26
Selama beberapa tahun ini dalam pelaksanaan perencanaan kesehatan, maupun proses perencanaannya telah berubah. Perubahan tersebut antara lain adanya
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan perencanaan seperti proses pengumpulan data melalui fokus diskusi grup, temu wicara dan lain sebagainya.
2.2 Perilaku Eksekutif dan Legisltaif dalam Perencanaan Kesehatan
Pelaksanaan perencanaan kesehatan juga tidak terlepas dari perilaku-perilaku perencana maupun pelaksana serta pengambil keputusan. Perilaku eksekutif dan
legislatif merupakan salah satu bagian dari perilaku organisasi. Tanggapan terhadap perilaku orang dalam berbagai struktur organisasi telah muncul sejak awal abad ke-20
sebagai reaksi dari ketimpangan, konflik serta persoalan-persoalan yang timbul akibat interaksi antar individu pada setiap lapisan masyarakat, baik organisasi publik
maupun organisasi privat. Konflik-konflik antar bangsa, ras, pimpinan dan karyawan yang muncul pada masa itu telah menggiring pemahaman masyarakat dan para ahli
bahwa masalah tersebut tidak dapat ditanggulangi hanya dengan kemampuan ilmu dan tehnis saja. Akan tetapi itu, pemecahannya harus dicari secara mendasar ke dalam
struktur sosial masyarakat. Pemecahan ini menuntut kemampuan sosial, meliputi kemampuan untuk memahami manusia sebagai sumber dari beragam persoalan yang
muncul. Dalam konteks ini makna dan telaah perilaku merupakan faktor penting dalam rangkaian kajian tentang manusia.
Keseluruhan konsep perilaku secara teoritis dibentuk dari sikap, pendirian dan raga. Perilaku manusia pada dasarnya terbentuk setelah melewati keseluruhan
27
aktivitas. Menurut Ndraha 1997
perilaku behaviour adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu situasi dan kondisi
lingkungan masyarakat, alam, teknologi atau organisasi. Sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi diri pendirian. Menurut
Hersey 1995 , perilaku pada
dasarnya berorientasi pada tujuan, artinya perilaku orang tua pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan tersebut
tidak selamanya diketahui secara sadar oleh yang bersangkutan. Perilaku merupakan reaksi seseorang terhadap situasi dan kondisi lingkungan
yang dapat berupa pernyataan lisan maupun tindakan nyata dan dapat diamati secara umum. Dalam hubungannya dengan lingkungan kerjanya, maka sikap birokrat
merupakan reaksi dari lingkungan kerja itu sendiri yang didasarkan pada pertimbangan pikiran dan perasaan yang selanjutnya diwujudkan melalui perilaku
birokrasi. Orientasi birokrasi merupakan aplikasi dari perilaku aparat birokrasi yang
mengarah pada mentalitas pegawai berkenaan dengan penghayatannya sebagai aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam birokrasi
tradisional orientasi pelayanan yang diberikan pegawai lebih berorientasi kepada pengusaha dan tidak berorientasi kepada masyarakat sebagai pihak yang harus
dilayani. Dwiyanto, 1995. Ketaatan aparat birokrasi eksekutif dan legislatif berorientasi pada prosedur
dan aturan sering menyebabkan tingkat fleksibilitas dan kecepatan pelayanan menjadi berkurang pada satu pihak, di pihak lain sering digunakan oleh aparat birokrasi
28
sebagai wahana untuk memperoleh kepentingan pribadi dalam bentuk insentif. Berkaitan dengan personal interest, menurut Ratminto dan Muhdiarta 2003,
membahas perilaku personal yang dikaitkan dengan persepsi tentang birokrasi yang menganggap jabatan sebagai kekuasaan daripada sebagai fungsi pelayanan,
mengakibatkan pelayanan menjadi berkurang dan kekuasaanlah yang menonjol, sehingga pelayanan menjadi timpang, selanjutnya orientasi diukur dari 1 sikap
petugas mengarah pada pengutamaan pelayanan masyarakat, 2 persepsi tentang derajat dirinya, dan 3 sikap mental Personal Interest dalam pemberian pelayanan.
Model interaksi eksekutif dengan legislatif terdiri dari beberapa model. Model tersebut bertitik tolak pada beberapa hal, yaitu berkenaan dengan kedudukan birokasi,
sejajar atau subkoordinasi antara eksekutif-legislatif. Ciri katagori model sublation power adalah birokrasi dan eksekutif sama-sama terlibat dalam proses pembuatan
kebijakan publik tetap berbeda. Dilihat dari beberapa indikator materi kontribusi, eksekutif biasanya mengedepankan kepentingan, nilai-nilai sensivitas politik,
sedangkan birokrasi mengedepankan fakta dan pengetahuan. Dilihat dari indikator fokus perhatian, eksekutif cenderung menekankan artikulasi kepentingan-kepentingan
yang tidak terorganisir dengan baik, sedangkan birokrasi mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang terorganisir dengan baik Widyaningrum dan Thoha,
2005. Menurut Widyaningrum dan Thoha 2005, ada beberapa model dalam
memahami kesejajaran eksekutif dan legislatif, antara lain model agency,model Beureaucratic-politisc, dan model institutiobalisme. Model agency melihat hubungan
29
antara institusi politik dan birokrasi sebagai konflik kepentingan dimana pihak birokrasi merupakan pihak yng menguasai informasi, akibatnya aliran informasi
bersifat asimetris. Fakta inilah yang menjadi sumber kekuatan tawar menawar birokrasi ketika berinteraksi dengan lembaga politik. Disisi lain, lembaga politik
memiliki kekuasaan untuk menentukan otoritas agen-agen birokrasi dan pola insentif mereka. Titik temu antara dua sumber kekuatan ini merupakan fenomena yang
menjadi kajian utama model agency dalam memahami interaksi lembaga politik versurs birokrasi Widyaningrum dan Thoha, 2005
Model kedua,
bureaucratic politics, melihat hubungan antara lembaga politik dan birokrasi sebagai proses tawar menawar antar individu yang perilakunya
ditentukan oleh kehadiran afiliasi birokratis, partisan yang hadir dalam interaksi, kontrol atas sumberdaya dan tingkat kemampuan persuasif. Selain mengandalkan
kekuasaan politik, masing-masing pelaku dipengaruhi oleh kepentingan masing- masing mereka, persepsi masing-masing tentang kendala, prospek dan implikasi
kebijakan dimasa depan Widyaningrum dan Thoha, 2005 Model
ketiga, institusional, menginterpretasikan pola-pola perilaku aktor
yang terlibat dalam proses interaksi tersebut berasal dari proses historis dan kelembagaan tertentu. Asumsi mendasar model ini adalah bahwa kontruksi sosial dan
organisasi memainkan peran vital dalam proses rekrontruksi realitas sosial tersebut. Teoritis institusional menganggap bahwa outcome organisasi bukan merupakan
konstruksi realitas sosial bukan merupakan hasil negosiasi bargaining antar individu, tetapi merupakan output organisasi. Dengan demikian proses kebijakan
30
harus dikaitkan dengan bagaimana proses setiap aktor memposisikan diri dalam sistem sosial dan berinteraksi dengan isi dan bentuk-bentuk proses kebijakan publik
yang ada Widyaningrum dan Thoha, 2005
2.3 Teori Pengambilan Keputusan