Hukum Perkawinan Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dengan demikian pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan yang telah diuraikan di atas, akan menghasilkan dan melingkupi banyak pandangan tentang fungsi keluarga. Karenanya Islam tidak menyetujui kehidupan membujang dan memerintahkan setiap muslim agar menikah. Sedangkan tujuan perkawinan dalam Islam, bukan semata-mata untuk kesenangan lahiriyah melainkan juga untuk membentuk suatu lembaga yang kaum pria dan wanita dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan tidak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dan diperlakukan untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan.

2. Hukum Perkawinan

Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah boleh. Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah boleh, Sunnah kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada, Wajib kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan, Universitas Sumatera Utara Makruh kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani mental, maupun biaya rumah tangga, Haram kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya. Asal hukum melakukan perkawinan itu menurut pendapat sebahagian besar para Fuqaha para sarjana Islam adalah mubah atau ibahah halal atau kebolehan. Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad Bin Hambali dan Malik Bin Annas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai kebolehanhal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi kewajiban. Walaupun demikian Imam Syafii menganggap bahwa menikah bersifat mubah diperbolehkan. Apabila seseorang pria dipandang dari sudut fisik jasmani pertumbuhannya sudah sangat mendesak untuk menikah, sedangkan dari biaya kehidupan telah mampu dan mencukupi, sehingga kalau dia tidak menikah mengkhawatirkan dirinya akan terjerumus kepada penyelewengan melakukan hubungan seksual, maka wajib baginya menikah. Bilamana dia tidak menikah akan berdosa disisi Allah. Demikian juga seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan orang jahat bilamana ia tidak menikah, maka wajib baginya menikah. Menurut perintah Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW bahwa perkawinan itu diwajibkan bagi seorang laki-laki yang memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar mahar, menafkahkan istri dan anak-anak, sehat jasmani dan dikhawatirkan bila tidak menikah ia akan melakukan zina. Hal ini pun diwajibkan Universitas Sumatera Utara pula bagi wanita yang apabila ia tidak menikah akan menjerumuskannya pada perbuatan zina. Beberapa ulama tidak sepakat dengan hal ini dan mengingatkan bahwa apabila seorang laki-laki tidak mampu memperoleh nafkah hidup halal, maka dia tak boleh menikah dan bila dia tetap menikah tanpa harapan memperoleh makanan yang halal, niscaya dia akan melakukan pencurian atau perbuatan lain semacam itu. Dengan demikian, untuk menghindarkan satu kejahatan justru dia menjadi korban dengan melakukan kejahatan yang lain. Namun menikah itu bersifat sunnat bagi seseorang yang memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan tuntutan seksnya sehingga tidak akan terjerumus dalam bujukan syaitan namun berkeinginan untuk memperoleh keturunan dan orang yang merasa bahwa dengan menikah tidak akan menjauhkannya dari pengabdiannya kepada Allah. Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk menikah tapi butuh perlindungan atau nafkah dari seorang suami maka sunnat baginya nikah. Hal ini berdasarkan pada Hadist Rasul dari Riwayat Bukhari, Muslim dan Annas, Rasulullah bersabda: Aku Shalat, puasa, berbuka, tidur, menikah itulah sunnahku. 35 Hukum menikah berubah menjadi Haram, bilamana seorang pria atau wanita tidak bermaksud menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, atau pria 35 Djaman Nur, Op. Cit , hal 198 Universitas Sumatera Utara ingin menganiaya wanita atau sebaliknya priawanita ingin memperolok-olok pasangannya saja maka haramlah yang bersangkutan menikah. 36 Bagi seorang laki-laki menikah itu diharamkan kalau dia tidak mampu untuk membiayai atau tidak memiliki kekayaan untuk membiayai istri dan anak-anaknya, atau dia menderita suatu penyakit yang cukup gawat dan akan menular kepada istrinya dan keturunannya. Pernikahan akan menjadi Makruh bagi seorang laki-laki yang tidak memilki keinginan seksual sama sekali atau memilki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah. Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah tetapi ia meragukan dirinya tidak mampu mematuhi dan menaati suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk menikah.

3. Syarat-Syarat Perkawinan