   nilai   dan   struktur   masyarakat   yang
merupakan   reafirmasi   simbolis   atas   pelanggaran terhadap   “hati   nurani   bersama“   sebagai   bentuk
ketidaksetujuan   terhadap   perilaku   tertentu.   Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya
tidak menyenangkan. Ilmu   yang   mempelajari   pidana   dan   pemidanaan
dinamakan   Hukum   PenitensierHukum   Sanksi.   Hukum Penitensier   adalah   segala   peraturan   positif   mengenai
sistem   hukuman   strafstelsel   dan   sistem   tindakan matregelstelsel, menurut Utrecht, hukum penitensier ini
merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis  sanksi  terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana
lainnya UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana;
2. Beratnya sanksi itu; 3. Lamanya sanksi itu dijalani;
4. Cara sanksi itu dijalankan;dan 5. Tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I L A H
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum   Penitensier,   Hukum   Sanksi,   Straf,   Hukuman,
Punishment, dan Jinayah. Menurut   beberapa   ahli   hukum   pidana   lain,   hukuman,
menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk
menerjemahkan   straf.   Sudarto   juga   berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana
hukum   sebagai   perasaan   tidak   enak      sengsara   yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang
telah melanggar UU Hukum Pidana. Menurut   Muladi   dan   Barda   Nawawi  Arief,   unsur-unsur
atau ciri-ciri pidana meliputi: 1. Suatu   pengenaan   penderitaannestapa   atau   akibat-
akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki
kekuasaan berwenang; 3. Dikenakan   pada   seseorang   penanggung   jawab
peristiwa   pidana   menurut   UU      orang   memenuhi rumusan delikpasal.
SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana   dan   pemidanaan   di   Indonesia   dimulai   sejak Wetboek van Strafrecht Wvs diundangkan yaitu tahun
1915   dan   berlaku   di   indonesia   berdasarkan   UU   No. 11946   tentang   KUHP   berdasarkan   atas   konkordansi.
Jenis-jenis   hukuman   yang   dapat   dijatuhkan   oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:
1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang hanya untuk pelaku pembakarpembunuh
2. Dimatikan dengan suatu keris 3. Dicap bakar.
4. Dipukul,   dipukul   dengan   rantai   pidana badancorporal punishment
5. Ditahandimasukkan dalam penjara 6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut   Utrecht   dan   R.Soesilo,   hukum   pidana merupakan   suatu   sanksi   yang   bersifat   istimewa:
terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan   terhadap   harta   kekayaan   pidana   denda,
pembatasan   kebebasan   bergerakkemerdekaan   orang pidana   kurunganpenjara   dan   perampasan   terhadap
nyawa   hukuman   mati.   Di   samping   itu   hukum   pidana
merupakan ultimum remedium senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunyatiada jalan lain.
Selanjutnya   kita   akan   membahas   siapakah   pihak   yang berhak   menuntut,   menjatuhkan,   dan   memaksa   pelaku
untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht   menyatakan   pada   dasarnya   negaralah   yang
berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara dilihat dari sudut obyektif, dalam hal
ini   KUHP   merupakan   peraturan   yang   dibentuk   oleh negara   dan   perbuatannya   merupakan   tindakan   yang
dapat   dipertanggung   jawabkan   oleh   pelaku  dilihat   dari sudut subyektif;
Utrecht   juga   menambahkan   bahwa   negaralah   yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
1. Negara   sebagai   organisasi   sosial   tertinggi   oleh karena   itu   sangat   logis   jika   negara   diberi   tugas
mempertahankan tata tertib masyarakat; 2. Negara   sebagai   satu-satunya   alat   yang   dapat
menjamin kepastian hukum.
Teori-Teori   yang   berkaitan   dengan   Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1. Teori AbsolutRetributifPembalasan lex talionis, para penganutnya   antara   lain   E.   Kant,   Hegel,Leo   Polak,
Mereka   berpandapat   bahwa   hukum   adalah   sesuatu yang   harus   ada   sebagai   konsekwensi   dilakukannya
kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum.   Menurut   Leo   Polak   aliran   retributif,
hukuman harus memenuhi 3 syarat: a.
Perbuatan   tersebut   dapat   dicela   melanggar etika
b. Tidak     bboleh   dengan   maksud   prevensi
melanggar etika c.
Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik.
2. Teori   relatif      tujuan   utilitarian,   menyatakan   bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu,
bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada   umumnya   bersifat   menakutkan,   sehingga
seyogyanya hukuman
bersifat memperbaikimerehabilitasi   karena   pelaku   kejahatan
adalah   orang   yang   “sakit   moral”   sehingga   harus diobati.   Jadi   hukumanya   lebih   ditekankan   pada
treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan
yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada   masyarakat   agar   tidak   meniru   perbuatan   atau
kejahatan yang telah dilakukan prevensi umum dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jerakapok,
tidak   mengulangi   perbuatankejahatan   serupa;   atau kejahatan   lain   prevensi   khusus.   Tujuan   yang   lain
adalah   memberikan   perlindungan   agar   orang lainmasyarakat   pada   umumnya   terlindung,   tidak
disakiti,   tidak   merasa   takut   dan   tidak   mengalami kejahatan.
3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari
teori-teori   sebelumnya.     Sehingga   pidana   bertujuan untuk:
 Pembalasan, membuat pelaku menderita
 Upaya   prevensi,   mencegah   terjadinya
tindak pidana 
Merehabilitasi Pelaku 
Melindungi Masyarakat Saat   ini   sedang   berkembang   apa   yang   disebut
sebagai   Restorative   Justice   sebagai   koreksi   atas Retributive justice. Restorative Justice keadilan yang
merestorasi secara umum bertujuan untuk membuat pelaku   mengembalikan   keadaan   kepada   kondisi
semula;   Keadilan   yang   bukan   saja   menjatuhkan sanksi   yang   seimbang   bagi   pelaku   namun   juga
memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005:
Pasal 54 1 Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah   dilakukanya     tindak   pidana   dengan menegakkan   norma   hukum   demi   pengayoman
masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan   konflik   yang   ditimbulkan   oleh tindak   pidana,   memulihkan   keseimbangan,   dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana. 2 Pemidanaan  tidak  dimaksudkan  untuk  menderitakan
dan merendahkan martabat manusia . Dalam   pasal   55   R-KUHP   juga   terdapat   pedoman
pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita. Pasal 55;
1 Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah   tindak   pidana   dilakukan   dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
tindak pidana; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi
pembuat tindak pidana h. Pengaruh   pidana   terhadap   massa   depan
pembuat tindak pidana; i. Pengaruh   tindak   pidana   terhadap   korban   atau
keluarga korban; j. Pemaafan   dari   korban   danatau   keluarganya
dan atau; k. Pandangan   masyarakat   terhadap   tindak   pidana
yang dilakukan.
2 Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk   tidak   menjatuhkan   pidana   atau   mengenakan
tindakan   dengan   mempertimbangkan   segi   keadilan dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam
tujuan   pemidanaannya.  Teori   prevensi   umum   tercermin dari   tujuan   pemidanaan   mencegah   dilakukannya   tindak
pidana   dengan   menegakkan   norma   hukum   demi pengayoman  kepada  masyarakat.  Teori  rehabilitasi   dan
resosialisasi   tergambar   dari   tujuan   pemidanaan   untuk memasyarakatkan   terpidana,   dengan   melakukan
pembinaan   sehingga   menjadi   orang   yang   baik   dan berguna.   Dan   restoratif   terdapat   dalam   tujuan
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang   ditimbulkan   oleh   tindak   pidana,   memulihkan
keseimbangan,   dan   mendatangkan   rasa   damai   dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah
pada terpidana; dan memaafkan terpidana.
Jenis-jenis HukumanPidana Menurut Pasal 10 KUHP :
a. Hukuman Pokok: 1. Hukuman mati
2. Penjara sementara waktu atau seumur hidup 3. Kurungan
4. Denda UU No. 11960, dikonversi: dikali 15 5. Tutupan UU No.201946
b. Hukuman Tambahan: 1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang tertentu 3. pengumuman keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman  Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65 1 Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.
2 Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66 Pidana   mati   merupakan   pidana   pokok   yang   bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 67
1 Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu danatau tagihan; c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan   kewajiban   adat   setempat   danatau kewajiban   menurut     hukum   yang   hidup   dalam
masyarakat. 2 Pidana   tambahan   dapat   dijatuhkan   bersama-sama
dengan   pidana   pokok,   sebagai   pidana   yang   berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan lain. 3 Pidana   tambahan   dapat   dijatuhkan   bersama-sama
dengan   pidana   pokok,   sebagai   pidana   yang   berdiri sendiri   atau   dapat   dijatuhkan   walaupun   tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana. 4 Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan
adalah  sama dengan  pidana  tambahan  untuk  pidan pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: Hukumanpidana Mati diatur dalam pasal 11 jo Pasal
10 KUHP Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
A. Dalam KUHP :
 Pembunuhan berencana  Kejahatan terhadap keamanan negara
 Pencurian dengan pemberatan  Pemerasan dengan pemberatan
 Pembajakan di laut dengan pemberatan. B. Diluar KUHP;
 Terorisme
 Narkoba
 Korupsi
 Pelanggaran   HAM   Berat;   Kejahatan
terhadap   kemanusiaan   dan   genosida   yang dilakukan secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan ps.11   KUHP,   tapi   berdasarkan   Penpres   no.   21964   :
ditembak   dibagian   jantung   danatau   kepala   dan   tidak
dilakukan di muka umum rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya.
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati   tidak   dapat   dilakukan   pada   orang   yang   setelah
dihukum menjadi gila dan wanita hamil. Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh
dan wanita tersebut telah melahirkan.
HukumanPidana Penjara Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 121995 tentang Pemasyarakatan
Pasal 12 KUHP: Hukuman   penjara   lamanya   seumur   hidup   atau
sementarapidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat
dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn. Pidana penjara dilakukan di penjara prisonjail, di
indonesia   disebut   sabagai   Lembaga   Pemasyarakatan LPlapas.   Untuk   pemulihan   kembali   hubungan   antara
narapidana   dan   masyarakat,   Penghuninya   disebut
narapaidananapi   inmates:   Warga   Binaan Pemasyarakatan berdasarkan UU No.121995.
Pembagian   Sistem   Penjara   –   gevangenisstelsel, menurut Utrecht :
 Sistem   Pennsylvania,  AS   :   para   hukuman
terus   menerus   ditutup   sendiri-sendiri   dalam   satu kamar   sel.   Terhukum   hanya   melakukan   kontak
dengan   penjaga   selsipir   penjara.   Dilakukan peringatan:   terhukum   diperkenankan   melakukan
pekerjaan   tangan   dan   secara   terbatas   dapat menerima   tamu,   tapi   ia   tetap   dilarang   bergaul
dengan terhukum lain 
Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada
siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.
 Sistem Irlandia Irish System yang berasal
dr   mark   system,   menggunakan   penilaian.   Para hukuman   mula-mula   ditempatkan   dalam   ruang
tertutup   terus   menerus,   dalam   hal   ini   diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk
merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan ia   dapat   memperbaiki   diri.   Kalau   dibiarkan   bergaul
dengan   napi   lain   dikhawatirkan   bisa   saja   menjadi bertambah   jahat.   Jika   berkelakuan   baik,   maka
hukumannya     diperingan   :   mulai   dimasyarakatkan dan   dapat   diberikan   the   rise   of   feformatory
pelepasan bersyarat, publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama,
lalu   secara   bertahap   diberi   kelonggaran   untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat
dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya. 
Sistem Elmira NY, AS, diperuntukan bagi terhukum   yang   berusia   tidak   lebih   dari   30   thn.
Disebut   sebagai   penjara   reformatory   yakni   tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat
yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik   berat   lebih   pada   usaha-usaha   untuk
memperbaiki   si   pelaku,   jadi   terpidana   diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. 
Sistem   Borstal   LONDON,   UK.   Dalam penerapannya   ada   ketentuan   khusus   dari   Menteri
Kehakiman Minister of justice. Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang
dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
 Sistem Osborne NY,US. Memilih ‘BOS’ –
mandor   dr   kalangan   napi   sendiri   untuk   mengatur napi : Tampingbuilding tender.
Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :
 Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu
sel atau 1 orang1 sel. Minimum securitymaximum securitySuper Maximum Security SMS
 Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi danatau siang hari, sore masuk sel sampai besok
pagi. Ada jadwal kegiatannya.  Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan
tidak   baik   ataupun   melanggar   aturan   maka dimasukkan   dalam   sel   sendirian,   disebut   juga
dengan tutupan sunyi.  Boleh  bekerja  di  luar  sel  secara   bersama-sama  =
kerja   di   kebontaman,   masak   di   dapur,   bersihkan
kolam,   kerja   di   bengkel   LP   untuk   buat kerajinanfurniture,   menjahit,   menyulam,   merangkai
bunga   dsb.   Boleh   belajarsekolah   dlm   LP,   boleh membaca,   dengar   radiononton   TV   olah   raga   dsb.
Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.
 Dapat   diberikan   pelepasan   bersyarat   PB- reclassering,   jika   telah   menempuh   23   dr
hukumannya   pasal   15   KUHP.   Selain   itu   terdapat juga   ketentuan   tentang   pidana   percobaan   seperti
yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.  Meskipun   hukuman   penjara   dilakukan   bersama-
sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :  Laki-laki dan perempuan
 Orang dewasa dan anak di bawah umur  Orang   yang   dihukumditahan   –   orang   yang
dihukum karena upaya preventif  Orang militer dan orang sipil
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.
Pidana   Denda  Pasal   30   ayat   1   KUHP  dan   UU   No.
11960 Dengan   adanya   pidana   denda   seringkali   penerapan
Hukum   Pidana   menjadi   kabur   karena   pidana   denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan UU No.201946
Pidana   yang   dijatuhkan   oleh   Hakim   dengan mempertimbangkan   bahwa   perbuatan   yang   dilakukan
didasari   oleh   suatu   motivasi   yang   patut dihormatidihargai.   Tempatnya   di   penjara,   namun
diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan  dan radiotape.
Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
BAB X PERCOBAAN POGING, ATTEMPT
I. PENGERTIAN
Di   dalam   bab   IX   buku   I   KUHP  tentang   arti beberapa   istilah   yang   dipakai   dalam   kitab
undang-undang,  tidak   dijumpai   rumusan   arti atau   definisi   mengenai   apa   yang   dimaksud
dengan   istilah  “percobaan”.   KUHP   hanya merumuskan   batasan   mengenai   kapan
dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53
1 yang menyatakan : “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat   untuk   itu   telah   ternyata   dari   adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan   itu,   bukan   semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi,   tetapi   hanya   merumuskan   syarat-
syarat   atau   unsur-unsur   yang   menjadi   batas antara   percobaan   yang   dapat   dipidana   dan
yang tidak dapat dipidana. Percobaan   yang   dapat   dipidana   menurut
system   KUHP   bukanlah   percobaan   terhadap semua   jenis   tindak   pidana.   Yang   dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana   yang   berupa
“kejahatan” saja,
sedangkan   percobaan   terhadap   pelanggaran tidak   dipidana   sebagimana   ditentukan   dalam
pasal   54   KUHP.   Pada   pasal   54   KUHP memperlihatkan   adanya   pemikiran   dari   para
perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena
itu   percobaan   pun   terlalu   rendah   dari   KUHP. Disamping   itu   perlu   dicatat   bahwa   ketentuan
umum dalam pasal 53 1 diatas tidak berarti bahwa   percobaan   terhadap   semua   kejahatan
dapat   dipidana.   Pengecualian   tersebut misalnya :
 Percobaan  duel   perkelahian tanding pasal 184 ayat 5;
 Percobaan   penganiayaan   ringan terhadap hewan pasal 302 ayat 4;
 Percobaan penganiayaan biasa pasal 351 ayat 5;
 Percobaan penganiayaan ringan pasal 352 ayat 2;
II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN