Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Identifikasi Masalah Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang yang terus bergerak maju yang saat ini telah tergolong menjadi Negara semi-industri, melakukan segala kegiatan di semua sektor, terutama sektor riil dengan tujuan memajukan perekonomian nasional dalam mengantisipasi perkembangan dunia. Hal ini dilakukan karena untuk menjadi sebuah Negara maju indikatornya adalah pertumbuhan dan perkembangan di dunia usaha. Ditengah-tengah persoalan pengangguran dan kemiskinan yang masih dihadapi Indonesia, kehadiran industri padat karya yang luas memang sangat dibutuhkan. Mendorong investasi terutama investasi yang bersifat padat karya sangatlah penting untuk membantu meningkatkan kapasitas perekonomian. Karena memacu pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi hanya akan menghasilkan tekanan inflasi yang utamanya muncul akibat keterbatasan dari sisi penawaran. Selama satu dekade terakhir sejumlah negara mengalami krisis parah, tidak hanya merugikan bagi sistem keuangan mereka tetapi juga perekonomian regional secara keseluruhan. Kinerja perekonomian 2 Indonesia akhir-akhir ini memang sedang membaik, ditengah gejolak dampak krisis global yang juga membuat banyak Negara lain berkontraksi cukup dalam yang sampai saat ini masih berlangsung. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut perekonomian Indonesia pada tahun 2009 masih dapat tumbuh sebesar 4,5. Indonesia merupakan salah satu dari tiga Negara yang berhasil membukukan pertumbuhan positif pasca krisis selain China dan India. Ini dikarnakan basis perekonomian yang banyak ditopang permintaan domestik yang ternyata lebih memiliki daya tahan. Sedangkan pencapaian di tahun 2010 perekonomian Indonesia berhasil tumbuh sekitar 5. Dan prediksi pertumbuhan ekonomi untuk 2011 adalah 6-6,3, hal tersebut dapat dicapai apabila diimbangi dengan peningkatan investasi yang memadai. Seperti kita ketahui dalam kurun waktu 15 tahun terakhir Indonesia telah diterpa dua kali krisis. Yang pertama krisis keuangan Asia terjadi di tahun 1997-1998 serta krisis global pada tahun 2008. Sejarah Krisis yang pernah dialami Indonesia menunjukkan bahwa krisis keuangan Asia 1997- 1998 dan krisis global 2008 ditandai dengan net outflow yang tinggi, setelah mengalami periode net inflow yang tinggi, yaitu pada tahun sebelumnya 1995-1996 dan 2007. Kedua krisis tersebut juga ditandai dengan pertumbuhan kredit yang tergolong tinggi. Pada 1997, rasio KreditGDP mencapai 60,2 dan pertumbuhan kredit year on year yoy sebesar 29. Sementara di tahun 2008, rasio KreditGDP sebesar 25,6 3 dan pertumbuhan kredit yoy mencapai 29 Kajian Stabilitas Keuangan, 2010:21. Untuk mencapai target 6-6,3 pertumbuhan perekonomian di 2011, dibutuhkan aliran modal yang cukup besar yang sebaiknya dipenuhi dari sumber dana domestik. Selain sumber daya modal, terdapat berbagai faktor yang juga turut andil dalam proses peningkatan perekonomian Negara, antara lain sumber daya manusia, infrastruktur dan energi serta beberapa faktor lain. Sehingga perlu adanya iklim penggalian sumber daya dalam negeri melalui mobilisasi dana masyarakat serta partisipasi langsung dari Pemerintah sebagai regulator. Menurut Perry 2006:430, stabilitas sistem perbankan dan sistem moneter merupakan dua aspek yang saling terkait satu sama lain. Stabilnya sistem perbankan secara umum dicerminkan dengan kondisi perbankan yang sehat dan berjalannya fungsi intermediasi perbankan dalam memobilisasi simpanan masyarakat untuk disaluran dalam bentuk dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Apabila kondisi ini terpelihara, maka proses perputaran uang dan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam perekonomian yang sebagian besar berlangsung melalui sistem perbankan juga dapat berjalan dengan baik. Stabilnya sistem perbankan akan menentukan efektvitas pelaksanaan kebijakan moneter. Kegiatan perekonomian suatu Negara tidak terlepas dari lalu lintas pembayaran uang, dimana industri perbankan memegang peranan yang sangat strategis, dapat dikatakan sebagai urat nadi dari sistem 4 perekonomian. Dalam kebanyakan kasus krisis keuangan, sektor perbankan selalu memainkan peran penting. Sebagai sektor yang sering mendominasi dalam suatu perekonomian, sektor perbankan seringkali memicu krisis atau memperburuk situasi. Mempertimbangkan dampaknya, ketahanan perbankan merupakan baris pertahanan pertama yang penting dalam usaha melindungi perekonomian. Berdasarkan logika ini, pemulihan perbankan adalah langkah yang paling menentukan dalam penanganan krisis keuangan. Misalnya, dalam krisis keuangan global terakhir hampir semua negara maju bergantung pada pemulihan bank untuk mengakhiri krisis tersebut. Banyak ekonom dan bankir yang menyadari masalah dengan kerapuhan sektor perbankan. Sumber dana modal dapat diperoleh melalui pinjaman atau pembiayaan oleh lembaga-lembaga keuangan. Diantara lembaga-lembaga keuangan yang ada di Indonesia, sektor industri perbankan mendominasi pangsa sekitar 80 dari total asset sektor keuangan. Karna alasan tersebut industri perbankan turut serta berperan aktif dalam rangka pertumbuhan serta perkembangan perekonomian Indonesia. Seperti yang telah diamanatkan dalam UU No.10 tahun 1998 dikatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak”. Dari undang- undang tersebut dapat dikatakan bahwa bank mempuyai tugas pokok 5 sebagai intermediary service antara pihak surplus dengan pihak deficit. Maksudnya adalah bank membantu pihak surplus dengan menghimpun dana dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito. Setelah itu dana yang berhasil terhimpun disalurkan kepada pihak deficit yaitu pihak-pihak yang membutuhkan uang yang dislurkan dalam bentuk kredit modal kerja, kredit investasi ataupun dalam bentuk kredit konsumsi. Proses intermediasi ini merupakan fungsi dan tugas perbankan, namun di sisi lain perbankan juga harus menjaga likuiditasnya, karena bank harus menghadapi berbagai resiko yang harus dihadapi dan perlu diantisipasi karena menghadapi ketidakpastian di masa mendatang. Berbagai upaya yang telah dilakukan Pemerintah melalui otoritas moneter, dalam hal ini adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral, dengan mengeluarkan rangkaian regulasi dibidang keuangan, moneter dan perbankan yang berkelanjutan, dengan tujuan untuk menciptakan iklim pebankan yang sehat, mandiri dan efisien. Risiko likuiditas perbankan selama semester I 2010 moderat. Secara umum, perbankan masih memiliki alat likuid yang cukup memadai untuk memenuhi kewajibannya. Namun di sisi lain pertumbuhan kredit yang lebih cepat dari pertumbuhan DPK Dana Pihak Ketiga dapat menimbulkan tekanan likuiditas, khususnya bagi bank yang memiliki alat likuid terbatas. Selama semester I 2010, terjadi penurunan jumlah alat likuid bank sebesar Rp 2,5 T, khususnya dalam bentuk tertiary reserves yang berasal dari kelompok bank kantor cabang bank asing KCBA. 6 Namun demikian, terindikasi adanya shifting dalam bentuk secondary reserves yang meningkat cukup besar 11,52 Kajian Stabilitas Keuangan, 2010:29. Seperti dikutip dari Indonesian Financial Review, per 1 Maret 2011 lalu bank sentral menggulirkan dua kebijakan. Bank Indonesia memberlakukan aturan baru tentang LDR Loan to Deposit Ratio bagi industri perbankan nasional. Bank-bank diharuskan memiliki rasio pengucuran kredit terhadap simpanan DPK dalam rentang 78-100. Jika LDR lebih rendah dari batas minimum, bank terkena pinalti berupa tambahan setoran wajib minimum GWM ke BI sebesar 0,1 kali simpanan rupiahnya untuk setiap 1 kekurangan LDR tersebut. Sebaliknya, bank dengan LDR lebih tinggi dari batas atas dan memiliki rasio CAR kecukupan modal kurang dari 14 akan dikenai disentif berupa tambahan GWM 0,2 kali simpanan untuk setiap 1 kelebihan LDR. Penalti tak berlaku jika CAR melebihi 14. Satunya lagi kewajiban menyangkut kewajiban bagi bank beraset di atas Rp 10 triliun untuk mengumumkan prime lending rate alias suku bunga dasar kreditnya mulai akhir Maret 2011 Metta, 2011:3. Kebijakan yang diambil Bank Indonesia selaku regulator perbankan di Indonesia memang bertujuan baik yaitu agar kelebihan likuiditas di bank-bank bermodal besar bisa diserap agar tak memicu inflasi dan mendorong perbankan lebih aktif lagi dalam menyalurkan kredit dengan tujuan menggerakan ekonomi. Namun di satu sisi dikhawatirkan 7 pengucuran kredit yang berlebihan ini mengakibatkan turunnya kualitas perbankan. Dan pada akhirnya dapat menyebabkan kredit bermasalah bahkan mungkin kredit macet. Atau dengan kata lain dikhawatirkan mengancam solvabilitas bank seperti saat periode 1997-1998. Sementara itu Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Haddad menyatakan BPD Bank Pembangunan Daerah memang masih memiliki permasalahan di beberapa sektor, termasuk permodalan, likuiditas serta struktur. Meski demikian dari total 26 bank pembangunan daerah beberapa sudah berada pada titik aman modal, yaitu Rp 100 miliar dan sudah ada satu BPD yang Go Pubic http:majalah.tempointeraktif.com. Menurut Sunarsip Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence IEI, BPD memiliki relasi yang tidak dapat dipisahkan dengan perekonomian daerah, dimana BPD tersebut berdiri. Selain menjalankan kegiatan bank umum, BPD juga berfungsi sebagai kasir Pemda, seperti dana realisasi APBD. Sehingga, BPD memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok bank lainnya BUMN, swasta, asing dan campuran yakni sebagian besar DPK merupakan dana milik pemerintah, khususnya Pemda. Berbeda dari perbankan secara umum, fokus DPK BPD adalah giro. Walaupun giro adalah dana termurah, namun perlu digarisbawahi bahwa giro juga yang paling tidak stabilvolatile. Porsi tabungan dan deposito di BPD masih relatif kecil, sehingga cukup sulit bagi BPD untuk menjadi bank yang dapat membiayai kredit jangka panjanginvestasi. Implikasinya, kelompok BPD yang 8 beroperasi di Indonesia, porsi kreditnya hanya sebesar 7,76 persen dari total kredit perbankan nasional. Kredit yang disalurkan BPD memang mengalami peningkatan. Namun, harus diakui bahwa porsi alokasi dana BPD dalam bentuk SBI juga sangat tinggi, di mana di tahun 2007 telah mencapai 24,35 dari total SBI. Sehingga, memang tidak seluruhnya salah bila BPD dianggap belum sepenuhnya menjalankan fungsi intermediasi dan menjadi penggerak utama bagi pembangunan ekonomi di daerah Republika, 9 Januari 2008:16. 2. Batasan Masalah Pentingnya penelitian ini, karena persoalan likuiditas menjadi kendala khusunya dalam BPD. Karateristik yang berbeda dengan kelompok bank lainnya menjadi salah satu faktor. Rasio LDR merupakan salah satu indikator yang menunjukkan fungsi intermediasi perbankan ysng menunjukkan perbandinagan antara DPK dan kredit. Rasio LDR yang tinggi menunjukkan bahwa bank meminjamkan seluruh dananya atau menjadi tidak likuid dan sebaliknya. Hal tersebut dapat mempengaruhi stabilitas keuangan terganggu, sehingga dapat menghambat target pertumbuhan ekonomi Pemerintah. 9 Berdasarkan identifikasi tersebut di atas, studi ini mengkaji pengaruh beberapa variabel terhadap penyaluran kredit dan LDR pada Bank Pembangunan Daerah. Dengan demikian penelitian ini berjudul “Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Capital Adequacy Ratio dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Penyaluran Kredit serta Implikasinya Terhadap Loan to Deposit Ratio pada Bank Pembangunan Daerah”. 10

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Capital Adequacy Ratio, Non Performing Loan, Loan to Deposit Ratio, dan Return on Asset terhadap Penyaluran Kredit Bank Pembangunan Daerah di Indonesia

1 79 118

Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Capital Adequacy Ratio, Loan To Deposit Ratio Dan Non Performing Loan Terhadap Volume Kredit Pada Bank Yang Terdapat Di BEI

1 44 94

Analisis Pengaruh Suku Bunga, Inflasi, Capital Adequacy Ratio, Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional, dan Non Performing Financing terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia

0 33 104

Pengaruh capital adequacy ratio (car), non performing financing (npf), danan pohak ketiga (dpk), sertifikat bank umum syariah (sbis) terhadap penyaluran pembiayaan bank umum syariah periode 2009-2015

0 8 116

Pengaruh DPK, CAR, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Tingkat Bagi Hasil Terhadap Komposisi Pembiayaan Mudharabah (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Di Indonesia)

0 5 119

Pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK), Capital Adequacy Ratio (CAR), dan Non Performing Financing (NPF) Terhadap Likuiditas Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2011-2015

5 20 120

ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA (DPK), TINGKAT SUKU BUNGA KREDIT, CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR), NON Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga (Dpk), Tingkat Sukubunga Kredit, Capital Adequacy Ratio (Car),Non Performing Loan (Npl) Dan Return On Assets (Roa)

0 3 19

ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA (DPK), TINGKAT SUKU BUNGA KREDIT, CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR), NON Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga (Dpk), Tingkat Sukubunga Kredit, Capital Adequacy Ratio (Car),Non Performing Loan (Npl) Dan Return On Assets (Roa)

0 4 16

PENGARUH CAPITAL ADEQUACY RATIO, NON PERFORMING LOAN DAN DANA PIHAK KETIGA PADA PROFITABILITAS.

0 0 10

PENGARUH DANA PIHAK KETIGA (DPK), CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR), LOAN TO DEPOSIT RATIO (LDR) DAN SUKU BUNGA KREDIT (SBK) TERHADAP PENYALURAN KREDIT PADA PT. BANK SUMSELBABEL -

0 0 96