Terjemahan Al-Quran H. Jassin dalam bukunya Bacaan Mulia

kandidat capres dari masyarakat protestan yang mayoritas. Kejadian ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. 14 B. Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dalam bukunya Bacaan Mulia Berawal dari acara tahlilan paska meninggalnya istri HB Jassin, terdetik dalam pikiran beliau untuk membuat sebuah terjemahan al-Quran ke bahasa Indonesia yang bisa mewakili keindahan sastrawi bahasa aslinya, Arab. Lalu terbitlah Al-Quranul Karim Bacaan Mulia pada tahun 1977. Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya dengan Al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Di sisi kanan halaman ada teks al-Quran dan di sisi kiri, terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan terbitan Depag dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab terkemuka di Indonesia. Hasilnya: sebuah terjemahan yang biasa, layaknya terjemahan buku Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia. HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab apalagi tafsir. Beliau hanya seorang Paus Sastra Indonesia menurut Gauis Siagian atau Wali Penjaga Sastra Indonesia menurut Prof AA Teeuw. Dalam usaha penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan adanya terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup di kuasainya. Di antaranya, terjemahan karya seorang muallaf, Sir Marmaduke Pickthall dan seorang Pakistan Muhammad Jusuf Ali. Terjemahan Jusuf Ali adalah terjemahan Al-Quran ke Bahasa Inggris terbaik dan paling populer hingga saat ini. 15 14 http:www.multiply.comjournalitem67 .diakses pada tanggal 23 April 2010 15 http:suyuk.blogspot.com200812hb-jassin-dan-keindahan-sastrawi-al-qur.html Sebagaimana telah kita ketahui sama-sama bahwa kitab suci umat Islam telah diterjemahkan secara puitis oleh seorang tokoh sastrawan Indonesia H.B. Jassin dengan Al- Qur’an Karim Bacaan Mulia, dan pada saat ini sedang beredar dengan pesatnya di kalangan masyarakat Indonesia. 16 Tidak seperti kasus cerpen “Langit Makin Mendung” yang menyebabkan H.B.Jassin dihadapkan ke pengadilan, kitab “Bacaan Mulia” nya yang sempat mengundang heboh hari-hari itu ditangani pihak Depag dalam upaya mencari titik pandang antara sang penterjemah dan depag yang berkompeten dengan segala hal yang menyangkut pengadaan buku-buku agama Islam khususnya Al-Quran Bacaan Mulia. Kontroversi timbul dilatari 3 sebab. Pertama, H.B. Jassin tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir. Bahkan terjemahan sekalipun apalagi buku tafsir membutuhkan 3 hal di atas. Kedua, apa yang dilakukan H.B. Jassin mungkin adalah yang pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius. Sebuah invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bidah yang tidak punya rujukan atau basis dalil, hujjah, reason dari sumber- sumber hukum Islam. Ketiga, Al-Quran secara jelas membela dirinya sendiri lewat ayat- ayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan Al-Quran sebagai hanya karya sastra semata berarti merendahkan Al-Quran itu sendiri. Fungsi utama Al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud menyampaikan ketinggian sastrawi Al-Quran kepada bangsa Indonesia yang tidak menguasai sastra Arab. 16 H. Oemar Bakri, Polemik terjemahan Al-Qur’anul karim Bacaan Mulia H.B. Jassin, Jakarta Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama: Jassin bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan Al-Quran sekalipun. Apa yang di lakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan Tafsir Fi Dzilaalil Quran. Latar belakang pengetahuan sastra Arab SQ membuat tafsir tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga tafsir-tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Maani. Juga tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata Al-Quran. 17 Berkaitan dengan terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin mengenai ayat-ayat non- muslim, maka dapat kita ketahui bahwa ketekunan Jassin dalam menelaah sebuah karya sastra, menterjemahkan karya-karya sastra dari berbagai dunia Arab Belanda, Perancis dan Inggris sudah bukan rahasia lagi. Jassin memang menempatkan profesi itu sebagai pilihan dan jalan hidupnya yang pada akhirnya mengantarkannya sebagai salah seorang sedikit dari orang Indonesia yang namanya harum dan dikenal secara luas. Terutama dalam bidang seni dan budaya. Lebih spesifik lagi, bidang kesusastraan. Lebih dari dua dekade yang lalu, ide kreatif H.B. Jassin untuk menulis Al-Quran dalam bentuk puisi Al-Quran Berwajah Puisi menuai kontroversi yang luar biasa besar. Membaca Puisi Kitab Suci Oleh: Mohammad Nasih Lebih dari dua dekade yang lalu, ide kreatif H.B. Jassin untuk membuat terjemahan al-Quran dalam bentuk puisi al-Quran Berwajah Puisi menuai kontroversi yang luar biasa besar. Jangankan membuat terjemahan yang berbentuk puisi, mengatakan bahwa gaya bahasa dalam sebagian ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa aslinya Arab adalah puisi dalam artian seni sastra, dalam pandangan mayoritas umat Islam dan juga 17 http:suyuk.blogspot.com200812hb-jassin-dan-keindahan-sastrawi-al-qur.html ulama merupakan kekeliruan. Padahal, sesungguhnya kalau Al-Quran dibaca secara benar dengan menggunakan teknik-teknik tajwid yang benar, maka irama puitis Al-Quran akan dapat dirasakan secara jelas oleh pembaca dan pendengarnya, termasuk yang tidak mengetahui artinya sekalipun. Bahkan dari gaya bahasanya saja sudah nampak ketinggian bahasa Al-Quan yang menjadi ciri khas puisi. Kesalahan pandangan bahwa al-Quran bukanlah puisi tersebut terjadi karena kesalahan dalam memahami dua kata kunci, yakni majnun dan syair kata-kata turunan-turunannya yang terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran. Kesalahan pengertian ini di antaranya terjadi dalam Al- Quran terjemahan Departemen Agara RI yang menerjemahkan majnun ke dalam bahasa Indonesia dengan gila. Kemudian, para mufassir penafsir al-Quran terutama yang menggunakan metode ijmali global tidak memberikan pengertian yang cukup tentang makna syir dan majnun. Karena itu, untuk memahami permasalahan ini, kita perlu melihat secara lebih komprehensif tentang kata-kata majnun dan syair dalam Al-Quran dan konteks sosio-historis yang menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat al-Quran terutama yang berkaitan dengan masalah ini, sehingga ketika Al-Quran dianggap sebagai puisi atau syair, dalam artian mempunyai kandungan nilai seni sastra, tidak lagi menimbulkan polemik yang tidak jelas ujung pangkalnya. Lebih jauh, kandungan pesan Al-Quran bisa digali dengan sangat enak karena dikemas dalam bahasa-bahasa sastra yang sangat indah. Mukjizat Nabi-nabi dan Rasul-rasul diutus dalam konteks masyarakat yang membangga-banggakan sesuatu tertentu yang ada pada mereka. Misalnya, Nabi Isa datang kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam masalah ketabiban. Profesi sebagai seorang tabib adalah profesi yang sangat prestisius dalam masyarakat kala itu. Maka, Nabi Isa, konon diberikan mujizat berupa kemampuan untuk menyembuhkan orang buta bawaan, lepra, dan bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Demikian pula Nabi Musa. Ia diutus kepada masyarakat yang memuja-muja sihir. Maka oleh Tuhan, Nabi Musa diberi mujizat yang melebihi kemampuan tukang-tukang sihir pada masa Firaun. Tukang-tukang sihir Firaun mampu mengubah tali-tali yang ada di hadapan mereka menjadi ular. Nabi Musa lebih dari itu, mampu mengubah tongkatnya menjadi ular yang lebih besar dan memakan ular-ular hasil sihiran tukang-tukang sihir Firaun. Nabi Muhammad datang dalam konteks masyarakat yang memuja para penyair dan produk syair mereka. Karena itu, Nabi Muhammad diberikan mujizat berupa kitab suci Al-Quran, yang mempunyai kandungan dan nilai sastra yang sangat tinggi yang bisa menandingi ketinggian kemampuan para pujangga Arab Pagan dalam mencipta karya-karya sastra. Uraian Ibnu al-Mandhur dalam Kamus Lisbn al-Arab memberikan penjelasan tentang konteks yang berkaitan dengan kata-kata syair. Toshihiko Izutsu, seorang pakar linguistik, dalam kajian semantiknya juga menjelaskan kondisi sosio-historis masyarakat waktu itu. Di dalam masyarakat Arab Pagan, penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena dianggap sebagai kekayaan dan sekaligus kekuatan suku. Penyair juga dianggap mempunyai kemampuan- kemampuan lebih yang oleh karena itu dijadikan sebagai pemimpin suku pada masa damai dan masa perang. Ucapan-ucapannya dipercayai mempunyai kekuatan melebihi serdadu dengan senjata dan tombak karena mempunyai kekuatan magis yang dapat mengalahkan musuh. Bahkan lebih dari itu, ketika seorang penyair dari suku tertentu diserang dengan menggunakan syair oleh penyair dari suku yang lain, maka ia harus membalasnya. Sebab, kalau itu tidak dilakukan, tidak hanya dia yang dianggap kalah, akan tetapi sukunya pun ikut merasa dan dianggap kalah dan terhinakan. Mereka berkepercayaan bahwa para penyair dan juga tukang tenung adalah tipe orang-orang yang setiap saat dapat dimasuki kekuatan supranatural yang tak terlihat yang memberikan inspirasi kepada mereka. Kekuatan supranatural ini biasa disebut dengan jin. Jadi, syair yang dibuat oleh para penyair pada waktu itu dipandang sebagai hasil komunikasi antara sang penyair dengan kekuatan supranatural itu, yang oleh masyarakat Arab diyakini bahwa kekuatan supranatural itu melayang-layang di udara. Demikian juga kata-kata yang keluar dari tukang tenung yang dipercaya sebagai orang yang bisa meramal, adalah juga kata-kata yang berasal dari jin yang memberikan informasi kepadanya. Dalam pandangan mereka juga, jin tidak merasuk kepada sembarang orang, tetapi memilih orang-orang tertentu yang disukainya. Apabila orang yang disukai itu ditemukan, jin tersebut merasuk ke dalam diri orang tersebut dan menjadikan orang tersebut sebagai penyambung lidahnya. Orang seperti inilah yang dimaksud dengan penyair dalam pengertian semantik yang paling awal, yakni orang yang mempunyai pengetahuan supranatural. Kata syair sendiri menurut Ibn al-Mandhur berasal dari kata syaara atau syaura, artinya adalah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan. Dalam pandangan masyarakat Arab Pagan, setiap penyair mempunyai jin sendiri-sendiri dan dianggap sebagai teman akrab. Sebab itu, ketika seorang penyair tidak mampu mengucapkan syair balasan ketika mendapat serangan dari penyair lain, maka ia akan mengatakan bahwa yang menyebabkannya tidak mampu bukanlah kebodohannya, akan tetapi karena teman akrabnya tidak mengucapkan kata-kata kepadanya. Dalam konteks masyarakat seperti inilah Nabi Muhammad di utus. Karena itu, orang-orang yang tidak mempercayai kerasulan dan kenabiannya, menganggap Nabi Muhammad tak ubahnya penyair- penyair Arab Pagan lainnya. Ketika Nabi Muhammad mewartakan kebenaran kepada mereka yang kebenaran itu berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya yang diberikan oleh para pujangga Arab Pagan, maka mereka mencela dan mengejek Nabi Muhammad bahkan menentangnya dengan tentangan yang keras. Mereka yang ingkar kepada Nabi Muhammad berkata: Dia adalah penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaannya al-Thar: 30, Wahai orang yang diturunkan Al-Quran kepadanya, sesungguhnya kamu adalah orang yang majnun. al-Hijr: 6, “dan Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair majnun ini?” al-Shopat: 36. Al-Quran berusaha meyakinkan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penyair yang dirasuki jin. Berkat rahmat Tuhanmu, engkau Muhammad sekali-kali bukanlah orang yang majnun dirasuki jin, Nun: 3. “Apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad tersebut sesungguhnya bukan berasal dari kekuatan supranatural atau jin, melainkan berasal dari Allah, Tuhan penguasa segala alam.” Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan seorang tukang tenung. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” al-Habqqah: 41-42. Dari uraian di atas, persoalannya menjadi jelas bahwa sesungguhnya yang ingin ditegaskan oleh Al-Quran adalah bahwa Nabi Muhammad dan Al-Quran tidaklah sama dengan pujangga-pujangga Arab dan produk-produk syair mereka. Dan dengan demikian, apabila Al-Quran disebut sebagai puisi adalah sesuatu yang sama sekali tidak salah, karena kenyataannya memang demikian. Ketika kitab tejemahan “Bacaan Mulia” dilemparkan ke pasaran, komentar dan kritik tajam secara gencar dialamatkan atas diri Jassin. Sejumlah nama yang berkualitas sebagai ahli maupun bukan ahli di bidang Islam, khususnya ahli tafsir, juga diantaranya orang-orang awam yang buta tentang apa yang sebenarnya belum mereka fahami ikut-ikutan menyerangnya. Seorang yang bergelar ‘raja’ kritik dikritik habis-habisan. Lalu apa yang dilakukan Jassin dalam situasi diserang seperti itu? “Saya kaji berulang-ulang Bacaan Mulia terjemahan saya itu. Setiap waktu, kapan saja, di mana letak kekurangannya? Saya cari dan kemudian saya kumpulkan kritik dan komentar- komentar yang dimuat di media massa dan saya jadikan pegangan untuk merenung.” Kata H.B. Jassin mengisahkan peristiwa beberapa tahu lalu yang justru membuatnya semakin jauh mendalami kandungan Al-Quran. “Malah akhirnya saya terseret lebih dalam memasuki dunia Islam dengan kesadaran dan perhatian yang total”, ujar Jassin. Bersamaan dengan itu, muncullah tokoh agama yang cukup masyhur namanya untuk tampil membela H.B.Jassin. tokoh itu adalah Abuya Hamka almarhum yang juga seorang sastrawan sekaligus pemuka agama. “Karena berawal dari niat ikhlas, tidak niat sama sekali berharap keuntungan financial dari kerja menerjemahkan “Bacaan Mulia” itu, tegas H.B. Jassin. “Akhirnya setelah saya dihadapkan pada suatu tim dari Depag. “Bacaan mulia” diperbolehkan tetap beredar.” 18 Masalah teknis penterjemahan bukanlah masalah kecil. Beberapa perbedaan pemahaman ayat sendiri, sebagaimana biasanya, sudah cukup menimbulkan debat ilmiah. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa yang melakukan penterjemahan justru seorang doktor sastra Indonesia. Tokoh ini sama sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran, juga mengaku bukan ahli dalam bahasa Arab. Tak heran bila pembanding ceramah, Drs. H. Husin Abdul Mu’in yang sehari-harinya Kepala Perwakilan Departemen Agama Sumatra Selatan, disamping dengan 18 Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, H.B.Jassin Bahaia Terjemahannya Dibaca Orang, Jakarta sangat simpatik menyatakan penghargaannya kepada niat yang ikhlas dari penterjemah, juga memberi semacam usul yang halus untuk berhati-hati. Para ustadz yang yang banyak pengetahuan, memang kelihatan berusaha untuk tetap berlapang fikiran. Namun agaknya ada persoalan: sebagian sumber-sumber bandingan Jassin, di samping kitab-kitab tafsir bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dari dunia Islam, juga buah tangan dari penterjemah Barat, yang sebagiannya diketahui tidak beragama Islam. Sehingga timbul pertanyaan, apa sih perlunya ‘puitisasi’ itu dalam penerjemahan Qu’ran? Alasan Jassin diberikan secara sederhana. Terjemahan yang sudah dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia menurut Jassin sudah berjumlah kira-kira 10 semuanya ditulis dalam bahasa prosa. Dan hal itu “tidak mengherankan, karena yang dipentingkan oleh para penterjemah yang ada pada umumnya adalah guru-guru agama, ialah kandungan kitab suci itu”. Padahal sebenarnya bahasa Qur’an sangat puitis dan ayat-ayatnya “dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra” walaupun dalam setiap mushaf buku Qur’an ayat-ayat itu “secara visuil disusun sebagai prosa”. Maka tampaklah Jassin memandang ‘prosa’ dan ‘puisi’ pertama kali dari segi visual, dari segi tata muka. Ia sendiri menyatakan bahwa perbedaan sebuah puisi dari prosa biasanya lantaran puisi disusun “tidak baris demi baris yang panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi baris demi baris yang panjangnya memenuhi sebagian muka halaman saja”. Ia memberi contoh surah Yusuf ayat 3 biasanya diterjemahkan begini: “Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan mewahyukan kepadamu bagian kurban ini, meskipun kamu sebenarnya orang yang tiada sadar akan kebenaran”. Dan dengan susunan berikut ia menjadi puisi: “Kami ceritakan kepadamu kisah Yang paling indah Dengan mewahyukan kepadamu bagian Qur’an ini, Meskipun kamu sebelumnya orang Yang tiada sadar akan kebenaran. Sudah tentu sebagimana di katakan Jassin, tidak semua baris prosa bisa di rubah menjadi puisi dengan hanya merubah susunan. Namun dengan cara pendekatan itu, apakah ‘puisi’ seperti dimaksud Jassin? Sementara Jassin mengatakan bahwa bahasa Qur’an sangat puitis, puisi Qur’an itu justru tidak diungkapkan dalam kalimat terpotong-potong. Dengan kata lain, puisi Qur’an tidak sekedar kalimat terpotong-potong. Tapi pengertian ‘puisi’ sebagai bentuk susunan kalimat itulah yang sering dipakai para “penterjemah puitis” yang sudah lebih dulu mencoba seperti Mohammad Diponegoro atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf Ali, Beirut yang menurut Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling indah, dan yang mendorong dia melakukan hal serupa dalam bahasa Indonesia. Sudah tentu perasaan ‘enak’ dan ‘tidak enak’ terhadap sesuatu terjemahan hampir selalu bersifat relatif. Tapi justru sebagian orang mengatakan bahwa diukur dengan citarasa puisi, terjemahan Yusuf Ali justru kalah indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke Pickthall yang disusun secara ayat aslinya. Sebab mungkin saja, lebih dari Yusuf Ali, Pikchall berangkat dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya lantas menuangkan ke dalam terjemahan berdasar penguasaan citarasa bahasa Inggris, tanpa bertolak dari pola bentuk yang lazim disebut syair atau sajak. Karena bertolak dari bentuk itulah nampaknya salah satu alasan mengapa Mohamad Diponegoro menyebut hasil karyanya terjemahan juz XXX, dan belum diterbitkan sebagai ‘puitisasi terjemah Qur’an dan bukan terjemah puitis Qur’an’. Tetapi barang kali menarik bahwa dengan berpijak pada citarasa dan suasana asli, dalam arti menghadapi Qur’an sebagai “karya puisi”, akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari terjemahan lazim. Antara lain: terjemahan tidak lagi akan ‘mengguru-gurui’ atau ‘lebih mementingkan kandungan makna semata-mata’ menurut istilah Jassin. Sudah diketahui bahwa yang selama ini ghalib disebut terjemahan Qur’an bukan Tafsir sebenarnya toh bukan hanya terjemah melainkan plus keterangan yang hampir selalu diletakan dalam kurung. Sebuah kalimat dalam Qur’an kadang- kadang mungkin memang “tidak jalan” menurut logika tatabahasa sehari-hari, tetapi betulkah keadaan “tidak jalan” tersebut bukan merupakan satu bagian tak terpisahkan dari puisi – dan karenanya orang haruslah mengangkat seperti aslinya dan kalau perlu memberinya catatan kaki dalam tafsir? Maka barang siapa melihat terjemahan Jassin – yang sekarang sudah dipenerbit – maupun terjemahan Yusuf Ali, orang akan tahu bahwa sesungguhnya puisinya hanya bentuk, bukan semangat, tenaga atau dorongan puitik. 19 19 Pusat Dokumen Sastra H.B.Jassin, H.B.Jassin, Dimana Mulanya Puisi Qur’an, Artikel, Jakarta Dengan lolosnya Al-Qur’an Bacaan Mulia bukan berarti H.B. Jassin sudah memenangkan suatu perkara lalu boleh berbangga diri. “Tidak, sama sekali jauh dari perasaan bangga. Justru saya malah bertambah was-was. Bukankah Al-Qur’an itu turun langsung dari Allah? Mengapa sebagai manusia biasa saya mesti membanggakan diri jika mempelajari, mengkajinya adalah suatu kewajiban.” Terlepas dengan meredanya komentar dan kritik tajam yang datang dari pemeluk agama Islam, karya terjemahan itu sendiri diakui H.B. Jassin memang tidak sama disamakan dengan terjemahan buku-buku biasa. “Musti dapat dibedakan, antara karya terjemahan sastra dan Qur’an, “tuturnya. “karena itu, khusus ‘Bacaan Mulia’ ini Jassin membuka diri untuk dikritik, dinasehati demi kebanaran yang Haq dari Al-Qur’an itu sendiri”. H.B. Jassin mengaku mempelajari Al-Quran sejak masih kanak-kanak di kampungnya, Gorontalo. Ketika berusia 5 tahun, Jassin acap mendengarkan neneknya yang menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an. 20 Puitisasi Al-Qur’an dalam karyanya berjudul Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia yang diterjemahkan sejak 1962 menimbulkan kontroversi terutama di kalangan umat Islam. Sebenarnya Jassin tidak bermaksud untuk membuat tafsiran baru tentang mana-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dia hanya ingin menyajikan Al-Qur’an dengan gaya yang berbeda yang menurutnya lebih indah dengan cara menyususn penulisan ayat-ayat Al-Quran maupun artinya dengan pola yang biasanya digunakan dalam penulisan puisi sehingga menimbulkan irama tertentu, bukan arti tertentu. 20 Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, HB. Jassin Bahagia Terjemahannya Dibaca Orang, Artikel, Jakarta Untuk beberapa lama, kontroversi puitisasi Al-Qur’an menimbulkan polemik di berbagai media, bahkan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia MUI terpaksa turun tangan untuk menberikan penjelasan dan Jassin harus melakukan roadshow ke sejumlah ulama dan pesantren untuk memberikan pengertian seputar terbitnya Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia. 21 Dalam menerjemahkan Al-Qur’an, Jassin mengatakan “apa yang dikatakan dengan bahasa Arab dengan kalimat aktif misalnya, bisa saja lebih enak dalam bentuk pasif dalam bahasa Indonesia, atau sebaliknya. Mengenai pilihan kata, Jassin tidak terlalu kaku atau terlalu terikat pada bahasa sumber. Dalam menerjemahkan Max Havelaar Multatuli misalnya, Jassin bersikap: “Sebisa-bisanya saya mempergunakan bahasa Indonesia percakapan dengan kata-kata yang diambil dari dialek Jakarta, sebab Multatuli mempunyai gaya yang paling tepat dapat dinyatakan dengan bahasa pergaulan biasa.” Begitu pula ketika Jassin mengindonesiakan Al-Qur’an. “Saya banyak mempergunakan kata-kata yang berasal dari percakapan sehari-hari, kata-kata yang berasal dari bahasa daerah atau dialek, bahkan dari bahasa semenanjung.” Kesemuanya itu dilakukan Jassin dengan penuh kesadaran, “demi padanan yang tepat, atau demi pertimbangan keindahan bunyi, irama dan pengertian”. Sebagai penerjemah dengan cara dan visi diatas, H.B. Jassin ternyata banyak mendapat pujian. Moh. Rustandi Kartakusuma misalnya, menjuluki Jassin sebagai “penerjemah yang baik.” 21 Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia, Artikel, Jakarta, 2006 Dalam kaitannya dengan terjemahan Al-Qur’nul Karim Bacaan Mulia, Hamka berkata: “Maka dengan usaha DR H.B. Jassin menulis terjemahan Al-Qur’an, dia telah sampai pada batas yang dia tidak dapat mundur lagi buat seterusnya turut memperkuat perkembangan penyebaran Islam di tanah air kita bersama-sama dengan temen-temen yang lainnya.” Sekalipun banyak menerima pujian dari pelbagai pihak, Jassin tetaplah Jassin. Seorang yang rendah hati. Dalam hubungan terjemah-menerjemah ini misalnya, Jassin tak pernah lupa pada jasa Armijn Pane. 22 Sebagaimana seorang muslim yang mencintai kitab sucinya, H. Oemar Bakri, seorang muslim yang mengkritik terhadap terjemahan Al-Qur’an Bacaan Mulia. Beliau menaruh perhatian terhadap terjemahan puitis tersebut. Tanpa didahului oleh prasangka, beliau mulailah membaca hasil terjemahan itu. Harapannya semoga terjemahan itu dapat lebih meresapkan maksud yang tepat dari ayat-ayat Al-Qur’an Karim. Namun pada kenyataannya terjemahan itu jauh dari harapan tersebut, karena dari melihat-lihat beberapa halaman saja ada yang beliau temui keganjilan-keganjilan seperti di bawah ini: 1. Pada halaman 2 terjemahan ayat 3 Al-Baqarah “yaitu bagi mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka”. 22 Eneste Pamusuk, H.B. Jassin Sebagai Penerjemah, PDS H.B. Jassin, Jakarta, 1986 Ditulis “Bagi mereka yang beriman kepada yang gaib……” ini berarti bahwa Al-Quran adalah petunjuk bagi: a. Mereka yang takwa kepada Tuhan; b. Mereka yang beriman kepada yang gaib. Dengan demikian Al-Quran dapat menjadi petunjuk untuk orang bertakwa walaupun tidak beriman kepada yang gaib, dan seterusnya, dan sebaliknya kepada orang yang mempercayai saja adanya hari kiamat, walaupun tidak bertakwa kepada Allah. Demikianlah pengertian dari teks terjemahan tersebut, karena penterjemah mendudukan “alladziina yu’minuna” sebagai keterangan tujuan yang kedua setelah “lilmuttaqiin”, atau dalam istilah tata bahasa arab “alladziina” di i’robkan sebagai “athaf” dari “lilmuttaqiin”. Menurut H. Oemar Bakri ini adalah kesalahan besar dalam Ilmu Nahwu, karena sesuatu kata yang tidak didahului oleh huruf “athaf”, telah didudukkan saja sebagai “athaf” keterangan atau bagian yang kedua dari yang sebelumnya. Padahal “aladziina” dalam ilmu tata bahasa arab adalah “isim maushul”, yang kalau tidak ada yang merubahnya dari fungsi sebagaimana aslinya, berfungsi sebagai penghubung. Kalimat yang sesudahnya dinamakan “shilah” keterangan lebih lanjut dari kata-kata sebelumnya maushulnya, bukan sebagai bagian yang terpisah atau berdiri sendiri dari maushulnya. Dengan demikian isi ayat tersebut telah dipecah oleh penterjemah, karena kesalahan dalam menetapkan fungsi suatu kata atau anak kalimat dari ayat-ayat Al-Quran yang berbahasa Arab itu. 2. Kata-kata “huda” kadang-kadang diterjemahkan dengan “pimpinan” seperti pada ayat 16 surat Al-Baqarah. ☺ ⌧ Kadang-kadang dengan “petunjuk”, seperti pada ayat 2 surat yang sama. Dan dengan “bimbingan” seperti pada ayat 175 pada surat tersebut. Karena dalam ayat 16 surat Al-Baqarah, terjemahan yang dipilih untuk kata-kata “huda” adalah “pimpinan”, sehingga terjemahan itu berbunyi: “merekalah yang menukar pimpinan dengan kesesatan”, maka keindahan “muqabalah” memakaikan kata-kata yang berpasangan dalam satu kalimat akan menjadi rusak. Bukankah pasangan yang lebih tepat adalah “petunjuk”?. 3. Pada ayat 44 surat Al-Baqarah ⌧ “watansauna anfusakum” diterjemahkan dengan “sedangkan kamu sendiri lupa” Sedangkan jika kita lihat pada terjemahan yang biasa, yaitu: “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaktian, sedang kamu melupakan diri kewajiban mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab Taurat? Maka tidaklah kamu berpikir?” Dengan demikian isi ayat tersebut telah dipecah oleh penterjemah, karena kesalahan dalam menetapkan fungsi suatu kata atau anak kalimat dari ayat-ayat Al-Quran yang berbahasa arab itu Adapun permasalahan yang sedang diperbincangkan, yakni penafsiran yang beragam tentang terjemahan ayat-ayat non-muslim. Jika kita lihat beberapa ayat yang berhubungan dengan non-muslim misalnya yang tertera pada surat Al-Maidah ayat 51: ⌫ ☺ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin-pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpi maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. 23 Hal tersebut di atas merupakan terjemahan dari Al-Qur’an terjemahan Depag. Kita bandingkan dengan terjemahan karya H.B.Jassin: 23 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 “Hai orang yang beriman Janganlah kamu ambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat dan pelindung. Mereka saling melindungi Yang satu terhadap yang lain. Dan barang siapa di antara kamu berpaling kepada mereka, Ia pun termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tiada memberi bimbingan kepada kaum yang zalim.” 24 Kemudian ayat 57 pada surat yang sama terjemahan Depag: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, yaitu di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir orang-orang musyrik. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman.” 25 Lain halnya terjemahan karya H.B. Jassin: “Hai orang yang beriman Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong orang yang menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yakni sebagian orang yang menerima Kitab sebelum kamu, dan orang yang kafir. Tapi bertakwalah kepada Allah, jika kamu sungguh beriman.” 26 24 H.b. Jassin, Bacaan Mulia, h.151 25 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 170 26 H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h.152 Selanjutnya kita lihat juga pada surat Al-Mumtahanah ayat 8-9 versi Depag: ☺ “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”8 27 ☺ ☺ “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”9 28 Maka terjemahan dari Bacaan Mulia adalah: “Allah tiada melarang kamu berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tiada memerangi kamu karena agama, dan tiada mengusir kamu dari rumahmu. Sungguh, Allah cinta orang yang menjalankan keadilan.”8 27 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 924 28 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 924 “Allah hanya melarang kamu bertemen dengan orang yang memerangi kamu karena agama, yang mengusir kamu dari rumahmu, dan yang membantu orang mengusir kamu. Barang siapa yang menjadikan mereka kawan, mereka itulah orang yang zalim.”9 Kemudian pada surat Ali Imron ayat 28-30: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.”28 “Katakanlah : “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”29 29 “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebijakan dihadapkan kehadapannya, begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”30 30 Selanjutmya kita lihat pada terjemahannya H.B.Jassin : “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari 29 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h.80 30 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h.80 pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya, dan hanya kepada Allah kembali.”28 31 “Katakanlah : “jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui. Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”29 32 “Pada hari ketika tiap-tiap dirimendapati segala kebajikan kehadapannya, begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. Dam Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”30 Apabila kita lihat perbandingan antara kedua terjemahan tersebut, Penulis kira tidak ada penyimpangan makna yang dituliskan oleh H.B.Jassin. Permasalahan di sini hanyalah penggunaan kata-kata. Jassin menggunakan kata-kata yang mudah dipahami serta lebih mengedepankan letak keindahan kata yang sebenarnya antara perbedaan dalam penggunaan kata memiliki makna dan maksud yang sama. Misalnya kita lihat pada penggalan terjemahan surat Al-Maidah ayat 51. Pada terjemahan Depag disebutkan Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu;…….” Sedangkan dalam terjemahan ‘Bacaan Mulia’ disebutkan: 31 H.B.Jassin, Bacaan Mulia, h.70 32 H.B.Jassin, Bacaan Mulia, h.70 “Hai orang yang beriman Janganlah kamu ambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat dan pelindung………” Kita lihat bahwa yang berbeda dari kedua terjemahan diatas adalah terletak pada kata “menjadi pemimpin-pemimpinmu” dengan “sebagai sahabat dan pelindung”. Menurut penulis dari kedua terjemahan tersebut tidak ada permasalahan. Hanya saja pada kata “Pemimpin” itu merupakan hak Eksekutif sedangkan pada kata “Sahabat” tidak. Dalam jiwa seorang pemimpin harus mempunyai multi fungsi. Pemimpin dapat disebut juga seorang sahabat karna masyarakat akan menceritakan permasalahannya kepada seorang pemimpin layaknya seorang sahabat. Sedangkan pemimpin dapat disebut pelindung karna seorang pemimpin adalah orang yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk melindungi rakyatnya.

C. Analisis terhadap kata “Auliya” tentang ayat non-muslim