Putusnya Perkawinan Karena Kematian

BAB II HAK ISTRI KE-2 DAN SETERUSNYA ATAS HARTA PERKAWINANNYA

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BILA PERKAWINANNYA PUTUS

A. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama- lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu : 1. Kematian. 2. Perceraian, dan 3. Atas Keputusan Pengadilan. 50

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Kematian suamiistri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan. 50 Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 42 Universitas Sumatera Utara Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris, karena itu agama islam membawa perubahan budaya dan mengatur hukum waris dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist Rasul. Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. 51 Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat. 52 Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta 51 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39 52 Ibid, hal. 21 Universitas Sumatera Utara warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat. Dalam Hukum Islam tata cara melaksanakan pembagian waris mempedomani beberapa prinsip, yaitu : 1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah, memberikan kebebasan penuh kepada seseorang yang memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat, kepada orang yang dikehendaki. 2. Warisan merupakan ketetapan hukum. 3. Pembagian warisan terbatas hanya pada lingkungan keluarga. 4. Tata cara yang dipergunakan hukum waris Islam adalah membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin para ahli warisnya secara merata dan memberikan bagian-bagian atau porsi-porsi tertentu kepada setiap ahli waris disesuaikan dengan hubungan yang lebih dekat; 5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atau diskriminasi atas harta warisan; 6. Perbedaan besar atau kecilnya bagian atau porsi yang akan didapatkan para ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan pewaris diselaraskan pada kebutuhan dalam hidup sehari-hari dari ahli waris dengan memandang juga kedekatan hubungan para ahli waris dengan pewaris. 53 Hukum waris Islam tidak menghendaki serta sepenuhnya melarang tata cara seperti yang berlaku dalam kapitalismeindividualisme dan pembagian harta peninggalan memakai prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perseorangan atau dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan; Pewaris tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan yang ditinggalkan dan ahli waris juga berhak atas harta warisan yang ditinggalkan 53 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2001, hal. 10 Universitas Sumatera Utara pewaris tanpa perlu adanya pernyataan menerima harta warisan dengan sukarela atau melalui keputusan hakim. Adanya hubungan perkawinan atau hubungan nasab atau keturunan yang sah melalui hubungan darah disebut sebagai keluarga. Sedangkan keluarga yang diutamakan mendapatkan harta warisan adalah keluarga yang memiliki hubungan yang lebih dekat dan lebih kuat dengan pewaris. Unsur-unsur kewarisan beserta syarat-syaratnya sangat perlu dipahami. Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur rukun, yaitu : a. Maurus. b. Muwaris. c. Waris. 54 Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang dimaksudkan hal tersebut adalah : a. Kebendaan yang sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah denda wajib yang dibayarkan kepadanya. b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya. c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya. d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi barang belum diterima. 55 54 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al- Ma’arif, Bandung, Tahun 1975, hal. 35 55 Ibid, hal. 36-37 Universitas Sumatera Utara Muwaris yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya dan waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya. 56 Kemudian syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah : a. Matinya muwaris. b. Hidupnya waris. c. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi. 57 Matinya muwaris kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu : a. Mati haqiqy. b. Mati hukmy. c. Mati taqdiry menurut dugaan. 58 Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka 56 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1998, hal. 25 57 OK, Suhairi Yusuf, Unsur-Unsur dan Syarat Kewarisan http:blogsuhairiok.blogspot.com200802unsur-unsur-dan-syarat-kewarisan.html, diakses tanggal 26 Desember 2009 58 Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 79 Universitas Sumatera Utara terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal. Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketemukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal. Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus. Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan.. Kemudian sebab-sebab terjadinya warisan adalah sebagai berikut : a. Hubungan nasab atau kerabat, seperti ayah, ibu, anak, cucu saudara- saudara kandung baik seayah maupun seibu atau kedua-duanya dan sebagainya; b. Hubungan perkawinan, yaitu antara suami dengan istri, meskipun belum pernah berkumpul atau telah bercerai tetapi masih dalam ‘iddah, talaq, raj’i; c. Hubungan walak, yaitu hubungan antara bekas budak dengan orang yang memerdekannya apabila budak tersebut tidak mempunyai ahli waris ataupun yang berhak mewarisi; d. Adanya tujuan Agama Islam atau jihatul Islam. Penyalurannya dapat dilakukan melalui Baitul Maal atua perbendaharaan negara yang Universitas Sumatera Utara menampung harta warisan dari orang-orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris sama sekali dengan sebab-sebab tertentu seperti tidak memiliki keturunan atau tidak mempunyai kerabat dan sebagainya. 59

2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian