Gangguan Perkembangan Testis Dan Penurunan Kadar Testosteron Pada Hewan Coba Akibat Paparan Monosodium Glutamate (MSG) Yang Berlebihan

(1)

GANGGUAN PERKEMBANGAN TESTIS DAN PENURUNAN KADAR TESTOSTERON PADA HEWAN COBA AKIBAT PAPARAN MONOSODIUM

GLUTAMATE (MSG) YANG BERLEBIHAN

Oleh

MAYA SAVIRA

197611192003122001

DEPARTEMEN FISIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

GANGGUAN PERKEMBANGAN TESTIS DAN PENURUNAN KADAR TESTOSTERON PADA HEWAN COBA AKIBAT PAPARAN MONOSODIUM

GLUTAMATE (MSG) YANG BERLEBIHAN

Maya Savira

Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Monosodium glutamate (MSG) telah digunakan sejak bertahun tahun yang lalu sebagai panambah rasa dan penyedap masakan tetapi, ternyata, bila MSG di konsumsi dalam jumlah yang besar, dapat menimbulkan berbagai macam gejala yang kemudian menjadi efek negatif yang membahayakan.

Penelitian pada hewan coba menunjukkan adanya gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi yang disebabkan oleh kerusakan (ablasi) arcuate nuclei hypothalamus sebagai akibat dari konsumsi MSG yang berlebihan.

Penelitian lain terhadap hewan coba menunjukkan terjadinya gangguan perkembangan testis, sel sertoli, sel leydig, juga terjadi penurunan berat testis,jumlah sperma, kadar asam askorbat yang terdapat di dalam testis, kadar testosteron serta terjadi peningkatan jumlah sperma yang abnormal dan. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan produksi oksigen reaktif di testis, karena terjadinya stress oksidatif yang juga akibat dari konsumsi MSG yang berlebihan.

Gangguan perkembangan testis dan penurunan kadar testosteron pada hewan coba yang dipaparkan MSG yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada spermatogenesis dan perkembangan organ reproduksi primer dan sekunder.


(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

Monosodium glutamate (MSG) telah lama digunakan sebagai penambah rasa makanan, komponen utama dari MSG adalah Asam glutamate-L yang merupakan asam amino (Geha et al, 2000). MSG merupakan ramuan makanan yang umum digunakan di Asia tenggara. Di Indonesia rata-rata intake MSG perkapita perhari adalah 0,6 g/d (Prawirohardjono et al, 2000) sedangkan di negara industri intake MSG perkapita perhari adalah 0,3 – 1,0 g/d, terkadang bahkan bisa lebih tinggi, tergantung dari jenis makanan apa yang menjadi pilihan seseorang. Di Amerika, Food and Drug Association (FDA) telah mengklasifikasikan MSG sebagai generally recognized as safe (GRAS) MSG juga dinyatakan aman untuk dikonsumsi pada kadar yang normal karena tidak ada bukti bahwa penggunaan MSG dapat menyebabkan masalah yang serius dibidang kesehatan dalam jangka waktu yang panjang (Geha et al, 2000). Penelitian yang dilakukan di Indonesia (Prawirohardjono et al, 2000) juga tidak menemukan adanya perbedaan gejala yang signifikan antara orang sehat yang mengkonsumsi MSG dengan dosis antara 1,5 – 3 gram perhari dibandingkan dengan mengkonsumsi plasebo (Prawirohardjono et al, 2000).

Akan tetapi, setelah penggunaannya selama bertahun tahun ternyata, bila MSG dikonsumsi dalam jumlah yang besar, dapat menimbulkan berbagai macam gejala berupa rasa kebas dan jantung berdebar-debar, mual, dan sakit kepala gejala ini kemudian dikenal sebagai Chinese restaurant síndrome. Keadaan ini pertama kali dilaporkan dilaporkan oleh Kwok pada tahun 1968 (Stegink et al., 1981). Sejak saat itulah penelitian terhadap efek MSG kemudian banyak dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan.


(4)

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Monosodium Glutamate (MSG)

MSG ditemukan pertama kali oleh dr. Kikunae Ikeda seorang ahli kimia jepang pada tahun 1909, dia mengisolasi asam glutamat tersebut dari rumput laut ‘kombu’ yang biasa digunakan dalam masakan Jepang. Dr. Ikeda menemukan rasa lezat dan gurih dari MSG yang berbeda dengan rasa yang pernah dikenalnya oleh karena itu maka dia menyebut rasa itu dengan sebutan ‘umami’ yang berasal dari bahasa jepang ’umai’ yang berarti enak dan lezat. MSG sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin. Akan tetapi ketika MSG ditambahkan dengan konsentrasi rendah pada makanan yang sesuai maka rasa, kenikmatan dan penerimaan seseorang terhadap makanan tersebut akan meningkat (Kobayashi et al, 2002). MSG kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia(Geha et al, 2000) dan menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di asia tenggara(Prawirohardjono et al, 2000).

MSG komponen utamanya adalah asam glutamat-L yang merupakan asam amino(Geha et al, 2000). Asam amino ini merupakan asam amino yang banyak dijumpai pada makanan baik dalam bentuk bebas maupun terikat dengan protein (Garattini, 2000). Asam glutamate merupakan suatu asam amino yang didalam tubuh akan dikonversikan menjadi glutamate. Glutamate merupakan neurotransmitter yang penting yang menyebabkan sel sel neuron yang ada di otak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Asam glutamate yang merupakan asam amino biasanya terikat pada molekul protein yang terdapat didalam makanan, protein kemudian secara perlahan akan dipecahkan dan kemudian diserap oleh tubuh. Akan tetapi didalam MSG glutamate tidak terikat pada molekul protein melainkan dalam bentuk bebas. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa mengkonsumsi glutamate bebas melalui sistem digestive dapat meningkatkan kadar glutamate di dalam plasma darah secara signifikan. Biasanya blood brain barrier akan mencegah kadar glutamate yang berlebihan terjadi didalam otak akan tetapi jumlah glutamate yang sangat berlebih di dalam plasma , akan memudahkan glutamate melewati


(5)

blood brain barrier (Gold M, 1995). Salah satu efek MSG yang merugikan ádalah efek neurotoksik, Olney(1969) menemukan terjadinya kerusakan nukleus arkuatus hipotalamus akibat pemaparan MSG. Juga dilaporkan adanya ablasi yang spesifik pada sel sel neuron di nukleus arkuatus (Lamperti dan Pickard, 1984).Sehingga mereka menyimpulkan bahwa pemberian MSG pada awal kehidupan akan mengganggu aksis neuroendokrin reproduksi melalui lesi pada nucleus arcuatus hipotalamus.

2.2. Fungsi testis dan testosteron

Secara embriogenis, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak dibelakan rongga abdomen. Pada bulan bulan terakhir kehidupan janin, testis perlahan mulai Turun keluar dari rongga abdomen melalui kanalis semi inguinalis masuk ke dalam skrotum. Meskipun waktunya bervariasi proses penurunan testis biasanya selesai pada bulan ketujuh masa gestasi (Sherwood l, 2004).

Testis melaksanakan dua fungsinya yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang didalamnya berlangsung proses spermatogenesis. Sel Leydig atau sel interstitium yang terletak di jeringan kyat antara tubulus tubulus seminiferosa inilah yang mengluarkan testosteron (Sherwood l, 2004).

Setelah disekresikan oleh testis, kurang lebih 97% dari testosteron berikatan lemah dengan plasma albumin atau berikatan kuat denagn beta globulin yang disebut sex hormone binding globulin dan akan bersirkulasi di dalam darah selama 30 menit sampai satu jam. Pada saat itu testosteron di transfer ke jaringan atau di degradasikan menjadi produk yang tidak aktif yang kemudian diekskresikan (Sherwood l, 2004).

Secara umum testosterone bertanggung jawab atas perbedaan karakter maskulin dari tubuh. Bahkan pada saat masa janin, testis distimulasi oleh chorionic gonadotropin dari placenta untuk memproduksi testosterone selama perkembangan janin dan sampai 10 minggu atau lebih setelah lahir, setelah itu testosterone tidak diproduksi selama masa kanak kanak sampai usia kurang lebih 10-13 tahun. Kemudian produksi testosterone akan meningkat dengan cepat dibawah stimulus


(6)

gonadotropin hormone yang diproduksi oleh hipofise anterior sebagai onset dari pubertas dan berlangsung sepanjang hidup (Sherwood l, 2004).

Efek testosteron dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu; (1) efek pada sistem reproduksi sebelum lahir, (2) efek terhadap jaringan seks spesifik setelah lahir, (3) efek lain yang berhubungan dengan reproduksi, (4) efek terhadap karakteristik seks sekunder, (5) Fungsi non-reproduksif lain. (Sherwood L, 2004)

2.3. Pengaruh Monosodium glutamate (MSG) terhadap sistem reproduksi pria. Penelitian yang dilakukan Franca, (2006) menunjukkan bahwa pada tikus neonetus yang dipaparkan MSG terjadi gangguan perkembangan testis, sel sertoli dan sel leydig pada masa prepubertasnya. Ternyata selain menyebabkan gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi (Lamperti and Pickard, 1984) MSG juga mengakibatkan stress oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nayanatara (2008) ditemukan bahwa pemaparan MSG baik dalam jangka waktu yang pendek (15 hari) maupun dalam jangka waktu yang panjang (30 hari) pada tikus Wistar jantan dewasa dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat testis dan jumlah sperma, dan kadar asam askorbat yang terdapat di dalam testis, serta terjadi peningkatan jumlah sperma yang abnormal. Pada penelitian ini peneliti juga menyimpulkan bahwa salah satu mekanisme yang mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG pada sistem reproduksi mencit jantan adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis (Nayanatara et al, 2008)

Pemaparan MSG jangka pendek (15 hari) dan jangka panjang (30 hari) pada tikus Wistar jantan dewasa yang juga dilakukan oleh Vinodini(2008) ternyata juga menyebabkan terjadinya penurunan berat testis, peningkatan kadar lipid peroksidasi testis, penurunan kadar asam askorbat testis dan kerusakan oksidatif lebih besar pada tikus Wistar jantan dewasa yang terpapar jangka pendek dibandingkan yang terpapar jangka panjang, peningkatan kadar lipid peroksidasi testis dan penurunan kadar asam askorbat testis ini disebabkan peningkatan produksi oksigen reaktif di testis hal ini menunjukkan bahwa pemaparan MSG dapat menyebabkan stress oksidatif yang kemudian menyebabkan kerusakan testis.(Vinodini et al, 2008)


(7)

Pada rata rata pria, kerusakan oksidatif diduga merupakan faktor penting dalam menurunkan produksi testosteron pada saat pematangan testis. Peningkatan Nitric Oxide (NO) yang sering dikaitkan dengan peningkatan Lipid peroksidasi pada berbagai jenis stress juga menyebabkan penurunan sekresi testosteron (Turner et al, 2008).


(8)

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

MSG komponen utamanya adalah asam glutamat-L yang merupakan asam amino. Asam glutamate merupakan suatu asam amino yang didalam tubuh akan dikonversikan menjadi glutamate. Glutamate merupakan neurotransmitter yang penting yang menyebabkan sel sel neuron yang ada di otak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya.

Asam glutamate yang merupakan asam amino biasanya terikat pada molekul protein yang terdapat didalam makanan. Didalam MSG glutamate tidak terikat pada molekul protein melainkan dalam bentuk bebas.

Penelitian menunjukkan bahwa mengkonsumsi glutamate bebas melalui sistem digestive dapat meningkatkan kadar glutamate di dalam plasma darah secara signifikan, sehingga mengakibatkan glutamate dapat dengan mudah melewati blood brain barrier dan memberikan efek yang yang membahayakan terhadap organ tubuh yang lain.

Organ reproduksi pria sangat membutuhkan testis dan testosteron untuk proses spermatogenesis dan untuk perkembangan organ reproduksi baik itu primer maupun sekunder.

Penelitian menunjukkan bahwa pada tikus neonetus yang dipaparkan MSG mengalami gangguan perkembangan testis, sel sertoli dan sel leydig pada masa prepubertasnya. dan menyebabkan gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa MSG juga mengakibatkan stress oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi, yaitu terjadinya penurunan berat testis, jumlah sperma, dan kadar asam askorbat yang terdapat di dalam testis, serta terjadi peningkatan jumlah sperma yang abnormal. Peneliti menyatakan bahwa hal ini mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG.adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis.


(9)

Penelitian lain juga membuktikan bahwa MSG menyebabkan peningkatan kadar lipid peroksidasi testis dan penurunan kadar asam askorbat testis ini hal ini disebabkan peningkatan produksi oksigen reaktif di testis.

Pada rata rata pria, kerusakan oksidatif diduga merupakan faktor penting dalam menurunkan produksi testosteron pada saat pematangan testis. Peningkatan Nitric Oxide (NO) yang sering dikaitkan dengan peningkatan Lipid peroksidasi pada berbagai jenis stress juga menyebabkan penurunan sekresi testosteron.

3.2. Saran

Dengan melihat hasil dari penelitian penelitian terdahulu pada hewan coba mengenai dampak buruk dari penggunaan MSG yang berlebihan hendaknya kita menjadi lebih berhati hati dalam menggunakan MSG sebagai penambah rasa pada makanan.

Setelah mengetahui hasil dari beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa salah satu akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG.adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis, yang disebabkan karena pembentukan oksigen reaktif akibat stress oksidatif, maka sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah pemberian anti oxidan seperti Vitamin C dan Vitamin E dapat mengurangi atau bahkan mencegah efek negatif yang ditimbulkan oleh pemaparan MSG yang berlebihan terhadap organ reproduksi pria.


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Franca, L. R., Suescun, M. O., Miranda, J. R., Giovambattista, A., Perello, M., Spinedi, E. & Calandra, R. S. (2006) Testis structure and function in a nongenetic hyperadipose rat model at prepubertal and adult ages. Endocrinology, 147, 1556-63.

Garattini, S. (2000) Glutamic Acid, Twenty Years Later. Journal of Nutrition, 130, 901S–909S.

Geha, R., Beiser, A., Ren, C., Patterson, R., Greenberger, P., Grammer, L., Ditto, A., Harris, K., Saughnessy, M., Yarnold, P., Corrent, J. & Saxon, A. (2000) Review of Alleged Reaction to Monosodium Glutamate and Outcome of a Multicenter Double-Blind Placebo-Controlled Study. The Journal of Nutrition, 130,

1058S–1062S.

Gold, M. Monosodium Glutamate. available at Monosodium glutamate.htm, 5/8/95 Kobayashi, C., Kennedy, L. & Halpern, B. (2006) Experience-Induced Changes in

Taste Identification of Monosodium Glutamate (MSG) Are Reversible. Chem. Senses, 31, 301–306.

Lamperti, A. A. & Pickard, G. E. (1984) Immunohistochemical localization of luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) in the hypothalamus of adult female hamsters treated neonatally with monosodium glutamate or hypertonic saline. Anat Rec, 209, 131-41.

Nayanatara, A., Vinodini, N., Damodar, G., Ahamed, B., Ramaswamy, C., Shabarinath & Bath, R. (2008) Role of ascorbic acid in monosodium glutamate mediated effect on testicular weight, sperm morphology and sperm count, in rat testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, 3, 1-5.

Olney, J. (1969) Brain Lesions, Obesity, and Other Disturbances in Mice Treated with Monosodium Glutamat. Articles, 164, 719 - 721.

Prawirohardjono, W., Dwiprahasto, I., Astuti, I., Hadiwandowo, S., Kristin, E., Muhammad, M. & Kelly, M. (2000) The Administration to Indonesians of Monosodium L-Glutamate in Indonesian Foods: An Assessment of Adverse Reactions in a Randomized


(11)

Double-Blind, Crossover, Placebo-Controlled Study. Journal of Nutrition, 130, 1074S–1076S.

Sheerwood, L , The Reproductive System in Human Physiology From Cell to System, fifth edition, California, Tomson Brook/cole, 2004, page 757.

Stegink, L., Filler, L. & Bake, G. (1981) Effect of aspartame and sucrose loading in glutamate-susceptible subjects. American Journal of Clinical Nutrition, 34, 1899-1905.

Turner, T. & Lysiak, J. (2008) Oxidative Stress: A Common Factor in Testicular Dysfunction. Journal of Andrology, 29, 488-497.

Vinidini, N., Nayanatara, A., Damodara, G., Ahamed, B., Ramaswamy, C., Shabarinath & Bhat, R. (2008) Effect of monosodium glutamat-induced oxidative damage on rat testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, 3, 370-373.


(1)

gonadotropin hormone yang diproduksi oleh hipofise anterior sebagai onset dari pubertas dan berlangsung sepanjang hidup (Sherwood l, 2004).

Efek testosteron dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu; (1) efek pada sistem reproduksi sebelum lahir, (2) efek terhadap jaringan seks spesifik setelah lahir, (3) efek lain yang berhubungan dengan reproduksi, (4) efek terhadap karakteristik seks sekunder, (5) Fungsi non-reproduksif lain. (Sherwood L, 2004)

2.3. Pengaruh Monosodium glutamate (MSG) terhadap sistem reproduksi pria.

Penelitian yang dilakukan Franca, (2006) menunjukkan bahwa pada tikus neonetus yang dipaparkan MSG terjadi gangguan perkembangan testis, sel sertoli dan sel leydig pada masa prepubertasnya. Ternyata selain menyebabkan gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi (Lamperti and Pickard, 1984) MSG juga mengakibatkan stress oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nayanatara (2008) ditemukan bahwa pemaparan MSG baik dalam jangka waktu yang pendek (15 hari) maupun dalam jangka waktu yang panjang (30 hari) pada tikus Wistar jantan dewasa dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat testis dan jumlah sperma, dan kadar asam askorbat yang terdapat di dalam testis, serta terjadi peningkatan jumlah sperma yang abnormal. Pada penelitian ini peneliti juga menyimpulkan bahwa salah satu mekanisme yang mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG pada sistem reproduksi mencit jantan adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis (Nayanatara et al, 2008)

Pemaparan MSG jangka pendek (15 hari) dan jangka panjang (30 hari) pada tikus Wistar jantan dewasa yang juga dilakukan oleh Vinodini(2008) ternyata juga menyebabkan terjadinya penurunan berat testis, peningkatan kadar lipid peroksidasi testis, penurunan kadar asam askorbat testis dan kerusakan oksidatif lebih besar pada tikus Wistar jantan dewasa yang terpapar jangka pendek dibandingkan yang terpapar jangka panjang, peningkatan kadar lipid peroksidasi testis dan penurunan kadar asam askorbat testis ini disebabkan peningkatan produksi oksigen reaktif di testis hal ini menunjukkan bahwa pemaparan MSG dapat menyebabkan stress oksidatif yang kemudian menyebabkan kerusakan testis.(Vinodini et al, 2008)


(2)

Pada rata rata pria, kerusakan oksidatif diduga merupakan faktor penting dalam menurunkan produksi testosteron pada saat pematangan testis. Peningkatan Nitric Oxide (NO) yang sering dikaitkan dengan peningkatan Lipid peroksidasi pada berbagai jenis stress juga menyebabkan penurunan sekresi testosteron (Turner et al, 2008).


(3)

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

MSG komponen utamanya adalah asam glutamat-L yang merupakan asam amino. Asam glutamate merupakan suatu asam amino yang didalam tubuh akan dikonversikan menjadi glutamate. Glutamate merupakan neurotransmitter yang penting yang menyebabkan sel sel neuron yang ada di otak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya.

Asam glutamate yang merupakan asam amino biasanya terikat pada molekul protein yang terdapat didalam makanan. Didalam MSG glutamate tidak terikat pada molekul protein melainkan dalam bentuk bebas.

Penelitian menunjukkan bahwa mengkonsumsi glutamate bebas melalui sistem digestive dapat meningkatkan kadar glutamate di dalam plasma darah secara signifikan, sehingga mengakibatkan glutamate dapat dengan mudah melewati blood brain barrier dan memberikan efek yang yang membahayakan terhadap organ tubuh yang lain.

Organ reproduksi pria sangat membutuhkan testis dan testosteron untuk proses spermatogenesis dan untuk perkembangan organ reproduksi baik itu primer maupun sekunder.

Penelitian menunjukkan bahwa pada tikus neonetus yang dipaparkan MSG mengalami gangguan perkembangan testis, sel sertoli dan sel leydig pada masa prepubertasnya. dan menyebabkan gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa MSG juga mengakibatkan stress oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi, yaitu terjadinya penurunan berat testis, jumlah sperma, dan kadar asam askorbat yang terdapat di dalam testis, serta terjadi peningkatan jumlah sperma yang abnormal. Peneliti menyatakan bahwa hal ini mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG.adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis.


(4)

Penelitian lain juga membuktikan bahwa MSG menyebabkan peningkatan kadar lipid peroksidasi testis dan penurunan kadar asam askorbat testis ini hal ini disebabkan peningkatan produksi oksigen reaktif di testis.

Pada rata rata pria, kerusakan oksidatif diduga merupakan faktor penting dalam menurunkan produksi testosteron pada saat pematangan testis. Peningkatan Nitric Oxide (NO) yang sering dikaitkan dengan peningkatan Lipid peroksidasi pada berbagai jenis stress juga menyebabkan penurunan sekresi testosteron.

3.2. Saran

Dengan melihat hasil dari penelitian penelitian terdahulu pada hewan coba mengenai dampak buruk dari penggunaan MSG yang berlebihan hendaknya kita menjadi lebih berhati hati dalam menggunakan MSG sebagai penambah rasa pada makanan.

Setelah mengetahui hasil dari beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa salah satu akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG.adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis, yang disebabkan karena pembentukan oksigen reaktif akibat stress oksidatif, maka sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah pemberian anti oxidan seperti Vitamin C dan Vitamin E dapat mengurangi atau bahkan mencegah efek negatif yang ditimbulkan oleh pemaparan MSG yang berlebihan terhadap organ reproduksi pria.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Franca, L. R., Suescun, M. O., Miranda, J. R., Giovambattista, A., Perello, M., Spinedi, E. & Calandra, R. S. (2006) Testis structure and function in a nongenetic hyperadipose rat model at prepubertal and adult ages. Endocrinology, 147, 1556-63.

Garattini, S. (2000) Glutamic Acid, Twenty Years Later. Journal of Nutrition, 130, 901S–909S.

Geha, R., Beiser, A., Ren, C., Patterson, R., Greenberger, P., Grammer, L., Ditto, A., Harris, K., Saughnessy, M., Yarnold, P., Corrent, J. & Saxon, A. (2000) Review of Alleged Reaction to Monosodium Glutamate and Outcome of a Multicenter Double-Blind Placebo-Controlled Study. The Journal of Nutrition, 130,

1058S–1062S.

Gold, M. Monosodium Glutamate. available at Monosodium glutamate.htm, 5/8/95 Kobayashi, C., Kennedy, L. & Halpern, B. (2006) Experience-Induced Changes in

Taste Identification of Monosodium Glutamate (MSG) Are Reversible. Chem. Senses, 31, 301–306.

Lamperti, A. A. & Pickard, G. E. (1984) Immunohistochemical localization of luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) in the hypothalamus of adult female hamsters treated neonatally with monosodium glutamate or hypertonic saline. Anat Rec, 209, 131-41.

Nayanatara, A., Vinodini, N., Damodar, G., Ahamed, B., Ramaswamy, C., Shabarinath & Bath, R. (2008) Role of ascorbic acid in monosodium glutamate mediated effect on testicular weight, sperm morphology and sperm count, in rat testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, 3, 1-5.

Olney, J. (1969) Brain Lesions, Obesity, and Other Disturbances in Mice Treated with Monosodium Glutamat. Articles, 164, 719 - 721.

Prawirohardjono, W., Dwiprahasto, I., Astuti, I., Hadiwandowo, S., Kristin, E., Muhammad, M. & Kelly, M. (2000) The Administration to Indonesians of Monosodium L-Glutamate in Indonesian Foods: An Assessment of Adverse Reactions in a Randomized


(6)

Double-Blind, Crossover, Placebo-Controlled Study. Journal of Nutrition, 130, 1074S–1076S.

Sheerwood, L , The Reproductive System in Human Physiology From Cell to System, fifth edition, California, Tomson Brook/cole, 2004, page 757.

Stegink, L., Filler, L. & Bake, G. (1981) Effect of aspartame and sucrose loading in glutamate-susceptible subjects. American Journal of Clinical Nutrition, 34, 1899-1905.

Turner, T. & Lysiak, J. (2008) Oxidative Stress: A Common Factor in Testicular Dysfunction. Journal of Andrology, 29, 488-497.

Vinidini, N., Nayanatara, A., Damodara, G., Ahamed, B., Ramaswamy, C., Shabarinath & Bhat, R. (2008) Effect of monosodium glutamat-induced oxidative damage on rat testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, 3, 370-373.