i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan
terdakwa harus mendekatkan kepada delikkejahatn yang dituju atau dengan kata
lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat,
harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan
atau diarahkan pada delikkejahatan yang tertentu tadi;
iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh
terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
V. PERCOBAAN
DALAM BEBERAPA
YURISPRUDENSI
Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.
Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R dengan persetujuan R.
Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang
yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan
sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan.
Trekker penarik pintol gas diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar
rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian- pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan
di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas
dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H
menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak
orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya.
Terhadap kasus tersebut peradilan gerechtshop di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan
H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar
pasal 53 jo 187 KUHP.
H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan
mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung
Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena
belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran.
Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan
perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk
pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung
berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju
pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan
putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan.
Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah
dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa : -
Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat
Simons Teori Obyektif Materiil;
- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau
pendapat Duynstee Teori Obyetif Formil Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE
sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya terdakwa H telah mulai dengan perbuatan
pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya ialah :
a. Semua perbuatan terdakwa H saling berhubungan dan memenuhi rumusan
delik; b. Jika HR menganggap perbuatan
pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan akibat tanpa
adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan
pelaksanaan akan
menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada
percobaan lengkap saja, ini tidak tepat
karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap.
Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb :
“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka
mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan
terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu
bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu
apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu
di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar
hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan
oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran
seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”.
IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata- mata karena kehendak pelaku sendiri.
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri,
dapat terjadi dalam hal-hal sbb :
a. Adanya penghalang fisik;
Misal : tidak matinya orang yang ditembak,
karena tangannya
disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas.
Termasuk dalam
pengertian penghalang fisik ini ialah apabila
adanya kerusakan pada alat yang digunakan misal : pelurunya macet
tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan
karena akan adanya penghalang fisik. Misal : takut segera ditangkap karena
gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor keadaan-keadaan
khusus pada obyek yang menjadi sasaran.
Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak
mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang
kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri
telah berusaha
mengangkatnya sekuat tenaga. Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu
karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela,
sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela, apabila menurut pandangan
terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :
Pengunduran diri secara sukarela
Rucktritt yaitu tidak menyelesaikan perbuatan
pelaksanaan yang
diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
Tindakan penyesalan Tatiger Reue
yaitu meskipun
perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan,
tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah
diminumnya, ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si
korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud
dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah :
Untuk menjamin supaya orang yang
dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang
telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;
Pertimbangan dari segi kemanfaatan
utilitas, bahwa usaha yang paling tepat efektif untuk mencegah
timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah
mulai melakukan kejahatan tetapi kemudian
dengan sukarela
mengurungkan pelaksanaannya. Dengan adanya penjelasan MvT tersebut,
maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :
Alasan pengahpus pidana yang
diformulir sebagai unsur Pompe.
Alasan pemaaf van Hattum, Seno Adji.
Alasan pengahpusan penuntutan Vos,
Moelyatno.
Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini
sebagai alasan pemaaf fait d’ex-cuse maupun sebagai alasan pengahpus pidana,
sebab perbuatannya tetap tidak baik yang baik adalah tidak mencoba sama sekali
sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. Menurut beliau
dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang-orang lain yang
mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan diri secara
sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela dan tindakan
penyesalanTatiger Reue, tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan
maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh
berguna bagi masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 1 KUHP
pencurian antara suami-istri. Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk
menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini
sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk
menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila telah
menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :
a. Mempunyai konsekuensi materiil Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur
yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir tidak berdiri sendiri. Dengan
perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini tidak selesainya pelaksanaan
perbuatan bukan karena kehendak sendiri
harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak
ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni
1889 tentang kasus sumpah palsu. Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa
saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas sumpah telah meberikan keterangan yang
bertentangan dengan kenyataan kesaksian palsu. Setelah Jaksa dan Hakim
memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut
kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan
sumpah palsu? HR dalam putusannya berpendapat bahwa
saksi itu tidak dapat dipidana melakukan percobaan sumpah palsu karena dalam hal
ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana
karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya saksi tidak merupakan
perbuatan terlarang.
b. Mempunyai konsekwensi formil dibidang processuil
Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus
disebutkan didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3
ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia
merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini
tidak ada yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela maka percobaan tetap
dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan diatas, meskipun ada
pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai
perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur
adalah masalah pertanggunganjawab. Dalam kasus diatas si pembuat saksi tidak
dipidana karena menurut HR disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan
sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang
terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat
dipidana criminal act dan pertanggung jawaban pidana criminal responsibility.
VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU