ingin menganiaya wanita atau sebaliknya priawanita ingin memperolok-olok pasangannya saja maka haramlah yang bersangkutan menikah.
36
Bagi seorang laki-laki menikah itu diharamkan kalau dia tidak mampu untuk membiayai atau tidak memiliki kekayaan untuk membiayai istri dan anak-anaknya,
atau dia menderita suatu penyakit yang cukup gawat dan akan menular kepada istrinya dan keturunannya. Pernikahan akan menjadi Makruh bagi seorang laki-laki
yang tidak memilki keinginan seksual sama sekali atau memilki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban
agamanya karena menikah. Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah tetapi ia
meragukan dirinya tidak mampu mematuhi dan menaati suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk menikah.
3. Syarat-Syarat Perkawinan
Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan
perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh dengan sakinah,
mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
36
Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah : 1 persetujuan kedua belah pihak suami istri
2 Wali 3 Saksi
4 Aqad
37
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya
calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan di atas, maka suatu perkawinan
haruslah dilengkapi dengan dasar dan syarat-syarat perkawinan agar menjamin kepastian hukum. Dasar dan syarat perkawinan mempunyai hubungan dengan sahnya
perkawinan terutama karena perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum sehingga perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum penting sekali
hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agarnanya, dan kepercayaanya itu.
38
dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
39
Sebagai perbuatan hukum dan peristiwa yang
37
Hukum Pernikahan dalam Islam, http:blog.bukukita.comusersnabawi?postId=5333, diakses tanggal 01 september 2009
38
Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
39
Pasal 2 ayat 2, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
penting sebagaimana peristiwa penting lainnya, maka perkawinan itu perlu dicatatkan sebagai bukti otentik
dan perlindungan hukum serta tertib administrasi. Berhubungan dengan syarat-syarat perkawinan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan dalam pasal 6 sampai dengan 12 memuat tentang Persetujuan kedua belah pihak calon mempelai Pasal 6 ayat 1,
Batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 6 ayat 2 menyatakan, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu
tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Kemudian Pasal 7 ayat l menjelaskan tentang batas minimal umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan pria harus berumur 19 tahun sembilan belas tahun dan wanita harus sudah mencapai umur 16 enam belas
tahun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan
beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 8,9 dan 10 dapat dirincikan menjadi 7 tujuh macam, yaitu:
a. karena adanya hubungan darah
b. karena adanya hubungan semenda
c. karena adanya hubungan sesusuan
d. karena adanya hubungan dalam perkawinan poligami
e. karena berbeda agama
f. karena masih terikat dalam tali perkawinan
g. karena bercerai tiga kali.
40
40
Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
B. Tinjauan Umum Tentang Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin atau
perkawinan.
41
Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang.
42
Di dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang
memahami ayat tentang poligami dengan batasan istilah lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan
menafsirkan ayat 3 surat An- Nisaa sebagai dasar penetapan hukum poligami.
43
Dengan perkataan lain, poligami ialah mengamalkan beristri lebih dari satu yaitu dua, tiga, atau empat.
44
Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 55 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam bahwa beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang istri.
41
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 1996, ha1. 84
42
H. M. Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Fakultas Agama
Islam, Undhar, Medan, Tahun 1990, hal. 35
43
Khoiruddin Nasution, Op. Cit, hal. 84
44
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, Kalam Mulia, Jakarta, Tahun 1998, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
C. Tinjauan Umum Tentang Harta Perkawinan
Dalam perkawinan tentunya tidak akan terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Jika diteliti asal
usul harta yang dipunyai oleh suami dan istri menurut hukum adat, dapat digolongkan kedalam empat macam sumber, yaitu harta hibah dan harta warisan yang diperoleh
salah seorang dari suami atau istri, harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan, harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan dan harta yang
diperoleh selama perkawinan. Harta yang bersumber dari hibah atau harta warisan, baik yang diterima
sebelum perkawinan maupun selama perkawinan statusnya adalah tetap menjadi milik masing-masing suami istri.
Harta yang bersumber dari hasil usaha sendiri sebelum perkawinan tetap dikuasai oleh masing-masing suami istri. Selanjutnya harta yang diperoleh pada saat
perkawinan atau karena perkawinan, ada yang menjadi milik istri dan ada yang menjadi milik suami, ada yang menjadi milik orang tua penganten dan ada pula yang
dibagi-bagikan kepada sanak keluarga penganten. Sedangkan harta yang dihasilkan oleh suami istri selama dalam perkawinan dikuasai bersama oleh suami dan istri.
Jika mengacu pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 35 ayat 1 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
45
Maksudnya adalah bahwa semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan mereka menjadi harta benda
45
Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
kepunyaan bersama. Harta bersama ini dapat berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda yang tidak bergerak, benda bergerak
dan surat-surat berharga. Dari ketentuan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, ada 2 macam harta benda dalam perkawinan yaitu: 1. Harta Bersama
Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari mana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta
itu didapat dari istri atau dari suami, semuanya menjadi hak milik bersama suami istri.
2. Harta Bawaan. Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri ke dalam
perkawinanya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan.
Selain itu, dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapapun.
46
46
Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing-masing bekerja pada satu tempat
yang sama maupun pada tempat yang berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai
simpanan suami atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penghasilan tersendiri selama dalam
perkawinan. Sampai sekarang belum tercapai keseragaman istilah seperti yang dikehendaki
Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
47
Namun demikian hal itu tidak mengurangi makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan. Harta
tersebut melembaga menjadi harta bersama antara. suami isteri, selama ikatan perkawinan masih berlangsung tanpa mempersoalkan suku dan stelsel kekeluargaan
suami isteri. Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dapat dikembangkan kepada 3 tiga macam harta
dan dirinci sebagai berikut : a. Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami isteri pada saat
atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut
47
M. Yahya Harahap, Informasi Materi KH1:Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam: Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, hal. 299
Universitas Sumatera Utara
sebagai milik asli dari suami dan isteri. Pemilikan terhadap harta bawaan harta pribadi dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.
b. Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama
perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan
c. Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantaraan
isteri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya dari suami isteri, suami atau isteri dalam kaitan dengan perkawinan.
Pada harta bersama terdapat pengertian yang menonjol yaitu bahwa perolehannya atas hasil karya mereka dan dalam masa perkawinan. Dua syarat ini
adalah pengertian secara kumulatif dalam harta bersama. Berbeda dengan harta bawaan, yaitu harta tersebut telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan dan harta
pribadi yang diperoleh secara pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan. Pengertian harta perkawinan ini disebutkan juga dalam Kompilasi
Hukum Islam pada Bab I ketentuan umum butir f Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Pernyataan di atas mempertegas tentang klausal karya suami isteri dalam masa perkawinan, untuk terwujudnya harta bersama tanpa mempersoalkan atas nama
siapa harta benda itu didaftarkan dalam kata lain bukanlah nama orang yang
Universitas Sumatera Utara
terdaftar terhadap benda itu saja yang mempunyai hak tapi suami isteri mempunyai hak yang sama.
Dalam literatur lama fiqh Islam bidang perkawinan tidak dijumpai pembahasan mengenai harta bersama, fiqh Islam cenderung seolah-olah mengabaikan
masalah ini atau budaya tempat fiqh Islam itu berkembang tidak mengenai tentang keberadaan harta bersama sehingga terkesan seolah-olah tidak ada peranan isteri
dalam pembinaan dan pembiayaan keluarga. Kini keadaan telah berubah, hal-hal yang masa lampau belum pernah
terpikirkan, satu demi satu sekarang telah muncul kepermukaan, tuntutan kehidupan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan kebutuhan. Untuk memenuhi berbagai
keperluan ini seorang isteri secara sukarela, bahkan sering karena terpaksa harus ikut bekerja membantu suami memikul tanggung jawab rumah tangga.
Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
ayat 1 harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat
terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu bubar putus. Dengan demikian harta apa saja berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh terhitung sejak saat
dilangsungkan perkawinan aqad nikah sampai saat perkawinan terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian, maka seluruh
harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
Universitas Sumatera Utara
2. Konsepsi