Ayat-ayat tentang non-muslim ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA;

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA;

Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim

A. Ayat-ayat tentang non-muslim

Ayat tentang non-muslim tentunya sangat menarik untuk di kupas. Sebab dalam ayat tersebut telah terjadi pro-kontra terhadap penafsirannya. Telah di singgung di awal bahwa sudah terjadi perdebatan antara ulama klasik dan modern terhadap penafsiran tentang ayat non-muslim antara boleh dan tidak membolehkan seorang non-muslim menjadi pemimpin. Sebut saja Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama ternama asal Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi non-muslim dalam konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya at-Ta’ashshub wa At- Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerja sama, dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, dilihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia, mengatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan. Dalam surat Al- Maidah ayat 57 disebutkan: 30 “ Hai orang-orang yang beriman Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh beriman.” 1 Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin. Dalam hal ini, tentu saja maksudnya adalah pemimpin publik. 2 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa Al- Maraghy. Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim. Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman : ⌫ ☺ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat dan pelindung. Mereka saling melindungi yang satu terhadap yang lain. Dan 1 H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152 2 Muhammad Ali ash-Shabuny, Syafwat at-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr, 1976, h.351 barang siapa diantara kamu berpaling kepada mereka, ia pun termasuk golongan mereka. Sungguh, allah tiada memberi bimbingan kepada kaum yang zolim. 3 Dalil penguat terhadap tidak dibolehkannya non-muslim menjadi seorang pemimpin adalah Surat Ali-Imran ayat 28-30: ☺ ☺ ⌧ ☺ “28 Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingati kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali mu.” 4 ☺ ☺ ⌧ ⌦ 3 H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h. 151 4 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 29 Katakanlah: “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu, atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa- apa yang ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu. 5 ☺ ☺ ☺ 30 “Pada hari ketika tiap-tiap dir mendapati segala kebajikan dihadapkan dimukanya, begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan allah sangat penyayang kepada hamba-hambanya. 6 Sedangkan beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak memberikan hak kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya hanya menujnjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi Barat yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari mayoritas. Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan mantan Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak-penuh, 5 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 6 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al Maidah ayat 57, dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala negara. 7 Resistensi negara-negara muslim terhadap presiden non-muslim sangat mungkin dipengaruhi oleh pemahaman ideologi klasik Islam dalam bidang politik dan pemerintahan yang dalam literatur Sunni klasik disebut konsep negara khilafah seperti yang telah saya sebutkan di atas. Dalam negara khilafah, peran khalifah sebagai pemimpin negara begitu besar, karena khalifah mengatur dua masalah sekaligus yaitu urusan agama dan urusan dunia. Misalnya dalam urusan dunia di bidang politik, kekuasaan khalifah memegang 3 tiga fungsi sekaligus yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam urusan agama, khalifah menjadi imam shalat, khatib di khutbah jum’at, idul fitri maupun idul adha dan menjadi pemimpin rombongan haji. Ini berarti peran khalifah begitu sentralistik, ini membuat rakyat yang dikuasainya begitu tergantung olehnya karena mengurusi dua hal sekaligus yaitu agama dan dunia. 8 Berdasarkan pemahaman ini, corak kepemimpinan yang terbentuk adalah individual yang mengharuskan kepala negara di mayoritas muslim itu juga cukup dan menguasai seluk beluk ajaran agama islam. Sesuatu yang tidak mudah dipenuhi oleh para pemimpin non-muslim. 9 Di samping itu, sikap mayoritas muslim di negara muslim tersebut yang masih tidak lepas baca : taqlid dari pemikiran para “juris” Islam klasik yang membuat konsep politik Islam begitu rigid, tertutup, terlebih lagi anti pluralistik sehingga konsekuensinya membatasi hak 7 Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, h. 72 8 http:www.multiply.comjournalitem67 .diakses pada tanggal 23 April 2010 9 http:www.multiply.comjournalitem67 .diakses pada tanggal 23 April 2010 politik non-muslim termasuk menjadi Presiden. Asumsi masyarakat islam dalam benak para pemikir politik Islam itu adalah masyarakat homogen, yang menjadikan non-muslim warga kelas dua, dengan relasi sosial searah bukan “resiprokal” atau “timbal-balik” dan dibalut dalam bingkai konflik, bukan dalam bingkai persamaan dan kesetaraan. Pendapat yang pasti kenapa presiden non-muslim tidak dibolehkanya adalah dari penyalahgunaan tafsir tentang Al-Qur’an dan As-sunnah, sehingga sebagian besar muslim baik klasik maupun kontemporer “mengunci” ayat-ayat Al-Qur’an yang secara jelas melarang non- muslim sebagai pemimpin sebagai sebuah hal permanen, tidak dipengaruhi dinamika sejarah a- historis dan steril dari konteks. Sebut saja misalnya : ☺ ☺ ⌧ ☺ “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali mu.” Q.S Ali Imran : 28 10 Dari penafsiran ayat di atas diketahui bahwa kata “Wali” jamaknya auliyaa berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong . 10 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 ⌫ ☺ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang- orang yang zalim.” Q.S Al Maa-idah : 51 11 Masih banyak yang lain, dengan redaksinya hampir sama yaitu larangan menjadikan non-muslim menjadi pemimpin. Tentu tugas para pemikir Islam liberal untuk “memutus” monopoli tafsir atas Islam yang cenderung ekstrim itu sekaligus “memecah” kebuntuan ijtihad dengan re-interpretasi, desakralisasi ayat-ayat larangan tadi agar sesuai dengan konteks dan spirit zaman. Menurut Abdullahi Ahmad Naim pemikir Islam asal Sudan, ayat-ayat larangan ini konteks turunnya adalah “Madaniyah”, ketika perang antara muslim dengan non-muslim sedang bergejolak, sehingga “spirit” yang diusungnya beraura diskriminatif bahkan bernada benci. Dalam sosiologi hukum dikatakan bahwa hukum merupakan dinamika sosial-kultural-politik, yang keberadaanya harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat kontekstual. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat kontemporer di mana Hak Azasi Manusia HAM sudah diterima di seluruh negera- negara dunia, berkembangnya prinsip multikulturalisme serta demokrasi, maka segala produk 11 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 hukum yang mencantumkan diskriminasi terhadap minoritas harus tertolak baik secara moral maupun praksis. Sebagai gantinya, perlu dikembangkan spirit “ayat-ayat Makkiyah” yang menekankan persamaan universal di antara sesama manusia, dan perlu juga di tekankan perihal ayat-ayat yang menyuruh menegakkan keadilan kepada sesama manusia, karena merupakan prinsip ajaran Islam yang diterima sebagai sebuah etika universal oleh manusia di seluruh dunia. Allah berfirman: ⌧ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Q.S Al Hujuraat : 13 12 ☺ 12 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 847 “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Q.S Al Mumtahanah: 8 13 Konteks Indonesia Beruntung dalam konstitusinya Indonesia, pertama : tidak menjadikan Islam sebagai satu- satunya agama resmi negara, kedua : tidak mencantumkan syarat bahwa presiden RI harus seorang muslim. Ini artinya, jabatan presiden terbuka bagi siapa saja, dengan latar belakang apa pun, asal warga negara Indonesia. Tetapi dalam kenyataan politik, presiden Indonesia adalah jabatan “ekslusif” yang hanya diduduki oleh orang-orang dengan latar belakang tertentu berdasarkan tradisi, misalnya banyaknya anggapan bahwa presiden Ri harus “orang Jawa”, atau presiden RI harus “orang ex- militer.” Kesan ini juga begitu kuat terjadi di Amerika Serikat AS, sulit membayangkan presiden berasal dari “ras kulit hitam”, karena berdasarkan sejarah pemilihan presiden yang sudah lebih dari 100 tahun, tak pernah terpilih presiden AS kulit hitam. Saat ini, ada kecenderungan menarik dalam masyarakat global yang terus diguyur “modernisasi”, di mana kepercayaan masyarakat akan suatu mitos berangsur mulai terkikis termasuk dalam soal pilihan politik. Di Indonesia mulai muncul “gebrakan” yang mencoba “memecah” stagnasi suksesi politik dengan memunculkan ide-ide yang bertentangan dengan mitos selama ini, misalnya presiden bukan orang Jawa, presiden muda, presiden dari calon 13 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 924 independen. Hal serupa terjadi di AS, hiruk-pikuk elektoral warga negeri paman sam ini makin meriah dengan munculnya fenomena “Barack OBAMA”, seorang Capres muda, berasal dari ras kulit hitam–meskipun isue rasial masih dikedepankan oleh warga AS dan berpotensi menjegal Barack Obama untuk “lenggang-kangkung” menuju Gedung Putih. Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah penerimaan publik Indonesia, terhadap presiden non -muslim. Menurut Denny J.A “dukun politik” dari OHIO State University sekaligus “dedengkot” Lingkaran Survey Indonesia LSI berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa pemilih tidak mempermasalahkan latar belakang etnis maupun profesi dari presidennya, entah itu jawa-non jawa, militer atau sipil, pengusaha atau politisi dan seterusnya, tetapi ketika ditanya tentang latar belakang agama, mayoritas mengharuskan presidennya adalah Islam. Ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi persoalan para pemilih. Meskipun dalam konstitusi tidak disebutkan syarat agama presiden, tetapi secara “defacto” masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini menginginkan presidennya juga seorang muslim. Adalah menjadi sulit dibayangkan, jika indonesia dipimpin seorang non-muslim, tetapi di atas itu semua, syarat yang paling krusial untuk menjadi presiden adalah keahliannya dalam memimpin bangsa serta integritas moralitas pribadi seperti amanah, adil, jujur, tegas, bertanggung-jawab, dan seterusnya. Jika syarat krusial ini ditegakkan tentu siapa saja yang kompeten dan pantas bisa memilikinya, terlepas orang tersebut berasal dari etnis, profesi, usia, gender, maupun agama tertentu. Bukan tidak mungkin, “sang Ratu Adil” itu malah berasal dari non-muslim. Apakah mayoritas muslim Indonesia akan menolaknya ?–seperti juga yang dialami AS ketika John. F Kennedy, satu-satunya Katolik Roma yang terpilih menjadi presiden yang ke-35, mengalahkan kandidat capres dari masyarakat protestan yang mayoritas. Kejadian ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. 14 B. Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dalam bukunya Bacaan Mulia