Bentuk kealpaan dolus generalis

2. Bentuk kealpaan

Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 dua bentuk yaitu a. Kealpaan yang disadari bewuste schuld Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi b. Kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld. Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya. Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan yang ada pada pelaku, yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadan bukan feitelijk begrip. Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat. 3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa” Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan. Misalnya: Pasal 480 penadahan Pasal 483, 484 delik yang menyangkut pencetak dan penerbit. Pasal 287, 288, 292 delik-delik kesusilaan. Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur dari delik itu. - Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan”. - Pada delik-delik kesusilaan pasal 287 dan pasal 288 ditujukan kepada “umur-wanita belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”. - Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”. - Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelakuorang yang menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia. Dalam surat dakwaan: a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”. b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan ditetapkan oleh Hakim. c. Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui. Arrest Hooggerchtshof dalam tingkat kasasi yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” pasal 480, Hooggerechtshof H.G.H menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul- betul mempunyai dugaan atau tidak. Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa. Contoh : a. terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa. b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan. BAB VIII KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan. Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” de leer an het matericle feit ajaran perbuatan materiil dimana menurut M.v.T. : Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuattidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak. Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 arrest air dan susu. Duduk perkara; A.B., pengusaha veehouder menyuruh melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D, pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni dicampur air. D tidak tahu menahu tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam dengan pidana Barang siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur dengan sesuatu tidak murni. Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran. A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana. A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih kurang demikian: a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda Pasal 55 K.U.H.P, sebab telah memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil ialah D tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu. b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil D dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya. c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak. Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi A B telah menyuruh pelayannya D untuk melever susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D. b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan “enige schuld”, akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali geheel gemis van schuld peraturan ini dapat diterapkan kepada. c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk Undang-undang menyetujui sistem, orang yang berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang- undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama sekali asas : afwezigheid van alle schuld. d. Untuk menerima sistim tersebut dalam c, yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata dalam rumusan delik. Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka: a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan. b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi Belanda berlaku asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld. BAB IX PIDANA DAN PEMIDANAAN HUKUM PENITENSIER Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapaderita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara melalui pengadilan dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana the criminal justice process merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga kepolisian, kejaksaan,pengadilan lembaga pemasyarakatan yang berkenaan dengan penanganan pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan. Pemidanaan merupakan penjatuhan pidanasentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri. Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan. Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum PenitensierHukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman strafstelsel dan sistem tindakan matregelstelsel, menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan: 1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana; 2. Beratnya sanksi itu; 3. Lamanya sanksi itu dijalani; 4. Cara sanksi itu dijalankan;dan 5. Tempat sanksi itu dijalankan. Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier. I S T I L A H Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah. Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana hukum sebagai perasaan tidak enak sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi: 1. Suatu pengenaan penderitaannestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan berwenang; 3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU orang memenuhi rumusan delikpasal. SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht Wvs diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 11946 tentang KUHP berdasarkan atas konkordansi. Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al: 1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang hanya untuk pelaku pembakarpembunuh 2. Dimatikan dengan suatu keris 3. Dicap bakar. 4. Dipukul, dipukul dengan rantai pidana badancorporal punishment 5. Ditahandimasukkan dalam penjara 6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum. Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan pidana denda, pembatasan kebebasan bergerakkemerdekaan orang pidana kurunganpenjara dan perampasan terhadap nyawa hukuman mati. Di samping itu hukum pidana merupakan ultimum remedium senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunyatiada jalan lain. Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara dilihat dari sudut obyektif, dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku dilihat dari sudut subyektif; Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat; 1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat; 2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum. Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin 1. Teori AbsolutRetributifPembalasan lex talionis, para penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum. Menurut Leo Polak aliran retributif, hukuman harus memenuhi 3 syarat: a. Perbuatan tersebut dapat dicela melanggar etika b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi melanggar etika c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik. 2. Teori relatif tujuan utilitarian, menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat memperbaikimerehabilitasi karena pelaku kejahatan adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis. Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan prevensi umum dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jerakapok, tidak mengulangi perbuatankejahatan serupa; atau kejahatan lain prevensi khusus. Tujuan yang lain adalah memberikan perlindungan agar orang lainmasyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan. 3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan untuk:  Pembalasan, membuat pelaku menderita  Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana  Merehabilitasi Pelaku  Melindungi Masyarakat Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas Retributive justice. Restorative Justice keadilan yang merestorasi secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005. Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005: Pasal 54 1 Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan; e. memaafkan terpidana. 2 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia . Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita. Pasal 55; 1 Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana h. Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban danatau keluarganya dan atau; k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. 2 Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana. Jenis-jenis HukumanPidana Menurut Pasal 10 KUHP : a. Hukuman Pokok: 1. Hukuman mati 2. Penjara sementara waktu atau seumur hidup 3. Kurungan 4. Denda UU No. 11960, dikonversi: dikali 15 5. Tutupan UU No.201946 b. Hukuman Tambahan: 1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang tertentu 3. pengumuman keputusan hakim Jenis-jenis Hukuman Pidana Menurut R-KUHP: Pasal 65 1 Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan c. pidana pengawasan d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. 2 Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menentukan berat ringannya pidana Pasal 66 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 67 1 Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu danatau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. 2 Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain. 3 Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. 4 Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan pidananya. Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: Hukumanpidana Mati diatur dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati : A. Dalam KUHP :  Pembunuhan berencana  Kejahatan terhadap keamanan negara  Pencurian dengan pemberatan  Pemerasan dengan pemberatan  Pembajakan di laut dengan pemberatan. B. Diluar KUHP;  Terorisme  Narkoba  Korupsi  Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis. Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan ps.11 KUHP, tapi berdasarkan Penpres no. 21964 : ditembak dibagian jantung danatau kepala dan tidak dilakukan di muka umum rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil. Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan. HukumanPidana Penjara Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 121995 tentang Pemasyarakatan Pasal 12 KUHP: Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementarapidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn. Pidana penjara dilakukan di penjara prisonjail, di indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan LPlapas. Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut narapaidananapi inmates: Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan UU No.121995. Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel, menurut Utrecht :  Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga selsipir penjara. Dilakukan peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain  Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.  Sistem Irlandia Irish System yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory pelepasan bersyarat, publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.  Sistem Elmira NY, AS, diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.  Sistem Borstal LONDON, UK. Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman Minister of justice. Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.  Sistem Osborne NY,US. Memilih ‘BOS’ – mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tampingbuilding tender. Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :  Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang1 sel. Minimum securitymaximum securitySuper Maximum Security SMS  Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi danatau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.  Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.  Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebontaman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinanfurniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajarsekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radiononton TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.  Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering, jika telah menempuh 23 dr hukumannya pasal 15 KUHP. Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.  Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama- sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :  Laki-laki dan perempuan  Orang dewasa dan anak di bawah umur  Orang yang dihukumditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif  Orang militer dan orang sipil Pidana kurungan Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara. Pidana Denda Pasal 30 ayat 1 KUHP dan UU No. 11960 Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP. Pidana Tutupan UU No.201946 Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari oleh suatu motivasi yang patut dihormatidihargai. Tempatnya di penjara, namun diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan radiotape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja. BAB X PERCOBAAN POGING, ATTEMPT

I. PENGERTIAN

Di dalam bab IX buku I KUHP tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 1 yang menyatakan : “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya