Dampak Terhadap Keluarga Bapak dan Ibu dosen, serta Staf Pegawai di Departemen Sastra Jepang

32 BAB III DAMPAK KOREIKA SHAKAI

3.1 Dampak Terhadap Keluarga

Dalam bahasa Jepang, ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk mengacu kepada perawatan orang tua lansia ini. Pertama, istilah fuyou 扶養 Dalam Shin Kanwa Jiten Kamus Baru Kanji Bahasa Jepang 1994:414 dan 1006 karakter kanji fu 扶 bisa berarti membantu atau menolong dan you 養 bisa berarti menjaga atau mengurus. Jadi, secara harafiah fuyou bisa berarti menjaga atau mengurus. Jadi, secara hrafiah fuyou bisa berarti membantu menjaga atau mengurus. Menurut Sodei Takako dalam Shin Shakai Gaku Jiten Kamus Baru Sosiologi 1993:1270, yang dimaksud dengan fuyou adalah bantuan yang diberikan kepada orang yang tidak mampu atau tidak dapat sumber penghasilan dan ketidakmampuan kerja sendiri. Penyebab ketidakmampuan itu ada bersifat alami, seperti usia tua, anak-anak, fisik yang lemah, dan cacat, dan ketidakmampuan yang bersifat sosial, seperti pengangguran dan bangkrut. Masalah perawatan lansia mulai mendapat perhatian sekitar tahun 1975, masalah perawatan lansia menjadi masalah utama, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat Jepang. Hal ini disebabkan dengan semakin bertambah panjangnya usia harapan hidup orang Jepang. Sebelum Perang Dunia II, usia harapan hidup orang Jepang kurang dari 55 tahun, dan masing-masing keluarga mempunyai beberapa orang anak. Sistem keluarga Jepang pada waktu itu 33 menganut sistem keluarga besar yang disebut ie. Dalam sistem ie ini anak laki- laki tertua yang disebut chonan akan mewarisi harta warisan orang tua dan berkewajiban merawat orang tuanya di hari tuanya. Dibandingkan dengan kondisi perawatan lansia sebelum perang, saat ini banyak masalah yang terjadi dalam keluarga sehubungan dengan perawatan orang tua lansia di rumah. Pada masa sebelum perang, masa perawatan orang tua lebih singkat karena usia harapan hidup juga masih pendek. Selain itu, didukung oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang hidup bersama dalam sistem ie untuk mendukung tenaga kerja pertanian, sehingga banyak menemani lansia adalah tugas menantu merawat lansia di rumah, masalah perawatan lansia bukanlah masalah utama. Namun seiring dihapuskannya sistem ie setelah perang, yang mana dalam keluaraga hanya terdiri dari orang tua dan anak, dan banyaknya kaum muda yang mencari kerja ke kota membuat jumlah keluarga semakin sedikit sehingga sulit untuk mengatur siapa yang akan mengurus lansia di keluarga mereka. Pola keluarga tradisional yang mempunyai ciri suami bekerja di luar rumah sebagai pencari nafkah, dan kaum ibu tinggal di rumah mengurus dan memberikan pelayanan menyeluruh terhadap keluarganya, telah berubah drastis dengan keluar nya wanita dari keluarga rumah ke dunia kerja. Hal ini menyebabkan wanita tidak dapat diandalkan sepenuhnya sebagai perawat orang tua lansia yang lemah dan jompo dalam keluarga. Lama kelamaan akan ditemukan kenyataan bahwa keluarga tidak lagi secara penuh dapat menjadi basis kekuatan yang menopang kesejahteraan orang tua lansia. Di lain pihak, nilai-nilai kemandirian, tidak ingin bergantung pada anak yang merupakan nilai-nilai pada masyarakat modern, dewasa ini pun telah banyak penganutnya dalam masyarakat 34 lansia sendiri. Banyak orang tua lansia yang memilih hidup terpisah dari anak- anaknya, tidak ingin merepotkan anak, tetapi merasa bahagia. Agoes Achir 2001:187-188. Sebelum Perang Dunia II karakteristik penduduk Jepang ditandai oleh tingginya angka kelahiran dan kematian. Rata-rata angka kelahiran antara tahun 1933 dan 1937 adalah 30.8 per 1000 penduduk, dan rata-rata angka kematian adalah 17,4 per 1000 penduduk. Hanya ketika perang peningkatan terjadi pada angka kelahiran dan angka kematian yang turun mendadak akibat perang digantikan oleh baby boom. Rata-rata angka kelahiran tahun 1947 dan 1949 aadalah 33,6 per 1000 penduduk, dan angka kematian turun menjadi 12.7 per 1000 penduduk. Kemudian, baik angka kelahiran maupun angka kematian menurun. Pada tahun 1991 angka kelahiran adalah 9,9 per 1000 penduduk, dan angka kematian adalah 6,7 per 1000 penduduk. Turunnya angka kelahiran akan mengubah rasio kesanggupan orang yang merawat lansia terhadap jumlah yang membutuhkan perawatan. Dalam masyarakat agraris sebelum perang rata-rata jumlah anak pada keluarga adalah lima orang. Banyaknya anak ini disebabkan anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian. Pada masa ini banyak dari mereka yang tidak perlu merawat orang tua mereka karena tugas merawat dan mengurus orang tua dilakukan oleh istri anak laki-laki pertama, dan orang tua sendiri tidak hidup lama atau berumur panjang pada masa itu. Berdasarkan survei merawat lansia Somucho, 1987, di antara orang yang berusia 60 tahun atau lebih, sebanyak 44 persen reponden pria dan 66,5 persen responden wanita mempunyai pengalaman dalam merawat lansia yang 35 sudah lemah. Kaum pria biasanya merawat orang tua mereka, sedangkan kaum wanita merawat orang tua suami sebaik mereka merawat orang tua sendiri Sodei, 1995 : 218. Beban wanita lebih berat dari pada beban pria dalam hal merawat orang tua mereka yang lansia. Dengan kata lain, jika sesuatu terjadi terhadap orang tua mereka yang lansia, tanggung jawab untuk merawatnya dibebankan kepada wanita. Merawat lansia yang lemah dulu hanya menjadi masalah untuk sebagian orang, tetapi sekarang menjadi masalah bagi semua orang. Panjangnya usia lansia yang berada dalam kondisi fisik yang lemah menyusahkan keluarga untuk merawat mereka di rumah karena orang yang membantu merawat sendiri pun menjadi tua dan lemah. Survei mengenai orang tua yang tinggal sendiri, atau tidak dapat beranjak dari tempat tidur, yang dilakukan Perkumpulan Nasional Demokrasi Dokter tahun 1982-1983 menyatakan bahwa di antara perawat lansia yang tidak dapat beranjak dari tempat tidur, sebanyak 2,3 persen menderita sakit serius, 28,2 persen sakit dan lemah dan 9,2 persen kurang sehat, tetapi sulit menemukan waktu untuk pergi ke dokter. Lansia yang terdapat dikeluarga mereka akan dianggap menjadi beban terberat yang harus ditanggung keluarga, baik fisik maupun mental dan juga dari segi perekonomian dan tidak ada waktu untuk diri sendiri. Kondisi lelah dalam merawat lansia sering menimbulkan konflik yang dapat menggangu hubungan antar anggota keluarga. Menurut survei, untuk kondisi keluarga yang merawat lansia yang membutuhkan perawatan, sekitar 1 dari 3 orang menjawab” perasaan benci terhadap lansia yang membutuhkan perawatan” dan jawaban “pernah terdapat penganiayaan atau perlakuan kejam terhadap lansia yang membutuhkan 36 perawatan” adalah 16 persen Kousei Hakusho, 1997:112. Penganiayaan ini mungkin disebabkan rasa benci yang timbul terhadap lansia disebabkan beban berat merawat lansia. Merawat orang tua yang lemah atau sudah jompo memerlukan perhatian penuh, bukan hanya karena mereka sudah pikun dan harus terus diawasi dengan alasan keselamatannya, tetapi juga karena kondisi fisik mereka yang juga memerlukan perhatian khusus. Maka dari banyak keluarga yang lebih memilih menitipkan orang tua atau lansia dari keluarga mereka ke panti jompo atau dengan menggunakan jasa perawat yang di panggil ke rumah agar mereka tidak direpotkan untuk mengurus lansia yang ada di keluarga mereka. Dalam perawatan lansia timbul berbagai macam masalah diantaranya adalah sulitnya para lansia diurus karena faktor umur, dan dari diri perawat sendiri yang merasa lelah dalam merawat para lansia tersebut. Kadang-kadang terjadi perawat lansia itu sendiri yang meninggal lebih dulu daripada lansia itu sendiri Sodei, 1995:219. Untuk mengatasi masalah perawatan orang tua yang sudah lanjut usia di rumah, alternatif tempat tinggal yang sekarang justru cenderung meningkat atau yang menjadi pilihan adalah yang disebut dengan nisetai jutaku atau tempat tinggal dua rumah tangga. Maksudnya adalah dua generasi, yaitu orang tua dan anak yang telah menikah, tinggal pada rumah masing-masing di perumahan yang sama, dimana tempat tinggal anak dan tempat tinggal orang tua berada dalam satu lahan yang sama atau letaknya bersebelahan dari rumah induk. Orang tua yang mempunyai cukup banyak uang akan memperbesar rumahnya atau membangun rumah dua lantai. Orang tua tersebut tinggal di lantai dasar dan keluarga anak 37 tinggal di lantai dua dengan pintu masuk yang berbeda. Masing-masing punya kehidupan yang terpisah dengan dapur dan ruang sendiri-sendiri. Alternatif lain adalah tinggal dengan jarak yang dekat atau tidak terlalu jauh dari rumah orang tua. Meskipun mereka tidak tinggal di dalam rumah yang sama, mereka bisa saling memperhatikan dan menjaga satu sama lain. Atau dengan memanggil perawat yang bersedia merawat orang tua mereka, serta tidak sedikit juga mereka yang menitipkan orang tua mereka di panti jompo.

3.2 Dampak Terhadap Masyarakat dan Lingkungan