Syarat-Syarat Perkawinan Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

ingin menganiaya wanita atau sebaliknya priawanita ingin memperolok-olok pasangannya saja maka haramlah yang bersangkutan menikah. 36 Bagi seorang laki-laki menikah itu diharamkan kalau dia tidak mampu untuk membiayai atau tidak memiliki kekayaan untuk membiayai istri dan anak-anaknya, atau dia menderita suatu penyakit yang cukup gawat dan akan menular kepada istrinya dan keturunannya. Pernikahan akan menjadi Makruh bagi seorang laki-laki yang tidak memilki keinginan seksual sama sekali atau memilki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah. Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah tetapi ia meragukan dirinya tidak mampu mematuhi dan menaati suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk menikah.

3. Syarat-Syarat Perkawinan

Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. 36 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal. 24 Universitas Sumatera Utara Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah : 1 persetujuan kedua belah pihak suami istri 2 Wali 3 Saksi 4 Aqad 37 Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan di atas, maka suatu perkawinan haruslah dilengkapi dengan dasar dan syarat-syarat perkawinan agar menjamin kepastian hukum. Dasar dan syarat perkawinan mempunyai hubungan dengan sahnya perkawinan terutama karena perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum sehingga perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agarnanya, dan kepercayaanya itu. 38 dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 39 Sebagai perbuatan hukum dan peristiwa yang 37 Hukum Pernikahan dalam Islam, http:blog.bukukita.comusersnabawi?postId=5333, diakses tanggal 01 september 2009 38 Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 39 Pasal 2 ayat 2, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara penting sebagaimana peristiwa penting lainnya, maka perkawinan itu perlu dicatatkan sebagai bukti otentik dan perlindungan hukum serta tertib administrasi. Berhubungan dengan syarat-syarat perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan dalam pasal 6 sampai dengan 12 memuat tentang Persetujuan kedua belah pihak calon mempelai Pasal 6 ayat 1, Batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 6 ayat 2 menyatakan, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Kemudian Pasal 7 ayat l menjelaskan tentang batas minimal umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan pria harus berumur 19 tahun sembilan belas tahun dan wanita harus sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 8,9 dan 10 dapat dirincikan menjadi 7 tujuh macam, yaitu: a. karena adanya hubungan darah b. karena adanya hubungan semenda c. karena adanya hubungan sesusuan d. karena adanya hubungan dalam perkawinan poligami e. karena berbeda agama f. karena masih terikat dalam tali perkawinan g. karena bercerai tiga kali. 40 40 Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara

B. Tinjauan Umum Tentang Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin atau perkawinan. 41 Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang. 42 Di dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan istilah lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat 3 surat An- Nisaa sebagai dasar penetapan hukum poligami. 43 Dengan perkataan lain, poligami ialah mengamalkan beristri lebih dari satu yaitu dua, tiga, atau empat. 44 Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 55 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam bahwa beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. 41 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 1996, ha1. 84 42

H. M. Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Fakultas Agama

Islam, Undhar, Medan, Tahun 1990, hal. 35 43 Khoiruddin Nasution, Op. Cit, hal. 84 44 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, Kalam Mulia, Jakarta, Tahun 1998, hal. 19 Universitas Sumatera Utara

C. Tinjauan Umum Tentang Harta Perkawinan

Dalam perkawinan tentunya tidak akan terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Jika diteliti asal usul harta yang dipunyai oleh suami dan istri menurut hukum adat, dapat digolongkan kedalam empat macam sumber, yaitu harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri, harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan, harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan dan harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta yang bersumber dari hibah atau harta warisan, baik yang diterima sebelum perkawinan maupun selama perkawinan statusnya adalah tetap menjadi milik masing-masing suami istri. Harta yang bersumber dari hasil usaha sendiri sebelum perkawinan tetap dikuasai oleh masing-masing suami istri. Selanjutnya harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan, ada yang menjadi milik istri dan ada yang menjadi milik suami, ada yang menjadi milik orang tua penganten dan ada pula yang dibagi-bagikan kepada sanak keluarga penganten. Sedangkan harta yang dihasilkan oleh suami istri selama dalam perkawinan dikuasai bersama oleh suami dan istri. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35 ayat 1 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 45 Maksudnya adalah bahwa semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan mereka menjadi harta benda 45 Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara kepunyaan bersama. Harta bersama ini dapat berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda yang tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Dari ketentuan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada 2 macam harta benda dalam perkawinan yaitu: 1. Harta Bersama Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari mana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari istri atau dari suami, semuanya menjadi hak milik bersama suami istri. 2. Harta Bawaan. Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri ke dalam perkawinanya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. Selain itu, dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. 46 46 Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam Universitas Sumatera Utara Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing-masing bekerja pada satu tempat yang sama maupun pada tempat yang berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penghasilan tersendiri selama dalam perkawinan. Sampai sekarang belum tercapai keseragaman istilah seperti yang dikehendaki Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 47 Namun demikian hal itu tidak mengurangi makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan. Harta tersebut melembaga menjadi harta bersama antara. suami isteri, selama ikatan perkawinan masih berlangsung tanpa mempersoalkan suku dan stelsel kekeluargaan suami isteri. Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dapat dikembangkan kepada 3 tiga macam harta dan dirinci sebagai berikut : a. Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami isteri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut 47 M. Yahya Harahap, Informasi Materi KH1:Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam: Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hal. 299 Universitas Sumatera Utara sebagai milik asli dari suami dan isteri. Pemilikan terhadap harta bawaan harta pribadi dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan. b. Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan c. Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya dari suami isteri, suami atau isteri dalam kaitan dengan perkawinan. Pada harta bersama terdapat pengertian yang menonjol yaitu bahwa perolehannya atas hasil karya mereka dan dalam masa perkawinan. Dua syarat ini adalah pengertian secara kumulatif dalam harta bersama. Berbeda dengan harta bawaan, yaitu harta tersebut telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan dan harta pribadi yang diperoleh secara pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan. Pengertian harta perkawinan ini disebutkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab I ketentuan umum butir f Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Pernyataan di atas mempertegas tentang klausal karya suami isteri dalam masa perkawinan, untuk terwujudnya harta bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta benda itu didaftarkan dalam kata lain bukanlah nama orang yang Universitas Sumatera Utara terdaftar terhadap benda itu saja yang mempunyai hak tapi suami isteri mempunyai hak yang sama. Dalam literatur lama fiqh Islam bidang perkawinan tidak dijumpai pembahasan mengenai harta bersama, fiqh Islam cenderung seolah-olah mengabaikan masalah ini atau budaya tempat fiqh Islam itu berkembang tidak mengenai tentang keberadaan harta bersama sehingga terkesan seolah-olah tidak ada peranan isteri dalam pembinaan dan pembiayaan keluarga. Kini keadaan telah berubah, hal-hal yang masa lampau belum pernah terpikirkan, satu demi satu sekarang telah muncul kepermukaan, tuntutan kehidupan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan kebutuhan. Untuk memenuhi berbagai keperluan ini seorang isteri secara sukarela, bahkan sering karena terpaksa harus ikut bekerja membantu suami memikul tanggung jawab rumah tangga. Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat 1 harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu bubar putus. Dengan demikian harta apa saja berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan aqad nikah sampai saat perkawinan terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Universitas Sumatera Utara

2. Konsepsi