Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih dan Glibenklamid Terhadap Kadar Gula Darah Mencit ormal dan Mencit Diabetes yang Diinduksi Alloksan

(1)

PE GARUH PEMBERIA EKSTRAK BAWA G PUTIH

(

) DA GLIBE KLAMID TERHADAP

KADAR GULA DARAH ME CIT ORMAL DA ME CIT

DIABETES YA G DII DUKSI ALLOKSA

Oleh:

AJIYAH BI TI RUSLI

080100317

FAKULTAS KEDOKTERA

U IVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDA

2011


(2)

PE GARUH PEMBERIA EKSTRAK BAWA G PUTIH

(

) DA GLIBE KLAMID TERHADAP

KADAR GULA DARAH ME CIT ORMAL DA ME CIT

DIABETES YA G DII DUKSI ALLOKSA

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

AJIYAH BI TI RUSLI

IM : 080100317

FAKULTAS KEDOKTERA

U IVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDA

2011


(3)

LEMBAR PE GESAHA

Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih dan Glibenklamid Terhadap Kadar Gula Darah Mencit ormal dan Mencit Diabetes yang Diinduksi Alloksan

AMA : AJIYAH BI TI RUSLI IM : 080100317

Pembimbing

(dr. Tri Widyawati, Msi)

Penguji I

(dr. Isti Ilmiati F, MSc)

Penguji II

(dr. T. Ibnu Alferally, Sp.PA)

Mengetahui:

Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran

Dekan

Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD, KGEH IP: 19540220 198011 1 00


(4)

KATA PE GA TAR

Puji dan syukur terhadap Allah SWT, yang tidak henti hentinya memberikan kurnia Nya sehingga penelitian ini telah selesai disusun tepat pada waktunya. Adapun judul Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih dan Glibenklamid Terhadap Kadar Gula Darah Mencit ormal dan Mencit Diabetes yang Diinduksi Alloksan”. Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa keberhasilan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, khususnya dr. Tri Widyawati, Msi selaku dosen pembimbing. Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga terutamanya orang tua saya, Puan Noridah Binti Aman, serta rekan rekan mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan untuk penelitian ini. Tidak lupa juga kepada ibu Marianne, S.Si, M.Si., Apt. dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang sudi memberi tunjuk ajar dalam menjayakan penelitian ini.

Akhir kata, saya sadar bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, disebabkan berbagai keterbatasan yang saya miliki. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dijadikan perbaikan di masa yang akan datang dan penulis juga mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Kepala Batas, 12 Disember 2011,


(5)

ABSTRAK

Latar belakang: Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit yang sering di Indonesia dan penderitanya dijangka akan meningkat pada 2030 menjadi 21,3 juta orang. Allium Sativum adalah sejenis herba yang digunakan secara tradisionalnya dalam mengobati penyakit kardiovaskular, gangrene dan diabetes. Bawang putih dipercayai mempunyai efek hipoglikemik dengan meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas.

Tujuan: Mengkaji pengaruh pemberian ekstrak bawang putih, dibanding glibenklamid terhadap KGD mencit normal dan diabetes yang diinduksi aloksan.

Metoda: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental Randomized Pre and Post Test Control Group Design. Sampel terdiri dari 24 ekor mencit Mus Musculus L. Strain DDW jantan berusia 3 4 bulan yang dibagi dalam enam kelompok, yaitu kontrol normal (KN1), kelompok normal pembanding (KN2), kelompok normal perlakuan (KN3), kontrol diabetik (KD1), kelompok diabetik pembanding (KD2) dan kelompok diabetik perlakuan(KD3) . Pada kelompok kontrol (KN1 dan KD1) diberikan plasebo, sedangkan untuk kelompok pembanding (KN2 dn KD2) diberikan glibenklamid dosis 0,65mg/kgBB dan kelompok perlakuan (KN3 dan KD3) selama 10 hari. Pengukuran KGD dilakukan sebanyak 3 sebelum induksi, induksi dan pemberian ekstrak bawang putih, metformin dan data yang diperoleh dianalisa dengan Uji T Dependen dan ANOVA satu arah.

Hasil: Pada kelompok diabetik diberi ekstrak bawang putih, dan glibenklamid, menunjukkan terdapat perbedaan rerata KGD mencit sebelum dan sesudah diberi perlakuan yaitu dari 260.75 ± 40.58 menjadi 109.50 ± 9.95 pada mencit diabetik diberi bawang putih dan dari 273.75 ± 39.40 menjadi 381.00 ± 49.46 pada mencit diabetik yang diberi glibenklamid. Terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pemberian ekstrak bawang putih (p=0.004) dan glibenklamid (p=0.005). Uji one way anova antara kelompok dengan lanjutan uji Post Hoc didapati perbandingan antara kelompok bawang putih (KD3) dengan kelompok glibenklamid (KD2) menunjukkan nilai signifikansi P=0.000 (P<0,05) yang menunjukkan bahawa terdapat perbedaan yang bermakna dari perobahan KGD mencit pada pemberian ekstrak bawang putih dan glibenklamid selama 10 hari.

Kesimpulan: Ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dosis 350 mg/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan. Terdapat perbedaan rerata perobahan yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan.


(6)

ABSTRACT

Background: Diabetes Mellitus is a common disease in Indonesia and is expected to increase to 21.3 million diabetics during 2030. Allium Sativum is the herb that traditionally used to treat cardiovascular disease, gangrene and diabetes mellitus. Garlic was believed can cause hypoglycaemic effect by stimulation of the pancreas to release insulin.

Aim of study: Determine the effect of garlic extract and glibenclamide on blood sugar levels on normal and alloxan induced diabetic mice.

Methods: This study is a Randomized experimental study of the Pre and Post Test Control Group Design. The sample consisted of 24 Mus musculus L. Strain DDW mice age 3 4 months old males which were divided into six groups, namely a normal control groups (KN1), a normal compared group (KN2), a normal intervention group (KN3), a diabetic control groups (KD1), a diabetic compared group (KD2) and a diabetic intervention group (KD3). In the control groups (KN1 and KD1) they were given a placebo while for compared groups (KN2 and KD2) were given glibenclamide 0.65mg/kg BW and for intervention groups (KN3 and KD3) were given garlic extract 350 mg / kg BW for 10 days. Blood glucose were measure for three times that is before induction, before and after interventions. Data obtained was analyzed using T dependent test and one way ANOVA.

Results: Garlic extract diabetic groups and glibenclamide diabetic groups shows changes of blood glucose mean before and after intervention that is from 260.75 ± 40.58 to 109.50 ± 9.95 on diabetic mice given garlic extract and from 273.75 ± 39.40 to 381.00 ± 49.46 on diabetic mice given glibenclamide. There is significant changes before and after given garlic extract (p=0.004) and glibenclamide (p=0.005). One way ANOVA, followed by Post Hoc test shows comparison between garlic diabetic group and glibenclamide diabetic groups with significant p=0.000 (p<0.05). These shows significant comparison of blood glucose changes on diabetic groups given garlic extract and glibenclamide for 10 days.

Conclusion: Garlic extract (Allium Sativum) 350mg/kg BW significantly reduce blood glucose level on alloxan induced diabetic mice. There is significant changes of compared means of those two interventions.


(7)

DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN………... KATA PENGANTAR……….. ABSTRAK……….. ABSTRACT……… DAFTAR ISI……… DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR………

BAB 1 PENDAHULUAN………..

1.1 Latar Belakang..………..……….. 1.2 Rumusan Masalah..……….... 1.3 Tujuan Penelitian…..………. 1.3.1 Tujuan Umum…..……….. 1.3.2 Tujuan Khusus….……….. 1.4 Manfaat Penelitian……….………

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….

2.1Diabetes Melitus…….……….. 2.1.1 Definisi……….…… 2.1.2 Epidemiologi………..……… 2.1.3 Faktor Resiko……….. 2.1.4 Klasifikasi……..……….. 2.1.5 Kriteria Diagnostik……… 2.1.6 Patogenesa dan Patofisiologi………

ii iii iv v vi ix x 1 1 3 3 3 3 4 5 5 5 5 6 6 7 7


(8)

2.1.7 Penatalaksanaan……….. 2.1.8 Komplikasi………. 2.2Bawang Putih………... 2.2.1 Terapi Komplementori atau Alternatif…………..………. 2.2.2 Bawang Putih………. 2.2.3 Manfaat Bawang Putih……….. 2.2.4 Farmakokinetika Bawang Putih………..

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL………

3.1 Kerangka Konsep Penelitian………….………..……...… 3.2 Variabel Penelitian………...

3.2.1 Variabel Bebas………..… 3.2.2 Variabel Tergantung……….. 3.3 Definisi Operasional………..………..… 3.4 Hipotesis……….

3.4.1 Hipotesis Nol……… 3.4.2 Hipotesis Alternatif……….

BAB 4 METODE PENELITIAN………

4.1 Jenis Penelitian……….………... 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian………. 4.3 Populasi dan Sampel……….……….

4.3.1 Populasi………. 4.3.2 Sampel………... 4.4 Teknik Pengumpulan Data……….. 4.4.1 Alat dan Bahan……….………... 10 15 17 17 18 19 20 22 22 22 22 22 23 25 25 25 26 26 26 26 26 26 29 29


(9)

4.4.2 Cara Pengambilan Data………. 4.5 Pengolahan dan Analisis Data………

4.5.1 Cara Pengolahan Data ……… 4.5.2 Analisa Data……….

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………

5.1 Hasil Penelitian……… 5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian……… 5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel………. 5.1.3 Hasil Analisa Statistik……… 5.2 Pembahasan Penelitian………. 5.2.1 Diabetes Mellitus……… 5.2.2 Induksi Alloksan……….. 5.2.3 Ekstrak Bawang Putih……… 5.2.4 Obat Anti Diabetika Oral (Glibenklamid)………. 5.2.5 Perbedaan Rerata KGD Mencit………..

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……… 6.1 Kesimpulan……….. 6.2 Saran……… DAFTAR PUSTAKA………...………. LAMPIRAN………... 30 35 35 35 36 36 36 36 37 46 46 47 47 48 48 51 51 51 52 58


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1. Persentase Perubahan dan Deskriptif Rerata KGD pada Tiap Kelompok Mencit Selama 10 hari Perlakuan.…………... Tabel 5.2 Hasil Uji Beda Dua Mean Dependen ………...…… Tabel 5.3 Uji post hoc Tukey……….

40 43 45


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ………... Gambar 5.1 KGD Sebelum dan Setelah Induksi Alloksan……… Gambar 5.2 Perubahan KGD Mencit Sebelum dan Setelah Perlakuan…………. Gambar 5.3 Perbandingan kadar gula darah sebelum dan setelah diberikan

sediaan uji………... 22 38 39


(12)

ABSTRAK

Latar belakang: Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit yang sering di Indonesia dan penderitanya dijangka akan meningkat pada 2030 menjadi 21,3 juta orang. Allium Sativum adalah sejenis herba yang digunakan secara tradisionalnya dalam mengobati penyakit kardiovaskular, gangrene dan diabetes. Bawang putih dipercayai mempunyai efek hipoglikemik dengan meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas.

Tujuan: Mengkaji pengaruh pemberian ekstrak bawang putih, dibanding glibenklamid terhadap KGD mencit normal dan diabetes yang diinduksi aloksan.

Metoda: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental Randomized Pre and Post Test Control Group Design. Sampel terdiri dari 24 ekor mencit Mus Musculus L. Strain DDW jantan berusia 3 4 bulan yang dibagi dalam enam kelompok, yaitu kontrol normal (KN1), kelompok normal pembanding (KN2), kelompok normal perlakuan (KN3), kontrol diabetik (KD1), kelompok diabetik pembanding (KD2) dan kelompok diabetik perlakuan(KD3) . Pada kelompok kontrol (KN1 dan KD1) diberikan plasebo, sedangkan untuk kelompok pembanding (KN2 dn KD2) diberikan glibenklamid dosis 0,65mg/kgBB dan kelompok perlakuan (KN3 dan KD3) selama 10 hari. Pengukuran KGD dilakukan sebanyak 3 sebelum induksi, induksi dan pemberian ekstrak bawang putih, metformin dan data yang diperoleh dianalisa dengan Uji T Dependen dan ANOVA satu arah.

Hasil: Pada kelompok diabetik diberi ekstrak bawang putih, dan glibenklamid, menunjukkan terdapat perbedaan rerata KGD mencit sebelum dan sesudah diberi perlakuan yaitu dari 260.75 ± 40.58 menjadi 109.50 ± 9.95 pada mencit diabetik diberi bawang putih dan dari 273.75 ± 39.40 menjadi 381.00 ± 49.46 pada mencit diabetik yang diberi glibenklamid. Terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pemberian ekstrak bawang putih (p=0.004) dan glibenklamid (p=0.005). Uji one way anova antara kelompok dengan lanjutan uji Post Hoc didapati perbandingan antara kelompok bawang putih (KD3) dengan kelompok glibenklamid (KD2) menunjukkan nilai signifikansi P=0.000 (P<0,05) yang menunjukkan bahawa terdapat perbedaan yang bermakna dari perobahan KGD mencit pada pemberian ekstrak bawang putih dan glibenklamid selama 10 hari.

Kesimpulan: Ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dosis 350 mg/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan. Terdapat perbedaan rerata perobahan yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan.


(13)

ABSTRACT

Background: Diabetes Mellitus is a common disease in Indonesia and is expected to increase to 21.3 million diabetics during 2030. Allium Sativum is the herb that traditionally used to treat cardiovascular disease, gangrene and diabetes mellitus. Garlic was believed can cause hypoglycaemic effect by stimulation of the pancreas to release insulin.

Aim of study: Determine the effect of garlic extract and glibenclamide on blood sugar levels on normal and alloxan induced diabetic mice.

Methods: This study is a Randomized experimental study of the Pre and Post Test Control Group Design. The sample consisted of 24 Mus musculus L. Strain DDW mice age 3 4 months old males which were divided into six groups, namely a normal control groups (KN1), a normal compared group (KN2), a normal intervention group (KN3), a diabetic control groups (KD1), a diabetic compared group (KD2) and a diabetic intervention group (KD3). In the control groups (KN1 and KD1) they were given a placebo while for compared groups (KN2 and KD2) were given glibenclamide 0.65mg/kg BW and for intervention groups (KN3 and KD3) were given garlic extract 350 mg / kg BW for 10 days. Blood glucose were measure for three times that is before induction, before and after interventions. Data obtained was analyzed using T dependent test and one way ANOVA.

Results: Garlic extract diabetic groups and glibenclamide diabetic groups shows changes of blood glucose mean before and after intervention that is from 260.75 ± 40.58 to 109.50 ± 9.95 on diabetic mice given garlic extract and from 273.75 ± 39.40 to 381.00 ± 49.46 on diabetic mice given glibenclamide. There is significant changes before and after given garlic extract (p=0.004) and glibenclamide (p=0.005). One way ANOVA, followed by Post Hoc test shows comparison between garlic diabetic group and glibenclamide diabetic groups with significant p=0.000 (p<0.05). These shows significant comparison of blood glucose changes on diabetic groups given garlic extract and glibenclamide for 10 days.

Conclusion: Garlic extract (Allium Sativum) 350mg/kg BW significantly reduce blood glucose level on alloxan induced diabetic mice. There is significant changes of compared means of those two interventions.


(14)

BAB 1 PE DAHULUA

1.1 Latar Belakang

Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), diperkirakan pada tahun 2020 penyakit tidak menular menjadi penyebab tujuh dari sepuluh kematian di negara berkembang berbanding kurang dari separuh ketika ini. Keadaan ini amat berkait rapat dengan meningkatnya jangka hayat dan perobahan gaya hidup yang ketara di kalangan masyarakat dalam tempoh dua dekad ini. Salah satu penyakit tidak menular yang menyaksikan kenaikan prevalensi yang mendadak adalah diabetes melitus. Prevalensi diabetes di dunia pada tahun 2000 adalah 171.000.000 dan dijangka meningkat lebih sekali ganda pada 2030 dengan prevalensi 366.000.000. Sehingga beberapa dekad yang lalu, diabetes merupakan masalah terutamanya pada negara maju. Namun,disebabkan faktor perobahan gaya hidup dan amalan diet, negara berkembang seperti Indonesia juga berhadapan dengan masalah yang sama. Buktinya, prevalensi diabetes di Indonesia menduduki tempat keempat setelah India, Cina dan Amerika dengan angka kejadian 8,4 juta pada tahun 2000 dan dijangka meningkat kepada 21,3 juta pada 2030 (WHO, 2011).

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan yang tidak efektif dari produksi insulin. DM terdiri dari dua tipe yaitu tipe pertama DM yang disebabkan keturunan dan tipe kedua disebabkan gaya hidup (WHO, 2011). DM yang tidak terkontrol bisa menimbulkan komplikasi termasuklah neuropati, retinopati dan nefropati. Bagi mengelakkan berlakunya komplikasi ini, program pengendalian DM yang sistematis telah dianjurkan WHO meliputi pencegahan faktor resiko DM yaitu upaya promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Terapi medikamentosa bagi DM dapat dibahagi kepada beberapa tipe sesuai mekanisme


(15)

kerja obat yaitu meningkatkan tahap insulin di dalam tubuh (sulfoniluria), menghambat proses glukoneogenesis (biguanida) dan mengurangkan absorpsi glukosa di usus halus (inhibitor glukosidase alfa). Obat modern ini juga sering diganti dengan herba tradisional atau perawatan alternatif.

Bawang putih atau nama saintifiknya Allium sativum L. telah lama digunakan sebagai makanan dan obat. Pada perang dunia kedua dan ketiga, bawang putih digunakan bagi mencegah gangrene (University of Maryland Medical Center / UMMC, 2011). Kini,bawang putih digunakan secara meluas dalam mencegah insiden penyakit jantung, termasuklah arterosklerosis, hiperkolesterolemia dan hipertensi (Banerjee dan Maulik, 2011). Bawang putih juga dikaitkan dengan anti kanker, anti jamur (Kemper, 2000), dan anti bakteria (Browning, 2000). Selain itu,bawang putih juga secara tradisionalnya digunakan dalam mengobati diabetes tipe I dan II di Asia, Timur tengah dan Eropa. Komponen aktif di dalam bawang putih yang berperan bagi tujuan medikamentosa adalah allicin (diallyl disulfida oksida) dan APDS (allyl propyl disulfida), flavonoid dan sebagainya. Bawang putih dipercayai dapat menstimulasi pankreas dalam meningkatkan produksi insulin. Penelitian sebelumnya yang mendukung hal ini telah dirangkum oleh Banerjee dan Maulik pada 2002 di dalam jurnal yang bertajuk Effect of Garlic on Cardiovascular Disorder : a review. Antara penelitian tentang sifat bawang putih sebagai hipoglikemik adalah Sheela dan Augusti, 1992 dan Sheela, Kumud dan Augusti, 1995 yang dilakukan terhadap mencit. Hal yang sama juga didapat pada penelitian yang dilakukan terhadap kelinci oleh Jain dan Vyas, 1975 dan Mathew dan Augusti, 1973. Walaubagaimanapun, penelitian tentang hal ini masih kurang dan memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efek anti diabetes ekstrak alkoholik bawang putih pada mencit normal dan yang diinduksi alloksan dan dibandingkan dengan sulfonilurea.

Peneliti menggunakan mencit Mus Musculus L. strain Double Distsch Webster (DDW) jantan normal dan diinduksi alloksan. Alloksan mengakibatkan kerusakan


(16)

irreversibel pada sel β pankreas, mengakibatkan terjadi degranulasi dan kehilangan sekresi insulin. Maka, hewan diabetes yang diinduksi alloksan adalah bersifat diabetes insulin dependen tipe 1 (Lenzen). Masing masing kelompok mencit yang normal dan mencit diabetes diinduksi alloksan, dibagi kepada tiga kelompok yaitu plasebo, diberi ekstrak alkoholik bawang putih dan diberi obat glibenklamid dengan pemberian masing masing dosis ekstrak bawang putih dan glibenklmid adalah 350 mg/kg BB dan 0,65 mg/kg BB (Semwal, Rawat, Badoni, Semwal dan Singh, 2010). Aktivitas hipoglikemik dinilai berdasarkan kadar gula darah sewaktu.

1.2.Rumusan masalah

Bagaimana efek anti diabetes ekstrak alkoholik bawang putih pada mencit normal dan mencit diabetes yang diinduksi alloxan dibandingkan dengan sulfonilurea.

1.3.Tujuan penelitian 1.3.1.Tujuan umum

Penelitian bertujuan untuk mengkaji efek anti diabetes ekstrak alkoholik bawang putih pada mencit normal dan mencit yang diinduksi alloksan dibandingkan dengan sulfonilurea.

1.3.2.Tujuan khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Efek ekstrak bawang putih terhadap kadar gula darah pada mencit normal dan mencit diabetes yang diinduksi alloksan.

2. Efek sulfonilurea terhadap kadar gula darah pada mencit normal dan mencit diabetes yang diinduksi alloksan.

3. Perbandingan efek ekstrak bawang putih dan sulfonilurea terhadap kadar gula darah pada mencit normal dan mencit diabetes yang diinduksi alloksan.


(17)

1.4.Manfaat penelitian

Data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat bawang putih terhadap kadar gula darah

2. Memberi landasan bagi penggunaan bawang putih sebagai obat alternatif anti diabetes.


(18)

BAB 2

TI JAUA PUSTAKA

2.1.Diabetes 2.1.1.Definisi

Diabetes adalah penyakit kronik yang terjadi diakibatkan kegagalan pankreas memproduksi insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat menggunakan secara efektif insulin yang diproduksi. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah adalah efek utama pada diabetes tidak terkontrol dan pada jangka waktu lama bisa mengakibatkan kerusakan serius pada syaraf dan pembuluh darah (WHO, 2010).

2.1.2.Epidemiologi

Prevalensi diabetes pada semua peringkat umur di seluruh dunia diperkirakan 2.8% pada 2000 dan 4.4% pada 2030. Ini bermakna jumlah penderita diabetes di seluruh dunia dijangka meningkat dari 171 juta orang pada 2000 kepada 366 juta orang pada 2030. Angka ini jauh 11% lebih tinggi daripada yang dianggarkan yaitu 154 juta orang. Peningkatan ini dikaitkan dengan peningkatan jumlah penderita obesitas, pertambahan jumlah golongan usia lanjut dan perobahan gaya hidup terutama pada negara industri (Wild, Roglic, Green, Sicree dan King, 2004). Indonesia tidak terkecuali karena dengan makin majunya keadaan ekonomi masyarakat Indonesia serta peningkatan jangka hayat, diperkirakan tingkat kejadian penyakit DM juga akan meningkat. Dari berbagai penilitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi sebesar 1.5 2.3% pada penduduk lebih besar dari 15 tahun. Pada 2000, diperkirakan sejumlah 8.4 juta orang yang menderita DM dan dijangkakan akan meningkat pada tahun 2030 kepada 21.3 juta orang. Angka ini menyebabkan Indonesia merupakan negara keempat terbanyak penduduk yang menderita DM dibelakang India, Cina dan Amerika.


(19)

2.1.3.Faktor resiko

Riwayat keluarga dengan DM, seperti orang tua dengan diabetes tipe 2, obesitas (indeks massa tubuh ≥25kg/m2 ), kurang aktivitas fisikal, ras, pernah ditemukan toleransi glukosa terganggu atau glukosa puasa terganggu, riwayat DM gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir >4kg, hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90mmHg), kolesterol HDL <35mg/dL dengan /atau trigliserida >250 mg/dL, sindroma polisistik ovari atau akantosis nigricans dan riwayat penyakit vaskular (American Diabetes Association, 2007).

2.1.4.Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association, 2007

Diabetes tipe 1 (dekstruksi sel beta yang akhirnya defisiensi insulin absolut) Imun mediated

idiopatik

Diabetes tipe 2 (dengan dominan salah satu antara insulin resistensi atau defek sekresi insulin)

Tipe lain diabetes yang spesifik:

Defek genetik dari fungsi sel beta yang dikarakteristikkan oleh mutasi pada:

Faktor transkripsi nuklear hepatosit (HNF) 4α (MODY1) Glukokinase (MODY2)

HNF 1 α (MODY3)

Faktor promoter insulin 1 (IPF 1;MODY4) HNF 1β (MODY5)

Neuro D1(MODY6) Mitokondria DNA


(20)

Proinsulin atau konversi insulin Defek genetik pada aksi insulin :

Resistensi insulin Tipe A Leprekaunism

Sindroma Rabson Mendenhall Sindroma lipodistrofi

Penyakit pada pankreas eksokrin – pankreatitis, pankreatektomi, neoplasia, sistik fibrosis, hernokromatosis, pankretopati fibrokalkulus Endokrinopati – akromegali, sindroma Cushing, glukagonoma, pheokromositoma, hipertiroid

Induksi obat obatan atau kimiawi – Vacor, pentamidin, asam nikotik, glukokortikoid, hormone tiroid, fenitoin, interferon α

Infeksi– rubella kongenital, sitomegalovirus, coxsakie

Diabetes mediasi imun yang jarang – antobodi reseptor anti insulin

Sindroma genetic yang lain – sindroma Down, sindroma Klinefelter, sindroma Turner, ataksia Friedreich, korea Huntington

Diabetes mellitus gestational

2.1.5.Kriteria diagnostik

Simptom diabetes dengan konsentrasi glukosa darah random ≥11.1 mmol/L atau gula darah puasa ≥7.0mmol/L atau gula darah dua jam ≥11.1 mmol/L pada tes toleransi glukosa oral (American Diabetes Association, 2007).

2.1.6.Patogenesa dan patofisiologi a) Diabetes tipe 1

DM tipe 1 adalah hasil interaksi genetika, lingkungan dan faktor imunologik yang membawa kepada destruksi sel pankreas beta dan defisiensi insulin. Kebanyakan orang dengan DM tipe1 disebabkan destruksi autoimun sel beta tetapi


(21)

tidak pada sesetengah penderita yang tidak ditemui marker imunologis pada mereka. Proses mekanisme sebenar penyebab DM tipe 1 pada kelompok ini masih tidak diketahui. Faktor yang mencetus terjadinya proses autoimun ini dipercayai adalah infeksi atau stimulus linkungan dan menetap dengan adanya molekul spesifik sel beta. Secara majoriti, marker imunologik timbul setelah terdapat pencetus dan sebelum terjadinya dibetes. Penurunan massa sel beta menyebabkan terganggunya sekresi insulin, walaubagaimanapun pada ketika ini toleransi glukosa masih dapat dipertahankan. Diabetes hanya bisa didapat setelah hampir 80% sel beta rusak. Kadar kerusakan sel beta adalah bervariasi pada setiap individu.

Secara patologi, dijumpai infiltrat limfosit pada pulau pankreas yang rusak dan setelah keseluruhan sel beta rusak, pulau akan atrofi dan marker imunologik akan menghilang. Penelitian pada proses autoimun pada manusia dan hewan coba dijumpai ketidak normalan pada berikut :

autoantibodi pulau

limfosit teraktivasi,kelenjar getah bening peripankreas dan sistem sirkulasi limfosit T

sitokin

Mekanisme yang tepat kematian sel beta adalah tidak diketahui tetapi melibatkan formasi metabolit oksida nitrik, apoptosis dan sitotoksisitas direk dari CD8+ sel T (Fauci et al., 2008).

b) Diabetes tipe 2

DM tipe 2 sangat terkait dengan resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal. Walaubagaimanapun defek primer masih lagi kontroversi, kebanyakan penelitian menyokong resistensi insulin diikuti defek sekresi insulin dan diabetes hanya dapat berkembang sekiranya sekresi insulin adalah tidak adekuat. Secara patofiolosinya, DM tipe 2 sangat berkait rapat dengan sekresi insulin yang terganggu, resistensi insulin, produksi glukosa hepar yang berlebihan dan metabolisme lemak yang abnormal. Kejadian obesitas adalah sangat sering pada DM tipe2. Pada


(22)

peringkat awal, toleransi glukosa masih normal walaupun telah terjadi resistensi insulin karena sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi situasi ini dengan meningkatkan output insulin. Bagaimanapun, setelah kedua dua keadaan ini berterusan, pulau pankreas tidak dapat lagi mengkompensasi status hiperinsulinemi. Toleransi glukosa terganggu dengan dikarakteristikkan oleh peningkatan glukosa post prandial. Penurunan sekresi insulin yang berterusan mengakibatkan peningkatan kadar gula darah puasa. Akhirnya, gagal sel beta bisa terjadi.

Resistensi insulin adalah penurunan keupayaan menggunakan insulin secara efektif pada jaringan target yaitu otot, hepar dan lemak yang terhasil daripada kombinasi genetika dan obesitas. Resistensi insulin mengakibatkan terganggunya utilisasi glukosa dan peningkatan output glukosa hepar. Mekanisme molekular yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin masih kurang diketahui. Bagaimanapun, defek post reseptor berperan penting dalam masalah ini yaitu defek dari fosforilasi yang diregulasi insulin (contohnya : sinyal PI 3 kinase) bisa mengakibatkan penurunan translokasi GLUT 4 ke membran plasma. Selain itu, faktor lain yang mengakibatkan terjadinya resistensi insulin adalah penurunan jumlah reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase, bagaimanapun perobahan ini adalah sekunder dari hiperinsulinemia. Pada kasus obesitas pula, peningkatan produk biologis seperti adipokines akan memodulasi sensitivitas insulin sebaliknya terjadi pengurangan produksi adinopektin oleh adiposit, yaitu sejenis peptida sensitisasi insulin. Bukan itu sahaja, akumulasi lipid pada miosit skeletal telah mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan pengurangan produksi ATP mitokondria yang distimulasi insulin. Walaubagaimanapun, tidak semua jalur tranduksi insulin menjadi resisten, terdapat jalur protein kinase aktivasi mitogenik. Pada hiperinsulinemia, aktivitas insulin melalui jalur ini dan akhirnya mengakibatkan aterosklerosis.

Resistensi dan sekresi insulin adalah berkaitan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin pada awalnya mengalami kenaikan bagi mempertahan toleransi glukosa. Kemudian, diikuti penurunan sekresi insulin secara selektif yang distimulasi glukosa.


(23)

Respons pada stimulasi non glukosa lainnya sepeti arginin masih dipertahankan. Lama kelamaan akan terjadi sekresi insulin yang tidak adekuat. Penyebab defek sekresi insulin ini masih kurang diketahui. Antara penyebab yang diasumsi adalah defek genetika dan disfungsi pulau pankreas yang disebabkan oleh metabolik linkungan (toksisitas glukosa atau lipotoksisitas).

Pada DM tipe 2, resistensi insulin adalah mencerminkan kegagalan hiperinsulinemia untuk mensupresi glukoneogenesis. Hasil dari resistensi insulin pada jaringan adipos dan obesitas adalah peningkatan asam lemak bebas yang keluar dari adiposit. Yang akan menyebabkan sintesa lipid (trigliserida dan VLDL) di hepatosit meningkat. Penyimpanan lemak ini akan mengakibatkan penyakit lemak hepar non alkoholik. Keadaan ini juga menyebabkan dislipidemia pada pasien DM tipe2 (Fauci et al., 2008).

2.1.7.Penatalaksanaan

Sebelum pasien DM diobati riwayat yang lengkap terkait masalah DM perlu diketahui termasuklah berat badan, riwayat penyakit DM dalam keluarga, ada atau tidaknya faktor resiko seperti penyakit kardiovaskular, merokok dan kebiasaan olahraga. Perlu juga ditanyakan ada atau tidaknya simptom simptom hiperglikemi seperti poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan, lemah, frekuensi infeksi superfisial dan lambat penyebuhan dari lesi. Pemeriksaan fisik juga dianjurkan untuk menilai indeks massa tubuh pasien, pemeriksaan retina, kaki, periodontal dan neurologis. Pada pasien diabetes, tekanan darah >130mmHg diklasifikasikan sebagai hipertensi. Dengan maklumat yang didapat, pasien dapat diklasifikasikan kepada kelompok kelompok (seperti telah dinyatakan di atas).

Karakteristik pada pasien DM tipe 1 adalah: onset sebelum usia 30 tahun

penampilan kurus


(24)

lebih rentan berkembang menjadi ketoasidosis meningkatnya resiko mendapat penyakit autoimun.

Pada DM tipe 2 pula, karakteristiknya berupa: onset diabetes setelah usia 30 tahun

selalunya obes

tidak memerlukan insulin sebagai terapi initial

dapat disertai kondisi seperti insulin resisten, hipertensi, penyakit kardiovaskular dan dislipidemia.

Tidak lupa juga, pemeriksaan laboratorium perlu dilaksanakan bagi penegakan diagnosa diabetes bagi memenuhi kriteria diagnostik (seperti di atas), bagi tujuan menilai tahapan kontrol kadar gula darah dan melihat adakah telah terjadi komplikasi pada pasien. Pemeriksaan laboratorium termasuklah glukosa serum, insulin serum, C peptida serum dan HbA1C.

Secara keseluruhannya, prinsip pengobatan pada DM adalah untuk: mengeliminasi simptom yang terkait masalah hiperglikemi

mengurangkan atau eliminasi komplikasi jangka panjang DM pada mikro dan makrovaskular

membolehkan pasien menikmati kualitas hidup yang normal.

Para dokter perlu menentukan tahapan target bagi kontrol kadar gula darah setiap pasien, memberikan edukasi dan obat obatan yang diperlukan dan memonitor kejadian komplikasi DM. Selalunya, simptom DM akan menghilang setelah glukosa plasma dapat dikurangkan <200mg/dL, maka tatalaksana DM lebih terfokus pada matlamat kedua dan ketiga.

Matlamat dari tatalaksana pada pasien diabetes dewasa adalah : kontrol kadar gula darah

HbA1c <7.0c

glukosa kapiler plasma pre prandial 90 130mg/dL glukosa kapiler plasma post prandial <180mg/dL


(25)

tekanan darah <130/80mmHg profil lipid

lipoprotein densitas rendah(LDL) <100mg/dL lipoprotein densitas tinggi(HDL) >40mg/dL trigleserida <150mg/dL.

Pada peringkat edukasi pasien, antara topik yang penting adalah monitor kadar gula darah secara mandiri, monitor keton urin (pada pasien DM tipe 1), administrasi insulin, aturan tatalaksana sewaktu sakit, tatalaksana hipoglikemi, perawatan kaki yang betul dan tatalaksana diabetes sebelum, semasa dan selepas olahraga. Pada masa yang sama, dilakukan terapi nutrisi medis (medical nutrition therapy/MNT). MNT berarti koordinasi optimal konsumsi kalori dan terapi diabetes yang lain (insulin olahraga, pengurangan berat badan). Terdapat tiga tipe dari MNT yaitu pencegahan primer, sekunder dan tertier. Pencegahan primer adalah mencegah berlakunya onset diabetes pada individu yang beresiko tinggi (obese), pencegahan sekunder pula adalah usaha memperlambat terjadinya komplikasi diabetes dengan melakukan kontrol kadar gula darah dan pencegahan tertier adalah menatalaksana komplikasi dari DM. Matlamat MNT pada pasien DM tipe 1 adalah menyesuaikan konsumsi kalori dan jumlah insulin yang ingin diberikan. Pada pasien DM tipe 2 pula, matlamat MNT adalah menurunkan berat badan (terkait faktor resiko obesitas), reduksi kalori yang sederhana, konsumsi lemak yang berkurang, peningkatan aktivitas fisik dan pengurangan hiperlipidemia dan hipertensi. Pasien DM juga dianjurkan aktivitas olahraga yang bersesuaian.

Pada DM tipe 1, dianjurkan tatalaksana secara intensif meliputi edukasi pasien, monitor kadar gula darah pasien, konsumsi nutrisi dan pemberian regimen insulin yang bersesuaian dengan konsumsi glukosa yang akhirnya bertujuan mencapai kadar gula darah normal seperti yang dianjurkan ADA. Regimen insulin yang digunakan ketika ini adalah hasil rekombinan teknologi DNA yang terdiri dari susunan asam amino dari insulin manusia. Insulin hewani tidak lagi digunakan.


(26)

Insulin eksogenous ini dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok yaitu insulin bekerja jangka masa pendek dan jangka masa panjang. Insulin jangka masa pendek akan memenuhi keperluan insulin prandial, manakala insulin jangka masa panjang akan memenuhi keperluan insulin basal. Pasien DM tipe 1 juga dapat diberikan regimen insulin komponen multiple yaitu hasil kombinasi basal insulin dan bolus insulin (insulin jangka pendek pre prandial). Pengiraan dosis insulin preprandial dapat menggunakan rumus rasio insulin: karbohidrat (1 1.5unit/10g dari karbohidrat) atau (BB dalam kg) x (kadar gula darah – glukosa yang diinginkan dalam mg/dL)/1500. Agen lain yang bisa digunakan dalam mengawal kadar gula darah adalah analog amylin yang dapat menurunkan glikemi pre prandial. Selain itu, dapat digunakan inhibitor glukosidase α.

Secara umum, matlamat yang ingin dicapai pada tatalaksana DM tipe 2 adalah kontrol kadar gula darah, tatalaksana kondisi yang terkait dengan DM tipe 2 (obesitas, hipertensi, dislipidemia, penyakit kardiovaskular) dan deteksi komplikasi DM. Terapi DM tipe 2 diawali dengan MNT. Olahraga sangat bermanfaat dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan pengurangan berat badan. Terapi farmakologi bagi DM tipe 2 termasuklah agent pengurang glukosa oral, insulin dan lain lain. Agen pengurang glukosa oral diklasifikasikan menurut mekanisme masing masing obat yaitu meningkatkan sekresi insulin, menurunkan produksi glukosa, meningkatkan sensitivitas insulin dan meningkatkan aksi GLP 1. Agen agen ini (kecuali inhibitor glukosidase α dan analog amilin) adalah tidak efektif pada DM tipe 1.

Peningkatan sekresi insulin dapat dicapai dengan interaksi liang kalium sensitif ATP pada sel beta. Obat ini paling berkesan diberikan pada kurang 5 tahun onset dari diabetes tipe2 karena masih terdapat insulin endogenous residual. Nama generik pada golongan ini adalah sulfoniluria (generasi pertama dan kedua ) dan non sulfoniluria. Sulfoniluria dapat menurunkan kedua kadar gula darah puasa dan post prandial, dan bisa menyebabkan hipoglikemi persisten. Efek samping dari penggunaan obat anti diabetes dari golongan ini adalah peningkatan berat badan.


(27)

Terdapat isoform dari “channel kalium sensitive ATP” pada miokard dan otak menyebabkan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular pada pasien yang mengkonsumsi golongan obat ini.

Golongan biguanida yang dipresentasi oleh metformin dapat menurunkan produksi glukosa hepar dengan mekanisme yang masih belum diketahui dan juga dapat meningkatkan utilisasi glukosa perifer. Metformin dapat menurunkan kadar gula darah puasa, memperbaiki profil lipid dan menurunkan berat badan. Golongan inhibitor glukosidase α pula mengurangkan hiperglikemi post prandial dengan memperlambat absorpsi glukosa. Ia tidak mengganggu utilisasi glukosa atau sekresi insulin tetapi menginhibisi enzim yang memecahkan oligosakarida kepada gula ringkas di lumen intestinal. Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah diare, distensi abdominal akibat peningkatan penghantaran oligosakarida ke usus besar. Efek yang tidak diingini bisa dicegah dengan menggunakan dosis titrasi yang meningkat secara gradual. Obat dari golongan ini kurang poten jika dibandingkan dengan agen oral yang lain dalam menurunkan HbA1C. Jika terjadi hipoglikemi pada pasien yang menggunakan obat dari golongan ini, pasien dianjurkan mengkonsumsi glukosa karena penyerapan karbohidrat kompleks adalah dihambat.

Terdapat juga golongan obat thiazolidinediones yang bekerja dengan menurunkan resistensi insulin dengan berikatan pada reseptor PPAR γ. Reseptor ini banyak dijumpai pada adiposit dan agonis pada reseptor ini akan meningkatkan diferensiasi adiposit, menurunkan akumulasi lemak pada hepar dan menurunkan resistensi insulin. Penurunan resistensi insulin ini didapat melalui peningkatan penyimpanan lemak dan peningkatan adinopektin. Efek samping dari obat ini adalah edema perifer dan gagal jantung kongestif. Selain itu, prototipe dari golongan obat ini juga ditarik dari pasaran Amerika Serikat karena sifatnya yang hepatotoksik.

Pemberian terapi insulin diperkirakan pada pasien DM tipe2 yang mengalami kehilangan BB yang berat, pasien dengan penyakit renal atau hepar penyerta atau pasien yang berada di rumah sakit. Terapi insulin juga dapat diberikan pada pasien


(28)

yang mula terdapat defisiensi insulin akibat menderita diabetes jangka masa panjang. Seperti yang kita tahu, ciri dominan bagi pasien diabetes tipe2 adalah peningkatan kadar gula darah puasa hasil peningkatan produksi glukosa hepar. Maka,terapi insulin yang dianjurkan adalah terapi insulin basal yang bisa juga dikombinasikan dengan anti diabetes oral. Ini termasuklah, biguanide, inhibitor glukosidase α atau thiazolidinediones. Walaubagaimanapun, kombinasi thiazolidinediones dan terapi insulin adalah kurang dianjurkan karena bisa menyebabkan kenaikan berat badan dan edema (Fauci et al., 2008).

2.1.8.Komplikasi

Jika berbicara tentang diabetes, kita tidak dapat lari untuk berbicara tentang komplikasinya. Komplikasi akut pada kasus diabetes adalah ketoasidosis diabetes (diabetic ketoacidosis/DKA) dan hiperosmolaritas hiperglikemi (hyperglycaemic hyperosmolarity/HHS). DKA terjadi akibat defisiensi absolut atau relatif insulin yang dikombinasi dengan regulatori kelebihan hormon glukagon, katekolamin, kortisol. Ketosis terjadi akibat peningkatan perlepasan asam lemak bebas dari adiposit, yang akhirnya mengakibatkan sintesa badan keton di hepar. Penurunan insulin dikombinasi dengan peningkatan katekolamin dan growth factor, meningkatkan lipolisis dan perlepasan asam lemak bebas. Secara normal, asam lemak bebas ini akan dikonversi menjadi trigliserida atau VLDL di hepar. Walaubagaimanapun, pada DKA. hiperglukagonemi merubah metabolism hepar untuk meningkatkan formasi bada keton dengan mengaktivasi enzim karnitin palmitotranferase I. Enzim ini penting dalam regulasi transportasi asam lemak ke dalam mitokondria, di mana terjadi oksidasi beta dan konversi badan keton terjadi. Pada PH yang fisiologis, badan keton wujud sebagai ketoasid yang dineutralisasi oleh bikarbonat. Setelah simpanan bikarbonat berkurang, berlakulah asidosis metabolik. Peningkatan asam laktat juga menyumbang kepada terjadinya asidosis metabolik. Tanda tanda terjadinya DKA


(29)

termasuklah mual, muntah, dahaga, poliuri, respirasi kussmaul, takikardi, takipnea, dehidrasi, hipotensi, nyeri abdomen dan sebagainya.

HHS sering terjadi pada lansia dengan DM tipe 2 dengan riwayat beberapa minggu sebelumnya, poliuri, penurunan berat badan yang akhirnya mengakibatkan perobahan status mental. Beda HHS dan DKA adalah tiadanya simptom mual, muntah dan nyeri abdomen pada DKA. HHS sering diperberat oleh penyakit seperti miokard infak atau strok, sepsis, pneumonia dan infeksi serius yang lain. Penyebab HHS adalah defisiensi insulin relatif dan konsumsi cairan yang inadekuat tanpa adanya ketosis. Ketiadaan ketosis masih tidak dapat dijelaskan.

Komplikasi kronik dari diabetes melibatkan berbagai sistem organ dan berperan penting bagi morbilitas dan mortilitas dari penyakit ini. Komplikasi kronik DM dapat diklasifikasikan seperti berikut:

mikrovaskular

penyakit mata (retinopati atau edema makular) neuropati (sensori, motor atau autonomik) nefropati

makrovaskular

penyakit arteri koroner penyakit arteri perifer penyakit serebrovaskular lain lain

gastrointestinal (gastroparesis,diare) genitourinari (uropati/disfungsi seksual) dermatologi

infeksius katarak glaukoma


(30)

Lamanya atau kronisitas hiperglikemi amat berperan penting dalam terjadinya komplikasi kronis DM dan sering ditemui pada dekade kedua penyakit DM. Memandangkan DM tipe 2 didahului periode asimptomatik yang panjang, komplikasi kronik DM ditemui pada saat diagnosa. Terdapat empat hipotesa bagi menerangkan bagaimana hiperglikemi bisa menyebabkan terjadinya komplikasi kronik DM.

Salah satu teori adalah peningkatan glukosa intrasel mengakibatkan formasi advanced glycosylation end products (AGEs) melalui gikosilasi non enzimatik protein intra dan ekstaseluler. AGEs mengakibatkan cross link protein, mempercepat aterosklerosis, disfungsi glomerular, sintesa oksida nitrik menurun, disfungsi endothelial dan perobahan komposisi matriks dan stuktur ekstraseluler. Teori kedua adalah hiperglikemi mengakibatkan peningkatan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol. Glukosa intraseluler secara dominan dimetabolisme dengan fosforilasi dan glikolisis, tetapi apabila jumlahnya meningkat, sebahagian glukosa dikonversi menjadi sorbitol. Peningkatan konsentrasi sorbitol merobah potensial redoks, meningkatkan osmolaritas intrasel, membentuk spesies oksigen reaktif dan akhirnya membawa kepada disfungsi seluler yang lain.

Hipotesa ketiga adalah hiperglikemi meningkatkan formasi diasilgliserol yang akhirnya mengakibatkan aktivasi protein kinase C (PKC). Antara kesan aktivasi PKC adalah perobahan transkripsi gene fibronektin, kolagen tipe IV, protein kontraktil dan protein matriks ekstrasel pada sel endothelial dan neuron. Hipotesa yang terakhir pula adalah hiperglikemi meningkatkan fluks melalui jalur heksosamin. Jalur ini mengakibatkan perobahan fungsi melalui glikosilasi protein seperti sintase nitrik oksida endothelial atau melalui perobahan ekspresi gene transforming growth factor β atau plasminogen activator inhibitor 1 (Fauci et al., 2008).


(31)

2.2.Bawang putih

2.2.1.Terapi komplementori atau alternatif

Selain terapi konvensional, terapi komplementori atau alternatif juga kian meningkat popular di kalangan masyarakat. Menurut 0ational Institute of Health (NIH), terapi komplementori dan alternatif (complementary and alternative medicine/CAM) adalah kelompok dari sistem kesehatan, praktis dan produk yang masih belum dianggap sebagai terapi konvensional. Antara penyebab yang dikenalpasti oleh NIH yang menjadi penyebab orang ramai memilih perawatan CAM adalah faktor terapi konvensional memakan belanja yang tinggi dan lebih se perempat dari responden mengatakan tidak mempercayai terapi konvensional dapat menyelesaikan masalah medis mereka. CAM diklasifikasikan kepada lima kelompok mayor oleh NIH yaitu praktis berbasis biologis, terapi energi, praktis manipulatif menggunakan badan, terapi badan minda dan terapi keseluruhan sistem.

Sejak ribuan tahun dahulu, tumbuhan telah digunakan seantero dunia bagi tujuan medis dan kini, ia digunakan oleh satu dari lima orang Amerika dengan kurang separuh darinya memaklumkan praktisi konvensional. Lebih 70 persen menyatakan akan tetap mengkonsumsi suplemen kegemaran mereka walaupun pihak kerajaan mendapati ianya tidak efektif. Maka, penelitian perlu dilakukan dalam mengkaji efikasi dan tingkat keamanan penggunaannya (McPhee dan Papadakis, 2007).

2.2.2.Bawang putih

Bawang putih (allium sativum) termasuk genus afflum atau di Indonesia lazim disebut bawang putih. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan ternak berbentuk labu dan berulas. Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak setinggi 30 75 cm, mempunyai batang palsu yang terbentuk dari pelepah pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabut serabut kecil yang bejumlah banyak dan setiap labu bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (ulas) yang setiap ulasnya terbungkus kulit tipis


(32)

berwarna putih. Bawang putih yang secara semulajadinya merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, sekarang di Indonesia, telah mula ditanam di dataran rendah. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian tanah berkisar 200 250 meter di atas permukaan laut. Variasi nama bagi bawang putih adalah “Garlic” (Inggris), Bawang Putih (Indonesia), Bawang (Jawa), Bawang Bodas (Sunda), Bawang handak (Lampung), Kasuna (Bali), Lasuna pute (Bugis), Bhabang pote (Madura), Bawa bodudo (Ternate), Kalfeo foleu (Timor) (Syamsiah dan Tajudin, 2003).

2.2.3.Manfaat bawang putih

Herba ini memang tidak asing lagi bagi penggemar obat obatan tradisional. Bawang putih bukan sahaja digunakan secara meluas sebagai makanan tetapi juga obatan. Buktinya, pada Perang Dunia I dan II, ia digunakan para tentera bagi mencegah kejadian gangrene (University of Maryland Medical Center / UMMC, 2011). Kini, bawang putih digunakan dalam mencegah penyakit jantung, termasuklah aterosklerosis, hipertensi, hiperkolesterolemia dan meningkatkan sistem imun. Bawang putih juga dapat berperan sebagai anti kanker dan anti diabetes.

Manfaat bawang putih pada kasus hiperlipidemia dan aterosklerosis tidak dapat disangkal lagi. Buktinya, Agensi Kesehatan Federal Jerman Komisi E dan Kooperasi Saintifik Eropa pada Fitoterapi telah menyetujui penggunaan bawang putih dalam menanggulangi hiperlipidemia dan aterosklerosis. Penelitian yang telah dijalankan mendapati tahapan pembuktian pada indikasi bawang putih pada kolesterol adalah sedang yaitu bukti dari penelitian randomisasi dengan batasan penting atau bukti yang sangat kuat dari bentuk yang lain. Bagi indikasi kasus hipertensi dan penyakit arteri koroner, tahapan pembuktiannya adalah rendah yaitu bukti studi observasional atau penelitian randomisasi dengan kelemahan metodologi yang serius (McPhee dan Papadakis, 2007).

Menurut penelitian yang dijalankan di Universitas Adelaide (2010), bawang putih dapat diberikan sebagai suplemen obat konvensional pada pasien hipertensi. Ini


(33)

berikutan, dari penelitian yang dijalankan pada 50 pasien selama 12 minggu mendapati pasien dengan tekanan darah sistolik melebihi 140mmHg yang mengkonsumsi kapsul “aged garlic extract’ menjadi rata rata tekanan darah sistolik 10.2mmHg kurang berbanding kelompok kontrol yang mengkonsumsi plasebo. Penurunan ini dianggap signifikan karena penurunan tekanan darah sistolik sebanyak 5mmHg dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskular sebanyak 8 20%. Bawang putih dipercayai mempunyai efek anti hipertensif karena ia dapat menstimualsi produksi bahan kimiawi seperti nitrik oksida (NO) dan hidrogen sulfida (H2S), yang dapat membantu vasodilatasi.

Terdapat dua kandungan bawang putih yang berperan penting dalam efek medis yaitu allicin dan diallyl disulfida. Allicin adalah mekanisme pertahanan bawang putih terhadap serangan makhluk perusak yang akhirnya membawa kepada perannya sebagai anti jamur, anti mikroba dan bersifat toksik kepada serangga. Apabila diserang, enzim alliinase akan menukar alliin kepada allicin (Phytochemicals.info). Diallyl disulfia juga berperan dalam mekanisme anti jamur dengan mengakibatkan kematian sel populasi C.albicans (Lemar et al., 2007). Peran bawang putih sebagai antimikroba pula dipercayai hasil reaksi kimiawi allicin kelompok thiol pada berbagai enzim. Fitokimia ini dapat menghambat bakteri dan virus, dan juga jamur seperti candida. Studi secara in vitro mendapati aktivitas antimikroba pada berbagai patogen, termasuklah Helicobacter pylori, Staphylococcus aureus, Echerichia coli dan group B streptococcus (Phytochemicals.info).

Selain itu, bawang putih juga dikatakan mempunyai efek hipoglikemik. Antara penelitian yang yang mendukung fakta ini adalah Augusti dan Sheela (1995) yang mendapati bawang putih berperan sebagai sekretagogue insulin pada tikus diabetes. Mekanisme lain yang mungkin berperan adalah insulin tambahan dari kelompok sulfidril (Jain dan Vyas, 1975) mencadangkan bawang putih bertindak sama ada meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas atau meningkatkan pelepasan ‘bound insulin’.


(34)

2.2.4.Farmakokinetika bawang putih

Terdapat multipel formulasi bawang putih yang terdapat di pasaran termasuklah dalam bentuk kering, bumbu atau minyak dengan kebanyakan produk distandardisasi untuk mengandung 0.6% allicin. Penelitian dahulu, mempercayai manfaat bawang putih dalam medis adalah bergantung kepada komponen aktifnya, yaitu allicin. Walaubagaimanapun, penelitian kini menyatakan sebaliknya. Ini karena, allicin adalah bersifat tidak stabil karena sifatnya yang tidak tahan asam dan suhu. Penelitian yang dijalankan mendapati bioavailabilitas allicin adalah sangat rendah, selain enzim alliinase bersifat tidak tahan asam lambung telah menyebabkan peran sebenar allicin pada efek medis masih dalam tanda tanya. Ditambah, bawang putih dalam sediaan “aged garlic extract’ masih memberikan efek medis yang diinginkan walaupun mengandung jumlah allicin yang kurang signifikan (Allicin.com).

Penelitian terhadap tiga komposisi bawang putih yaitu alliin, alicin dan vinyldithiines telah dijalankan terhadap tiga kelompok tikus. Tahap aktivitas di dalam darah telah dipantau selama 72 jam. Bagi allicin dan vinyldithiines, ekskresi di urin, feses udara ekshalasi juga diukur. Aktivitas di dalam darah berbeda pada alliin berbanding alicin dan vinyldithiines karena absorpsi dan eliminasinya yang lebih cepat. Alliin mencapai konsentrasi maksimum di dalam darah setelah 10 menit pertama dan eliminasi komplit setelah 6 jam. Sebaliknya, pada alliin dan vinyldithiines, konsentrasi maksimum darah tidak tercapai sehingga menit ke 30 60 (alicin) dan menit ke 120 (vinyldithiines) dan masih terdapat di dalam darah setelah 72 jam (Lachmann, Lorenz, Radeck dan Steiper, 1994). Penelitian tentang sifat farmakokinetika bawang putih masih kurang dan membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.


(35)

BAB 3

KERA GKA KO SEP DA DEFE ISI OPERASIO AL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan teori, maka dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Gambar 1 : Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel Penelitian 3.2.1 Variabel Bebas

Pada penelitian ini yang ditetapkan sebagai variabel bebas adalah pemberian ekstrak dari bawang putih (Allium sativum) serta pemberian glibenklamid

3.2.2 Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah efek kadar gula darah pada mencit normal dan mencit diabetes yang diinduksi Alloksan dan parameter yang diukur adalah kadar gula darah mencit.

Ekstrak bawang putih

(Allium sativum)

Glibenklamid (antidiabetik golongan

Sulfonilurea)


(36)

3.3. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1. Mencit Mencit tertentu

yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu kemudian

diinduksi alloksan dengan dosis 200mg/kgBB secara

intraperitoneal untuk menjadikan mencit itu diabetik

Darah diambil sebanyak 5 µl 0.2 ml pada vena lateral ekor mencit setelah 72 jam diinduksi alloksan untuk melihat KGD bagi menentukan mencit diabetik atau tidak.

Kadar gula darah diukur dengan

menggunakan kaedah strip test.

Mencit dikatakan diabetes

apabila KGD > 200mg/dL

Nominal

2. Ekstrak bawang putih (Allium Sativum)

Ekstrak bawang putih (Allium Sativum) dibuat dengan

menggunakan kaedah maserasi dan disuspensi meggunakan carboxymethylcell ulose (CMC)

Ekstrak bawang putih diberi pada mencit dengan dosis 350 mg/kgBB secara oral.

Kadar glukosa darah mencit diukur dengan menggunakan strip test Terjadi perubahan (penurunan atau

peningkatan ) atau tidak KGD mencit


(37)

3. Glibenkla mid Glibenklamid (antidiabetik golongan sulfonilurea) adalah obat moden yang digunakan sebagai terapi penyakit Diabetes Melitus yang mampu

menurunkan kadar gula darah kerana mempunyai efek utama

meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Glibenklamid diberi pada mencit dengan dosis 0,65 mg/kgBB secara oral.

Kadar glukosa darah mencit diukur dengan menggunakan strip test Terjadi perubahan (penurunan atau

peningkatan ) atau tidak KGD mencit

Nominal

4. Kadar gula darah mencit

Kadar gula darah mencit diabetik yang diinduksi alloksan setelah diberikan

intervensi.

Darah diambil sebanyak 5 µl 0.2 ml pada vena lateral ekor mencit yaitu pada pre test dan post test untuk melihat efek pemberian

intervensi

Kadar glukosa darah mencit diukur dengan menggunakan strip test Terjadi perubahan (penurunan atau

peningkatan ) atau tidak KGD mencit


(38)

3.4 Hipotesis

3.4.1. Hipotesis ol (Ho)

Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) tidak berpengaruh terhadap kadar gula darah pada mencit yang diinduksi alloksan

3.4.2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Pemberian ekstrak bawang putih (Allium Sativum) mempunyai pengaruh terhadap kadar gula darah pada mencit yang diinduksi alloksan


(39)

BAB 4

METODE PE ELITIA

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan merupakan penelitian jenis analitik eksperimental yang menggunakan Pre dan Post Test Control Group Design.

4.2. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian dilakukan pada Februari hingga November. Tempat penelitian dilakukan pada Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU). Penelitian dilakukan setelah mendapat ethical clearance dari Komiti Etik Fakultas Kedokteran USU

4.3. Populasi dan sampel penelitian 4.3.1. Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua mencit Mus Musculus L. Strain DDW jantan di Unit Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia.

4.3.2. Sampel penelitian

Sampel penelitian ini adalah 24 ekor mencit (Mus Musculus L.) strain Double Distsch Webster (DDW) jantan yang diperoleh dari Unit Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia. Sampel dibagi menjadi enam kelompok melalui randomisasi sederhana, yaitu kontrol negatif (KN1), kelompok negatif pembanding (KN2), kelompok negatif perlakuan (KN3), kontrol positif (KP1), kelompok positif pembanding (KP2) dan kelompok positif perlakuan(KP3). Pengukuran kadar gula darah mencit dilakukan


(40)

pada pre test dan post test untuk melihat ada atau tidak efek yang signifikan dari ekstrak bawang putih (Allium Sativum).

Keterangan:

R = Randomisasi sederhana

KN1 = Kontrol negatif 1 (kelompok negatif yang diberi diet standar dan plasebo)

KN2 = Kontrol negatif 2 (kelompok negatif yang diberi diet standard dan glibenklamid)

KN3 = Kontrol negatif 3 (kelompok negatif yang diberi diet standar dan ekstrak bawang putih)

KP1 = Kontrol positif 1 (kelompok positif yang diinduksi diabetes dengan menggunakan alloksan, diberi diet standar dan plasebo)

KP2 = Kontrol positif 2 (kelompok positif yang diinduksi diabetes dengan menggunakan alloksan, diberi diet standard dan glibenklamid)

KP3 = Kontrol positif 3 (kelompok positif yang diinduksi diabetes dengan menggunakan alloksan, diberi diet standar dan ekstrak bawang putih)

G KN 1 = Kadar gula darah pada KN1

G KN1 KN1

R Mencit (Mus Musculus ) strain DDW

G KN2 KN2

G KN3 P KN3

G KP1 KP1

G KP2 KP2

G KP3 KP3


(41)

G KN 2 = Kadar gula darah pada KN2 G KN3 = Kadar gula darah pada KN3 G KP 1 = Kadar gula darah pada KP1 G KP2 = Kadar gula darah pada KP2 G KP3 = Kadar gula darah pada KP3

Masing masing kelompok terdiri dari empat ekor mencit (Mus Musculus L.) strain DDW jantan yang semuanya dikandangkan secara terpisah di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia. Semua sampel penelitian dipelihara pada suhu bilik 25 ± 5°C dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap.

a) Kriteria inklusi

1. Mencit (Mus Musculus L. ) strain DDW jantan berusia 3 4 bulan. 2. Berat badan mencit 20 35 g.

3. Kondisi sehat yaitu mencit aktif dan tidak cacat.

4. Kadar gula darah pada mencit setelah diinduksi alloksan adalah sebanyak lebih daripada 200mg/dL (Tanquilut et al., 2009)

b) Kriteria eksklusi

1. Bobot mencit menurun hingga berat badannya kurang dari 20g. 2. Mencit mati dalam masa penelitian.

3. Mencit mengalami diare selama penelitian berlangsung. 4. Mencit cacat selama penelitian berlangsung.

c) Besar sampel

Besarnya sampel ditentukan berdasarkan rumus pengiraan besar sampel penelitian pada hewan percobaan, yaitu (Wahyuni) :

t : banyak perlakuan r : jumlah replikasi


(42)

Terdapat enam kelompok yakni kontrol negatif (KN1), kelompok negatif pembanding (KN2), kelompok negatif perlakuan (KN3), kontrol positif (KP1), kelompok positif pembanding (KP2) dan kelompok positif perlakuan(KP3). Maka, pada penelitian ini t = 6 dan dengan menggunakan rumus di atas, didapat r ≥ 4. Dengan itu, besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat ekor mencit tiap kelompok. Jumlah sampel seluruhnya adalah 24 ekor mencit (Mus Musculus L. ) strain DDW jantan.

d) Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara randomisasi sederhana untuk menghindari bias karena variasi umur dan berat badan. Randomisasi dapat langsung diaplikasikan karena sampel diambil dari mencit (Mus Musculus L. ) strain DDW jantan yang telah memenuhi kriteria inklusi sehingga dianggap cukup homogen. 24 ekor mencit (Mus Musculus ) strain DDW jantan dibagi menjadi enam kelompok yaitu kontrol negatif (KN1), kelompok negatif pembanding (KN2), kelompok negatif perlakuan (KN3), kontrol positif (KP1), kelompok positif pembanding (KP2) dan kelompok positif perlakuan(KP3). Masing masing kelompok terdiri dari empat ekor mencit (Mus Musculus L. ) strain DDW jantan yang dikandangkan secara terpisah di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia.

4.4. Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Alat dan bahan

a) Alat

1. Kandang mencit.

2. Tempat pakan dan tempat minum mencit untuk tiap kandang. 3. Sonde oral.

4. Timbangan elektronik.


(43)

6. Alat alat untuk membuat ekstrak bawang putih (Allium sativum) seperti Rotary evaporator, Freeze dryer dan lain lain.

7. Alat alat untuk mengukur kadar glukosa darah pada mencit.

b) Bahan

1. Makanan mencit (Mus Musculus L.) strain DDW jantan yaitu pakan standar dan minuman untuk mencit.

2. Bahan bahan untuk membuat ekstrak bawang putih (Allium sativum) seperti etanol. 3. Ekstrak bawang putih (Allium sativum) yang didapat secara maserasi.

4. Bahan bahan yang digunakan untuk menginduksi mencit menjadi mencit diabetik yaitu alloksan.

5. Obat glibenklamid

4.4.2. Cara Pegambilan data a) Persiapan Hewan Coba

Sebelum penelitian dimulai, terlebih dahulu dipersiapkan tempat pemeliharaan hewan coba, yaitu kandang (bak plastik), sekam, tempat makan, minum dan pakan mencit. Setelah itu dilakukan aklimatisasi di laboratorium selama 1 minggu. Mencit dibagi menjadi enam kelompok yaitu kontrol negatif (KN1), kelompok negatif pembanding (KN2), kelompok negatif perlakuan (KN3), kontrol positif (KP1), kelompok positif pembanding (KP2) dan kelompok positif perlakuan (KP3). Untuk menjadi diabetes, mencit diinduksi dengan alloksan dengan dosis tunggal yaitu 200mg/kgBB (Jing dan Yin, 2009) diinjeksikan 1 kali dan dipantau selama 3 hari. Jika dalam waktu 3 hari belum mengalami diabetes maka disuntik kembali dengan dosis tunggal 200mg/kgBB dengan cara intraperitonial.

Rumus pengiraan dosis: 1. Ekstrak Bawang Putih

Mengikut penelitian sebelumnya ekstrak bawang putih yang diberikan pada tikus adalah dengan menggunakan dosis 250mg/kgBB (Mathew dan Agusti, 1973). Bila


(44)

diinginkan dosis absolut pada mencit dengan BB 20g dari data dosis pada tikus 250 mg/kg (untuk tikus dengan bobot 200g), maka lebih dahulu dihitung dosis absolut pada tikus, yaitu (250 × 0.2) mg = 50mg.

Dengan mengambil faktor konversi 0.14 dari table perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan (Laurence, 1981) diperoleh dosis untuk mencit = (50 × 0.14) mg = 7 mg.

Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul pada mencit dengan dosis 7 mg / 20g BB atau 350 mg/kgBB adalah sama dengan yang timbul pada tikus dengan dosis 250 mg/ kg BB, dari obat yang sama.

2. Glibenklamid

Berdasarkan tabel konversi perhitungan dosis untuk berbagai hewan uji dari berbagai spesies dan manusia, maka konversi dosis manusia dengan berat badan (BB) 70 kg pada mencit dengan berat badan 20 g adalah 0,0026 (Laurence, 1981) dalam (Anonim, 2010). Dosis glibenklamid yang digunakan untuk orang dewasa adalah 5 mg, dengan demikian dosis untuk mencit 20 gram = (5 mg x 0,0026) = 0,013 mg/ 20 mg BB mencit/ hari atau 0,65 mg/ kgBB/ hari.

b) Pembuatan Ekstrak Bawang Putih

Pembuatan ekstrak bawang putih dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut ethanol, etil asetat dan n heksan (Ditjen POM, 1986). Caranya:

1. Menyiapkan bawang putih.

2. Bawang putih terlebih dahulu di kupas dan dibersihkan dengan menggunakan air mengalir.

3. Bawang putih yang sudah dibersihkan dirajang halus.

4. Sebanyak 10 bagian serbuk simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan kedalam sebuah bejana.

5. Kemudian dituangi dengan 75 bagian penyari, ditutup, dibiarkan selama 3 hari terlindung dari cahaya sambil berulang ulang diaduk.


(45)

6. Setelah 3 hari, sari diserkai, ampas diperas.

7. Ampas dicuci dengan cairan penyari secukupnya, diaduk dan diserkai hingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian.

8. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari.

9. Enap tuangkan atau saring.

10. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporator pada 40oC, kemudian ekstrak dikeringkan dengan freeze dryer.

c) Kegiatan Penelitian (Prosedur Penelitian)

Proses adaptasi (aklimatisasi) dilakukan pada mencit (Mus Musculus L.) strain DDW jantan selama 1 minggu sebelum mendapat perlakuan. Selama 1 minggu ini, sebanyak 24 ekor mencit hanya diberi pakan standard dan minum secara ad libitum dan dikekalkan pada siklus 12/12 jam terang gelap. Setelah 1 minggu adaptasi, 24 ekor mencit tersebut dibahagi secata random kepada dua kelompok yaitu kelompok tikus normal dan kelompok tikus yang akan diinduksi diabetes dengan menggunakan alloksan. Pada kelompok negatif diteruskan pemberian diet standar. Sebaliknya,pada kelompok positif, dilakukan induksi diabetes menggunakan alloksan secara injeksi intraperitoneal dosis tunggal yaitu sebanyak 200mg/kgBB. Setelah 72 jam, pengukuran kadar gula darah menggunakan strip tes dilakukan pada kesemua mencit. Pada mencit yang diinduksi alloksan, hanya mencit dengan kadar gula darah lebih daripada 200mg/dL (Tanquilut et al., 2009) akan digunakan pada kelompok positif. Mencit yang belum mencapai hiperglikemi akan diberikan injeksi ulang alloksan menggunakan dosis yang sama yaitu 200mg/kg BB. Pembahagian kelompok mencit normal secara random adalah kepada kontrol negatif (KN1), kontrol negatif yang diberi perlakuan pembanding (glibenklamid) (KN2) dan kontrol negatif diberi perlakuan(ekstrak bawang putih) (KN3). Pada kelompok positif (mencit yang berjaya mencapai standar hiperglikemi) pula akan dibahagi secara random kepada adalah


(46)

kontrol positif (KP1), kontrol positif pembanding (glibenklamid) (KP2) dan kelompok positif yang diberi perlakuan(ekstrak bawang putih) (KP3). Pada KN1 dan KP1, mencit hanya diberikan diet standard dan placebo sepanjang penelitian pada setiap hari selama 10 hari. Pada KN2 dan KP2, mencit diberikan diet standard dan obat glibenklamid per oral sebanyak 0,65 mg/kg BB setiap hari. Pada KN3 dan KP3, mencit diberikan diet standar dan pemberian ekstrak bawang putih per oral sebanyak 350mg/kg BB. Pada setiap hari pemberian plasebo, glibenklamid dan ekstrak bawang putih diusahakan pada rentang waktu yang sama yaitu dari jam 10 pagi hingga 1 siang. Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah 10 hari pemberian perlakuan menggunakan strip tes.


(47)

Adaptasi selama seminggu (aklimatisasi)

Randomisasi

12 ekor mencit diberi diet standar selama 72 jam (Kontrol Negatif)

12ekor mencit diberi diet standar + diinduksi Alloksan selama 72 jam

Randomisasi

KN1

KP1 KP2

Pengambilan sampel darah dan pre test (tanpa pemberian ekstrak bawang putih/obat).

Pemberian placebo/ekstrak bawang putih/obat serta diet standard selama 10 hari.

Pengambilan sampel darah dan post test Pemberian placebo/ekstrak bawang putih/obat

serta diet standar selama 10 hari.

KP3 24 ekor mencit (Mus Musculus L.) strain DDW jantan umur 3 4 bulan


(48)

4.5.Pengolahan dan Analisa Data 4.5.1.Cara Pengolahan Data

Tahap tahap pengolahan data:

1. Data yang tersedia diedit (tahap editing)

2. Cleaning data dilakukan untuk meneliti kembali kesalahan kesalahan yang mungkin terjadi

3. Data ditabulasi dengan cara disajikan ke dalam tabel tabel yang telah disediakan

4.5.2. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan SPSS 17.00 for windows. Langkah pertama yakni, data hasil pengamatan diuji dengan uji normalitas Shapiro Wilk. Setelah didapati semua data berdistribusi normal, uji parametrik yaitu uji T berpasangan dan uji ANOVA satu arah dilakukan.


(49)

BAB 5

HASIL PE ELITIA DA PEMBAHASA

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dijalankan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU). Fakultas Farmasi adalah fakultas ke 11 di lingkungan USU yang dahulunya merupakan Departemen Farmasi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Farmasi berubah status dari Departemen Farmasi FMIPA menjadi fakultas, melalui rapat Senat Akademik Universitas tanggal 11 Juni 2005, dan surat rektor USU No. 2395/J05/TU/2005, tanggal 17 Juni 2005. Perubahan Departemen Farmasi menjadi Fakultas Farmasi terhitung sejak tanggal 8 Augustus 2006, dan diresmikan pada tanggal 5 Mei 2007 oleh Rektor USU Prof. Chairuddin P. Lubis, Sp.A.(K).

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel penelitian ini adalah 48 ekor mencit (Mus Musculus L.) strain DDW jantan yang diperoleh dari Unit Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia. Sampel dibagi menjadi enam kelompok melalui randomisasi sederhana, yaitu kontrol negatif (KN1), kelompok negatif pembanding (KN2), kelompok negatif perlakuan (KN3), kontrol positif (KP 1), kelompok positif pembanding (KP2) dan kelompok positif perlakuan (KP3).

Kesemua mencit perlu memenuhi kriteria inklusi yaitu berusia 3 4 bulan, dengan berat badan 20 35 g, dalam kondisi sehat yaitu mencit aktif dan tidak cacat, dan bagi kelompok diabetes dengan kadar gula darah setelah induksi alloksan adalah lebih daripada 200mg/dL. Selain itu, bobot sampel tidak menurun hingga berat


(50)

badannya kurang dari 20 g, tidak mati dalam masa penelitian, tidak mengalami diare dan tidak cacat selama penelitian berlangsung.

Setelah sampel diperoleh dengan menggunakan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, di mana di awal penelitian menggunakan 48 ekor mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) pada akhirnya menjadi 24 ekor mencit sahaja. Hal ini adalah dikeranakan adanya 11 ekor mencit yang mati di sepanjang penelitian, dan paling banyak mati adalah sebanyak 4 ekor mencit di kelompok mencit diabetik yang diberi glibenklamid. Bagi menyeragamkan jumlah mencit tiap kelompok menjadi 4 ekor mencit dan penelitian ini melihat perobahan kadar glukosa darah sebelum dan selepas 10 hari pemberian intervensi.

5.1.3 Hasil Analisa Statistik

Penelitian diawali dengan pembuatan ekstrak bawang putih dengan kaedah maserasi. Pada masa yang sama, kesemua mencit dibiarkan selama 7 hari bagi tujuan aklimatisasi. Tempoh tersebut dikatakan cukup bagi mengeliminasi kondisi stress disebabkan proses transportasi mencit dan adaptasi terhadap keadaan sangkar dan lingkungan yang baru. Pada penelitian sebelumnya, didapati 4 hari tidak mencukupi bagi aklimatisasi penuh mencit berdasarkan kadar kortison dan penilaian perlakuan mencit ( Tuli, J.S., Smith, J.A., dan Morto, D.B., 1995)

Kemudian, tiga dari enam kelompok akan diinduksi diabetes dengan injeksi alloksan secara peritoneal dosis tunggal 200mg/dL (Jing dan Yin, 2009). Ini bagi menyediakan suatu model human insulin dependent karena pada dosis ini diperkirakan dapat merusak sel beta pankreas secara total. Mencit dipuasakan terlebih dahulu sebelum diinduksi alloksan. Setelah 72 jam, kadar gula darah mencit diperiksa dan mencit dengan kadar glukosa darah (KGD) ≥ 200 mg/dL diklasifikasikan sebagai model mencit diabetes mellitus.


(51)

5.1.3.1 Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Setelah induksi

Perubahan KGD sebelum dan setelah induksi dapat dilihat seperti dalam Gambar 5.1 di bawah ini.

Gambar 5.1 KGD Sebelum dan Setelah Induksi Alloksan

5.1.3.2 Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Setelah Perlakuan

Efek pemberian plasebo, bawang putih dan glibenklamid terhadap kadar gula darah pada mencit normal dan mencit diabetes yang diinduksi alloksan melalui perbandingan kadar gula darah (KGD) sebelum dan setelah 10 hari intervensi. Dari data rerata yang diperoleh masing masing kelompok, dapat dilihat perubahan KGD sebelum dan setelah masing masing perlakuan untuk setiap kelompok seperti terlihat pada Gambar 5.2 berikut ini.


(52)

Gambar 5.2 Perubahan KGD Mencit Sebelum dan Setelah Perlakuan 1 = Normal Plasebo 4 = Diabetik Plasebo

2 = Normal Bawang Putih 350 mg/dL 5 = Diabetik Bawang Putih 350 mg/dL

3 = Normal Glibenklamid 0,65 mg/dL 6 = Diabetik Glibenklamid 0,65 mg/dL

Penelitian ini menunjukkan terdapat penurunan rerata KGD pada kelompok mencit normal yang diberi perlakuan glibenklamid dan mencit diabetes yang masing masing diberi perlakuan plasebo dan ekstrak bawang putih. Manakala untuk kelompok mencit normal diberi plasebo dan ekstrak bawang putih dan mencit diabetes yang diberi glibenklamid, hasil menunjukkan terdapat peningkatan rerata KGD sebelum dan sesudah masing masing perlakuan.

5.1.3.3 Perubahan dan Deskriptif KGD pada Kelompok Perlakuan

Berdasarkan uji Shapiro Wilk (sampel <30) diketahui bahwa semua sebaran data normal karena mempunyai nilai signifikan p>0.05 sehingga digunakan rerata


(53)

(mean) sebagai ukuran pemusatan dan standard deviasi untuk ukuran penyebaran. Perubahan dan deskriptif rerata KGD keenam kelompok perlakuan selama 10 hari tercantum pada Tabel 5.1 di bawah ini.

Tabel 5.1 Persentase Perubahan dan Deskriptif Rerata KGD pada Tiap Kelompok Mencit Selama 10 hari Perlakuan

Kelompok Bilangan Sampel,

Rerata Kadar Gula Darah (mg/dL) Persentase Perubahan KGD* (%) KGD Sebelum

(x̄̄̄̄±SD)

KGD Selepas

(x±SD)̄̄̄̄

ormal Plasebo 4 129.50 ±

34.89

148.75 ± 20.84

19.99

ormal Bawang Putih (350 mg/kgBB)

4 124.00 ± 14.70

148.25 ± 43.37

19.41

ormal Glibenklamid (0,65 mg/kgBB)

4 118.00 ± 10.42

109.50 ± 4.44

6.79

Diabetik Plasebo 4 250.25 ±

41.95

247.25 ± 62.22

8.56

Diabetik Bawang Putih (350 mg/kgBB)

4 260.75 ± 40.58

109.50 ± 9.95

57.27

Diabetik Glibenklamid (0,65 mg/kgBB)

4 273.75 ± 39.40

381.00 ± 49.46

39.68


(54)

KGD awal

Rerata (mean) KGD pada kelompok kontrol negatif yaitu mencit normal yang diberikan plasebo pada awal penelitian adalah 129.50 ± 34.89 mg/dL digunakan sebagai nilai normal KGD mencit. Pada kelompok normal bawang putih, KGD mencit berubah dari 124.00 ± 14.70 mg/dL menjadi 148.25 ± 43.37 mg/dL dan pada kelompok normal glibenklamid dari 118.00 ± 10.42 mg/dL menjadi 109.50 ± 4.44. Terjadi penurunan KGD pada kedua kelompok diabetes yang diberi plasebo dan ekstrak bawang putih dengan masing masing persentase 8,56% dan 57,27% yaitu pada mencit diabetik yang diberi plasebo, rerata KGD pada awal dan akhir penelitian adalah 250.25 ± 41.95 mg/dL dan 247.25 ± 62.22 mg/dL dan pada kelompok mencit diabetic yang diberi glibenklamid , KGD dari 260.75 ± 40.58 mg/dL menjadi 109.50 ± 9.95 mg/dL. Sebaliknya, pada kelompok perlakuan glibenklamid, rerata KGD pada awal dan akhir penelitian yaitu 273.75 ± 39.40 mg/dL meningkat menjadi 381.00 ± 49.46mg/dL dengan persentase peningkatan sebesar 39,68%. Untuk melihat dengan lebih jelas perubahan KGD mencit setelah diberi perlakuan bagi masing masing kelompok mencit ditampilkan pada Gambar 5.3 di bawah


(55)

Gambar 5.3 Perbandingan kadar gula darah sebelum dan setelah diberikan sediaan uji 1 = Normal Plasebo 4 = Diabetik Plasebo

2 = Normal Bawang Putih 350 mg/dL 5 = Diabetik Bawang Putih 350 mg/dL

3 = Normal Glibenklamid 0,65 mg/dL 6 = Diabetik Glibenklamid 0,65 mg/dL

5.1.3.4. Hasil Uji Beda Dua Mean Dependen

Selanjutnya, untuk menilai perbedaan rerata dari KGD awal dan akhir penelitian bagi setiap kelompok data yang dependen digunakan Uji Beda Dua Mean Dependen ( Uji T Dependent/ T Paired) dan hasilnya dapat dilihat seperti dalam Tabel 5.2 dibawah.


(56)

Tabel 5.2 Hasil Uji Beda Dua Mean Dependen Pasangan Bilangan

Sampel, n

Rerata Perobahan KGD*, x̄±SD (mg/dl)

Sig. (2 tailed)

ormal Plasebo 4 19.25 ± 33.14 0.329

ormal Bawang Putih 4 24.25 ± 39.46 0.307

ormal Glibenklamid 4 8.50 ± 9.33 0.166

Diabetik Plasebo 4 3.00 ± 24.31 0.821

Diabetik Bawang Putih 4 151.25 ± 38.48 0.004

Diabetik Glibenklamid 4 107.25 ± 29.53 0.005

Keterangan *KGD setelah perlakuan – KGD sebelum perlakuan

Berdasarkan tabel di atas, secara analitik terdapat perubahan yang tidak signifikan yaitu p ≥ 0.05 pada kelompok normal plasebo, normal bawang putih, normal glibenklamid dan diabetik plasebo. Secara deskriptif terjadi kenaikan KGD mencit pada kelompok normal plasebo dan kelompok normal bawang putih yaitu masing masing sebanyak 19.25 ± 33.14 mg/dL dan 24.25 ± 39.46. Manakala pada kelompok normal glibenklamid dan diabetic plasebo terjadi penurunan sebanyak 8.50 ± 9.33 mg/dL dan 3.00 ± 24.31 mg/dL. Pada kelompok diabetik bawang putih, terdapat perubahan yang signifikan, p=0.004 (p < 0.05) yaitu penurunan KGD mencit


(57)

sebanyak 151.25 ± 38.48 mg/dL. Pada kelompok diabetik glibenklamid pula, terdapat kenaikan signifikan p=0.005 (p > 0.05) yaitu sebanyak 107.25 ± 29.53.

5.1.3.5 Hasil Uji Beda >Dua Mean Pada Kelompok Independen

Uji ANOVA satu arah dilakukan bagi mendeterminasi ada atau tidaknya perbedaan signifikan antara kelompok independen bagi keenam enam kelompok. Sebelum itu, data perlu berada dalam kesamaan dari varians yaitu nilai p > 0.05 pada uji Levene’s. Hasil yang didapat bagi penelitian ini adalah p 0.720. Uji ANOVA satu arah dapat digunakan karena syarat sebaran data normal dan varians data homogen terpenuhi. Uji tersebut menghasilkan nilai p 0.000 ( p < 0.05 ) dan disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna dari perobahan kadar gula darah antara kelompok. Oleh sebab itu, dilanjutkan dengan uji Post Hoc untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara bermakna.


(58)

Tabel 5.3 Uji post hoc Tukey

(I)Kelompok (J)Kelompok Sig.

Normal Plasebo Normal Bawang Putih 1.000

Normal Glibeklamid 0.314

Diabetik Plasebo 0.951

Diabetik Bawang Putih 0.000

Diabetik Glibenklamid 0.031

Normal Glibenklamid Normal Plasebo 1.000

Normal Glibenklamid 0.233

Diabetik Plasebo 0.892

Diabetik Bawang Putih 0.000

Diabetik Glibenklamid 0.046

Normal Glibenklamid Normal Plasebo 0.314

Normal Bawang Putih 0.233

Diabetik Plasebo 0.796

Diabetik Baawang Putih 0.003

Diabetik Glibenklamid 0.000

Diabetik Plasebo Normal Plasebo 0.951

Normal Bawang Putih 0.892

Normal Glibenklamid 0.796

Diabetik Bawang Putih 0.000

Diabetik Glibenklamid 0.005

Diabetik Bawang Putih Normal Plasebo 0.000

Normal Bawang Putih 0.000

Normal Glibenklamid 0.003

Diabetik Plasebo 0.000

Diabetik Glibenklamid 0.000

Diabetik Glibenklamid Normal Plasebo 0.031

Normal Bawang Putih 0.046

Normal Glibenklamid 0.000

Diabetik Plasebo 0.005


(59)

Melalui uji Post Hoc ini didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok mencit diabetik yang diberi bawang putih dengan kelima lima kelompok lainnya yaitu kelompok normal plasebo, kelompok normal bawang putih, kelompok normal glibenklamid, kelompok diabetik plasebo dan kelompok diabetik glibenklamid dengan nilai p masing masing ialah 0.000, 0.000, 0.003, 0.000 dan 0.000. Perbedaan yang bermakna antara kelompok juga dapat dilihat antara kelompok mencit diabetik diberi glibenklamid dengan kelompok normal plasebo, kelompok normal bawang putih, kelompok normal glibenklamid, kelompok diabetik plasebo dan kelompok diabetik glibenklamid dengan nilai p masing masing ialah 0.031, 0.046, 0.000, 0.005 dan 0.000.

Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahawa ekstrak bawang putih dapat menurunkan kadar gula darah pada mencit diabetes dengan penurunan bermakna (P=0.004) pada pemberian ekstrak bawang putih (350 mg/kg BB) setiap hari selama 10 hari dengan rerata penurunan kadar gula darah sebesar 151.25 ± 38.48 mg/dl. Sebaliknya, pemberian glibenklamid meningkatkan kadar gula darah mencit diabetes secara bermakna (P=0.005) pada pemberian glibenklamid (0,65 mg/kg BB) setiap hari selama 10 hari dengan rerata peningkatan kadar gula darah sebanyak 107.25 ± 29.53 mg/dL.

5.2 Pembahasan Penelitian 5.2.1 Diabetes Mellitus

Diabetes adalah penyakit kronik yang terjadi diakibatkan kegagalan pankreas memproduksi insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat menggunakan secara efektif insulin yang diproduksi. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah adalah efek utama pada diabetes tidak terkontrol dan pada jangka waktu lama bisa mengakibatkan kerusakan serius pada syaraf dan pembuluh darah (WHO, 2010).


(60)

5.2.2 Induksi Aloksan

Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahawa penggunaan aloksan dapat mengakibatkan Diabetes Mellitus (DM) dependen insulin pada binatang percobaan (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada manusia melalui mekanisme destruksi selektif pada sel beta pankreas. Efek diabetes ini diperoleh disebabkan sifat alloksan yang merusak secara spesifik sel beta pankreas yang akhirnya menimbulkan defisiensi primer terhadap insulin. Alloksan menginhibisi glukokinase yang berperan dalam rekognisi sinyal bagi mengimbangi konsentrasi glukosa dan sekresi insulin. Target intrasel bagi alloksan adalah kelompok enzim sulfidril yang mengakibatkan toksisitas sel beta. Glukosa berada pada tahap paling tinggi pada hari kelima setelah pemberian alloksan dengan tahapan insulin yang paling rendah pada hari tersebut. Walaubagaimanapun, efek pemberian ini tidak bersifat permanen kerana pada penelitian yang sama didapati tahap insulin akan kembali ke normal pada hari ke 20 setelah diinduksi alloksan (Andrade, S.I.,Monsalve, M.C.R., Pena, J.E.,Polanco, A.C., Palomino, M.A., Velasco, A.F.,2000).

5.2.3 Ekstrak Bawang Putih

Bawang putih atau nama saintifiknya Allium sativum L. telah lama digunakan sebagai makanan dan obat. Bawang putih juga secara tradisionalnya digunakan dalam mengobati diabetes tipe I dan II di Asia, Timur tengah dan Eropa. Komponen aktif di dalam bawang putih yang berperan bagi tujuan medikamentosa adalah allicin (diallyl disulfida oksida) dan APDS (allyl propyl disulfida), flavonoid dan sebagainya. Bawang putih dipercayai dapat menstimulasi pankreas dalam meningkatkan produksi insulin. Penelitian sebelumnya yang mendukung hal ini telah dirangkum oleh Banerjee dan Maulik pada 2002 di dalam jurnal yang bertajuk Effect of Garlic on Cardiovascular Disorder : a review. Antara penelitian tentang sifat bawang putih sebagai hipoglikemik adalah Sheela dan Augusti, 1992 dan Sheela, Kumud dan


(1)

Pembuatan Ekstrak Bawang Putih Selesai Proses Evaporator

Ekstrak Bawang Putih Ditimbang Lumpang Dengan Timbangan Elektronik


(2)

Lumpang Ekstrak hingga Sebati Pembuatan Suspensi Ekstrak

Suspensi Carboxylmethylcellulose Ekstrak Bawang Putih dan Obat ( CMC 0.5% b/v ) Hipoglikemik Oral (Metformin dan


(3)

Persiapan Membuat Larutan Aloksan Larutan Aloksan siap dihasilkan

Proses Rendaman Bawang Putih Rotary Evaporator Dalam Alkohol 96%


(4)

Kandang Mencit dan minuman Proses aklimatisasi seminggu


(5)

Menginduksi Mencit Dengan Aloksan Memberi Oral Sonde (Perlakuan) Secara Intraperitoneal


(6)

Aklimatisasi Mencit selama seminggu Glukometer dan strip test glukosa

Mencit Minum Air Pemberian Ekstrak/Obat secara Oral Menggunakan Oral Sonde