KONSEP-KONSEP SOCIAL FORESTRY DAN AGROFORESTRY

II. KONSEP-KONSEP SOCIAL FORESTRY DAN AGROFORESTRY

2.1. Konsep-Konsep Social Forestry Upaya mengikusertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa telah dimulai sejak abad ke sembilan belas, dengan latar belakang yang berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan zaman. Pada zaman pemerintahan Belanda, sebelum Perang Dunia II, motif pengikutsertaan masyarakat setempat dalam kegiatan pengelolaan hutan, menitikberatkan pada tujuan keberhasilan penanaman hutan dan pengamanan hutan dari gangguan pencurian kayu. Menurut Verkuyl 1955 diacu oleh Kartasubrata, 1977, bahwa system pengelolaan hutan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipengaruhi oleh ‘German School of Forest Management’ yang diperkenalkan oleh Dirk va Hoogerdorp pada permulaan abad ke sembilan belas. Menurut tradisi ‘German School’ tersebut para petugas kehutanan memandang dirinya sendiri penjaga hutan tehadap segala gangguan dari luar maupun dalam, baik dari manusia maupun alam. Prinsip-prinsip ‘German School of Forest Management’ dilaksanakan melalui berbagai peraturan perundangan kehutanan, pembentukan organisasi kehutanan dan penyelenggaraan sistem tata hutan untuk memantapkan usaha-usaha kelestarian fungsi-fungsi hutan dibidang produksi dan konservasi dengan memperhatikan kepentingan penduduk desa di sekitar hutan. Adapun kegiatan penanaman hutan dilakukan dengan sistem tumpangsari sampai akhir tahun 1960, menggunakan biaya penanaman yang rendah oleh tenaga masyarakat di sekitar hutan, namun kegiatan tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Pada tahun 1972, mulai dilaksanakan program Prosperity Approah Pendekatan Kesejahteraan Masyarakat, yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan hutan, yang bertujuan mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam program Prosperity Approach antara lain : 1. Intensifikasi Massal Tumpangsai Inmas Tumpangsai 2. Intensifikasi Khusus Tumpangsari Insus Tumpangsari 3. Tumpangsari model MA-MA Magelang-Malang 4. Pembuatan tanaman kayu bakar 5. Penanaman rumput gajah 6. Usaha perlebahan 7. Pembangunan sarana air bersih Kaptering Air dan Check Dam. Dengan penambahan jumlah penduduk yang pesat, tekanan terhadap hutan dan lahan hutan makin berat, sehingga konflik kepentingan tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini para x Yunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008 petugas kehutanan sering digambarkan sebagai musuh rakyat. Dengan berbagai peraturan dan tindakan represif, serta kegiatan penyuluhan maka situasi konflik dapat diredam. Namun ekses- ekses berupa pencurian hutan secara ilegal dan pelanggaran-pelanggaran lainnya tidak dapat dihindarkan. Pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 di Jakarta dengan mengambil tema ’Forest fo People’ dengan rincian bidang pembicaraan adalah : 1. Forestry for Local Community Development 2. Forestry for Food 3. Forestry for Employment Promotion 4. Forestry for Industrial Development 5. Forestry for Quality of Life Berdasarkan gagasan-gagasan di atas telah mendorong timbulnya pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan dan tata guna hutan, terutama di negara-negara berkembang dengan menggunakan berbagai istilah lokal yang dapat diringkas dalam kosep-konsep Social Foresty dan Agroforestry. Menurut Nasendi 1989 bahwa Social Forestry merupakan suatu konsep dinamis dengan sistem pengelolaan hutan gaya baru di negara-negara yang banyak penduduknya, tingkat ekonomi sedang tumbuh dan sumber daya alamnya rawan lingkungan. Ciri negara-negara seperti ini banyak terdapat di daerah tropis dan negara-negara berkembang. Sebagai suatu sistem pengelolaan hutan, Social Forestry menekankan pola manajemen partisipatif antara masyarakat desa di sekitar hutan dengan pengelola hutannya dalam arti seluas-luasnya secara seimbang dan serasi. Social Forestry Perhutanan Sosial adalah suatu sistem kegiatan pengembangan hutan, tanah dan air, termasuk pembangunan masyarakat desa yang bersangkutan dengan menggunakan aturan-aturan tertentu di bidang teknik, ekonomi dan sosial melalui fungsi-fungsi manajemen yang relevan, yaitu dalam perencanaan, oganisasi dan pengawasan. Kegiatan-kegiatan tersebut juga mencakup sistem-sistem kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat yang dikelola oleh pemiliknya sendiri dengan bantuan tenaga ahli kehutanan dalam melaksankan prinsip-prinsip kehutanan Departemen Kehutanan, 1987. Menurut Tiwari 1983 diacu oleh Kartasubrata, 1992 Social Forestry adalah ilmu dan seni penanaman pohon-pohon dan atau tumbuhan lainnya pada lahan yang tersedia untuk keperluan tersebut, di dalam dan di luar kawasan hutan dan pengelolaan hutan yang sudah ada dengan melibatkan rakyat, serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada xi Yunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008 umumnya. Tujuan utama dari program Social Forestry adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Selain itu masyaakat setempat diajak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara lebih teratur dan lebih bertangungjawab. Menurut Noronha 1982 diacu oleh Kartasubrata, 1997 terdapat beberapa perbedaan antara Social Forestry dan Commercial Forestry : a. Dalam Social Forestry pada umumnya hasil hutan dimanfaatkan dengan cara non komersial b. Dalam kegiatan Social Forestry para pengguna jasa terlibat secara langsung c. Dalam kegiatan Social Forestry para ahli kehutanan tidak hanya berperan sebagai pengaman hutan, akan tetapi ia harus bekerja sama dengan masyarakat sebagai kelompok maupun perorangan dalam produksi maupun pemanfaatan hasil hutan Bentuk-bentuk Social Forestry menurut Wiersum 1984 adalah sebagai berikut : a. Perticipatory forestry, yaitu pengelolaan hutan yang diselenggarakan oleh negara dengan mengikutkansertakan masyarakat b. Village forestry, yaitu pengelolaan hutan dan sumber daya pohon-pohon lainnya dalam usaha kecil yang dilaksanakan oleh pelaku non profesional, pada lahan perorangan c. Communal atau Community forestry, yaitu suatu bentuk village forestry, yang pengelolaannya dilakukan sebagai usaha bersama d. Farmer’s forestry, yaitu suatu bentuk village forestry, dimana pengelolaan sumberdaya pohon merupakan tanggungjawab para petani perorangan Dalam hal tempat pelaksanaan bentuk-bentuk Social Forestry di atas Nasendi 1989 mengemukakan bahwa : a. Participatory foresry, dilaksanakan pada kawasan hutan negara, seperti kawasan Perum Perhutani, kawasan HPH PT. Inhutani I, II, dan III, kawasan HPH swasta, dan berbagai kawasan hutan negara termasuk kawasan penyangga dari Hutan Konservasi atau Pelestarian Alam dan Hutan Lindung. b. Village forestry, dilaksanakan pada kawasan desa c. Communal atau Community forestry, dilaksanakan pada kawasan hutan rakyat atau pada tanah-tanah milik rakyat secara berkelompok, milik margasuku, tegalan dan ladang keluargaklen dan sebagainya. Artinya fokus kegiatannya di luar kawasan hutan negara xii Yunasfi : Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 2007 USU Repository © 2008 d. Farmer’s forestry, kegiatan ini dilaksanakan di lahan milik petani seperti di talun, tegalan milik, pekarangan milik dan sebagainya. Jadi dalam hal ini Social Foresty adalah suatu sistem atau konsepsi induk yang memayungi berbagai sub sistem manajemen hutan berpola partisipatif masyarakat yang berhubungan dengan pola pemanfaatan lahan dan pengelolaan sumber daya alamnya Nasendi, 1989.

2.2. Konsep-Konsep Agroforestry