Batak Toba Muslim : Studi Perubahan Budaya Pada Masyarakat Pesisir Di Sibolga (1970-2000)

(1)

Batak Toba Muslim : Studi Perubahan Budaya Pada Masyarakat Pesisir

Di Sibolga (1970-2000)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: Mifani Septriani Manalu

NIM

: 090706028

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

BATAK TOBA MUSLIM : STUDI PERUBAHAN BUDAYA PADA MASYARAKAT PESISIR DI SIBOLGA (1970-2000)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

MIFANI SEPTRIANI MANALU 090706028

Pembimbing,

Dr. Budi Agustono

NIP 196008051987031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi Salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

BATAK TOBA MUSLIM : STUDI PERUBAHAN BUDAYA PADA MASYARAKAT PESISIR DI SIBOLGA (1970-2000)

Yang diajukan oleh : Nama: Mifani .s. Manalu

NIM: 090706028

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,

Dr. Budi Agustono, M.S. tanggal 14 Juni 2013

NIP 196008051987031001

Ketua Departemen Sejarah tanggal

Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP 196409221989031001


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN:

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1 Drs. Edi Sumarno, M.Hum (………..)

2 Dra.Nurhabsyah, Msi (………..)

3 Dr. Budi Agustono (………..)

4 Dra.Fitriaty Harahap, S.U (………..)


(6)

KATA PENGANTAR

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga seluruh proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik meskipun mungkin masih banyak kekurangan. Beribu puji dan syukur penulis sembahkan hanya kepada Tuhan Yesus, Bapa baik, untuk semua keceriaan, harapan serta cobaan dalam proses berkehidupan penulis maupun proses pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan sampai pada penulisan skripsi ini. Let Your blessings rain down upon me, Lord.

Skripsi ini berjudul “Batak Toba Muslim: Studi Perubahan Budaya pada Masyarakat Pesisir Sibolga (1970-2000)”. Skripsi ini tentunya membahas bagaimana suatu kebudayaan itu tidak bersifat statis namun berubah. Perubahan budaya Batak Toba khusunya yang beragama Muslim ditempat baru meliputi pada adat perkawinan dan bahasa. Walaupun perubahan terjadi namun upaya untuk mempertahankan identitas suku masih dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Segalanya disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Tidak dapat dimungkiri peran banyak pihak yang memberikan kontribusi atas selesainya skripsi penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah mendorong penulis sekaligus juga yang telah meluangkan waktunya dalam membantu penulis meyelesaikan tugas akhir ini sehingga penulis dapat memperoleh banyak bantuan, kritik, saran, motivasi, serta doa dari berbagai pihak. Rasa syukur yang sungguh tak terhingga nilainya dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada: Pertama Dr. Syahron Lubis, M. A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Pembantu Dekan serta Seluruh staf pengajar Departemen Sejarah dan dosen-dosen yang berperan dalam studi penulis, yang telah bersedia berbagi pengalaman dan pengetahuan akademis, sehingga


(7)

penulis memperoleh banyak wawasan sebagai bekal di kemudian hari. Kemudian ucapan terima kasih kepada Drs. Edi Sumarno, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sejarah dan dosen penasehat akademik penulis serta Dra, Nurhabsyah, M. Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang selalu terbuka kepada penulis dan selama mengikuti perkuliahan membantu penulis dalam mencerdaskan pikiran penulis. Tak lupa juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Budi Agustono atas ketersediaan menjadi pembimbing, mengarahkan, meluangkan waktu di sela-sela kepadatan jadual yang sangat luar biasa, menyempatkan waktu padat beliau di tengah jadual-jadual menulis, talkshow, seminar, kegiatan mengajar, hingga family time. Beliau sebagai pembimbing memberi penulis banyak arahan mulai dari substansi materi skripsi hingga mengajarkan bagaimana meneliti yang baik, memberi bimbingan dengan sabar, saran dan kritik yang membangun, menebarkan semangat dan keceriaan serta optimismenya kepada penulis dan akan selalu diingat. Adalah sebuah kesalahan besar untuk membuat sebuah teori sebelum kita memiliki data fakta. Berikutnya bang Ampera selaku staf Tata Usaha Departemen Ilmu Sejarah yang membantu dalam melancarkan segala urusan akademik dan urusan administrasi.

Selain itu, terima kasih kepada seluruh informan yang telah banyak memberikan informasi penting dalam penyelesaian skripsi ini. Banyak bantuan yang penulis terima dari mereka.

Penulis menyadari selama mengharungi pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai menjadi sarjana, tidaklah mungkin dilepaskan dari kasih sayang orangtua penulis dan tidak akan ada yang bisa membalas semua jasa kalian. Skripsi ini penulis persembahkan khusus untuk kalian sebagai bukti cinta dan pengabdian, penulis akan selalu menjaga nama baik kalian. Teristimewa penulis sampaikan terima kasih kepada Ayahanda B. Manalu dan


(8)

Ibunda D. Situmorang yang selalu memberi kasih sayang, dukungan, nasehat dan doa selama perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. I am nothing without you. I never let you down.

Terima kasih juga disampaikan kepada Saudara-saudara terkasih Kak ice, Kak mona, Bang Juan dan Yosayat yang senantiasa berdoa dan memberi motivasi kepada penulis.

Terimakasih kepada seluruh rekan-rekan stambuk 2009, terimakasih untuk semua yang telah dilewati bersama di Ilmu Sejarah. I am proud of you guys. Terkhusus kepada Ita Apulina Ginting dan Roventina Gultom yang telah melewati beberapa peristiwa yang mengesankan dengan penulis. Sahabat kecil saya yang selalu setia berada dalam 1 lokasi yang sama dengan saya Mora Prima Siregar.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua. Terima Kasih.

Medan, 06 Desember 2013 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR…...……….. i

DAFTAR ISI………...………... iv

ABSTRAK………...………... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………... 1

1.2 Rumusan Masalah………...…... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……... 8

1.4 Tinjauan Pustaka……….……... 9

1.5 Metode Penelitian………...……... 12

BAB II SIBOLGA SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Letak Geografis Kota Sibolga ………... 15

2.2 Sibolga Pada Masa Kolonial ……….. 17

2.3 Sibolga Pada Masa Pendudukan Jepang ………... 22

2.4 Sibolga Pada Masa Kemerdekaan ... 32

2.5 Mata Pencaharian Masyarakat 1970-2000... 38

BAB III KEDATANGAN ETNIS BATAK TOBA KE SIBOLGA 3.1 Migrasi Batak Toba ke Sibolga………... 43

3.2 Keberadaan Etnis Lain……….…………... 49

3.3 Islamisasi di Sibolga ... 58

3.4 Konversi Agama ... 64 BAB IV KEBUDAYAAN MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA


(10)

4.1 Terbentuknya Adat Budaya dan Kesenian Muslim Pesisir Sibolga..… 66 4.2 Adat Sumando Pesisir Sibolga...……….…... 68 BAB V PERUBAHAN BUDAYA ETNIS BATAK TOBA PADA MASYARAKAT

PESISIR SIBOLGA

5.1 Faktor Mempengaruhi Perubahan Budaya ... 77 5.2 Perubahan Budaya ... 81 BAB VI KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan………... 93 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(11)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Batak Toba Muslim : Studi Perubahan Budaya Pada Masyarakat Pesisir Di Sibolga (1970-2000)” adalah sebuah kajian sejarah yang dapat diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana kajian mengenai perubahan orang orang Batak Toba Muslim di Sibolga belum pernah diteliti secara rinci.

Pada hakikatnya tidak ada kebudayaan yang statis. Masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Perubahan tersebut terjadi karena hubungan dengan manusia-manusia lainnya. Orang Batak Toba tepatnya masyarakat suku Batak Toba banyak yang turun dari pegunungan dan mencari tempat-tempat baru untuk dijadikan perkampungan baru. Sibolga salah satu daerah yang menjadi tempat baru bagi mereka. Ditempat baru mereka berupaya untuk tetap mempertahankan adat budaya mereka seperti ditempat asal. Namun, invansi Islam yang dilakukan kelompok Paderi dan perpindahan masyarakat Poncan serta dibukanya perkebunan oleh Pemerintah kolonial membawa perubahan yang cukup signifikan pada adat budaya masyarakat Batak Toba. Perubahan itu terletak pada adat perkawinan dan penggunaan bahasa. Masyarakat Batak Toba Muslim mulai menggunakan adat sumando pada upacara perkawinan mereka. Bahasa yang digunakan juga memakai bahasa beko.

Faktor-faktor perubahan budaya ini adalah situasi kultural dan agama saling berkaitan dalam perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat yang bersuku Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang sudah menganut agama Muslim tidak lagi melaksanakan ritual adat budaya yang bertentangan dengan agama Muslim. Sehingga mereka lebih memilih menggunakan adat sumando yang notabene bernafaskan Islam.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan Batak Toba Muslim yang terdapat di kota Sibolga dengan serangkaian dorongan yang memaksa mereka untuk berpindah sehingga menimbulkan pembauran dengan masyarakat baru yang memiliki budaya yang kuat sehingga terjadi perubahan budaya pada masyarakat Batak Toba. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara,

library research, dan data visual. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapatlah ditarik

kesimpulan sesuai dengan serangkaian proses penelitian yang dilakukan penulis.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa orang Batak Toba khususnya yang beragama Muslim mengalami perubahan budaya walaupun perubahan itu tidak terjadi secara menyeluruh. Dalam mempertahankan identitas mereka, mereka masih menggunakan kata Horas dalam setiap kesempatan pada acara-acara dan pada upcara perkawinan masih dilaksanakan upacar mangulosi tulang.


(12)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Batak Toba Muslim : Studi Perubahan Budaya Pada Masyarakat Pesisir Di Sibolga (1970-2000)” adalah sebuah kajian sejarah yang dapat diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana kajian mengenai perubahan orang orang Batak Toba Muslim di Sibolga belum pernah diteliti secara rinci.

Pada hakikatnya tidak ada kebudayaan yang statis. Masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Perubahan tersebut terjadi karena hubungan dengan manusia-manusia lainnya. Orang Batak Toba tepatnya masyarakat suku Batak Toba banyak yang turun dari pegunungan dan mencari tempat-tempat baru untuk dijadikan perkampungan baru. Sibolga salah satu daerah yang menjadi tempat baru bagi mereka. Ditempat baru mereka berupaya untuk tetap mempertahankan adat budaya mereka seperti ditempat asal. Namun, invansi Islam yang dilakukan kelompok Paderi dan perpindahan masyarakat Poncan serta dibukanya perkebunan oleh Pemerintah kolonial membawa perubahan yang cukup signifikan pada adat budaya masyarakat Batak Toba. Perubahan itu terletak pada adat perkawinan dan penggunaan bahasa. Masyarakat Batak Toba Muslim mulai menggunakan adat sumando pada upacara perkawinan mereka. Bahasa yang digunakan juga memakai bahasa beko.

Faktor-faktor perubahan budaya ini adalah situasi kultural dan agama saling berkaitan dalam perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat yang bersuku Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang sudah menganut agama Muslim tidak lagi melaksanakan ritual adat budaya yang bertentangan dengan agama Muslim. Sehingga mereka lebih memilih menggunakan adat sumando yang notabene bernafaskan Islam.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan Batak Toba Muslim yang terdapat di kota Sibolga dengan serangkaian dorongan yang memaksa mereka untuk berpindah sehingga menimbulkan pembauran dengan masyarakat baru yang memiliki budaya yang kuat sehingga terjadi perubahan budaya pada masyarakat Batak Toba. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara,

library research, dan data visual. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapatlah ditarik

kesimpulan sesuai dengan serangkaian proses penelitian yang dilakukan penulis.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa orang Batak Toba khususnya yang beragama Muslim mengalami perubahan budaya walaupun perubahan itu tidak terjadi secara menyeluruh. Dalam mempertahankan identitas mereka, mereka masih menggunakan kata Horas dalam setiap kesempatan pada acara-acara dan pada upcara perkawinan masih dilaksanakan upacar mangulosi tulang.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negeri yang banyak mengalami perubahan budaya dunia. Dalam rentang sejarahnya, Indonesia mendapat pengaruh budaya India, Cina, Arab, dan Eropa. Bahkan hingga kini, di awal abad XXI, proses tersebut masih berlangsung, termasuk pengaruh budaya lokal dari daerah lain. Jika melihat lanskap saling serbuk antar budaya lokal sangat adaptif terhadap budaya non lokal yang memproduksi fertilisasi silang antarbudaya. Penyesuaian atau adaptasi antara budaya lokal dengan budaya non lokal ini memperlihatkan budaya bangsa ini sangat lentur berhadapan dengan tradisi besar manapun. Sikap lentur dan saling serbuk antarbudaya ini bukannya melemahkan budaya lokal, tetapi justru menjadi modal penguatan budaya bangsa yang plural ini.1

Budaya atau kebudayaan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari jiwa manusia itu sendiri. Manusia dan kebudayaan manusia merupakan satu kesatuan yang erat, ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya yaitu manusia2

Masing-masing etnis dan sub etnis memiliki ciri khas budaya masing-masing. Suatu kelompok etnis yang datang ke suatu daerah yang memiliki penduduk dengan budaya yang

. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku dengan budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, perbedaan itulah yang menjadi identitas bangsa Indonesia, bukanlah suatu perbedaan yang menyebabkan perselisihan.

1

Budi, Agustono. Fertilisasi Silang antar Budaya. Nabil Forum Edisi V, Juli-Desember 2012, hlm 9.

2

Untuk lebih jelas lihat buku Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta:


(14)

berbeda akan menimbulkan pembauran atau saling mempengaruhi. Akan tetapi proses pembauran dapat terjadi jika masing-masing etnis saling terbuka satu dengan yang lainnya. Sikap tertutup memungkinkan untuk tidak terjadinya perubahan bagi setiap kebudayaan masing-masing etnis. Hal inilah yang secara garis besar disebut sebagai perubahan budaya.

Kota Sibolga merupakan salah satu kota dari 33 kota/kabupaten provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini terletak di pantai Barat pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli, sekitar ± 350 km dari kota Medan. Dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Samudera Hindia. Letak wilayah yang strategis menjadikan Kota Sibolga sangat cepat berkembang terutama sebagai tempat persinggahan para pelaut. Kota ini juga dikenal sebagai kota Pelabuhan. Pulau-pulau yang terhampar didepannya menjadi penyangga ombak dan gelombang dari Lautan lepas Samudera Hindia, sehinga membuat pelabuhan Sibolga lebih aman untuk bebagai aktifitas, khususnya aktifitas ekspor-impor.

Struktur masyarakat Sibolga dikenal horizontal. Hal ini ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Struktur Sibolga ini dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada didaratan pantai Barat dan berdekatan dengan pegunungan pedalaman.3

3

. S. Budhisantoso, Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Sibolga,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), hlm.33

Kondisi Sibolga yang berada pada daerah Pesisir pantai Sibolga telah menyebabkan terjadinya interaksi antara masyarakat di pesisir pantai dengan orang-orang yang tinggal dipedalaman. Orang-orang pedalaman adalah orang-orang Tapanuli pegunungan suku Batak Toba, Mandailing,


(15)

Angkola, yang sangat membutuhkan garam dan bahan-bahan lainnya yang hanya bisa diperoleh dari pesisir pantai. Disebut sebagai orang pedalaman karena letak daerah mereka yang jauh dari pantai. Mereka melakukan barter dengan hasil hutan yang mereka peroleh dengan garam dan lain-lain. Banyak dari mereka khususnya etnis Batak Toba yang hilir mudik dan menetap ditepi pantai.4

Islam semakin berkembang di Sibolga sejak terjadinya peperangan antara Aceh dengan kelompok masyarakat Batak (1820-1837). Oleh karena peperangan ini banyak penduduk yang berpindah untuk membuka pemukiman baru di wilayah Barat. Pada saat Perang Paderi daerah Batak bagian Selatan dan Barat menjadi Islam. Perkampungan orang Batak bagian Selatan dan Barat dikuasai oleh kaum Paderi5. Selama menduduki tanah Batak, kaum Paderi ini menyebarkan agama Islam terutama dibagian Selatan dan Barat (Mandailing dan Angkola). Namun pada saat memasuki wilayah danau Toba mendapat perlawanan dari Belanda, sehingga Islam tidak berkembang secara luas didaerah danau Toba khususnya bagi Batak Toba6

4

. Tengku Luckman Sinar, Lintasan Sejarah Sibolga dan Pantai Barat Sumatera Utara, Waspada 23

Juni 1981

. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya banyak dari orang Minangkabau dan Aceh masuk kedaerah Sibolga melalui Sidempuan. Orang Batak Toba dari Silindung, berangsur angsur menyebar ke arah pantai Barat Sumatera Utara, salah satunya yang melakukan perpindahan kewilayah pesisir pantai Barat adalah keturunan dari marga Hutagalung. Mereka kemudian membuka perkampungan di sekitar aliran sungai Aek Doras, dalam perkembanganya kemudian masyarakat dari Silindung tersebut berkembang dan

5

Elisa Tinambunan, Masuknya Zending Protestan di Tapanuli Utara, (Medan: Tanpa Penerbit, 2011),

hlm. 27 6

Dieter Valon, Napak Tilas Ingwer Ludwig Nommensen, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI,


(16)

membentuk kelompok masyarakat yang terstruktur yang dipimpin oleh seorang kepala Kuria/Raja, bersama-sama kelompok masyarakat7

Sibolga mulai dikenal sebagai kota pelabuhan sejak ditetapkannya kota ini menjadi sebuah ibukota keresidenan Tapanuli pada tanggal 7 Desember 1842

. Oleh karena pada saat itu banyak dari masyarakat Toba yang berpindah belum menganut suatu kepercayaan (masyarakat Toba dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kepercayan terhadap roh-roh nenek moyang) maka pembauran dengan masyarakat dari Aceh, Angkola dan Mandailing yang menganut agama Islam membawa dampak. Banyak dari masyarakat batak Toba mulai menganut agama Islam.

8

oleh pemerintah Hindia Belanda. Rawa-rawa yang terdapat di daerah Sibolga dikeringkan dan diatasnya dibangun pelabuhan. Oleh karena itu maka penduduk Pulau Poncan9 beserta dengan tokoh masyarakatnya pindah ke wilayah Sibolga. Penduduk yang berada di Sibolga sebelum kedatangan penduduk dari Pulau Poncan disebut sebagai orang “daratan”10

7

U. T Sipahutar ‘Perhitungan Jadinya Kota Sibolga’ , Hari Jadi Sibolga , Pemko Sibolga, 1998. hlm :

111

. Sampai pada abad ke-19 suku Batak pada umumnya dikenal sebagai penganut kepercayaan Palbegu. Kepercayaan Palbegu yaitu suatu kepercayaan yang banyak mengandung unsur-unsur animisme ataupun dinamisme. Penganut kepercayaan ini menyembah semua benda yang

8

Sultan Parhimpunan, Kerajaan Sibolga (1700-1842), (Depok: Tanpa Penerbit, 2008), Hlm.63

9

Pulau Poncan merupakan pulau yang terletak 3 mil dari kota Sibolga. Poncan dikenal sebagai daerah kaya penghasil garam. Ditahun 1700an pulau ini pernah menjadi semacam pusat kendali kekuasaan tempur kolonial dipantai Barat Sumatera. Poncan pada masa jayanya sudah menjadi tujuan terpenting dari para pedagang sehingga pulau ini dikenal sebagai pulau pelabuhan dan persinggahan para pedagang. Banyaknya saudagar dari Arab, Aceh dan Minangkabau yang datang untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam di pulau Poncan mengakibatkan masyarakat pulau Poncan mengenal dan menganut agama Islam. Pada tahun 1829 pulau Poncan diberikan kepada Belanda oleh Inggris dalam traktat London. Oleh karena luas pulau Poncan yang tidak begitu besar, maka pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan ke Sibolga. Pemindahan ini juga dikarenakan Sibolga letak yang strategis sebagai tempat perlindungan dari serangan musuh.

10

Lukman Ahmadi dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Propinsi


(17)

dianggap punya begu atau roh. Mereka percaya terhadap roh nenek moyang dan benda-benda besar11

Pada awal kedatangan masyarakat Pulau Poncan sebagai pendatang dan masyarakat Sibolga sebagai yang lebih dahulu menetap, mengalami berbagai masalah dalam adat istiadat yang menimbulkan perbedaan-perbedaan. Selain dari perbedaan agama yang dianut oleh kedua masyarakat tersebut, terdapat perbedaan dalam pemakaian atribut-atribut kebesaran adat. Dalam hal ini hanya penduduk penetap yang dibenarkan memakai atribut kebesaran adat.

. Begitu juga pada masyarakat Batak Toba Sibolga pada saat itu masih banyak yang menganut kepercayaan ini. Sebaliknya masyarakat yang datang dari Pulau Poncan telah cukup lama menganut agama Islam. Demikian pula masyarakat pendatang ke wilayah Sibolga dari kawasan Minangkabau dan pesisir Pantai Barat Sumatera lainnya atau daerah Batak bagian Selatan dan Barat yaitu Mandailing dan Angkola. Masyarakat Poncan lebih dulu mengenal Islam karena merupakan pusat pelabuhan pantai Barat Sumatera. Banyak dari saudagar Arab, Aceh, Minangkabau datang dan menyebarkan agama Islam.

12

Pada perkembangan selanjutnya antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang ini kemudian telah menyatu dalam adat istiadat yang mempunyai ciri tersendiri yaitu adat pesisir.Penyatuan adat pesisir ini selanjutnya lebih ditopang setelah masyarakat lokal yang berasal dari pedalaman Tapanuli menganut agama yang sama dengan masyarakat pendatang, yaitu agama Islam. Kemudian antara masyarakat pendatang dan penetap terjalin perkawinan, Apabila seorang masyarakat dari Pulau Poncan ingin memakai atribut kebesaran adat tersebut harus terlebih dahulu meminta izin kepada para tokoh-tokoh adat setempat.

11

Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, (Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2007), hlm.41

12


(18)

di mana pemuda pendatang mengawini perempuan lokal, atau sebaliknya yang senantiasa memakai adat istiadat pesisir atau yang lebih dikenal dengan nama “Adat Sumando”13

Sumando Pesisir sebagai kesatuan adalah suatu pertambahan dan pencampuran satu keluarga dengan keluarga lain yang seiman. Adat Sumando ini berasal dari Poncan. Dengan perpindahan penduduk Poncan ke Sibolga adat Sumando dibawa serta dan kemudian berkembang keseluruh daerah Tapanuli. Adat Sumando ini merupakan pencampuran adat Minangkabau dan budaya Batak yang bernafaskan agama Islam.

.

14

Menurut tradisi lokal adat Sumando ini lahir ketika seorang pemuda Minangkabau yang tinggal di Sibolga hendak meminang gadis Batak Toba. Kedua belah pihak menganut keyakinan yang sama yaitu Islam. Karena keduanya memiliki hakekat budaya yang berbeda maka diadakanlah musyawarah yang menghasilkan toleransi dengan mengendurkan beberapa teknis adat dari kedua belah pihak. Hingga akhirnya terlahirlah adat Sumando. Maka masyarakat Pesisir Sibolga banyak yang mengikuti adat Sumando ini sebagai adat mereka. Secara keseluruhan adat ini bernafaskan agama Islam.15

Etnis Batak Toba yang berasal dari pedalaman berusaha untuk tinggal menetap di Sibolga dengan mempertahankan budayanya. Selaku golongan minoritas dan sebagai pendatang maka untuk mengembangkan proses interaksi serta sosialisasi dengan masyarakat Sibolga yang dikenal sebagai masyarakat Pesisir, maka muncul keinginan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan budaya setempat16

13

Hamid Panggabean, Bunga Rampai Tapian-Nauli, (Jakarta: Tapian-Nauli-Tujuh Sekawan. 1995),

hlm. 192

. Dalam interaksinya, secara tidak langsung etnis Batak

14

Sultan Parhimpunan, op.cit, hlm. 258

15

Hamid Panggabean, op.cit, hlm.94

16

Jefri Jonathan, Migrasi orang Batak Toba ke Sibolga Sampai Benturan Budaya Di Tempat


(19)

Toba telah melakukan pembauran dengan budaya Sumando. Hal ini dilakukan agar masyarakat dari etnis Batak Toba dapat diterima oleh masyarakat Pesisir Sibolga. Salah satu carayang dilakuakan adalah menjadi seorang Muslim. Sehingga mereka disebut sebagai Batak Toba Muslim Pesisir. Sebagai masyarakat etnis Batak Toba yang telah menganut agama Islam adat Sumando merupakan adat yang tidak melanggar hukum syariat Islam. Sementara itu pada adat Batak Toba sendiri sebagaian adat menyajikan babi yang tidak dapat dimakan oleh Muslim. Hal inilah yang membuat etnis Batak Toba menerima pembauran dengan adat Sumando.

Penelitian ini membahas tentang Perubahan Budaya Etnis Batak Toba pada Masyarakat Pesisir di Sibolga (1970-2000). Tahun 1970 adalah sebagai tahun awal penelitian merupakan periode perubahan budaya etnis Batak Toba terlihat. Perubahan budaya dilihat pada unsur kebudayaan yaitu pada sistem kemasyarakatan yakni perubahan bahasa dan tata cara upacara pernikahan. Masyarakat etnis Batak Toba menerapkan pembauran dan perubahan pada bahasa mereka serta tata cara pernikahan dengan budaya masyarakat pesisir di Sibolga. Perubahan yang terjadi pada upacara pernikahan yaitu masyarakat Batak Toba mulai menggabungkan dan menggunakan adat masyarakat pesisir setempat yaitu adat Sumando dengan adat Batak Toba. Pada bab selanjutnya akan dijelaskan lebih dalam lagi tentang latar belakang terjadinya perubahan budaya di Sibolga. Kemudian tahun 2000 sebagai akhir dari penelitian ini adalah bahwa selama tiga puluh tahun terdapat perubahan budaya etnis Batak Toba dengan budaya lokal serta membawa dampak yang mempengaruhi kebudayaan Batak itu sendiri dan masyarakat etnis Batak Toba sudah menyadari adanya perubahan pada kebudayaannya.


(20)

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Batak Toba Muslim : Studi Perubahan Budaya Pada Masyarakat Pesisir di Sibolga (1970-2000)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, untuk mempermudah penulis dalam penulisan dan menghasilkan penelitian yang objektif, maka penulis perlu membatasi masalah yang akan dibahas. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keadaan Sibolga sebelum tahun 1970?

2. Bagaimana proses migrasi orang Batak Toba ke Sibolga dan perubahan agama menjadi Muslim?

3. Bagaimana latar belakang budaya masyarakat Pesisir Sibolga?

4. Apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan budaya pada orang Batak Toba Muslim di Sibolga?

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setelah diketahui apa rumusan masalah dalam penelitian, maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang dicapai. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.


(21)

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui keadaan Sibolga sebelum tahun 1970

2. Menganalisi proses perubahan budaya etnis Batak Toba di masyarakat Pesisir kota Sibolga

3. Menganalisis pengaruh budaya masyarakat Pesisir terhadap budaya etnis Batak Toba.

4. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan budaya pada etnis Batak Toba.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang proses perubahan budaya etnis Batak Toba pada masyarakat Pesisir Sibolga

2. Menambah informasi tentang histori kota Sibolga sebelum tahun 1970

3. Memberikan informasi pada masyarakat tentang adanya perubahan budaya, faktor yang mempengaruhi perubahan budaya serta bentuk dari perubahan budaya etnis Batak Toba pada masyarakat Pesisir di Sibolga.

4. Menambah literatur bacaan dalam ilmu sejarah dan menjadi acuan bagi penulis lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan

1.4.Tinjauan Pustaka

Buku yang mengulas tentang kehidupan masyarakat Pesisir sibolga telah banyak ditulis oleh para sarjana diantaranya adalah buku Budhisantoso yang berjudul Studi Pertumbuhan


(22)

dan Pemudaran Kota Pelabuhan : Kasus Barus dan Sibolga yang menjelaskan tentang perkembangan penduduk Sibolga, gambaran umum kota, adaptasi penduduk, dan sosial budaya masyarakat Sibolga. Perubahan kota Sibolga sebagai kota Pelabuhan menjadi pusat pemerintahan serta menjelaskan pemudaran kota Barus sebagai kota Pelabuhan. Perkembangan sosial budaya yang dikota ini. Pengaruh-pengaruh yang didapat dari luar sebagai kota pelabuhan dan persinggahan para pedagang.17

Selanjutnya karya Suwardi Lubis yang berjudul Komunikasi antar Budaya, Studi Kasus

Etnis Batak Toba dan Etnis Cina yang menjelaskan bahwa kekayaan, kehormatan dan

kebahagiaan (hamoraon, hasangapon, hagabeon) yang lebih dikenal dengan konsep 3H adalah tujuan hidup masyarakat etnis Batak Toba. Konsep itu merupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat etnis Batak Toba. Dan juga bagaimana Etnis Cina berinteraksi dengna budaya diluar budaya nya sendiri. komunikasi yang terjalin antara budaya yang berbeda. 18

Kajian lain adalah buku Sjawal Pasaribu dalam bukunya yang berjudul Masyarakat

Budaya dan Pariwisata Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga menjelaskan tentang masuknya

suku bangsa lain untuk melakukan perdagangan di daerah Pinggiran Pantai Barat, bertambahnya keanekaragaman suku yang ada di pinggiran Pantai Barat Sumatera, perkawinan campur yang dilakukan pendatang kepada masyarakat setempat yang merupakan

17

S. Budhisantoso, Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Sibolga,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995) 18

Suwardi Lubis, Komunikasi studi Kasus Etnis Batak Toba dan etnis Cina, (Medan: USU Press,1990)


(23)

cikal bakal lahirnya etnis pesisir. Buku ini juga menjelaskan budaya masyarakat Pesisir yang berkembang yang disebut sebagai adat Sumando.19

Kemudian kajian Antonius Simanjuntak yang berjudul Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya) tentang budaya masyarakat Pesisir Pantai dan budaya batak dari pegunungan. Buku ini membahas tentang orientasi nilai budaya pada melayu pesisir dan batak pegunungan serta perubahan-perubahan budaya yang terjadi serta 14 unsur-unsur nilai budaya yang harus dimiliki setiap yang mengaku dirinya sebagai orang modern. Buku ini mengulas bagaimana masyarakat pesisir dan batak pegunungan yang menjadi objek penelitian berupaya menjadi orang yang dianggap modern dengan mengikuti 14 unsur nilai budaya.20

Selajutnya Kajian Hamid Panggabean yang berjudul Bunga Rampai Tapian-Nauli. Buku ini membahas tentang sejarah masyarakat Sibolga, kemudian Sibolga dalam masa pejajahan dan perjuangan melawan penjajah dan menyambut kemerdekaan. Buku ini mengulas tentang budaya masyarakat Pesisir yaitu adat Sumando yang sudah banyak diterapkan dalam upacara-upacara adat di Sibolga. Adat Sumando ini hanya terfokus pada masyarakat Sibolga yang beragama muslim. Hal ini dikarenkan adat ini merupakan adat yang bernafaskan agama Islam.21

19

Sjawal Pasaribu, Masyarakat Budaya dan Pariwisata Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, (Medan:

Depdikbud Sibolga, 2008). 20

Bungaran Antonius Simanjuntak, MelayuPesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya),

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010).

21


(24)

Karya lain yang masih relevan dengan penelitian ini adalah Togar Nainggolan yang berjudul Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana masyarakat yang memiliki suku Batak Toba menyerap budaya baru dari daerah baru dan menjadikan mereka mennghilangkan identitas asli dan mengalami perubahan identitas etnik. suku batak Toba selaku golongan Batak Toba mencoba mengubah identitas diri mereka mengikuti daerah tempat tinggal mereka. Hal ini diperlukan dari buku ini untuk penelitian adalah bagaimana proses penyerapan budaya baru pada budaya asli mereka dan mengalami perubahan idnetitas budaya.22

1.5. Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah ilmiah, pemakaian metode sejarah ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazimnya disebut sebagai metode sejarah. Metode penelitian ini dimaksudkan untuk merekontruksi masa lampau manusia sehingga menghasilkan suatu karya ilmiah yang bernilai. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji danmenganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau23. Ada beberapa tahap yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tahap heuristik, kritik sumber, interpretasi dan histiografi24

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah heuristik atau pengumpulan data atau bahan-bahan sebanyak mungkin yang memberi penjelasan tentang

.

22

Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta Koninuitas dan Perubahan Identitas, (Medan: Bina

Media, 2006). 23

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press,1971), hlm. 18.

24


(25)

masalah dalam penelitian ini. Pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan yaitu mencari sumber tertulis yang berasal dari buku seperti dari perpustakaan, perpustakaan daerah maupun dari toko-toko buku lainnya, majalah, surat kabar, hasil laporan penelitian, dan data yang diperoleh dari internet. Studi lapangan bisa dilakukan dengan cara wawancara.adapun wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas, dan melakukan pengamatan langsung ke lapangan.

Langkah berikutnya, melakukan kritik terhadap sumber. Untuk memeriksa keabsahan sumber melalui kritik intern yang bertujuan untuk memperoleh fakta yang kredibel dengan cara menganalisis isi ataupun penjelasan dalam sumber tertulis dan kritik ekstern dalam memperoleh fakta yang otentik dengan cara meneliti asli atau tidaknya sumber tersebut. Sesudah melakukan langkah pertama dan langkah kedua berupa heuristik dan kritik sumber, langkah selanjutnya dilakukan interpretasi. Langkah ini merupakan metode yang dilakukan untuk menafsirkan fakta-fakta yang sudah diseleksi dan menghasilkan data yang valid.

Langkah terakhir yang dilakukan dalam metode penelitian ini adalah metode penulisan sejarah atau histiografi. Langkah ini penulis akan menjabarkan data hasil penelitian sekaligus rangkaian secara kronologis dan sistematis dalam bahasa tulisan dapat berbentuk deskriptif naratif sehingga menghasilkan sebuah karya ilmiah sejarah.


(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA

2. 1. Letak Geografis Kota Sibolga

Letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis ditentukan pula oleh segi astronomis, geologis, fisiografis dan sosial budaya. Kota Sibolga terletak di pantai Barat Sumatera. Posisi pantai Barat Sumatera dari Singkel di Utara hingga Indrapura di Selatan. Di sebelah Utara daerah ini terdapat kerajaan Aceh, Sebelah Timur terdapat derah batak, Kerajaan Siak dan Indragiri, sebelah Selatan terdapat daerah Kerincidan Bengkulu, di sebelah Barat terhampar Samudera Hindia. Ciri utama topografi kawasan pantai Barat adalah berbukit-bukit. Salah satu wilayah dari gugusan pegunungan ini adalah teluk Sibolga.25

Secara astronomi, Sibolga terletak pada 10 44-10 46 LU dan 980 44-980 48 BT. Batas Kota Madya Sibolga disebelah utara dan timur adalah kecamatan Sibolga, di sebelah selatan adalah kecamatan Pandan dan di sebelah barat adala Teluk Tapian Nauli.

26

25

Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Suamtera, (Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2007), hlm.21

Kotamadya Sibolga merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang berada dalam wilayah daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara. Jaraknya lebih kurang 344 km dari Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Bentuk Kota memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai. Sebelah Timur terdiri dari gunung dan sebelah Barat adalah lautan. Lebar kota yaitu jarak dari garis pantai ke pegunungan sangat sempit hanya lebih kurang 500 meter

26

S. Budhisantoso, Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Sibolga,


(27)

sedangkan panjangnya adalah 8. 520 km. Karena sempitnya daratan yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk, akhirnya banyak tepian pantai yang ditimbun menjadi daratan untuk dijadikan lahan pemukiman. Bahkan sebagian pemukiman didirikan diatas laut.27

Kota Sibolga mempunyai wilayah seluas 1077,00 Ha yang terdiri dari 889,16 Ha (82,5%) daratan, 187,84 Ha (17,44%) daratan kepulauan dan 2.171,6 luas lautan. Beberapa pulau-pulau yang tersebar disekitar teluk Tapian Nauli yang termasuk kedalam wilayah administratif kota Sibolga adalah pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik, dan pulau Panjang28. Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yang berada pada daratan pantai, lereng dan pegunungan, terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter. Keadaan alamnya relatif kurang beraturan. Kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 % sampai dengan 40%. Sebagian besar (69%) wilayah kota madya ini merupakan perairan dan pulau-pulau yang tersebar di Teluk Tapian Nauli sedangkan sisanya merupakan dataran bekas rawa dipantai dataran Sumatera yang ditimbun, membujur dari barat Laut ke tenggara dengan ukuran 5,6 kali 0,5 km. Dataran ini merupakan tempat pemukiman penduduk.29

Sumber pendapatan masyarakat Kota Sibolga didominasi bersumber dari perairan, yaitu melalui mata pencarian masyarakat sebagai nelayan. Kondisi geografis Sibolga yang memiliki banyak wilayah perairan mendukung keadaan ini. Di samping itu, mata pencaharian dari penduduk kota Sibolga adalah pertanian. Sementara itu sungai-sungai yang termasuk

27

Hernita Malau, Adat Sumando Sibolga, (Medan: Tanpa Penerbit, 2011), hlm.23

28

Pemko Sibolga, Geografis Kota Sibolga, Sibolga : Tanpa Penerbit. 2000, hlm. 12

29

Mona Manalu, Sejarah Kota Sibolga Dan Perkembangannya Setelah Kemerdekaan (1945-2011),


(28)

dalam kawasan kota Sibolga antara lain, Sungai Aek Doras, Sungai Sihopo-hopo, Sungai Muara Baiyon, dan Sungai Aek Horsik.30

2.2 Sibolga pada Masa Kolonial

Setelah mengalami kehancuran sebagai akibat perang Napoleon yang bertahun-tahun dan isolasi ekonomi, maka Negeri Belanda kehilangan sebagian besar perdagangannya dan pelayarannya. Peranannya sebagai Pasar penimbun barang mundur. Ditanah jajahan pedagang-pedagang Belanda tidak mampu bersaing dengan pedagang-pedagang Inggris. Hal ini mengakibatkan depresi ekonomi. Untuk menyelamatkan perdagangan dan industri Nasionalnya diadakan perjanjian Traktat London. Setelah Perjanjian ditandatangani (1824), kota-kota disepanjang pantai pesisir barat Sumatera jatuh ke tangan Belanda termasuk Sibolga. Traktat London menyelamatkan kedudukan mereka dipantai barat Sumatera yang dulu dikuasai sebagian oleh Inggris31. Traktat London membuat Inggris memilih menguasai Selat Malaka dan Pantai lainnya sebelah Timur Sumatera. Dalam perjanjian ini Inggris menyerahkan daerah di Pesisir Barat Sumatera yaitu : Fort Marlborough (Bengkulu), Poncan, Natal dan Tapian Nauli (Sibolga). Setelah menduduki Sibolga kolonial terus melakukan perubahan. Karena Sibolga merupakan kota pelabuhan yang cukup ramai, mulailah mereka memfokuskan kegiatan seputar Sibolga32

Pada masa pemerintahan Belanda, Sibolga mengalami perkembangan sangat pesat, terutama setelah dijadikannya Sibolga menjadi ibu Kota Keresidenan. Hanya dalam beberapa

.

30

Erwin J. V Nababan, Tekong (Studi Deskriptif Terhadap Sumber Daya Alam Pesisir Pada

Masyarakat Sibolga, ( Medan : Tanpa Penerbit, 2009), hlm. 35 31

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional dari

Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 10

32


(29)

tahun saja Sibolga berubah menjadi sentrum Tapian Nauli. Pelabuhannya menyedot banyak kapal niaga pelayaran antar negara dan pulau. Mereka membangun pelabuhan di Sibolga guna memperlancar pemasukan. Pantai Barat Sumatera termasuk pulau-pulau Nias, semuanya dilebur menjadi satu unit keresidenan Tapanuli dengan pusatnya Sibolga. Guna memenuhi kebutuhan tenaga pegawai yang berpengalaman di keresidenan baru akan dimutasi karyawan terampil dari kantor pegawai kolonial di Air Bangis tangga1 7 Desember 1842 Sibolga secara resmi menjadi keresidenan33. Setelah Sibolga ditetapkan menjadi Ibukota Keresidenan Tapanuli, kota ini berfungsi sebagai kota transit barang perdagangan hampir dari seluruh kawasan Tapanuli untuk dikirim ke kawasan lainnya bahkan keluar negeri. Tidaklah mengherankan jika penduduk dari kawasan lain mengadakan urbanisasi ke kota ini amatlah besar. Dalam waktu singkat saja Sibolga telah menjadi kota pelabuhan yang amat ramai.34

Periode antara tahun 1838-1842 setelah Belanda membuka jalan dari Sibolga hingga Portibi (Tapanuli Selatan) dan pada saat itu Sumatera Barat sudah meningkat menjadi

gouvernement”(Propinsi) dan Tapanuli menjadi salah satu residen nya, dimana dengan

Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 7 Desember 1842 ditetapkan Sibolga menjadi ibukota Residen Tapanuli yang dipimpin oleh seorang afdelinghoofd (kepala daerah). Afdeling dibawah keresidenan Tapanuli : afdeling Singkil, afdeling Barus, afdeling

Mandailing, afdeling Natal, afdeling Angkola, afdeling Nias, dan afdeling Sibolga

35

Wilayah yang termasuk distrik afdeling Sibolga ialah : Sibolga, Tapian Nauli, Badiri, Sarudik, Kolang, Tukka, Sai Ni Huta, dan pulau–pulau kecil di depan teluk Tapian Nauli. Setiap afdeling dipimpin oleh afdelinghoofd dibantu kepala kuria. Disamping itu, setiap

.

33

Hari jadi Sibolga, Pemko Sibolga, 1998, hlm.13

34

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintah Propinsi

Daerah Tingkat I Sumatera Utara, (Medan: Tanpa Penerbit, 1993), hlm.130 35


(30)

distrik di kepalai oleh seorang districhoofd (Demang). Dalam proses selanjutnya, afdeling

dibagi menjadi onder afdeling Sibolga dan onder afdeling Batang Toru. Lantas untuk memudahkan roda pemerintahan, onder afdeling Sibolga dibagi lagi menjadi 5 kuria yaitu Kuria Kolang, Kuria Unte Mungkur, Kuria Tapian Nauli, Kuria Sibolga, Kuria Sarudik36

Perubahan dilakukan lagi pada tahun 1846 karena berbagai hambatan dan kendala dengan garis komando yang tidak flesibel maka perubahan dilakukan dengan memberlakukan

Afdeling Sibolga en Ommelanden, yakni Sibolga dan daerah takluknya: afdeling Sibolga,

afdeling Barus, afdeling Nias, dan afdeling Singkil. Selanjutnya di tahun 1871 Belanda menghapuskan sistem pemerintahan Raja-Raja/Kepala Kuria dan diganti oleh Demang tetapi sebagian masyarakat masih menganggap Raja/Kepala kuria sebagai pemangku adat yang sah.

.

Oleh karena situasi politik yang memaksa akhirnya tahun 1885 (berlangsung hingga 1906), ibukota residen Tapanuli dipindahkan ke Padang Sidempuan. Berdasarkan staatsblad

No. 428 Tahun 1905, dipisahkan pulalah Tapanuli dari Sumatera Barat beralih menjadi dibawah Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Medan yang membagi wilayah Keresidenan Tapanuli dalam 5 afdeling, yaitu : afdeling Natal dan Batang Natal, afdeling

Sibolga dan Batang Toru, afdeling Padangsidimpuan, afdeling Nias, afdeling Tanah Batak.37

Afdeling Sibolga diperintah oleh seorang controleur dengan wilayah meliputi 13 Kakuriaan dan masing-masing dipimpin oleh kepala Kuria. Pada saat itu onder afdeling

Barus masih termasuk afdeling Tanah Batak. Dengan keluarnya Staatsblad No. 93 Tahun 1933 maka sebagian onder afdeling Barus digabung ke afdeling Sibolga dan sebagian lagi masuk afdeling dataran-dataran tinggi Toba

38

36

Erwin J. V Nababan, op.cit, hlm. 19

. Selanjutnya dengan Staatsblad No. 563 Tahun

37

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op.cit, hlm. 131

38


(31)

1937 onder afdeling Barus keseluruhannya dimasukkan ke afdeling Sibolga dimana berdasarkan Staatsblad tersebut keresidenan-keresidenan Tapanuli dibagi atas 4 Afdeling, yaitu: afdeling Sibolga, afdeling Nias, afdeling Sidempuan, afdeling Tanah Batak.

Yang termasuk afdeling Sibolga adalah : onder distrik Sibolga, onder distrik Lumut,

onder sistrik Barus. Sedang Sorkam berada dalam lingkungan onder Distrik Barus.

Kemudian tiap onder Distrik membawahi beberapa negara yang disebut Negeri hoofd. Negeri-negeri ini terdiri dari beberapa kampung yang yang dipimpin seorang kepala yang disebut Kampung hoofd dan juga diangkat sama dengan pengangkatan Negeri hoofd. Tugas Utama Negeri dan Kampung hoofd memelihara keamanan dan ketertiban memungut pajak (Blasting/Rodi) dari penduduk negeri39

Daerah Tingkat II Tapanuli Tengah adalah pencerminan dari pembagian wilayah yang diatur dengan Staatsblad No. 563 tahun 1937 tersebut diatas. Sibolga memang potensial menjadi pelabuhan kapal-kapal dagang baik milik pemerintah Hindia Belanda maupun bangsa Eropa lainnya, atau sebagian dari pembangunan sarana pelayaran nasional. Sedangkan untuk kepentingan pertahanan militer, Sibolga dipandang strategis, khususnya menghalau serangan dari utara

.

40

Pada zaman Belanda sesuai dengan sifat kolonialnya, terdapat rasialisme dalam pendidikan rakyat Indonesia, terutama pendidikan dasarnya. Pemberian pendidikan kepada rakyat Indonesia khususnya di Sibolga oleh Belanda adalah agar dapat membantu mereka sebagai pegawai kecil seperti Juru tulis, klerk atau komis.

.

39

Elisa Tinambunan, Masuknya Zending Protestan di Tapanuli Utara, (Medan: Tanpa Penerbit, 2011),

hlm. 16

40


(32)

Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah Gouverment (orang Batak menyebutnya Sikola Gubernemen) di seluruh keresidenan Tapanuli, tetapi tidak sampai kedesa-desa, hanya di negeri-negeri atau yang dianggap kota. Terdapat empat macam pendidikan dasar pada zaman kolonial, yaitu: ELS, untuk anak-anak Belanda atau anak-anak Indonesia/Cina yang telah dipersamakan kedudukannya dengan Belanda. Kemudian pendidikan HIS, untuk anak-anak Indonesia kelas menengah atas, baik pegawai negeri maupun pengusaha dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan HCS, untuk anak-anak Cina kelas menengah ke atas dengan bahasa Belanda sebagai pengantar. Sekolah Kampung/ Rakyat (volkschool) dengan masa belajar tiga tahun, bagi anak-anak pribumi baik dikota maupun dikampung-kampung. Sekolah kampung lima tahun (vervolgschool) untuk anak-anak pribumi atau untuk orang Melayu dan tidak mempelajari bahasa Belanda. Anak-anak lulusan volkschool dapat menyambung ke vervolgschool (masuk kelas 4). Sekolah Swasta yang terdiri dari HIS Pasrtikular, yang dibangun oleh Abdul Munip41

Sementara itu perekonomian pada masa Kolonial ditunjang oleh monopoli perdagangan disepanjang Pantai Barat Sumatera. Untuk memajukan perdagangan ini pembangunan pelabuhan pun dilakukan. Sehingga perekonomian Sibolga banyak berpusat pada perdagangan. Namun tidak hanya dari perdagangan saja, Belanda juga membuka perkebunan di Sibolga. Banyak rakyat dari Sibolga di pekerjakan sebagai kuli perkebunan.

. Banyak anak-anak Sibolga yang tidak diterima di HIS Pemerintah masuk ke HIS Partikular, Christelyke

HIS, yang dibangun oleh organisasi Agama Protestant, Rooms Katholike ke HIS, yang dibangun oleh organisasi agama Katolik dan Sekolah Cina yang dibangun oleh masyarakat Cina di Sibolga.

41

B.A Simanjuntak, Kemajuan Pendidikan dan Cita Kemerdekaan di Tanah Batak (1861-1940),


(33)

Pembukaan perkebunan ini juga melatarbelakangi kedatangan suku etnik lain ke Sibolga seperti Jawa dan Bugis. Mereka didatangkan sebagai kuli kontrak karena ketiadaan tenaga kerja yang mencukupi di Sibolga. Sehingga sumber penghasilan rakyat dan pendapatan pemerintah adalah dari perkebunan karet rakyat, ordeneming Belanda, perikanan, dan perdagangan antar pulau dipantai barat Sumatera.42

2.3 Sibolga Pada Masa Pendudukan Jepang

Negara-negara Asia Pasifik berada dalam jajahan Inggris, Perancis, Belanda dan Amerika. Oleh karena negara-negara Asia Pasifik merupakan negara jajahan bangsa Eropa, Jepang mulai mengiming-imingkan akan membebaskan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan Barat dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia. Taktik Jepang tersebut sedikit banyak nya telah menggugah hati kaum pergerakan nasional di Indonesia. Di dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah meletuskan suatu perang di Pasifik.43

Untuk mencapai maksudnya Jepang melaksanakan strategi pukul dulu kekuatan musuh yang terkuat sampai babak belur baru mengumumkan perang. Hal ini dikarenakan agar Jepang mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan perang kilat menyapu kekuatan sekutu yang masih tersisa sampai hancur luluh. Pada tanggal 8 Desember 1941 dini hari, pesawat-pesawat terbang Jepang menyerang dan membom Pearl Harbour di Hawaii, yang merupakan pangkalan armada Pasifik Amerika Serikat. Akibat serangan mendadak itu, armada Pasifik Amerika Serikat hancur luluh sampai tidak berdaya sama sekali. 4 jam setelah pesawat Jepang menghancurkan armada Pasifik tersebut, barulah kaisar Jepang Hirohito

42

Wawancara dengan Bisler Simamora, pada tanggal 22 Oktober 2013 di Sibolga

43

Nugroho Notosusanto, Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1984),


(34)

mengumumkan ‘Perang Asia Timur Raya’ atau Dai Toa Senso untuk membebaskan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan Barat dan membangun kemakmuran bersama Asia Timur Raya44

Dengan demikian pecahlah perang dunia ke II di Asia. Ketika itu pada hari yang sama Gubernur Jendral Hindia Belanda mengumumkan perang terhadap kerajaan Jepang, maka secara resmi Indonesia pun telah masuk dalam kanca perang dunia ke II. Oleh sebab itu Belanda bergabung dalam ABCD front (America, British, Cina, Dutch) untuk melawan penyerbuan Jepang.

. Hal ini merupakan titik awal lenyapnya kolonial Barat dari seluruh kawasan Asia Pasifik.

45

Setelah mengumumkan perang, Jepang segera mengirimkan balatentaranya ke Selatan di bawah pimpinan Jendral Terauchi untuk menaklukan Hongkong, Indo China, Thailand, Burma, Malaya, Singapore, Indonesia dan Pilipina. Dalam waktu 3 bulan saja, kekuasaan Inggris di Hongkong, Burma, Malaya, dan Singapore, kekuasaan Perancis di Indo China, kekuasaan Belanda di Indonesia dan kekuasaan Amerika Serikat di Pilipina telah beralih ketangan balatentara Jepang46. Pada tanggal 15 januari 1942 Singapura yang merupakan benteng pertahanan Inggris yang terkuat di Asia Timur bertekuk lutut setelah digempur jendral Yamasita yang terkenal dengan julukan Harimau Malaya47

44

M. Panggabean, Berjuang dan Mengabdi, (Jakarta: PT Sinar Agape Press, 1993), hlm. 35

. Dengan demikian terbuka lah pintu bagi Jepang untuk merebut Indonesia dari tangan Belanda.

45

Sagiman M.D., Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang, (Jakarta: inti Idayu Press,

1985), hlm. 21,22 46

Soebagijo I.N, Sudjono, Mendarat Dengan Pasukan Jepang di Banten, (Jakarta: Gunung Agung,

1983), hlm. 172 47


(35)

Pasukan Jepang yang dikerahkan untuk merebut Indonesia adalah tentara ke tujuh menaklukkan Sumatra, tentara ke-16 menaklukkan Jawa dan Madura, armada Selatan dari Angkatan Laut menaklukkan Borneo Sulawesi, dan Indonesia bagian Timur. Siaran-siaran radio di Jepang tidak henti-hentinya menyiarkan propoganda dengan cara yang simpati menjelaskan bahwa perang Asia Timur Raya itu adalah untuk membebaskan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Tentara Jepang ke-16, terpisah sendiri dari Tentara Jepang di Sumatera Timur membagi Sumatera Timur di dalam 5 pusat : Binjai/ Padang Berahrang, Sungai Karang (Galang), Dolok Merangir, Kisaran, dan Perkebunan Wungfoot.48

Secara resmi Belanda menyerah kepada Jepang melalui Letnan Jendral H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.49 Pada tanggal 12 Maret 1942 kesatuan-kesatuan tentara Jepang telah mendarat di Tanjung Tiram, kemudian dengan menggunakan sepeda yang dirampas dari penduduk, sebagian dari mereka menuju Medan yang dimasuki pada tanggal 13 Maret 194250 dan 2 hari kemudian 15 Maret 1942 pasukan infantri sepeda Jepang yang datang dari Tarutung menyerbu Sibolga tanpa perlawanan. Tentara Jepang telah merebut Sibolga dari tangan Belanda. Belanda tidak mampu mempertahankan dari tangan jajahannya.51

48

Tengku Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, (Medan: Percetakan Perwira, 1991), hlm.108

49

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga

Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 177

50

Tengku, op.cit, hlm.109

51


(36)

Pada umunya, kedatangan Jepang diterima dengan penuh sukacita. Rakyat Indonesia percaya bahwa Jepang datang sebagai pembebas. Kepercayaan ini semakin kuat ketika Jepang mengizinkan bendera nasional merah-putih dikibarkan dan lagu nasional Indonesia Raya dikumandangkan, dua hal penting yang dulu dilarang oleh Belanda. Alasan terpenting pendudukan Jepang justru diterima oleh mayoritas kaum terpelajar Indonesia adalah karena penguasa baru tersebut lebih mampu meningkatkan status sosial ekonomi orang Indonesia, cukup dengan kebijakan tanpa kekerasan52

Setelah 3 bulan berjalan masa kedudukan Jepang di Sibolga, mereka mulai menunjukkan belangnya. Bendera merah putih tidak lagi diperbolehkan untuk dikibarkan. Semua radio milik rakyat dikumpulkan dan di simpan dalam gudang dibawah pengawasan Jepang. Rakyat sibolga tidak diperbolehkan untuk membaca surat kabar yang terbit di Medan. Semua surat kabar itu dihentikan penerbitannya menunggu penerbitan oleh Jepang. Untuk mengambil hati umat Islam, Jepang mengizinkan terbitnya majalah semangat Islam dengan pimpinan redaksi M.Yunan Nasution

.

53

Pada masa penjajahan Jepang ini pemerintahan kedudukan Jepang di Indonesia terbagi atas 3 wilayah yang terpisah satu sama lain, sesuai dengan strategi Jepang sewaktu menyerbu ke Indonesia. Pulau Jawa dan Sumatera berada dibawah kekuasaan angkatan darat

(Rikugun) sedangkan pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia bagian Timur berada dibawah kekuasaan Angkatan Laut

yang juga mengalami pengawasan yang keras.

54

52

George Mcturnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2013),

hlm.144

.

53

Soebagijo, ADINEGORO Pelopor Jurnalistik Indonesia, (Jakarta: CV. Masagung, 1987), hlm 53

54

Sumarmo, Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang


(37)

Panglima tentara ke-25 yang merupakan panglima tertinggi antara Jepang di Sumatera di sebut Saiko Sikikan. Untuk melanjutkan pemerintahan dibentuk kantor pemerintahan militer yang disebut gunseikanbu yang dikepalai oleh gunseikan dan berkedudukan di Bukit Tinggi serta bertanggung jawab pada saikosikikan.55 Gunsaikanbu di Bukit Tinggi membawahi 10 gunseiibu di Sumatera atau bekas keresidenan zaman Belanda yang disebut

syu kepala gunseiibu disebut syu chokan. Syu yang ada di Sumatra adalah : Aceh, Sumatera Timur, Tapanauli, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Palembang, Bangke dan Biliton, Bengkulu, Lampung. Jabatan syu chokan sampai berakhirnya kekuasaan Jepang tetap dipegang oleh pejabat Jepang. Untuk menarik kepercayaan Indonesia terhadap kejujuran Jepang, sejak tahun 1944 Jepang mulai mengangkat orang Indonesia sebagai fuku syu chokan atau sama dengan wakil residen. Dr. Ferdinand L Tobing yang terpilih sebagai fuku syu chokan untuk Tapanuli56

Kantor gunseibu semula berkedudukan di Sibolga. Namun Sibolga dianggap kurang aman karena sering mendapat serangan tembakan dari kapal selam Sekutu sehingga dipindahkan ke Tarutung yang terletak 66 Km dari Sibolga arah ke pedalaman. Pada masa kependudukan Jepang struktur dan pembagian wilayah pemerintahan Tapanuli hampir sama dengan sistem pemerintahan dan pembagian wilayah pada masa Hindia Belanda. Daerah syu

(keresidenan) terbagai atas daerah ken (setara dengan kabupaten) dan shi jika ada , seorang dokter dan cendikiawan masyarakat Sibolga yang dikenal sebagai seorang dokter berjiwa sosial.

55

M. Panggabean, op.cit, hlm. 41

56


(38)

Kotapraja/Staatsgemeente57

Pada jaman Jepang khususnya sistem pemerintahan keresidenan Tapanuli lebih dititikberatkan pada strategi pertahanan misalnya heiho, gyugun, kaygon heiho dan badan-badan lainnya. Untuk melaksanakan pemerintahan, Sibolga shico dibantu oleh seorang

Guncho (dulu setingkat dengan Wedana) dan dua orang fuku guncho (kira-kira sama dengan camat sekarang)

. Oleh sebab itu kota Sibolga disebut shi dan dikepalai oleh seorang shico. Yang menjadi Sibolga shico adalah S. Takeuchi.

58

Untuk Kuria-kuria lainnya yang termasuk Sibolga Shicho, Guncho Sibolga dibantu oleh Fuku Guncho, yaitu :

. Guncho Sibolga membawahi pelaksana pemerintahan Sibolga dan

sekitarnya meliputi: Kotapraja/gemeente Sibolga yang terdiri dari: kepala-kepala Lingkungan I, II, III (dahulu disebut wijkmeester), kapitan Cina, yang mengurus masyarakat Cina perantauan, kepala-kepala kampung Aek Habil, Sibolga Julu dan Huta Tonga-tonga. Kepala kuria disekitar Sibolga terdiri kuria Sibolga, kuria Poriaha, kuria Sibuluan, kuria kalangan, kuria Lopian.

- Fuku Guncho Barus, yang membawahi kepala-kepala kuria yang berada sekitar Barus

- Fuku Guncho Lumut, yang membawahi kepala-kepala kuria yang berada sekitar lumut59

Dalam rangka mengambil hati rakyat Indonesia sejak tahun 1944 di setiap syu atau keresidenan dibentuk suatu badan berupa dewan penasihat tingkat syu, yang disebut syu

57

Sagimun M.D, Ibid

58

Mona Manalu, Sejarah Kota Sibolga Dan Perkembangannya Setelah Kemerdekaan (1945-2011),

(Medan: Tanpa Penerbit, 2011), hlm. 4

59


(39)

sangikai. Hal ini juga dilatarbelakangi karena jumlah militer Jepang yang sedikit. Mereka terpaksa mengambil orang Indonesia untuk mengisi lowongan hampir semua jabatan tingkat menengah-atas dalam bidang administrasi dan teknis yang dulu diduduki oleh orang Belanda atau Indo-Eropa. Jadi, hampir semua personel Indonesia dalam bidang pemerintahan mendapat kenaikan pangkat satu, bahkan kerap mencapai dua atau tiga tingkat dalam hierarki tempat mereka bekerja60

Para anggota dewan syu ini adalah pemuka-pemuka pemerintahan, masyarakat, agama dan cendekiawan. Walaupun namanya dewan penasihat, tentu saja nasihatnya harus sesuai dengan keinginan pemerintah Jepang. Disinilah anggota-anggota dewan harus pandai membungkus inti dari nasihatnya bagi kepentingan rakyat, agar tidak dicurigai oleh pihak Jepang yang terpilih sebagai ketua Tapanauli syu sangikai adalah Dr.Ferdinan L Tobing menggantikan ketua lamanya Mangaraja parlindungan, yang kemudian terpilih sebagai Fuku Syu Chokan

.

61

Kemudian kira-kira sebelum perang dunia berakhir di Sumatera di bentuk pula Sumatora Chuo Sangi In yaitu dewan penasihat seluruh Sumatera dan berkedudukan di Bukit Tinggi.

.

62

Ketua Sumatora Chuo Sangi In ini adalah Moh.Safeii dari Sumatera Barat, seorang tokoh yang terkenal dengan pendidikan I.N.S di Kayu Tanam (dekat Padang). Yang menjadi sekretaris adalah Adinegoro, seorang tokoh pers dari Medan.

Anggota-anggota dewan ini antara lain : Teuku Sya’ Arief dari Aceh, Mangaradja Suongkupon dan HAMKA dari Sumatra Timur, Dr.Ferdinan L Tobing dari Tapanauli, Moh. Syafeii dari Sumatra Barat, Dr.A.K Gani dari Palembang, Mr.Abbas dari Lampung.

60

George Mcturnan Kahin, op.cit, hlm.145

61

Hamid Panggabean, op.cit, hlm 83

62


(40)

Untuk bidang pendidikan, sekolah-sekolah kolonial Belanda terdahulu dilebur menjadi satu jenis saja yaitu Sekolah Rakyat 6 tahun, yang disebut dalam bahasa Jepang

Zinzyo Koto Syogakko’ milik pemerintah. Anak-anak sekolah yang sebelumnya

terkotak-kotak menurut ras dan status sosial orang tuanya pada jaman Jepang harus berbaur sama tingginya karena Jepang tidak membeda-bedakan status sosial63

Selama pendudukan Jepang pendidikan bangsa Indonesia tidak begitu diperdulikan oleh pemerintah Jepang. Hal ini dilandasi oleh pemerintah Jepang hanya membutuhkan rakyat Sibolga untuk kepentingan perang. Walaupun begitu, pendidikan pada masa Jepang dilaksanakan tanpa diskriminasi golongan. Susunan sekolah disederhanakan yaitu Sekolah Rakyat, Sekolah Lanjutan (SMP dan SMT), Sekolah Guru Laki-laki (SGL), Sekolah Guru Putri (SGP), Sekolah Teknik, Sekolah Teknik Tinggi, Sekolah Kedokteran Tinggi, sedangkan penyelenggaraan sekolah swasta dilarang. Pemerintah Jepang juga mengharuskan pemakaian bahasa Indonesia di semua tingkat sekolah dan bahasa Jepang.

.

64

Para pelajar di Indonesia termasuk di Sibolga pada masa Jepang lebih banyak mempelajari pelajari militer seperti berbaris (kyoren), senam (taiso), dan gotong royong ala Jepang (kinrohosi) membantu para Romusha atau mencangkul halaman sekolah untuk menanam pohon jarak yang digunakan dalam perlengkapan perang.

65

63

Sumarmo, op.cit, hlm. 13

Pemuda-pemuda Indonesia secara besar-besaran diperkenalkan dengan peperangan. Beribu-ribu pemuda

64

Suradi, dkk, Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1986), hlm.16

65


(41)

dilatih menjadi militer. Semangat berani mati (jibaku) ditanamkan dikalangan para pemuda. Banyak juga dari pemuda-pemuda ini merupakan hasil penculikan oleh Jepang.66

Keadaan perekonomian Sibolga setelah pendudukan Jepang lambat laun mulai merosot. Pada tahun pertama pendudukan Jepang persediaan makanan dan barang masih memadai. Uang pemerintah Hindia Belanda mulai diganti dengan uang yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Jepang mulai membentuk perusahaan perkebunan yang disebut noyen

renggo kai yang mengurus perkebunan dan menjual hasilnya67. Karena Sibolga bukan

merupakan daerah pertanian melainkan daerah perkebunan terutama karet, maka yang pertama merasakan akibat pecahnya perang adalah pemilik kebun dan pekerjanya. Karet tidak dapat lagi diekspor. Sibolga yang bukan merupakan daerah pertanian harus memenuhi kebutuhan berasnya dari daerah-daerah tetangganya Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Tetapi karena masing-masing daerah menjaga persediaan makanan daerahnya, maka Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan yang melarang perdagangan dan lalu lintas beras antar daerah.68

Oleh Jepang rakyat Sibolga yang bertani dianjurkan untuk meningkatkan produksi berasnya. Tetapi pada musim panen para petani dipaksa menjualnya kepada pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah. Demikian pula pada petani yang bertanam sayur-sayuran. Belakangan perdagangan ikan di Sibolga juga dimonopoli oleh pemerintah Jepang. Jepang mendirikan koperasi kumiai, semua hasil penangkapan ikan tidak boleh dijual langsung kepada rakyat tetapi harus melalui kumiai. Dengan demikian lebih mudah bagi

66

Marnixius Hutasoit, Percikan Revolusi di Sumatera, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1986), hlm.6

67

Tengku Luckman Sinar, op.cit, hlm. 112

68


(42)

Jepang untuk mengontrol ikan yang masuk dan mereka dapat memilih terlebih dahulu ikan yang masuk dan sisanya dijual kepada rakyat. Untuk mendapatkan ikan sisanya ini rakyat harus berdesak-desakan karena takut tidak kebagian69

Dalam rangka menghadapi serangan balik terhadap Jepang maka bala tentara Jepang memperkuat pertahanannya dengan membangun gua pertahanan digunung-gunung sepanjang pantai. Jepang juga memperkuat infrastruktur pertahanannya dengan membangun jalur-jalur pertahanan, pangkalan dan dok kapal serta meningkatkan produksi pertambangan bahan-bahan vital. Proyek tersebut memerlukan banyak tenaga buruh kasar. Untuk memenuhi tenaga buruh kasar ini Pemerintah Jepang menarik para buruh dari perkebunan yang ada disekitar Sibolga dan Sumatera Timur. Karena tidak mencukupi kemudian pihak Jepang mengerahkan dan menangkapi pemuda-pemuda dan bapak-bapak yang masih kuat secara fisik. Mereka dijadikan pekerja Romusha guna mencapai rencana pemerintah Jepang

.

70

Masyarakat Sibolga juga diharuskan mengerjakan dua proyek besar yaitu pembangunan pangkalan pesawat ampihibi dipelabuhan Sibolga lama dan pembangunan dok kapal di Pulau Sarudik Sambas. Para pekerja Romusha ini tidak diberlakukan secara layak. Mereka tidak mendapatkan pakaian selain apa yang melekat ditubuhnya. Setiap hari mereka bekerja selama hampir 24 jam. Dalam waktu 3-4 bulan saja banyak dari para Romusha ini menjadi kurus kering. Umumnya mereka terkena borok ulcus tropicum akibat kekurangan protein yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengana makanan yang cukup.

.

71

69

Wawancara denganLeo Sinaga pada tanggal 17 Oktober 2013 di Sibolga

Banyak dari

70

Wawancara dengan Rosita Silalahi pada tanggal 23 Oktober 2013 di Sibolga 71

Sosroatmodjo, Soemarno, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm.


(43)

para Romusha ini harus meninggal tanpa mendapat penguburan yang layak dari Pemerintah Jepang.

2.4 Sibolga Pada Masa Kemerdekaan

Saat Jepang sudah mulai melemah dalam perang Pasifik dan tidak mungkin menang, mereka mulai mengambil hati rakyat Indonesia dengan janji-janji akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Beberapa tokoh masyarakat Indonesia mulai diikut sertakan dalam pemerintah daerah. Disetiap keresidenan dibentuk semacam dewan penasehat yang di sebut syu sangi kai dan Dr. Ferdinand Tobing diberikan keperayaan sebagai ketuanya, menggantikan ketua lama, Mangaraja Parlindungan. Dengan demikian mulailah beliau terjun dalam bidang pemerintahan yang lebih luas dalam bidang kedokteran72

Pada tahun 1944 Dr.tobing di angkat sebagai Wakil Presiden (fuku syuchikan)

sedangkan jabatan presiden (chokan) masih di tempati oleh pejabat Jepang .

73

Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno Hatta, panitia kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya tanggal 22 Agustus 1945 telah menetapkan Mr. Teuku M. Hasan sebagai gubernur Sumatera Utara, yang terdiri dari 10 keresidenan dan salah satu diantaranya adalah Tapanuli. Dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Medan, Mr. . Pada waktu itu kapal sekutu Inggris sudah sering menembaki tangki-tangki minyak di Sibolga. Oleh sebab Sibolga sebagai pusat pemerintahan keresidenan dianggap sudah tidak aman lagi mana di pindahkan ke Tarutung (66 km dari sibolga).

72

Zaidar Jalal, Seri Pahlawan DR. F. L. Tobing, (Jakarta:Penerbit Mutiara, 1978), hlm 5

73


(44)

Teuku M. Hasan mampir ke Tarutung untuk menyampaikan berita mengenai Proklamasi kepada Dr.Tobing. Kemudian sebagai pemimpin besar bangsa Indonesia untuk Sumatera Dr. Tobing dianjurkan untuk membentuk Komite Nasional Keresidenan Tapanuli74

Untuk mengisi kekosongan pada peralihan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia Dr. Tobing bersama sama tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat Tapanuli di Tarutung, yaitu Sutan Naga, Abdul Hakim, Dr. Luhut Lumban Tobing, Mr. Rufinus Lumban Tobing, dan Mr A.H Silitonga mendirikan Badan Keselamatan Rakyat (BKR). Tujuan tertulisnya adalah bergerak di bidang ekonomi dan sosial tetapi tersirat adalah untuk menyiapkan diri merealisasikan proklamasi di Tapanuli, sambil menunggu komando dari gubernur Sumatera Utara. Anggota-anggota dari BKR itu sebagian besar terdiri dari gyugun,

heiho beserta pemuda-pemuda yang sudah pernah mendapat latihan dari Jepang

. Tetapi anjuran itu belum dapat di laksanakan beliau, karna adanya pertimbangan pertimbangan Politis, Yuridis dan keamanan di Tapanuli .

75

Situasi Indonesia mulai panas ketika pada tanggal 14 September 1945 para anggota BKR mengadakan demokrasi ke kantor syuchokan (residen Jepang) menuntut agar Jepang menyerahkan kekuasaan pemerintahan pada bangsa Indonesia. Pada mulanya pihak jepang bertahan tidak mau memenuhi tuntuntan BKR tersebut sehingga hampir saja terjadi pertumpahan darah. Untunglah Dr. Tobing tampil untuk mengendalikan semangat pemuda yang berapi api. Dipihak lain beliaupun mampu meyakinkan pihak Jepang bahwa jalan terbaik adalah menyerahkan pemerintahan kepada pihak Indonesia dari pada ke pihak

.

74

Edisaputra, Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Bina Satria’45, 1987), hlm.

123, 124

75


(45)

Sekutu76

Sembilan belas hari kemudian yaitu tanggal 3 Oktober 1945 Dr. Tobing menerima surat keputusan Gubernur Sumatera Utara mengenai pengangkatannya sebagai Residen Tapanuli. Setelah menerima pengangkatannya sebagai residen, beliau bermusyawarah dengan para wakil pimpinan daerah luhat (sama dengan kabupaten sekarang) se-Tapanuli. Di putuskan untuk mengambil alih pemerintahan di seluruh Tapanuli dari tangan Jepang. Peralihan kekuasaan di Tapanuli berjalan dengan mulus, baik di Tarutung maupun di Sibolga, Padang Sidempuan dan Gunung Sitoli (Nias)

. Akhirnya pihak Jepang mau menyerahkan pemerintahan ke pihak Indonesia melalui fuku syu hokan Dr.Tobing tanpa pertumpahan darah.

77

Untuk memperlancar roda pemerintah daerah Tapanuli pada Mei 1946 ibukota keresidenan di pindahkan dari Tarutung kembali ke Sibolga, mengingat letaknya yang sentral bagi luhat/kabupaten lainnya. Di samping itu Sibolga adalah kota pelabuhan yang merupakan pintu gerbang keluar masuknya barang antar daerah dan luar negeri. Melalui pelabuhan Sibolga diadakan hubungan perdagangan dengan Singapura. Walaupun harus menembus blokade Belanda. Perdagangan dengan Singapura itu di laksanakan dengan sistem barter. Sibolga mengekspor karet dan sebagai imbalan di impor barang-barang konsumsi yang di perlukan rakyat. Rakyat sangat merasakan manfaat ekspor impor itu karena karet sebagai hasil utama Tapanuli sudah dapat di jual kembali. Untuk membantu kelancaran perekonomian di Tapanuli Dr. Tobing berpendapat perlu adanya paling kurang sebuah bank. Maka didirikanlah bank bernama “Bank Nasional”, yang di kemudian hari di kenal sebagai

.

76

Edisaputra, op.cit, hlm 124

77

F.Zebua, Kota Gunung Sitoli Sejarah Lahirnya dan Berkembangnya, Gunung Sitoli, (Medan: Tanpa


(46)

BNI 1946. Juga dirasakan perlu menyampaikan pengumuman-pengumuman tentang kebijaksanaan pemerintah dan berita berita penting kepada rakyat di seluruh daerah. Oleh sebab itu Dr. Tobing mengusahakan diterbitkannya suatu surat kabar harian bernama “Soeara Nasional”78

Pada saat pemerintahan pusat dan propinsi semakin terjepit akibat agresi Belanda I tahun 1947, pemerintah keresidenan mendapat wewenang untuk mencetak uang sendiri dan di beri nama Oeang Republik Indonesian Tapanoeli di singkat ORITA

.

79

Setelah penyerahan kedaulatan dan terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat atau RIS, Dr. Ferdinand Tobing diangkat sebagai Gubernur Propinsi Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan, merupakan bagian dari Republik Indonesia Jogjakarta dengan Sibolga sebagai ibukotanya. Jabatan itu di pegang beliau sampai Negara Republik Indonesia Serikat bubar dan di ganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam negara kesatuan itu Propinsi Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan, Propinsi Aceh, dan Langkat serta Tanah Karo dan negara Sumatera Timur di lebur menjadi satu propinsi yaitu propinsi Sumatera Utara selanjutnya Dr. Tobing diangkat sebagai Gubernur diperbantukan pada kementrian dalam negeri di Jakarta

. Uang itu di cetak di Sitahuis, sebuah kampung di pinggir jalan Sibolga-Tarutung.

80

Setelah Dr. Tobing diangkat menjadi gubernur diperbantukan, beliau mulai mendirikan studio Rakyat Republik Indonesia di Sibolga. Kemudian atas usul Dr. Tobing yng didukung oleh menteri-menteri lain di bangunlah Universitas Tapanuli di beberapa tempat

.

78

Hamid Panggabean, op.cit, hlm.157

79

. Edisaputra, Ibid, hlm.130

80

G.A Manullang, Perjuangan dan Riwayat Hidup DR. Ferdinand Lumban Tobing, (Jakarta: Tanpa


(47)

sesuai dengan karakter daerahnya seperti Fakultas Ekonomi di Sibolga, Fakultas Kedokteran di Tarutung, dan Fakultas Pertanian/Kehewanan di Padang Sidempuan. Namun universitas itu tidak dapat bertahan lama karna kekurangan tenaga pengajar dan biaya operasional pemerintah, kemudian untuk meningkatkan perekonomian di Sibolga didirikanlah Sibolga Line dengan modal satu kapal ukuran 900 DWT berlayar menghubungkan Jakarta-Padang-Sibolga pulang pergi. Dari Jakarta membawa barang-barang bahan makanan, bahan bangunan, berbagai peralatan zat asam dalam tabung serta penompang tujuan Padang dan Sibolga. Dari Padang kapal tersebut membawa tambahan muatan semen padang untuk Sibolga. Kemudian dari Sibolga sebagian barang tersebut dikirimkan dengan kapal-kapal kecil sebagai feeder line keGunung Sitoli, pulau Telo, Sinabang, Singkil81

Pada tahun 1947, A.M Djalaluddin diangkat menjadi kepala daerah di Sibolga di waktu jabatan beliau inilah Sibolga di bentuk menjadi daerah otonom tingkat B sesuai dengan surat keputusan Residen Tapanuli N.R.I (Negara Republik Indonesia) tanggal 29 November 1946 No. 999, dan selaku realisasi dari surat keputusan Gubernur Sumatera Utara N.R.I tanggal 17 Mei 1946 No.103, dan kota otonom Sibolga itu dipimpin oleh seorang Walikota yang dirangkapkan kepada Bupati Tapanuli Tengah. Luas wilayah kota diatur oleh Surat Keputusan Residen Tapanuli No.999, tanggal 19 November 1946

. Dengan demikian distribusi barang yang dibutuhkan Tapanuli Tengah dan pulai pulau di pantai Barat berjalan dengan lancar.

82

81

GA.Manullang, Ibid

, yakni meliputi wilayah Sibolga On Omme Landen dikurangi Sarudik, Sibuluansipansiaporas, Pandan, Kalangan, Mela, Mela Dolok, dan Tapian na Uli. Sementara itu, status keresidenan Tapanuli lainnya

82


(48)

dipecah menjadi beberapa wilayah kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Nias.

Terhitung tanggal 24 November 1956 sejak berlakunya undang–undang darurat No. 8 tahun 1956, yang mengatur pembentukan daerah otonom kota-kota besar dalam lingkungan daerah propinsi Sumatera Utara, dimana dalam pasal 1 undang–undang darurat No.8 tahun 1956 itu ditetapkan pembentukan 4 kota besar yaitu : Medan, Pematang Siantar, Sibolga dan Kutaraja, menurut undang-undang darurat ini Sibolga menjadi kota besar, dengan batas wilayah sesuai dengan keputusan residen Tapanuli tanggal 29 November 1946 No.999.83

Setelah keluarnya surat keputusan menteri dalam negeri tanggal 14 Desember 1957 No.u.p15/2/1 diangkatlah D.E Sutan Radja Bungaran menjadi walikota Sibolga,dan sejak 1 Januari 1958 berakhir pula perangkapan jabatan Walikota Sibolga oleh Bupati kabupaten Tapanuli Tengah dan secara administratif menjadi daerah kotamadya di luar Kabupaten Tapanuli Tengah.

84

Pemerintahan ini berlaku hingga 1970. Masyarakat Sibolga banyak yang menjadi pegawai pada masa itu.

83

Prof. M.Solly Lubis, op.cit, hlm. 111

84


(49)

2.4 Mata pencaharian masyarakat 1970-2000

Sumber pendapatan masyarakat dan perekonomian pada tahun 1970 daerah Sibolga umumnya bersumber dari kegiatan sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, industri, hasil hutan, perdagangan. Sedangkan sektor lainnya seperti jasa buruh angkutan dan bangunan relatif sedikit jumlahnya.85

Pada periode 1970an sektor pertanian tanaman pangan yang di usahakan di wilayah Sibolga terdiri dari pertanian lahan (sawah,tanah kering/tanaman holtikultura) dan tanaman buah-buahan. Masyarakat banyak menanam padi untuk memenuhi kebutuhan akan pangan Sibolga namun tidak hanya itu saja produksi tanaman pangan lainnya seperti jagung, umbi-umbian juga di tanam. Produksi yang menonjol di luar padi adalah ubi kayu atau singkong. Sementara itu masyarakat juga menanam jenis holti kultura seperti kacang panjang, ketimun, terong, cabai, bayam, dan kangkung86

Masyarakat Sibolga banyak bergantung pada perkebunan sebagai mata percahariannya. Jenis komoditi perkebunan yang diusahakan penduduk Sibolga terdiri dari tanaman karet, kelapa, cengkeh, kopi, nilam, pala, kulit manis, dan coklat. Hasil perkebunan ini di jual rakyat dan sebagian di ekspor ke daerah lain seperti Medan dan Rantau Parapat.

. Pada masa pendudukan Belanda, Pemerintah kolonial mendirikan perkebunan di wilayah Sibolga. Banyak dari masyarakat Sibolga di pekerjakan sebagai kuli perkebunan. Setelah kemerdekaan sampai pada tahun 1970 perkebunan masih merupakan sumber pendapatan masyarakat Sibolga. Hal ini terlihat dari banyaknya bermunculan perkebunan rakyat.

85

Wawancara dengan Efendi Silalahi, 19 Oktober 2013 di Sibolga 86


(50)

Selain itu masyarakat Sibolga banyak juga bermata pecaharian sebagai peternak. Potensi peternakan yang menonjol di Sibolga terdiri dari sapi, kerbau, kambing, babi, dan ayam ras. Kegiatan peternakan ini diusahakan dan produksinya masih terbatas untuk kebutuhan setempat. Selain itu banyak juga msyarakat Sibolga memilih bermata pencaharian sebagai pedagang, usaha masyarakat Sibolga ini terbatas pada usaha toko eceran, perdagangan lokal maupun antar kota. Namun semakin lama perdagangan ini semakin meningkat. Masyarakat Sibolga banyak yang mengekspor karet, kemenyan dan rotan87

Pada awal 1970an masyarakat Sibolga sangat mengandalkan potensi kekayaan bahari,

banyak dari masyarakat yang bekerja sebagai nelayan menetap di pesisir pantai. Para nelayan

ini biasanya menangkap jenis ikan tertentu seperti Tuna untuk di ekspor ke Singapura, Malaysia dan Australia. Mereka memilih untuk menetap dipesisir pantai agar lebih gampang untuk kelaut

.

88

. Biasanya para nelayan ini harus merentangkan jala mereka atau berangkat melaut dipagi hari ketika matahari belum terbit. Karena itulah mereka memilih untuk tinggal lebih dekat dengan pesisir pantai. Bahkan kegiatan pengeringan ikan mulai dilakukan mereka pada tahun 1960-an sampai sekarang89

87

Wawancara dengan Tiurma Tampunolon, 24 Oktober 2013 di Sibolga

. Ikan-ikan kering ini juga dieskpor kedaerah lain seperti

Medan, Balige, dan Jakarta. Dunia kelautan memang mewarnai corak kehidupan masyarakat

dan kebudayaan dikota Sibolga. Dapat kita lihat dari tata cara berpakaian, ekonomi, dan mata pencaharian yang digeluti sehar-hari yaitu seperti yang dijelaskan diatas sebagai nelayan. Hal ini sangat jelas menggambarkan keterkaitan masyarakatnya dengan dunia laut. Masyarakat Sibolga juga mengekspor hasil laut dan hasil bumi.

88

Mona Manalu, op.cit, hlm.65

89


(51)

Mata pencarian sebagian kecil masyarakat Sibolga pada tahun 1970 bergerak dibidang pemerintahan, kesehatan biasanya meliputi para wanita, dan guru. Mereka yang bekerja dipemerintahan biasanya mendapat pendidikan pada jaman Belanda dan Jepang yang memiliki keahlian khusus.

Pada tahun 1980-an, sumber penghasilan masyarakat Sibolga masih tetap sama dengan tahun 1970-an. Masyarakat Sibolga masih bekerja sebagai nelayan, pedagang, petani dan masih mengekspor hasil laut dan hasil bumi sebagai salah satu penghasilan mereka. Namun pada tahun 1980-an ini sudah terlihat gejala penurunan ekspor untuk skala global. Salah satu indikasi penurunan adalah semakin sepi dari pengunjung atau pengguna jasa transit, juga pemakaian pukat harimau dan bahan peledak mulai dilarang oleh pemerintah. Selain itu hambatan lain dalam pemancingan ikan berasal dari alam laut. Para nelayan sering kali terkecoh karena diatas permukaan air selintas tenang, tetapi arus bawah gumpalan-gumpalan ombak sering kali datang tiba-tiba dan membahayakan para nelayan ini90

Para nelayan tidak mendapat hasil yang cukup banyak untuk diekspor. Karena untuk memenuhi kebutuhan akan ikan di Kota Sibolga pun hanya sebatas mencukupi. Nelayan tidak lagi menjual ikan hasil tangkapan mereka untuk diekspor ke Singapura, Malaysia dan Australia. Hal ini juga berimbas kepada pedagang ikan kering. Pemasok ikan mereka mulai membatasi kuota ikan yang akan dibeli. Sehingga ikan kering untuk dieskpor jumlahnya menurun bahkan terkadang para pedagang ikan kering ini hanya menjual ikan mereka sekitar Sibolga saja.

.

90


(52)

Ditahun 1980-an ini masyarakat Sibolga masih enggan untuk bekerja di instansi pemerintahan. Hal ini dikarenakan kecilnya gaji yang mereka terima. Masyarakat Sibolga merasa bekerja di instansi pemerintahan tidak dapat mensejahterakan hidup keluarga sehingga hidup hanya pas-pasan91

Menurut data statistik tahun 1990-an presentasi pekerja nelayan di seluruh kawasan Sibolga menurun drastis hanya 6,46% sementara itu petani sebanyak 78%. Hal ini terlihat sangat ganjil mengingat Sibolga terkenal kaya akan hasil lautnya. Padahal lahan pertanian termasuk areal yang tidak terlalu luas. Karena itu hutan ditebas untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan atau membuka areal persawahan di rawa yang langsung berbatasan dengan hutan bakau dan Pantai.

. Pendapatan sebagai nelayan dan petani jauh lebih besar dibandingkans eorang pegawai negeri.

Pekerjaan nelayan hanya selisih sedikit dengan buruh. Fenomena tahun-tahun berikutnya sekitar tahun 1991-1998 justru orang-orang dari Tapanuli Utara yang sering disebut sebagai orang Julu (pegunungan) malah banyak menjadi nelayan. Mereka menjadi pekerja utama sebagai perpanjangan tangan para cukong92 dan anak buah kapal penarik jala. Sedangkan masyarakat Sibolga yang masih bekerja sebagai nelayan paling mengoperasikan kapal-kapal pukat cincin yang umumnya milik cukong-cukong dari Tanjung balai93

Padahal perairan Sibolga kaya akan hasil laut, bahkan merupakan salah satu pelabuhan ikan terpenting dibagian barat Pantai Sumatera. Komposisi kerancuan pembagian bidang lapangan pekerjaan dapat dilihat sebagai berikut : Petani 78%, Nelayan 6,46%,

-.

91

Wawancara dengan Dandung Tanjung, 18 Oktober 2013 di Sibolga

92

Cukong adalah pengusaha pemilik perusahaan dan modal besar

93


(53)

Pedagang 5,64%, Pegawai Negeri dan ABRI 2,24%, Buruh 5,90%, dan lain-lain 1,28%.94 Peralihan masyarakat Sibolga dari nelayan menjadi petani diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu faktor keselamatan yang lebih terjamin dibandingkan harus menjadi nelayan yang diterpa gelombang dan ombak, faktor ekonomi yaitu pendapatan yang dihasilkan tidak menentu jika saat terang bulan dan badai maka para nelayan ini tidak melaut guna menghindari resiko yang tidak diinginkan, dan terakhir menjadi seorang petani terlihat lebih santai dan bisa berkumpul bersama keluarga untuk menggarap lahan dan memanen. Melihat hal ini, pemerintah telah mengadakan bantuan-bantuan kapal dan alat tangkap ikan yang lebih modern, namun hasilnya tidak mengalami kemajuan. Masyarakat Sibolga masih enggan untuk melaut dan lebih memilih menjadi petani95

Faktor lain yang membuat masyarakat tidak lagi memilih menjadi nelayan adalah adanya pandangan dari masyarakat yang menganggap bahwa nelayan merupakan orang-orang yang putus sekolah atau memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Oleh karena pandangan masyarakat ini, banyak para nelayan memilih untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, agar tidak memilih pekerjaan sebagai nelayan. Pekerjaan nelayan hanya akan dilirik oleh masyakarat yang tidak memiliki skill dibidang lain. Akibatnya semakin sedikit masyarakat yang melirik pekerjaan sebagai nelayan

.

96

Memasuki tahun 2000 masyarakat Sibolga mulai melirik instansi Pemerintahan. Masyarakat Sibolga mulai berprofesi sebagai abdi Negara. Bidang pekerjaan ini dilirik karena masyarakat Sibolga menganggap pekerjaan ini memiliki jaminan masa tua.

.

94

Sumber: bpssibolga:http//sumut.bps.go.id/sibolga diunggah pada tanggal 23 Oktober 2013 95

Wawancara dengan Dangdung Tanjung, 18 Oktober 2013 di Sibolga

96


(54)

Masyarakat yang bekerja pada pemerintah akan mendapat pensiun dimasa tuanya nanti. Para generasi muda dipersiapkan untuk menjadi abdi negara. Begitu juga dengan instansi kemiliteran dan kepolisian. Masyarakat Sibolga mulai menganggap pekerjaan nelayan memiliki hasil yang tidak menetap. Begitu juga dengan pertanian, buruh dan pedagang. Pekerja nelayan semakin menurun karena pekerjaan ini hanya dilakoni oleh masyarakat yang kurang mampu.97 Perkembangan selanjutnya, banyak dari para petani menjual sawah mereka untuk menjadikan anaknya sebagai Pegawai Negeri, TNI atau Polisi.

97


(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Bisler Simamora

Umur : 41 tahun

Pekerjaan : Kepala Seksi Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Tapanuli Tengah 2. Nama : Leo Sinaga

Umur : -

Pekerjaan : Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Sibolga 3. Nama : Rosita Silalahi

Umur : 51 tahun

Pekerjaan : Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Tapanuli Tengah 4. Nama : Suroto

Umur : -

Pekerjaan : Kepala Seksi Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Sibolga 5. Nama : Tiurma Tampunolon

Umur : 58 tahun

Pekerjaan : Pedagang Ikan Pasar Sibolga 6. Nama : Ani Hutagalung

Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Pedagang Pasar Sibolga 7. Nama : Mangantar Rupa Situmorang

Umur : 68 Tahun Pekerjaan : Tekong


(2)

8. Nama : Dandung Tanjung

Umur : -

Pekerjaan : Nelayan Kampung Pasarbelakang, Sibolga 9. Nama : Bariton Manalu

Umur : 47 tahun Pekerjaan : Tekong 10.Nama : Tepa Hutabarat

Umur : 29 tahun

Pekerjaan : Nelayan Kampung Pasarbelakang, Sibolga 11.Nama : Timo Manalu

Umur : 42 tahun

Pekerjaan : Pedagang di Kampung Pasarbelakang Sibolga 12.Nama : Ibnu Tamil Hasibuan

Umur : 41 tahun

Pekerjaan : Lurah desa Pasarbelakang 13.Nama : Manguji Nababan

Umur : -

Pekerjaan : Dosen Universitas HKBP Nomensen 14.Nama : Zulkifli

Umur : 57 tahun

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat desa Aek Habil 15.Nama : L. Simbolon


(3)

Pekerjaan : Tokoh masyarakat desa Parambunan 16.Nama : Sabirin Tanjung

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Barus 17.Nama : Syamsir Tanjung

Umur : -

Pekerjaan : Penilik Kebudayaan Desa Beringin 18.Nama : Efendy Fuad

Umur : -

Pekerjaan : Sekretaris Desa Beringin 19.Nama : Ilham Hamid

Umur : -

Pekerjaan : Tokoh Majelis Ulama Islam, Sibolga 20.Nama : Rusdin Tanjung

Umur : -

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Sarudik 21.Nama : Sutrasno Pasaribu

Umur : -

Pekerjaan : Lurah Sarudik 22.Nama : Radjoki Nainggolan

Umur : -


(4)

23.Nama : Abdul Rahcmi Pasaribu

Umur : - Pekerjaan : PNS

24.Nama : Bernad Hutagaol

Umur : 67 tahun

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Desa Kolang 25.Nama : Saut Dalimunthe

Umur : - Pekerjaan : PNS

26.Nama : Madison Siregar

Umur : 57 tahun Pekerjaan : PNS

27.Nama : Dorlan Situmorang

Umur : 53 tahun Pekerjaan : PNS

28.Nama : Barmen Manalu

Umur : 54 tahun Pekerjaan : Wiraswasta 29.Nama : Romaito Sitanggang

Umur : 63 tahun


(5)

LAMPIRAN

Sumber : http//sumut.bps.go.id/sibolga


(6)

Sibolga Pada Zaman Belanda