Tinjauan terhadap terjemahan al-Quran al-Karim bacaan mulia Karya H.B.Jassin
TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN AL-QURAN AL-KARIM
BACAAN MULIA KARYA H.B.JASSIN
(Analisa Terhadap Terjemahan karya H.B. Jassin Pada Surat Ar-Rahman dan Perbandingannya dengan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)
NASRULLOH NIM : 1982414681
JURUSAN TERJEMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2003
TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN AL-QURAN AL-KARIM
BACAAN MULIA KARYA H.B.JASSIN
(2)
(Analisa Terhadap Terjemahan karya H.B. Jassin Pada Surat Ar-Rahman dan Perbandingannya dengan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sasatra (S.S)
Oleh :
NASRULLOH
NIM:1982414681
Pembimbing,
Drs. HD. Sirojuddin. AR, M.Ag
NIP:150 234 507
JURUSAN TERJEMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(3)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN ALQUR’AN
AL-KARIM BACAAN MULIA KARYA H.B. JASSIN(Analisa Terhadap Terjemahan karya H.B. Jassin Pada Surat Ar-Rahman dan Perbandingannya dengan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2008, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada program studi Tarjamah.
Jakarta, 1 Oktober 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Ikhwan Azizi. M.A Akhmad Syaekhuddin. M.Ag NIP: 150 262 446 NIP: 150 303 001
Anggota
Drs. HD. Sirojuddin. AR, M.Ag
(4)
(5)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap muslim sudah tentu mempunyai keinginan untuk dapat membaca dan memahami Al-Qur'an dalam gaya bahasa yang asli, yaitu Bahasa Arab. Tetapi karena tiap orang tidak mempunyai kemampuan atau kesempatan yang sama, maka tidaklah keinginan tersebut di atas dapat dicapai oleh setiap muslim. Untuk itulah maka Al-Qur'an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.1
Terjemahan Al-Qur'an ke dalam berbagai bahasa dunia di antaranya telah dilakukan dalam bahasa Persia, Turki, Urdu, Tamil, Pastaho, Jepang, Perancis, Spanyol, dan berbagai bahasa di kepulauan timur dan beberapa Bahasa Afrika. Juga terdapat terjemahan dalam bahasa China. Terjemahan dalam Bahasa Urdu yang pertama dimulai oleh Syah Abdul Qodir dari Delhi (wafat tahun 1826). Kemudian setelah itu banyaklah dilakukan orang terjemahan ke dalam Bahasa Urdu, yang sebagian dari hasil terjemahannya tidak sampai selesai.
Di antara terjemahan yang lengkap dan masih dipergunakan sampai saat ini ialah terjemahan dari Syah Rafiuddin, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Maulvi Nazir Ahmad, mereka semua dari Delhi.
Beberapa tahun terakhir Al-Qur'an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan Rabithah Al Alam Al Islami dan Dar Al Ifta Wa Al Irsyad yang bermarkas di Saudi
1
(6)
Arabia. Mujamma’ Khadim Al Haramain Al Syarifain Al Malik Fahd untuk pencetakkan mushaf telah mencetak terjemahan Al-Qur'an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia.2
Berbagai hasil penerjemahan Al-Qur'an di dunia ini ternyata bayak membawa nilai positif, baik bagi penerjemah itu sendiri maupun bagi pembacanya, di antaranya adalah seorang penerjemah Qur'an dalam Bahasa Inggris Marmaduke Pickthall, ia telah menerjemahkan Al-Qur'an dalam gaya bahasa sastra. Karena latar belakang tersebut ia akhirnya memeluk Islam karena menganggap Islam agama yang mudah dipahami oleh setiap orang dan sebagai agama yang rasional.3
Keperluan kita akan berbagai ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur'an rnemang sangat besar dan tidak ada batasnya, akan tetapi untuk memahaminya ternyata memang bukan hal yang mudah, terutama bagi para pembaca yang tidak memahami gaya bahasa Al-Qur'an. Oleh sebab itu saat ini di tengah berbagai berita dan opini, serta makin pesatnya ilmu pengetahuan di Indonesia, hasil karya terjemahan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia sangat memberi kontribusi dalam proses pemahaman isi Al-Qur'an.
Semua terjemahan itu pada umumnya ditulis dalam bahasa prosa, hal mana tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh para penerjemah yang pada umumnya guru-guru agama, ialah isi kandungan kitab suci itu. Juga disebabkan karena Al Qur'an itu sendiri secara visuil disusun sebagai prosa, meskipun sebenarnya bahasanya sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra. Maka tidaklah mengherankan pula apabila belakangan ini ada usaha-usaha dari para penyair untuk mempuitisasikan terjemahan ayat-ayatnya, seperti yang mula-rnula dilakukan oleh beberapa penyair Islam golongan pujangga baru
2
Ibid., h.35.
3
(7)
di antaranya Rifa'i Ali dan kemudian setelah perang dunia kedua oleh Diponegoro, Syu'bah Asa, Ali Audah, Taufik Ismail, Ajip Rosyidi, dan lain-lain.4
Terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia yang beredar saat ini sudah cukup banyak. Di antaranya yang terpopuler adalah Tafsir Qur'an Karim Mahmoed Joenoes yang terbit pertama kali tahun 1938, Al Furqan A. Hasan, terbit tahun 1953, Tafsir Annur karya TM. Hashi Ash Siddieqy yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1956 dan jilid X dan terakhir tahnn 1973, Tafsir Qur'an H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS tahun 1960, dan yang terkemudian Al-Qur'an dan terjemahnya yang
pertama kali terbit tahun 1970, dengan sponsor Departemen Agama Republik Indonesia.5 Dari sekian banyak tokoh penerjemah Al-Qur'an yang berusaha menerjemahkan dengan gaya bahasa syair dan prosa, melalui skripsi ini saya akan menyajikan seorang tokoh penyair yang semasa hidupnya banyak menghasilkan karya sastra dan berhasil menerjemahkan Al-Qur'an dengan gaya bahasa puisi, ia adalah Hans Bague Jassin.
Sebagai seorang yang bergelut dalam dunia sastra tentunya ia mempunyai banyak pengalaman dalam menulis karya yang identik dengan dirinya, salah satu karya yang cukup populer di kalangan masyarakat pecinta Al-Qur'an adalah terjemahan Al-Qur'anul Karim-Bacaan Mulia yang hasil terjemahannya bergaya puitis. Karena alasan tersebut maka penulis merasa termotivasi untuk menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN
TERHADAP TERJEMAHAN AL-QUR'ANUL KARIM BACAAN MULIA KARYA H.B. JASSIN”.
Pendapat H.B. Jassin tentang penerjemahan Al-Qur'an adalah bahwasanya untuk memperoleh terjemahan puitis yang efektif diperlukan perbendaharaan kata yang luas untuk
4
H.B. Jassin, Pengantar Al Qur’anul Karim-Bacaan Mulia, (Jakarta: PT. Jambatan, 1978), cet. Ke-1, h.12
5
(8)
memungkinkan mencari kata-kata sinonim yang lebih merdu bunyinya atau jumlah suku katanya memungkinkan irama yang lebih harmonis dalam hubungan kandungan makna. Kata-kata sinonim diperlukan supaya ada variasi dalam pengungkapan sesuai dengan keindahan bunyi dan keserasian irama.
Begitu pula kata-kata yang dimiliki oleh terjemahan yang puitis sebenarnya bersifat netral. Oleh karenanya menurut ia kata-kata yang dikatakan puitis adalah kata-kata yang menurut bunyinya enak didengar. Contoh :
Artinya : l. Menurut terjemahan Departemen Agama
"mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat" 2. Menurut terjemahan H.B.Jassin
“mengapa kamu katakan apa yang tiada kamu lakukan?
Artinya : 1. Menurut terjemahan Departement Agama “mereka yang memelihara sholat”
2. Menurut terjemahan H.B.Jassin
“mereka yang setia menjalankan sembahyang”
Selain itu penulis ingin mengetahui bagaimana langkah-langkah H.B. Jassin dalam menerjemahkan kitab suci tersebut, karena sebagaimana tercantum dalam berbagai buku yang berkaitan dengan hasil terjemahannya ia bukanlah seorang tokoh agama dan ia menyelesaikan
(9)
hasil terjemahannya ini di beberapa kota besar di dunia seperti Kuala Lumpur, Amsterdam, Berlin, Paris, London, Singapura, Jakarta, dan beberapa kota kecil di mancanegara.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil karya terjemahan Al-Qur'an versi H.B. Jassin, bayak hal menarik yang dapat diperoleh darinya. Kesemuanya itu tidak mungkin dapat dibahas dalam satu kali penulisan, oleh karena itu penulis membatasi masalah dalam skripsi ini hanya pada analisa terhadap terjemahan Al-Quran Karya H.B. Jassin dalam surat Ar-Rahman, aspek penggunaan bahasa, diksi, dan pola penerjemahannya.
Dalam penyajian karya ilmiah ini penulis juga menyajikan beberapa contoh hasil terjemahan H.B. Jassin dan membandingkannya kepada hasil terjemahan Departeman Agama R.I.
Atas dasar latar belakang masalah di atas penulis akan mendapatkan permasalahan yang akan dirumuskan sebagai berikut:
1. Siapa H.B. Jassin dan mengapa ia tertarik menerjemahkan kitab suci Al-Qur'an ? 2. Mengapa ia menerjemahkan Al-Qur'an secara Puitis ?
3. Apakah seluruh ayat dalam surat Ar-Rahman ia terjemahkan secara puitis ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap hasil karyanya antara lain:
1. Dapat menambah wawasan tentang berbagai pola penerjemahan Al-Qur'an.
2. Mengetahui tentang penggunaan dan pemilihan kata yang dipakai dalam melakukan kegiatan penerjemahan kitab ini sehingga dapat ditentukan terjemahan yang terbaik.
(10)
3. Sebagai upaya memahami subtansi yang terkandung pada tiap - tiap ayat dalam surat Ar-Rahman dan berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
D. Metodologi Penelitian l. Subjek penelitian.
Subjek penelitian ini adalah hasil terjemahan H.B. Jassin pada Al-Qur'anul Karim-Bacaan Mulia.
2. Instrumen Pengumpulan Data.
Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan instrumen pengumpulan data dengan studi dokumenter. Penulis mencari data dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan H.B. Jassin, terutama yang bertajuk hasil terjemahannya. Dokumen-dokumen tersebut dapat berupa buku-buku karangan H.B. Jassin atau tentang H.B. Jassin dan terjemahan Al-Qur'anul Karim-Bacaan MuIia karyanya.
Selain itu penulis juga mencari data dari berbagai buku terjemahan Al-Quran dan tafsir. E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dapat digambarkan sebagai berikut: Bab I. Berupa pendahuluan berisi:
Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan penelitian, Metodologi penelitian (subjek penelitian dan instrumen pengumpulan data), dan sistematika penulisan.
Bab II. Berupa gambaran umum tentang penerjemahan AI-Quran yang berisi:
Sejarah penerjemahan Al Qur'an, Sejarah penerjemahan Al Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia, Latar belakang penerjemahan Al- Qur'anul Karim-Bacaan Mulia, Latar belakang penamaan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia.
(11)
Bab III. Berupa hasil penelitian yang berupa:
Riwayat hidup H.B. Jassin dan hasil karyanya.
Bab IV. Berupa hasil. penelitian tentang analisa terhadap terjemahan Al--Qur'anul Karim Bacaan Mulia yang berisi :
Cara kerja H.B. Jassin dalam menerjemahkan Al Qur'an, hambatanhambatan dan tanggapan beberapa tokoh penerjemah Quran terhadap terjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia, serta analisa terhadap terjemahan karya H.B Jassin pada surat Ar-Rahman dan perbandingan dengan terjemahan Departemen Agama RI.
(12)
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PENERJEMAHAN AL-QUR'AN
A. Sejarah Penerjemahan Al-Qur'an.
Sebelum penulis menyajikan informasi tentang penerjemahan Al-Qur'an, ada baiknya saya singgung sedikit tentang pengertian terjemah dari beberapa tokoh penerjemah dan seberapa penting hal tersebut Kata “Tarjamah" dalam tuturan Bahasa Arab meliputi berbagai makna, bahkan pengertian yang satu ini seringkali tergantung pada situasi di mana kata itu diucapkan. Pengertian-pengertian yang dapat dijangkau oleh ungkapan kata "Tarjamah" antara lain:
1. (Menyampaikan pembicaraan kepada orang - orang yang belum menerimanya). Jadi menyampaikan menyebarkan ajaran Al-Qur'an kepada masyarakat yang belum menerimanya, itutermasuk menerjemahkan ajaran Al- Qur'an. 2. (Menjelaskan kalam dengan menggunakan bahasa
kalam itu sendiri). Oleh karena itu menafsirkan Al - Qur'an dengan menggunakan Bahasa Al -Qur'an ( Arab ) masih termasuk arti menerjemahkan Al-Qur'an.
3. ( Mengalih pembicaraan / kalam dari satu bahasa ke bahasa lain), atau dengan bahasa yang sederhana alih bahasa.6
Berdasarkan keterangan di atas, yang intinya mengandung arti penjelasan, karena memang sampai dengan millenium ketiga ini masih banyak manusia yang belum memahami
6
Rifa'i Sauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), cet. Ke2, h. 169 -171.
(13)
Bahasa Al-Qur'an. Oleh karenanya dibutuhkan terjemahan Al-Qur'an sebagai salah satu sarana dan upaya berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengajarkan dan memahaminya.
Al-Qur'an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tanggal 17 Ramadhan, ketika itu usia Nabi 41 tahun bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 610 M. Adapun tentang sejarah penerjemahan Al-Qur'an, penulis perlu membaginya menjadi beberapa babak berdasarkan dengan bahasa apa kitab suci ini diterjemahkan. Karena adanya perbedaan antara sejarah penerjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Barat dan bukan Barat termasuk Bahasa Indonesia.
Sebelum berkembangnya Bahasa-bahasa Eropa modern, maka yang lebih dahulu berkembang di Eropa saat itu adalah Bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan Al-Qur'an dimulai ke dalam bahasa latin. Usaha terjemahan itu dilakukan dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah peribadatan biara clugny kiri-kira pada tahun 1135 M.
Prof. W. Montgomery Watt dalam bukunya Bells Introductins 70 The Quran (Islamic Surveys 8) menyebutkan bahwa terdata dimulainya perhatian barat terhadap studi Islam (Islamic Studies) adalah dengan kunjungan Peter The Venerable, Abbot Clugny ke Toledo pada abad ke-12 M.7
Di antara usahanya adalah menerbitkan serial keilmuan untuk menandingi kegiatan intelektual Islam saat itu (terutama di Andalusia). Sebagai bagian dari kegiatan tersebut adalah menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Latin yang dilakukan oleh Robert Of Ketton (Robertus Retanensis) yang diselesaikan pada bulan Juli 1143 M.8
Sedangkan keterangan yang lain menyatakan bahwa penerjemahan Al-Qur'an yang pertama ke dalam Bahasa Eropa dilakukan oleh Robert de Retines pada tahun 1141-1143 M atau
7
Departemen Agama, Al-Qur'an dan terjemahnya, (Semarang : 1990), op.cit., h. 30
8
(14)
menurut Abu Bakar Atjeh tahun 1146 M.9 Terjemahan yang dilakukan oleh Robert de Retines ini ternyata sebagai upaya untuk menyudutkan ajaran agama (Risalah) yang dibawa oleh Muhammad SAW, karena hasil terjemahannya ternyata sangatlah tidak sesuai isi dan kandungan Al-Qur'an itu sendiri, bahkan setengahnya sengaja dibuat menyimpang supaya makna Al-Qur'an itu menjadi rusak.10
Usaha tersebut di atas memang sengaja dilakukan, karena memang mereka bermaksud menandingi kemajuan Islam waktu itu. Pada umumnya penerjemahan AlQur'an yang dilakukan oleh kaum orientalis itu mempunyai kecenderungan atau tendensi negatif, yaitu menjelek-jelekkan Islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjuk-petunjuk Al-Qur'an melainkan demi kepentingan misi mereka yaitu menyudutkan Islam.
Abad renaissance di barat memberi dorongan lebih besar untuk menerbitkan buku-buku Islam. Pada awal abad ke-16 buku-buku yang beraliran pemikiran Islam banyak diterbitkan, termasuk salah satunya yaitu penerbitan Al-Qur'an pada tahun 1530 M di Venice dan terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Latin oleh Robert Of Ketton tahun 1543 M di Basle dengan penerbitnya Bibliander.11
Lodovici Meracci misalnya menggunakan sebagian usianya (selama 40 tahun) untuk mempelajari Al-Qur'an dan pada tahun 1689 M mengeluarkan terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Latin dengan teks Arab dan beberapa nukilan dari berbagai tafsir berbahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk memberi kesan buruk tentang Islam di Eropa. Merracci sendiri adalah orang pandai dan dalam menerjemahkan Al-Qur'an itu jelas bertujuan mendiskreditkan Islam di kalangan masyarakat Eropa, dengan mengambil pendapat para ulama Islam sendiri. Keterangan lain tentang tokoh ini adalah bahwasannya ia seorang Roma Katholik
9
Rifa’i Sauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, op. Cit., h. 33
10
Ibid.
11
(15)
dan terjemahnya itu dipersembahkan kepada Emperor Romawi. Pada terjemahannya itu di beri pengantar yang isinya adalah sebagaimana apa yang ia katakan "Bantahan terhadap Quran ".
Adapun terjemahan ke dalam Bahasa Inggris pertama kali dilakukan oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari Bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer pada tahun 1647 dan baru diterbitkan beberapa tahun kemudian setelah karya Ryer itu. George Sale seorang yang berhasil menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1734 ternyata seorang plagiat besar karena sebagian besar karangannya merujuk pada karangan Meracci. Mengingat bahwa tujuan kaum orientalis menerjemahkan Al-Qur'an untuk menjelekkan Islam di kalangan masyarakat Eropa, maka terjemahannya dianggap yang terbaik dalam dunia yang berbahasa Inggris dan telah dicetak berulang kali dan dimasukkan dalam seri apa yang dikatan “Chandos Cllassics” dan mendapat pujian serta restu dari Sir E. Denisson Ros.
Pada tahun 1812 terjemahan George Sale diterbitkan di London dalam edisi baru (dua jilid) terjemahan tersebut diberi judul The Koran atau The Akoran of Mohamad: translated from the original Arabic. Disebutkan di dalam terjemahannya berdasarkan sumber berbahasa Arab, para mufassir muslim, terutama tafsir Al Baidlowi.
Pada abad ke-19 penerjemahan Al-Qur'an semakin berkembang. Gustav Flugel (wafat 1870) menerjemahkan Al-Qur'an sejak tahun 1834 dan telah mengalami cetak ulang dan refisi oleh Gustav Redslob. Diikuti kemudian oleh Gustav Weil (wafat 1889) dan juga menulis sejarah Nabi Muhammad SAW (tahun 1843). Usahanya diteruskan oleh pelanjutnya yaitu Aloys Sprenger dan William Muir, keduanya mempunyai perhatian yang besar dalam mempelajari Al-Qur'an dan sejarah Nabi Muhammad SAW.
J.M. Rodwell menerbitkan terjemahannya pada tahun 1861 dan berusaha menyusun surat-surat Al-Qur’an berdasarkan urutan turunnya. Sekalipun ia berusaha untuk mengungkapkan
(16)
secara jujur, tetapi catatan-catatannya menujukkan fikiran seorang pendeta Kristen yang lebih mementingkan untuk memperlihatkan apa yang menurut pendapatnya kekurangan-kekurangan dalam Al-Qur'an daripada menunjukkan penghargaan atau ketinggian Al-Qur'an.
Terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Jerman oleh Rudy Paret dianggap baik. Menurut pendapat Richard-Bell bahwa penyusunan ayat demi ayat secara kronologis seperti yang dilakukannya tidak mungkin. Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Eropa lainnya dilakukan oleh E.H. Palmer (Guru besar Universitas Cambridge wafat tahun 1883). Hasil terjemahannya diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1876. Dia tidak mampu memahami keindahan dan keagungan gaya Bahasa Al-Qur'an. Menurutnya Bahasa Al-Qur'an itu kasar dan tidak terdapat keteraturan. Terjemahannya dianggap sembrono dan tidak teliti.12
Mengingat Luasnya tujuan-tujuan terselubung dari kegiatan para orientalis yang anti Islam dalam menerjemahkan Al-Qur'an menyebabkan penulis-penulis muslim berusaha menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Inggris. Berbagai ketimpangan dan penyimpangan yang terjadi dalam penerjemahan Qur'an oleh orang-orang Eropa disebabkan karena Al-Qur'an yang diterjemahkan itu tidak dikerjakan dari sumber aslinya yang berbahasa Arab, melainkan menerjemahkan hasil terjemahan.
Thomas Carlyle, seorang ahli ketimuran mengatakan bahwa Al-Qur'an itu sampai ke Eropa dengan cara yang tidak shahih. Bahkan pada masa orang-orang muwahhidin memerintah Spanyol tahun 1141-1289, secara lebih keras lagi memerintahkan agar Al-Qur'an yang diterjemahkan dalam Bahasa-bahasa Eropa itu harus segera dimusnahkan.13 Meskipun demikian ada beberapa karya terjemahan Al-Qur'an yang disetujui penggunaannya oleh para Ulama Islam.
12
Ibid. h.31
13
(17)
Sarjana Muslim yang pertama-tama melakukan penerjemahan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Inggris adalah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan, dari Patiala pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menerjemahkan Al-Qur'an dan diterbitkan di Delhi tahun 1919 M. Nawab Imadal Mulk Sayyid Husein Bilgrami dari Hyderabad Dacca juga menerjemahkan sebagian Al-Qur'an, ia meninggal sebelum menyelesaikannya. Ahmadiah Qodiani juga menerjemahkan bagian pertama kitab ini pada tahun 1915, begitu pula Ahmadiah Lahore ia juga menerbitkan terjemahan Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit tahun 1917 M. Terjemahan itu merupakan hasil karya ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas dan pendahuluan serta indeks yang cukup.
Terjemahan Al-Qur'an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan oleh Hafidz Ghulam Sarwar yang terbit tahun1930 M. Dalam terjemahannya itu ia memberikan ringkasan surat demi surat, bagian demi bagian tetapi tidak diberinya footnote pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya amat perlu untuk memahami ayat-ayat di dalamnya. Bahasa Al-Qur'an dengan ungkapan-ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang memadai.14
Di antara sarjana Muslim Barat yang menerjemahkan Al-Qur'an adalah Muhammad Marmaduke Pickthall dari Inggris, ahli dalam Bahasa Arab. Terjemahannya dilakukan kalimat demi kalimat dan diterbitkan pada tahun 1930 M. Hasil terjemahannya telah dicetak berulangkali sebanyak lima kali sampai tahun 1476 M. Pada terjemahannya disertai dengan pengantar yang menguraikan tentang Al-Qur'an, sejarah singkat Nabi penerima kitab tersebut, serta tidak ketinggalan yang amat penting yaitu Ilmu Tajwid sebagai salah satu alat untuk membaca AI-Qur'an secara tertib dan benar (Tartil). Pada setiap awal surat diberi keterangan singkat tentang surat dan pada bagian akhir dilengkapi dengan indeks.
14
(18)
Terjemahan Pickthall tersebut diberi judul "The meaning of Glorius Koran" dengan keterangan singkat tentang surat dan kesimpulan ayatnya.15
Terjemahan Al-Qur'an yang terkenal di dunia Barat maupun Timur adalah terjemahan Abdullah Yusuf Ali "The Holy Quran", Text Translation and commentary telah diterbitkan berulang kali. Hasil karyanya dilengkapi dengan keterangan singkat surat dan kesimpulannya.
Terjemahan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia
Al-Qur'an al-karim sebagai Bacaan yang mulia bagi umat Islam juga mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kegiatan ini dilakukan dimulai pada pertengahan abad ke-17 oleh seorang ulama bernama Abdul Rauff`al-Fansuri, tokoh asal singkel, Aceh. Terjemahan yang ia lakukan bukan dalam Bahasa Indonesia yang kita kenal seperti sekarang ini, akan tetapi dalam Bahasa Melayu, oleh karenanya apabila ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia moderen kemungkinan dapat dikatakan belum sempurna, namun demikian kreatifitas semacam ini sungguh amat besar artinya terutama sebagai perintis jalan menuju ke arah yang lebih sempurna.16
Selain yang dilakukan oleh Al-Fansuri terdapat tejemahan yang lain, di antaranya adalah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan Islam Yogyakarta; Qur'an kejawen dan Qur'an Sundawiah, terbitan percetakan A.B. Sib Syamsiah Solo, Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH. Munawar Khalil, Tafsir Qur'an Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus (1935), AI-Furqan dan Tafsir Qur'an oleh A. Hasan dari Bandung (1928), Tafsir Al-Qur'an oleh H. Zainuddin Hamidi cs (1959), al-Ibris disusun oleh Kiayi Biysri Musthafa dari Rembang (1960), Tafsir Al-Qur'an Al-Hakim oleh H.M. Kasim Bakri cs (1960), dan banyak lagi yang lain. Dari berbagai macam
15
Rifa’i Sauqi dan M. Ali Hasan, op.cit., h. 178
16
(19)
terjemahan Al-Qur'an tersebut ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai, seperti penerbitan terjemahan tafsir dari perkumpulan Muhammadiyah, Persatuan Islam Bandung, dan Al-Ittihadul Islamiyah di bawah pimpinan KH. A. Sanusi Sukabumi, sementara terjemahan ke dalam Bahasa Jawa di antaranya adalah Al-Qur'an suci Basa Jawi, oleh Prof. K.H.R.Muhammad Adrian (1969), dan Al-Huda, oleh Drs. H. Bakry Syahid (1972).17
Dari berbagai hasil terjemahan yang telah Penulis sebutkan di atas pada umumnya semuanya ditulis dalam gaya bahasa prosa dan kemunculannya tidak mendapatkan reaksi yang menimbulkan kontrofersi.
Salah satu terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia ada yang kemunculannya mampu menimbulkan pro dan kontra ialah "Bacaan Mulia" oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam penerjemahan itu ia mempergunakan pendekatan puitis. Bebagai reaksi timbul setelah terbitnya bacaan tersebut, baik yang disampaikan melalui media massa maupun buku-buku ilmiah, karena terjemahan karya Jassin ini dianggap banyak yang tidak mencapai maksud ayat yang diterjemahkan.18
Masyarakat penerjemah Al-Qur'an di Indonesia sampai saat ini belum memiliki data pasti yang memadai mengenai sejarah penerjemahan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia Melayu, orang mengenal Qur'an dalam terjemahan Bahasa Melayu-Indonesia, yang konon diterjemahkan dari tafsir Baidlowi pada petengahan abad ke-17 oleh Abdul Rauff Al-fansuri, sebagaimana telah Penulis kemukakan sebelumnya.19
Meskipun demikian, Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian besar terhadap terjemahan Al-Qur'an ini. Hal ini terbukti bahwa terjemahan ini temasuk pola I Pembangunan
17
Ibid
18
Ibid. h.180
19
Thamem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’n (Kajian Kritis, Objektif dan Konfrehensif), (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 99
(20)
Semesta Berencana, sesuai dengan keputusan MPR. Untuk melaksanakan pekerjaan ini oleh Menteri Agama waktu itu telah dibentuk sebuah lembaga yang diketuai oleh Prof. R.H.A.Sunarjo SH. Mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Lembaga tersebut beranggotakan para Ulama dan Cerdik pandai Muslim yang memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing
Dari waktu ke waktu Pemerintah Indonesia selalu mencetak kitab suci al-Qur'an. Pada Repelita IV (1984-1989) telah dicetak 3.729.250 buah, terdiri dari Mushhaf Al-Qur'an, Juz Amma, Al-Qur'an dan Terjemahnya, serta Al-Quran dan Tafsirnya.
Atas berbagai saran masyarakat dan pendapat musyawarah kerja ulama Al-Qur'an XV (23-25 Maret 1989) terjemah dan tafsir Al-Qur'an tersebut disempurnakan oleh pustaka penelitian dan pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashhih Mushhaf Al-Qur'an.20
B. Penerjemahan Al-Qur'an Ke dalam Bahasa Indonesia.
Dalam sub judul berikut ini Penulis bermaksud menyajikan tentang bebagai permasalahan yang terdapat dalam terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia. Dalam memperbincangkan masalah penerjemahan Al-Qur'an ini kita tidak dapat melepaskan diri dari perbincangan tentang masalah pembinaan dan pengembangan bahasa karena penerjemahan juga termasuk masalah kebahasaan.
Pernyataan ini menjadi mengemuka karena pola penerjemahan Al-Qur'an di Indonesia cukup beragam, ada yang menulisnya dengan gaya bahasa prosa dan ada pula yang menulisnya dengan gaya bahasa yang puitis, seperti yang telah dilakukan oleh H.B. Jassin.21
20
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, loc.cit.
21
(21)
Seorang Penerjemah dituntut kreatif. Penerjemahan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia saat ini pada dasarnya tidak akan banyak menemui kesulitan, sebab sudah ada beberapa contoh hasil terjemahan yang dapat dijadikan sebagai pembanding selain dalam Bahasa Indonesia juga dalam Bahasa Asing, terutama dalam Bahasa Inggris banyak juga yang dapat diangkat sebagai bahan perbandingan.
Di samping itu istilah-istilah khusus dalam Al-Qur'an yang suka diterjemahkan ke dalam Bahasa Asing, Bahasa Indonesia telah terbantu dengan istilah-istilah itu yang sudah dipakai dalam Bahasa Indonesia, seperti kata shadaqah, miskin, shalat, iman, akhirat, sabar, taqwa, tawakal, kiamat, dan sebagainya, meskipun kadang mengalami sedikit pergeseran makna.22
Di antara berbagai hasil terjemahan itu masih terdapat beberapa kelemahan yang dirasakan, yang sebenarnya tidak seharusnya terjadi, kelemahan-kelemahan itu antara lain :
l. Bahasa terjemahan, terutama terjemah dari Bahasa Arab, lebih khusus lagi Bahasa Arab Al-Qur'an, dalam hal ini mungkin penerjemah selain terpengaruh oleh bahasa sumber, terutama karena ingin menjaga kesucian Al-Qur'an dan bahasanya, sehingga tidak berani mengubah terlalu jauh dari kata-kata dan susunan kalimatnya, inilah yang kita kenal dengan terjemahan Harfiah (Literal Translation) dengan akibat tidak sedap dibaca dan tidak mudah dicerna artinya.23
Kekakuan dalam terjemahan mungkin karena terlalu mengikuti konstruksi kalimat Arab dengan tidak memperhatikan konstruksi menurut rasa Bahasa Indonesia atau suatu ungkapan Arab diambil begitu saja dan tidak digantikan dengan ungkapan Bahasa Indonesia. Misalnya surat 17:107
22
Ibid., h.331
23
(22)
Diterjemahkan demikian :
“Mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud" (Q.S :17:107).
Dengan rasa Bahasa Indonesia yang baik seharusnya kalimat ini diterjemahkan dengan : "Merekapun jatuh tunduk atas mukanya dalam sujud "
begitu pula yang terjadi pada surat 26:29
☺
⌧
diterjemahkan menurut susunan kalimat Arab akan berbunyi :
"Sungguh jika kamu menyembah tuhan selain Aku, benar-benar Aku akan menjadikan kamu salah seorang yng dipenjarankan" (Q.S.Asy-Syuara:29).
Lebih lancar menurut susunan Bahasa Indonesia rasanya jika bagian kedua kalimat itu diterjemahkan :
"... pastiku masukan kau ke dalam penjara ".
Tetapi tidak semua terjemahan harfiah itu kaku dan janggal, contohnya dalam surat al-Hasyr (59) ayat 23,
☺
☺
☺
☺
⌧
☺
☺
Artinya: "Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja yang maha suci, yang maha sejahtera, yang maha mengaruniakan rasa aman, yang maha memelihara, yang maha perkasa, yang maha kuasa, yang memiliki segala keagungan, maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan".
(23)
2. Adakalanya ia menguasai bahasa sumber dengan baik, tapi tidak pada bahasa sasaran, sehingga banyak hasil terjemahan tidak enak dibaca dan sukar difahami. Yang demikian inilah yang sering kita jumpai dalam hasil-hasil terjemahan, terutama tentunya terjemahan Qur' an atau Hadits.
3. Teknik penulisan, tidak sdikit penerjemah yang tidak mampu menguasai teknik penulisan sebagaimana mestinya, seperti menempatkan paragraf, titik, titik korna, huruf miring, huruf tebal, huruf kapital, catatan bawah (footnote) penerjemah dan sebagainya.
4. Transliterasi, oleh karena tansliterasi Arab-Latin di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan, maka tidak jarang penulis dan penerjemah tidak memiliki keseragaman dalam penulisan translitrasi. Penulisan translitrasi terakhir yang disahkan oleh Surat Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No. 158 tahun 1987 yang pada pokoknya disusun sejalan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Huruf Arab yang belum ada padanannya dalam huruf latin dilakukan dengan cara memberi tambahan tanda diakritik (diacritical mark) dengan dasar
"satu fonem satu lambang" juga dalam penulisan huruf-huruf pada suda diseragamkan dengan lturuf /a/ bukan /o/ tet sampai sekarang sistem baru ini
tampaknya tak banyak dikenal orang. Transliterasi demikian tidak berlaku untuk kata-kata bahasa Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti kata-kata shalat/doa/zikir/wudlu/ridla/sedekah/hadis/ramadhan/ dan sebagainya.
Dalam terjemahan Qur'an yang demikian itu hampir tidak pernah dihiraukan, juga dalam sebagian besar media massa Islam. Orang tetap menulis shalat atau sholat, do'a, dzikir, wudlu, ridla atau ridho, hadits dan seterusnya. Penulisan Ejaan ini sampai sekarang tetap kacau. Berbeda
(24)
dengan EYD, yang begitu dikeluarkan ketentuannya ditaati orang, transliterasi Arab-Latin ternyata kurang mendapat perhatian.24
C. Latar Belakang Penerjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia
Latar belakang pembahasan penerjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia dimulai dengan pengalaman pribadi yang dialami oleh H.B. Jassin sendiri. Pada mulanya bagaimana timbul pertanyaan pada dirinya, bagaimana ia jatuh cinta kepada Al-Qur'an.
Pada tanggal 12 Maret 1962 istrinya yang tercinta meninggal dunia, kejadian tersebut sangat menggugah kesadarannya akan arti hidup manusia yang singkat di dunia ini. Berbuat baiklah terhadap sesama manusia, bersabarlah, beramallah, balaslah kejahatan dengan kebaikan, niscaya kejahatan berubah menjadi kebaikan. Tujuh hari lamanya setiap malam diadakan pembacaan Al-Qur’an di rumah keluarganya, sejak malam pertama jenazah istrinya diangkut dari rumah sakit dan dibaringkan dalam rumah, ia mengikuti semua kegiatan itu sampai selesai 30 juz dalam waktu tujuh hari. Pada malam kedelapan sepilah rumah, tidak ada lagi yang datang membaca Al-Qur’an, maka timbullah fikiran pada dirinya, mengapa saya, ungkap Jassin dalam hati, tidak meneruskan sendiri pengajian itu? lalu ia coba mengaji dengan suara perlahan, makin lama makin keras dengan suara beralun terbawa oleh rasa haru yang terkandung di dalam hati.25
Pagi-pagi ia membaca Firman-firman Allah SWT, menangkap getaran-getaran udara yang diproduksi oleh tenggorokan, diolah menjadi pengertian-pengertian oleh akal dan fikiran dan merasuk ke dalam hati yang peka menerima. Alangkah nikmat isi kandungan Firman-firman Allah, alangkah dalam, luas, jauh, tinggi, luhur, dan murni.
24
Ibid. h.334
25
(25)
Ia memulai pekerjaan dengan Bismillah dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah, kedua kalimat tayyibah tersebut bukan sekedar ucapan rutin, tetapi merupakan sebuah rutinitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran tiap gerak langkah hidup hanyalah terjadi karena Allah dan H.B. Jassin bersukur bahwa ia telah selamat melakukan sesuatu pekerjaan karena karunia-Nya,26
Sepuluh tahun lebih ia menyelami ayat demi ayat, tidak satu pun hari yang lewat tanpa menghirup firman Allah SWT yang maha suci, sekalipun hanya satu ayat dalam sehari. Ujian demi ujian menimpa pula, bahkan pernah dituduh murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila dan UUD 1945. Tapi semua itu diterimanya sebagai cambuk untuk lebih dalam menyelam ke dalam inti hakikat (kebenaran) dan hal yang demikian ia anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Berbagai fitnahan dan tuduhan demikian ia jadikan sebagai pelajaran dan ia tidak berkeinginan untuk menjawabnya. Selanjutnya H.B. Jassin dengan lapang dada dan berjiwa besar memanfaatkan waktu yang ia miliki untuk menukik lebih dalam ke dalam samudra Al-Qur'an.
Ayat demi ayat dibacanya secara cermat dan teliti dengan penuh penghayatan dari sinilah mulai muncul pemikiran untuk menerjemahkan Bacaan Mulia ke dalam Bahasa Indonesia yang puitis.27
Mulai menerjemahkan Al-Qur'an
26
Ibid., h.220
27
(26)
Sampai tibalah suatu hari hati H.B Jassin terbuka untuk memulai menerjemahkan Al-Qur'an, pada tanggal 7 Oktober 1972, di negeri yang dingin jauh dari katulistiwa, yakni di negeri Belanda.
Satu tahun lamanya di negeri kincir angin tersebut Jassin menerjemahkan sebagian dari isi kandungan Al-Qur'an dan sekembali di Indonesia lebih dari satu tahun pula ia mengerjakannya, Alhamdulillah selesailah seluruhnya sebanyak 30 juz tanggal 18 Desember 1974 di Jakarta, Ibukota Republik Indonesia. Karena selalu dibawa ke mana-mana untuk mengerjakannya, tercatatlah berbagai kota tempat terjemahan pernah dilakukan seperti Amsterdam, Berlin, Paris, London, Antwerpen, Kuala Lumpur, Singapura, tetapi juga kampung-kampung kecil seperti Leiden; Zaandam, Reuver, Peperga dan beberapa kali dalam perjalanan di pesawat terbang.
Pikiran untuk menerjemahkan Al-Qur'an secara puitis muncul pada diri H.B. Jassin setelah membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang diperolehnya dari seorang kawan, Haji Kasim Mansyur tahun 1969.
Itulah terjemahan yang dirasakan yang paling indah penuh rasa estetika yang tinggi karena dalam estetika disertai pula dengan berbagai keterangan yang luas dan universal sifatnya.
Dalam pekerjaan menerjemahkan sudah barang tentu Jassin bertolak dari kitab induk Al-Qur'anul Karim sendiri yang berbahasa Arab artinya ia tidak menerjemahkan hasil terjemahan orang lain, di sampingitu ia mempergunakan sebagai perbandingan terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa asing sebagai bahan perbandingan dan Bahasa Indonesia serta beberapa kamus Arab-Inggris. Jadi, terjemahanya bukanlah terjemahan dari terjemahan Yusuf Ali ataupun terjemahan lainnya. Susunan sajak terjemahan dalam Bahasa Indonesia adalah susunan karya
(27)
H.B. Jassin sendiri, sedang susunan sajak dalam Bahasa Arab (Al-Qur'an) disusun baru sesuai dengan baris-baris sajak dalam Bahasa Indonesia.28
Sesudah tanggal 18 Desember 1974 terjemahan tersebut selesai secara keseluruhan, diketiknya baik-baik dan diserahkan kepada penerbit Djambatan berangsur-angsur sampai lengkap 27 Agustus 1975. Tapi dalam pada itu di luaran timbul, pertanyaan apakah terjemahan saya, menurut H.B. Jassin dapat dipertanggung jawabkan dari sudut isinya, mengingat bahwa saya bukan seorang ulama yang telah mempelajari isi Al-Qur'an secara mendalam dari berbagai sudut sebagaimana yang disyaratkan bagi seorang penerjemah Al-Qur'an tutur Jassin.29
Sebelum hasil karyanya diterbitkan dan didistribusikan kepada masyarakat umum, kepada Majelis Ulama Indonesia yang ketika itu diketuai oleh Hamka, datang permintaan supaya terjemahan itu diperiksa oleh para ulama, tugas itu oleh MUI pusat diserahkan kepada Majelis Ulama DKI. Untuk keperluan penjelasan, lembaga tersebut mengundang H.B. Jassin dalam suatu pertemuan di kediaman Gubernur Jakarta Raya saat itu Haji Ali Sadikin, tanggal 25 Agustus 1976. Pertemuan ini di pimpin oleh K.H. Rahmatullah Shiddiq.
Hasilnya adalah bahwa Majelis Ulama DKI menghargai usaha penerjemahan yang dilakukan oleh Jassin, dan akan memberikan bantuan untuk meneliti isi terjemahan tersebut. Untuk itu dibentuklah suatu panitia yang terdiri atas K.H. Saleh Suaidy, Muchtar Luthfi Al Anshari, dan H. Iskandar Idris. Oleh karena K.H. Saleh Suaidy meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh K.H. Abdul Azis, itu pun hanya beberapa waktu saja karena kemudian beliau ditugaskan oleh pemerintahan DKI untuk menjadi ketua rombongan Haji ke Tanah Suci Mekkah menjelang akhir tahun 1976.
28
Ibid., hal. 222
29
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, Departemen Agama edisi 1990, (Jakarta: Pustaka
(28)
Mukhtar Lutfi yang juga dikenal sebagai pengurus lembaga pendidikan Al Irsyad pusat menyebutkan tidak seluruh terjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia diteliti oleh tim peneliti, tapi hanya sebagian saja, itupun dilakukan apabila H.B. Jassin merasa ragu terhadap terjemahan ayat yang diterjemahkannya. Penelitian tersebut berlangsung lebih kurang 45 hari.30
Apabila ditelaah secara mendalam karya H.B. Jassin yang berjudul kontroversi Al-Qur'an berwajah puisi, kelihatan bahwa hal-hal yang melatar belakangi kritikus sastra ini menerjemahkan secara puitis (bukan mempuisikan Al-Qur'an) adalah sebagai berikut :
1. Jassin memandang Al-Qur'an baik edisi Indonesia, Turki, Mesir maupun Arab, semua susunannya sama yakni berbentuk prosa menurut istilah H.B: Jassin.
2. Bahasa Al-Qur'an itu puitis seperti puisi, sehingga rasanya lebih indah kalau disusun berbentuk puisi dan tentunya enak dibaca.
3. Dari segi spiritualpun keindahan bahasanya bisa diresapi, enak dibaca dan penuh irama.31
Kitab Rujukan
Menurut DR. Ismail Lubis M.A dalam disertasinya yang berjudul Falsifikasi terjemahan Al-Qur'an Departemen Agama 1990 menyatakan apabila dilihat dalam beberapa catatan H.B. Jassin yang dikutipnya dari media cetak Kompas tertanggal 08 Nopember 1978 diuraikan kembali dalam polemik tentang Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia, kiranya tidak tepat kalau H.B. Jassin dalam menerjemahkan AlQur'an secara puitis dikatakan mempergunakan kitab rujukan tetapi lebih tepat mempergunakan bahan perbandingan, seperti tampak pada kutipan pernyataan berikut ini:
30
Ibid.,
31
(29)
“Tentulah ada untungnya bahwa Al-Qur'an yang saya terjemahkan sudah ada terjemahannya dalam bahasa-bahasa yang saya kuasai. Tidak ada salahnya untuk mempergunakan terjemahan-terjemahan tersebut sebagai perbandingan, asalkan induk yang ditejemahkan tetap Al-Qur'an dalam Bahasa Arab”.
Dari pernyataan ini muncul alasan bahwa ia tidak mempergunakan kitab rujukan. Ia tidak mengingkari telah memakai berbagai terjemahan sebagai bahan. perbandingan dalam fungsinya sebagai kamus dan buku tafsiran. Kemudian Jassin menambahkan bahwa ia mempergunakannya secara kritis, cermat dan hati-hati tidak sekedar ambil sana ambil sini.
Bahan perbandingan yang dipergunakan dalam menerjemahkan bacaan mulia ke dalam Bahasa Indonesia secara puitis antara lain ialah :
1. The Eternal Message Of Muhammad, oleh Abdul Rachman Azzam. 2. Sejarah Al-Qur'an, oleh Haji Aboebakar.
3. The Message Of The Qur'an, oleh Ali Hasyim Amir.
4. An Advanced Learner's Arabic English Dictionary, oleh H. Anthony Salamone 5. The Koran Interpreted oleh Arthur J. Arberry
6. The Holy Qur'an, oleh A. Yusuf Ali
7. Baidawi's commentary on surat 12 of the Qur'an, oleh F.L. Besston 8. The Koran, oleh George Sale
9. Concordantiae Corani Arabicae, oleh Gustavus Flagel
10. Die Richtungen der Islamischen koran Auslengung, oleh Ignaz Goldziher 11. Arabic-English Dictionary, oleh J.G. Have S.J
12. De Koran, oleh J. H. Kramers 13. The Koran, oleh J.M Rodwell
(30)
14. A Dictionary and Glossary of the Koran, oleh John Penrice
15. Al-Qur'anul karim beserta Terjemah dan Tafsirnya, oleh H.M Kasim Bakry 16. The Qur'an, oleh Muhammad Khan Zafrulla
17. The Meaning of the Glorius Koran, oleh M. Picthall 18. The Koran, oleh NJ Dawood
19. Le Coran, oleh Regris Blachere 20. The Qura'an, oleh Richard Bell 21. Der Koran, oleh Rudy Paret
22. Sejarah dan Pengantar Ilrnu Tafsir, oleh T.M. Hasbi Ash Shiddiedy 23. An Introduction to the Qur'an, oleh W. Montgomery Bell Watt 24. Tafsir Qur'un Karim, oleh H. Zainuddin Hamidy.32
B. Latar Belakang Penyebutan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia
Penyebutan kalimat Bacaan Mulia setelah Al-Qur'anul Karim sengaja diletakkan oleh H.B Jassin dalam kitab terjemahan Al-Qur’anul Karim bertolak pada ayat 77 surat Al-Waqi'ah yang berbunyi :
⌧
"Bahwa ini .sesungguhnya Bacaan yang mulia "
Judul buku terjemahan karangan H.B. Jassin bukan "Bacaan Mulia ", tapi Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia. Kata-kata itu jelas tertulis pada bagian kulit buku dengan huruf berbahasa Indonesia berwarna Emas. Kata-kata Al-Qur'anul Karim bahkan ditulis dengan huruf yang indah. Kemudian pada halaman Franse Titel, tertulis kata-kata yang sama dengan huruf-huruf yang sama dan kemudian lagi pada halaman judul dengan jelas dan terang tercantum pula di atas
32
(31)
dengan kaligrafi yang artistik "Al-Quranu'l Karim" dan di bawahnya sebagai keterangan "Bacaan Mulia ".
Prinsipnya sama dengan halaman-halaman terjemahan, yakni nama surah dengan tulisan Arab dan di sampingnya terjemahannya dalam Bahasa Indonesia: Al-Baqarah dengan huruf Arab, di sebelahnya dengan huruf Latin: "Sapi Betina " dengan huruf Arab: Ali Imran, Annisa di sampingnya Keluarga Imran, dan Wanita-wanita dan seterusnya. Di punggung buku tertulis pula Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia dan di atas kotak edisi istimewa memancar pula dengan huruf-huruf emas.33
Ada orang yang mengusulkan supaya "Al-Qur'an" jangan diterjemahkan dengan "Bacaan ", karena dengan demikian Al-Qur'an disamakan saja dengan sembarang bacaan, katanya. Apakah untuk membaca Qur'an orang harus mengatakan "mengqara'a Qur'an” karena membaca Qur'an dianggap ungkapan yang merendahkan martabat Qur'an? Adakah suatu larangan berupa ayat atau hadits yang melarang untuk menerjemahkan kata "Qur'an " dengan "Bacaan ".34
BAB III
BIOGRAFI H.B.JASSIN
33
H.B. Jassin, Sastra Indonesia warga sastra dunia,op.cit., h. 239
34
(32)
A. Riwayat Hidup H.B.Jassin
Nama lengkap Jassin adalah Hans Bague Jassin, lahir 31 juli 1917 di Gorontalo (Sulawesi Utara), dan wafat pada tanggal 11 maret tahun 2000. Berpendidikan Guovernements H.I.S. Gorontalo (tamat 1932), H.B.S-B 5 tahun di Medan (tamat 1939), Fakultas Sastra Universitas Indonesia (tamat 1957), kemudian memperdalam pengetahuan dalam bidang Ilmu Perbandingan Kesusastraan di Universitas Yale, Amerika Serikat (1953-1959), dan terakhir menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1975).35
Pengalaman pendidikan di Universitas Yale oleh Jassin memiliki pengalaman tersendiri yang ia tuangkan dalam bentuk sebuah buku yang berjudul "Omong-omong H.B. Jassin perjalanan ke Amerika 1958-1959)" terbitan Balai Pustaka. Dalam buku tersebut penulis bermaksud menyajikannya secara singkat
Ia adalah salah seorang dari 16 pegawai negeri yang ditugaskan belajar di Amerika Serikat, sesuai dengan Surat Keputusan Perdana Menteri R.I. tanggal 17 juli 1958, No. 303/P.M./1958. Penugasannya juga atas anjuran Menteri P dan K, yang menurut rencana setelah kembali dari Amerika, ia akan pergi ke Uni Soviet dan R.R.C. Beasiwa dan biaya perjalanan ia peroleh dari Pemerintah Amerika Serikat melalui Kementerian P dan K, Dalam Surat Keputusan itu dilampirkan daftar nama-nama peserta yang akan berangkat beserta tujuan sekolah masing-masing di Amerika. Jadi, walaupun mereka berada dalam satu kelompok mereka pergi dan pulang dengan tujuan masing-masing.
Lamanya perjalanannya sebelas bulan, ia berangkat dari Jakarta tanggal 21 juli 1958 dan tiba kembali di Jakarta tanggal 21 juli 1959. Ia sempat mengunjungi negara-negara bagiannya antara lain Indiana, North Carolina, Connecticut.
35
Pamusuk Eneste, Leksikon kesusastraan Indonesia modern, (Jakarta: PT. Jambatan, 1990), edisi baru, h. 73-75
(33)
Enam minggu yang pertama, yaitu tanggal 24 Juli sampai 3 September 1958 Jassin berada di Bloomington, Indiana untuk mengikuti Orientation Course, yang diadakan di Indiana University. Di sana dia diajarkan “Comparative Literature”, tetapi saat itu muslin panas sehingga ia tidak dapat mengikuti kuliah-kuliah yang diadakan. Profesor Horts Frencz, sebagai ketua jurusan comparative literature mengundangnya untuk menghadapi kongres Comparative Literature Association. Kesempatan ini dipergunakannya dengan senang hati, sekedar untuk mendapatkan bayangan dan pengalaman tentang kongres tingkat Internasional. Tempat Kongres itu diadakan di Chapel Hill, North Carolina, yang dimulai tanggal 8-12 september 1958. Dan kongres itu dihadiri oleh para sarjana Ilmu Perbandingan Kesusasteraan,dari Eropa, Amerika dan beberapa negara lain.
Tempat kuliahnya sebenarnya di Yale University, New Heaven, Connecticut. Kuliah itu diadakan dua Catur Wulan yaitu dari pertengahan September1958 sampai dengan Mei 1959. Di Tempat tersebut jurusan Comparative Litrature menjadi bagian yang berdiri sendiri dengan ketuanya Reene Weliek, ia mengikuti empat mata kuliah, pertama dua mata kuliah dari Profesor Wellek yaitu Contemporary Criticism in England, The United States, and the European Continent dan Tolstoy in his European setting. Kedua, dari Profesor Brooks yaitu Twentieth Century, dan ketiga dari - Profesor Wimsat, yaitu Theories of Poetry.
Satu hal yang perlu Jassin catat adalah mata kuliah Kesusasteraan diajarkan tersendiri di dalam satu jurusan, tidak sebagai mata kuliah tambahan atau pembantu. Lain dari keadaan di Universitas Indonesia pada tahun 50-an, mata kuliah kesusastraan diajarkan bersama dengan mata kuliah bahasa. Mata kuliah bahasa tersebut lebih mendapat tempat, atau menjadi mata kuliah utama. Namun kini kedua mata kuliah itu, keseusastraan dan bahasa atau linguistik, pengajaranya telah berhasil dipisahkan. Jadi kedua ilmu itu mempunyai masing-masing jurusan.
(34)
Di Yale University untuk mencapai satu tingkat M.A. atau Ph.D, mahasiswa wajib mengikuti berbagai persyaratan. Persyaratan itu umumya adalah mahasiswa harus menempuh empat mata kuliah, yang dipilih bersama ketua jurusan. Dengan terbatasnya mata kuliah yang dipilih memungkinkan mahasiswa lebih khusus dan mendalam mempelajarinya.
Sistem pengajaran di Amerika umumnya lebih mementingkan bentuk seminar. Dengan bentuk seperti ini mahasiswa diajarkan untuk membuat makalah sendiri, dan harus mempertahankannya dalam diskusi antar mahasiswa. Hal ini dapat dilakukan karena jumlah mata kuliah yang terbatas.
Dengan memperdalam dan memperluas pengetahuan tentang “Ilmu Perbandingan Kesusastraan” yang dipelajarinya di Amerika sangat menunjang ajar mengajarnya di Fakultas Sastra-UI, selain itu, juga mendukung Disertasi tentang “Kesusastraan Indonesia Modern” yang sedang dipersiapkannya.36
Sebagai seorang akademisi tentunya banyak pengalaman dan penghargaan yang telah diperolehnya, dalam buku sastra Indonesia sebagai warga sastra Dunia ia mendapatkan pengakuan yang beragam dari berbagai pihak: H.B. Jassin adalah tokoh yang sudah tidak asing lagi dalam kesusastraan Indonesia. Gayus Siagian menyebutnya “Paus Kesusastraan Indonesia”, Profesor Teeuw menyebutnya “Penjaga Sastra Indonesia”, Arief Budiman menyebutnya “Kritikus Sastra yang bekerja secara cermat dan kontinyu”, M.H. Rustandi Kartakusuma memberinya predikat “Penerjemah yang baik”, dan Profesor Harsya W.Bachtiar, ketika masih menjabat Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975) pernah mengatakan
36
Balai Pustaka, Omong-omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), (Jakarta PT. Balai
(35)
“Fakultas Sastra Universitas Indonesia sendiri sudah sejak 1969 ingin mengangkatnya sebagai guru besar.37
Pembelaan Dalam Perkara “LANGIT MAKIN MENDUNG”
Selain pengalamannya dalam dunia pendidikan H.B.Jassin juga memiliki pengalaman yang tidak dapat dilupakannya begitu saja, karena hal tersebut berkaitan dengan karya cipta orang lain tapi ia bersedia untuk menjadi terdakwa saat itu.
Pembelaannya dalam perkara “Langit Makin Mendung” di muka pengadilan Jakarta Pusat pada bulan Agustus 1968 dilakukannya dengan ikhlas dan senang hati terhadap cerita pendek karya seseorang yang berada di balik nama Ki panji kusmin. Pembelaan yang dimaksud adalah karena isi cerita dalam Cerpen itu berkaitan dengan hal-hal yang bertentangan dengan akidah agama tertentu (Islam), menurut Jaksa penuntut dan Menteri Agama waktu itu, sedangkan menurut Jassin sendiri semua fakta yang tersaji dalam cerita itu hanya bersifat imajinasi, khayal, atau fantasi, sedangkan akidah adalah soal dogma atau hakikat. Dan fantasi tidak sama dengan hakikat.
Logika yang semu dicoba saudara jaksa paksakan kepada terdakwa dengan pertanyaan sebagai berikut :
1. Tuhan di antara salah satu sifatnya adalah Qadir, artinya maha kuasa, kalau Tuhan digambarkan sebagai terpaksa, apakah itu tidak bertentangan dengan agama? Ketika terdakwa memberikan penjelasan, penjelasannya ditolak, yang dikehendaki oleh jaksa hanya jawaban “ya” atau “tidak”, menurut Jassin saat itu ia berhadapan dengan logika jaksa karena jaksa mensejajarkan karangan sastra yang bersifat imajiner dengan ajaran agama ynag bukan imajiner.
37
(36)
2. Contoh lain di mana penuntut umum dalam tanya jawabnya hanya meminta jawaban “ya” atau “tidak” atas pertanyaan menurut sifat dua puluh dan ayat Qur'an, Tuhan itu sempurna; dijawab tertuduh “ya”, betul, lalu penuntut melanjutkan dalam cerita itu Tuhan digambarkan sebagai orang tua, berarti Tuhan tidak sempurna. Dia bisa muda dan bisa tua dan tentu bisa mati. Apakah ini tidak bertentangan dengan keyakinan dan iman saudara sebagai orang Islam? Dijawab oleh terdakwa “ya” ini bertentangan dengan keyakinan dan agama. Di sini menurut Jassin nampak suatu kontradiksi, suatu kelicikan terjadi dan manipulasi dalam pemikiran. Menurutnya lagi Tuhan tidak tergantung pada cara manusia menggambarkan ada-Nya. Dia menerima semua yang beritikad baik mencari Wajah-Nya. Sifat dua puluh hanyalah tafsiran manusia, sekalipun bedasarkan Qur'an dan Hadits. Tuhan di sini coba dirumuskan dengan kata-kata dan istilah, tapi Tuhan tidak dapat dirumuskan. Jadi sifat 20 pun belum lengkap menafsirkan, apalagi menggambarkan Tuhan yang sesungguhnya. Pengarang Ki panji kusmin tak bermaksud menghina Tuhan hanya karena ia menggambarkannya sebagai orang tua berkacamata (apakah orang tua berkacamata hina?). Lagi pula yang digambarkan ini bukanlah zat Tuhan, siapakah yang zat Tuhan? Tuhan yang digambarkan ini adalah Tuhan imajiner, bukan Tuhan hakikat, bagaimanakah pengarang dapat menghina Tuhan yang sesungguhnya dalam dunia yang imajiner.
3. Tuduhan berikutnya berdasarkan KUHP 156 menyatakan di muka umum penghinaan terhadap sesuatu golongan, dalam hal ini ialah golongan kiai-kiai Islam. Menurut terdakwa adalah tidak beralasan sama sekali. Pertama pengarang dengan ceritanya sama sekali tidak bermaksud menghina para kiai historis. Kedua cerita itu adala imajiner, bukan laporan-sejarah: Ketiga; tokoh-kiai yang imajiner itu dalam rangka kejadian
(37)
imajiner adalah kiai yang menyelewengkan agama dan sebagian yang demikian patut dicela. Kiai-kiai yang dimaksud pengarang dalam ceritanya yang imajiner itu tentulah bukan yang seperti Hamka, Muhammad Natsir, Isa Anshari, Firdaus A.N. sebab para kiai yang semacam mereka ini yang menegakkan Islam, tapi mengapa justru dijebloskan ke dalam tahanan.
Rangkuti berpendapaat bahwa tujuan pengarang adalah hendak mensucikan Islam dari racun-racun faham baru yang menyesatkan (Nasakom), sehingga banyak dari pengikut-pengikutnya dengan sadar ataupun tidak memperpincang ataupun melumpuhkan Islam. lman dan Islam menjadi permainan bibir semata. Semua peristiwa dan gejala yang destruktif untuk Islam inilah yang menjadi latar belakang timbulnya imajinasi pengarang Ki panji kusmin.
Menurut H.B. Jassin, saya tidak kenal dengan Ki panji kusmin waktu karangan-karangan yang pertama saya terima, sebagaimana biasa tiap pengarang yang berhasil lolos masuk dalam majalah SASTRA, otomatis saya kirimi formulir biografi pengarang untuk keperluan dokumentasi, tapi ia mendapat jawaban: “Saya baru mulai pak. Belum sepatutnya saya memberikan biografi saya, nantilah apabila saya telah maju dalam karang mengarang akan saya kirimkan”. Jawaban ini bagi Jassin jadi petunjuk bahwa pengarang bukan seorang yang suka menonjolkan diri, tapi seorang yang rendah hati, seorang yang jatmika.
Kemudian pada saat berikutnya, barulah terdakwa mendapatkan gambaran sedikit mengenai pengarang. Ibu Ki panji kusmin melukiskan dia sebagai seorang yang pendiam, tidak banyak bergaul dengan orang, suka menyisihkan diri, sederhana, suka merenung-merenung dan menulis-menulis. Ki panji kusmin lahir tahun 1941, sekolahnya sampai tamat Akademi Pelayaran dan beberapa tahun menjadi mualim. Tapi pekerjaan di kapal rupanya tidak menarik hatinya dan ia kemudian turun ke darat dan bekerja di lapangan perdagangan. Mengenai agama
(38)
Ki panji kusmin lahir dari keluarga beragama Islam. Tapi ia sekolah di sekolah katolik sejak sekolah dasar.
Sebagai seorang pendiam dan pemalu serta tidak banyak pergaulan, ia mempunyai rasa rendah diri, dapatkah kita bayangkan jiwa pengarang tatkala ceritanya dihebohkan orang. Orang berdemonstrasi, mendatangi kantor majalah yang memuat ceritanya, mencari pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi dan mencari pengarang, ia cepat-cepat minta maaf kaget sendiri oleh akibat tulisannya. Pendidikan pengarang di sekolah katolik sejak sekolah dasar, mempunyai pengaruh pada hasil ciptaannya, seperti demikian halnya dengan Amir Hamzah. Dapatlah kita mengerti mengapa ia sampai mempersonifikasikan Tuhan dan melukiskan Nabi-nabi, hal-hal yang tidak asing dalam seni Nasrani.
Cerita “Langit makin mendung” adalah bagian pertama dari satu cerita panjang. Tiap orang yang membaca bagian pertama ini merasakan bahwa cerita belum selesai, masih ada sambungannya. Cerita perjalannya Nabi ke bumi baru berada pada tingkat pertama. Dikatakan bahwa Nabi membuat riset ke bumi.
Turunnya Nabi ke bumi adalah karena pertimbangan yang mulia mengadakan riset karena umatnya akhir-akhir ini sudah jarang yang nampak masuk surga. Di bumi berkecamuk kemesuman, kemunafikkan, kelaparan, tangis dan kebencian. Maka apabila Nabi merasa terpanggil untuk mengadakan riset itu adalah sesuai dengan kemuliaan jiwanya sebagai pemimpin umat yang bertanggungjawab.
Pengarang tidak sesaat pun merendahkan Nabi. Ketika burak kendaraannya bertabrakkan dengan Sputnik Rusia terpental bersama Jibril, mereka tidak cidera suatu apapun, tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagaikan kapas. Sebaliknya sputnik yang tidak punya rem ketiganya masuk ke dalam neraka. Apabila Iblis terdengar mengatakan bahwa Islam terancam
(39)
digantikan Nasakom. Nabi dengan pasti berkat “sabda Allah tidak akan kalah. Begitu pun Islam. Ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun”.
Meskipun Nabi turun di atas daerah yang penuh kemaksiatan, jauh dari pada beliau sesuai dengan kemuliaan akan lakunya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk, sebaliknya beliau murka melihat keadaan di daerah itu. Nabi menggeleng-geleng melihat segala kemaksiatan. Betapa mungkin rakyat yang sebagian besar beragama Islam begitu bebas berbuat cabul katanya, dan apabila Nabi kemudian akan mengusulkan supaya dipasang TV di surga, Jassin mengartikan bahwa maksud pemasangan itu adalah untuk mengikuti keadaan masyarakat yang tambah merosot dan untuk dapat mengambil tindakan-tinadakan pencegahan atau perbaikan. Jadi bukanlah untuk menyaksikan adegan-adegan cabul yang telah ternyata menjijikan bagi Nabi. Kecabulan di daerah senen digambarkan dengan realistis, justru untuk menampilkan kebobrokan masyarakat di tengah Alam Nasakom yang membawa kemelaratan. Tapi meskipun realistis, gambarannya tidak menjadi porno.
Dalam cerpen tersebut tidak sesaat pun pengarang memperlihatkan romantik yang menggugah syahwat nafsu birahi, malahan Nabi merasa jijik melihat kemesuman dan perihatin terhadap kemelaratan dan penderitaan umatnya. Keadaan agama sudah sangat menyedihkan, disebabkan karena pengaruh Ajaran Nasakom. Sundel-sundel pun sudah dijadikan soko guru revolusi. Batu-batu di seluruh dunia tidak cukup untuk menghukum para pezinah , pelacur-pelacur telah menguasai seluruh negeri.
Yang dikeritik pengarang Ki panji kusmin ialah "PBR" yang menciptakan nasakom dan menuduh orang yang menentang komunis sebagai komunistophobi. Ia mengkritik juga para Kiai yang tidak berani menegur apalagi menentang PBR. Meskipun ia nyata-nyata melanggar berbagai suruhan agama dan melakukan kekejian pengarang dalam berimajinasi pergunakan
(40)
alat-alat gaya bahasa berupa pekerjaan maksiat di depan umum. Kepandaian pengarang dalam berimajinasi diiringi dengan kepandaiannya dalam mempergunakan alat-alat gaya bahasa berupa ironi, sarkasme, humor, satire, sinisme dan sebagainya. Tapi alat-alat ini tanpa pengertian dari pihak pembaca bisa disalah tafsirkan sebagai contoh ironi, ironi adalah cara pengucapan dimana seseorang mengatakan sesuatu, sedangkan yang dimaksud adalah sebaliknya. Setelah Nabi menyaksikan adegan-adegan mesum di daerah planet, adegan pengeroyokan terhadap pencopet yang kemudian dilindungi oleh orang berbaju hijau, berkatalah Nabi: “Sesungguhhya tontonan ini mengasyikkan meskipun kotor. Akan ku usulkan dipasang TV di surga”. Pembaca yang tidak sadar tingkat-tingkat gaya bahasa tersebut di atas, akan mengira bahwa ucapan itu dikatakan serius, sedang sebenarnya Nabi justru hendak mengatakan yang sebaliknya.38
Demikianlah sekelumit tentang pembelaan H.B. Jassin terhadap cerita pendek “Langit makin mendung” karangan Ki panji kusmin.
Meskipun demikian setelah sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selesai H.B. Jassin yang pulang ditemani istrinya bersama dengan Hamka yang berada dalam satu mobil, Hamka memohon kepada hakim agar pesakitan (H.B. Jassin) dibebaskan saja. Sebab menurut Hamka pesakitan belum mengetahui lebih mendalam pandangan Islam terhadap karangan seperti itu.
B. Hasil Karyanya l. Karya Asli
Dalam opini umum yang berkembang saat ini, salah satu unsur penting yang dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas keilmuan seorang tokoh adalah berupa banyaknya
38
(41)
jumlah dan sejauh mana bobot karya tulis yang dihasilkannya. Di antara karangan H.B. Jassin yang tercatat adalah :
- Angkatan 45 (1952), Tifa penyair dan daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam kritik dan Esai I-IV (1954 dan 1957). Pertanggung jawab (1970D, Sastra Indonesia sebagai warga Sastra Dunia(1983), Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), Surat-surat 1943-1983 (1984), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), Koran dan Sastra Indonesia (1994), Omong-omong H.B.Jassin (perjalanan ke Amerika 1958-1959) edisi revisi (2000), Gema Tanah Air, edisi revisi (2000).
2. Karya Terjemahan
Di antara berbagai karya hasil terjemahannya antara lain saat ini telah terkumpul di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin adalah : Chushinguran karya Sakat Syioya, Renungan Indonesia karya Syahrasad (1947), Terbang Malam karya A. De St Exupery, Kisah-kisah dari Rumania, Api Islam karya Syed Ameer Ali, Cerita Panji dalam Perbandinangan, bersama Zuber Usman karya R.M.Ng.Poerbatjaraka, Max Haveluar karya Multatuli (1972), Kian kemari Indonesia dan Belanda dalam Sastra, The Complette Poems of Chairil Anwar dikerjakan bersama Liau Yoek fang, Al-Quran Bacaan Mulia yang telah di terbitkan beberapa kali (1978,1982,dan 1990).
Dan beberapa karya di mana ia bertindak sebagai Editor karya-karya tersebut. Di antaranya adalah: Pancaran Cita (1946), Kesusastraan Indonesia di masa Jepang (1948), Amir Hamzah raja Penyair Pujangga Baru (1962), Pujangga Baru;Prosa dan Puisi (1963), Angkatan 66 ; Prosa dan Puisi (1968), Kontroversi Al-Qur'an Berwajah Puisi (1995).
(42)
Di tengah berbagai kesibukan dan aktifitasnya sebagai seorang penulis akademisi dan lain sebagainya, ternyata Jassin memiliki beberapa catatan menarik, selain untuk kegiatan dalam dunia pendidikan seperti pada tahun 1939 ia bekerja di Kantor Asisten Residen Gorontalo, kemudian di Balai Pustaka ia bergelut cukup lama, sekitar tujuh tahun (1940-1947), dan terakhir pada Lembaga Bahasa dan Budaya pada tahun 1953-1973.39
39
Kusman K dan Mahmud SU, Sastra Indonesia dan Daerah (sejumlah masalah), (Bandung: PT. Angkasa
(43)
BAB IV
TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN AL-QURANUL KARIM
BACAAN MULIA
A. Cara kerja H.B. Jassin dalam menerjemahkannya. H.B. Jassin bekerja
1. Dengan cara mempelajari berbagai terjemahan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing.
2. Cara menyasun baris-baris sajak dipertimbangkan. Dari sudut irama yang bertalian dengan pengaturan nafas, dari sudut keteraturan bunyi demi kenikmatan pendengaran dan juga dari sudut kesatuan isi kalimat atau bagian-bagian kalimat. Hal ini dapat kita lihat dalam seluruh hasil terjemahannya di dalam terjemahan Al-Qur'an "Bacaan Mulia" di bawah ini contoh mengatur irama dengan merubah letak perkataan sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya. Di dalam surat Asy-Syu'aro dikisahkan Fir'aun meminta pertimbangan kepada para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk rnelawan Musa. Terjemahannya adalah :
Mereka menjawab : ‘Suruhlah tunggu
(Musa) dan saudarianya
Dan kirim ke kota-kota para bentara.
Menurut H.B. Jassin lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika baris terakhir disusun demikian :
(44)
Dan kirim para bentara ke kota-kota.40
3. Adakalanya demi irama persajakan ia menerjemahkan menurut akibat dari apa yang diterbitkan oleh kata itu, misalnya:
⌧
Dan hari itu sangkakala pun ditiup Lebih hidup dan lebih lancar kedengarannya, jika diterjemahkan:
Dan hari itu sangkakala pun dibunyikan (Q.S. 27, 87)
4. Dengan mempergunakan berbagai kamus Arab dengan keterangan dalam Bahasa Asing, daftar kata, konkordansi dan buku-buku ilmu bantu untuk menyokong pengertian, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh HB. Jassin sendiri.41 “Dalam mempelajari isi Al-Qur’an dan kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing dan mempergunakan berbagai kamus Arab dengan keterangan dalam bahasa asing yang saya mengerti, daftar kata-kata, korkondansi dan sekian banyak buku-buku ilmu Bantu untuk menyokong pengertian.”
Selanjutnya H.B. Jassin memberikan contoh praktek kerjanya ketika menerjemahkan kata tukadzziban dalam surat Arrahman ayat 55. Dalam Bahasa lnggris diterjemahkan : (you) deny, kata kerjanya tidak menunjukkan keduaan. Tetapi, kata H.B. Jassin, ada seorang penerjemah Arthur. J. Arberry, yang memberikan pemecahan bagus sekali.
Surat Ar-Rahman ayat 55 yang berbunyi :
☺
Wich of your lord's bounties, will you and you deny ?
40
H.B. Jassin, Pengantar Bacaan Mulia,
41
(45)
Meskipun kata-kata Inggrisnya tidak menjadi dualis, kata personanya yang diulang menunjukkan dualis, lanjutnya. Tetapi tetap saja masih terdapat kekurangan tidak jelas siapa yang dimaksud "you and you". Kuncinya ditemukan dalam terjemahan Departemen Agama, di sana diterangkan bahwa yang dimaksud ialah golongan jin dan manusia, yaitu dalam terjemahan ayat 35 surat yang sama "yursalu'alaikuma syuwazun " : kepada kamu jin dan manusia dilepaskan nyala api .... maka ayat tersebut diterjemahkannya demikian :
Maka karunia manakah dari Tuhanmu yang kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan ?
B. Hambatan-hambatan dan tanggapan tokoh penerjemah Al-Qur'an terhadap terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia.
- Hambatan-hambatan (dalam penerjemahan Bacaan Mulia).
Usaha menerjemahkan Al-Qur' an ke dalam Bahasa Indonesia bukanlah tugas mudah dan tanpa hambatan. Berbagai tanggapan dan respon datang dari berbagai pihak yang disampaikan melalui barbagai media dan instansi pada waktu itu.
Apa yang menjadi kekhawatiran H.B. Jassin rrrengenai isi terjemahannya benar-benar menjadi kenyataan, meski H.A. Mukti Ali dan Hamka, masing-masing sebagai Menteri Agama dan ketua Majelis Ulama Indonesia, telah memberikan sambutan atas terbitnya terjemahan Al-Qur'an tersebut.
Saya amat berterima kasih atas catatan-catatan yang disampaikan kepada saya tutur Jassin mengenai terjemahannya "Bacaan Mulia ". Ada yang sifatnya membangun, ada yang diuraikan dengan hati yang dingin dan ada pula yang dilontarkan dengan emosi meluap-luap.
(46)
Semua respon dan tanggapan tersebut diterimanya dengan perasaan bersyukur, karena menggugahnya untuk mempelajari Al-Qur'an lebih mendalam lagi dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan.
Dengan mengadakan perbaikan-perbaikan, Insya Allah akan diperoleh hasil terjemahan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Di antara hambatan yang paling bermasalah menurut H.B. Jassin adalah : 1. Kekakuan terjemahan
Kekakuan dalam terjemahan mungkin timbul karena terlalu dipengaruhi oleh susunan kalimat dalam Bahasa Arab dengan tidak memperhatikan susunan menurut rasa Bahasa Indonesia atau pengambilan suatu ungkapan dalam konstruksi kalimat Bahasa Arab tanpa menggantinya dengan ungkapan Bahasa Indonesia.
2. Tidak adanya tanda-tanda baca yang jelas, sehingga masing-masing orang dapat menggunakan tanda baca yang beda, akibatnya akan menimbulkan pengertian yang berbeda pula.
3. Jenis kata sambung yang terbatas dan masing -masing mempunyai fungsi yang dapat berbeda-beda. Kata sambung wa tidak selalu diterjemahkan dengan "dan" bisa juga dengan ‘karena, sedang, sementara’ dan juga dapat berfungsi sebagai titik dan koma saja, sekedar tanda pemisah antara dua kalimat. Fa bisa diterjemahkan dengan `maka, karena itu' atau tidak diterjemahkan sama sekali.42
Di bawah ini dapat rnelihat reaksi yang datang dari berbagai lapisan, di antaranya : 1. H. Oemar Bakry, dalam bentuk surat ia menyampaikannya kepada Menteri Agama
waktu itu, ketua Majelis Ulama Indonesia, dan ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Suratnya berisi contoh-contoh terjemahan yang dengan istilahnya sendiri
42
(47)
disebut "keganjilan-keganjilan ". Berbagai contoh yang dikatakan ganjil oleh Oemar Bakry ialah :
1. Kata " " kadang-kadang diterjemahkan oleh H.B. Jassin dengan "petunjuk" seperti pada ayat 2 surah Al-Baqarah dan kadang-kadang diterjemahkan dengan “pimpinan" seperti pada ayat 16 surat yang sama. Terjemahnya berbunyi "Merekalah yang menukar pimpinan dengan kesesatan. " 2. Ayat ke-3 pada surah Al-Baqarah "Wal ladzina yu'minuna bil ghaibi"
diterjema.hkan dengan "(bagi) mereka yang beriman kepada yang ghaib" ini berarti bahwa Al-Qur'an itu adalah petunjuk bagi :
a. Mereka yang takwa (kepada Tuhan)
b. Mereka yang beriman kepada yang ghaib dan dapat menjadi petunjuk kepada orang yang bertakwa walaupun tidak beriman kepada yang ghaib, dan sekalipun kepada orang mempercayainya saja adanya hari kiamat walaupun tidak bertaqwa kepada Tuhan.
Menurut Oemar Bakry, demikianlah pengertian dari teks pada potongan ayat tersebut, karena penerjemah menilai kata "Alladzina yu'minuna" adalah keterangan tujuan kedua setelah kata "Iil muttaqina" atau dalam ilmu Nahwu, kata "Alladzina" di i'rabkan oleh Jassin mengikuti (ma'tuf) kepada "Al-Muttaqina ". Sedangkan menurut Bakry hal tersebut jelas suatu kesalahan besar menurut aturan ilmu tata Bahasa Arab, karena sesuatu kata yang tanpa didahului oleh huruf `ataf telah dinilai sebagai ma'tuf (keterangan atau bagian kedua dari yang sedang dijelaskan). Kata "alladzina" dalam ilmu Nahwu menurut Oemar Bakry adalah "Isim Mausul", apabila tidak ada yang mengubah dari fungsi aslinya, ia berfungsi sebagai penghubung dan kalimat sesudahnya sebagai "shilah" (keterangan) lebih lanjut dari kata sebelumnya (Maushulnya) bukan sebagai bagian yang terpisah atau berdiri sendiri dari maushulnya.
(48)
Dengan demikian, kata Oemar Bakry, isi ayat tersebut telah dipecah oleh H.B. Jassin karena kekeliruan dalam menetapkan fungsi sesuatu kata atau anak kalimat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang berbahasa Arab itu.
Surat Oemar Bakry ini ditutup dengan harapan pada Departemen Agama dan Majelis Ulama untuk meneliti hasil terjemahan H.B. Jassin dan mengambil langkah-langkah positif dari hasil penelitian tersebut.
2. Surat Team Peneliti Bacaan Mulia H.B. Jassin dari surabaya kepada Menteri Agama RI di Jakarta. Surat ini pada pokoknya berisi :
1) Contoh-contoh terjemahan H.B. Jassin yang dinilai tidak tepat.
2) Penolakan terhadap hasil perbaikan yang dilakukan oleh Lajnah Pentashih Departemen Agama RI.
3) Keraguan terhadap basil penelitian dan koreksian yang dilakukan oleh Majelis Ulama DKI Jakarta.
4) Rasa penyesalan atas sambutan Menteri Agama dan Hamka ketika Bacaan Mulia ini diterbitkan.
5) Harapan kepada Menteri Agama untuk mencegah peredaran Bacaan Mulia tersebut.
Sebagai contoh yang tidak tepat menurut basil penelitian Team Peneliti Bacaan Mulia H.B. Jassin ini ialah :
1) Terjemahan ayat 44 surat al-Baqarah :
(49)
Sedang kamu sendiri lupa (melakukan),
Padahal kamu membaca Al-Kitab? Tidakkah kamu menggunakan pikiran?
⌧
Kata “ ” Menurut Team Peneliti
dari Surabaya ini, H.B. Jassin telah salah mengartikan. Seharusnya: "Kamu melupakan dirimu sendiri."
2) Terjemahan ayat 49 surat al-Baqarah : Dan (ingatlah) ketika kami
Selamatkan kamu dari orang Fir’aun. Mereka menimpakan kepadamu Siksaan yang pedih menyakitkan. Mereka menyembelih putera-puteramu
Dan membiarkan hidup Anak-anak perempuanmu. Yang demikian itu merupakan ujian.
Yang dasyat dari tuhanmu.
⌧
⌧
⌦
⌧
Kata “
” seharusnya diterjemahkan : “dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya.”
3. Surat (catatan-catatan) dari Dewan Da'wah Islamiyah Jakarta Raya tentang kesalahan-kesalahan dalam Teriemah atau Arti yang Tidak Mencapai Maksud Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin.
(50)
Sebagai contoh yang salah atau yang tidak mencapai maksud menurut Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Jakarta Raya ini ialah:
1) Penggunaan kata "Bacaan Mulia " untuk ' Al-Qur'an al-Karim ", tidak mengenai maksud yang sebenarnya.
2) Terjemahan ayat 56 surat Ar-Rahman : Dalam
keduanya (gadis-gadis) Yang suci menundukka n pandang, Tiada manusia maupun jin Sebelum mereka pernah menjamah
☺
Menurut Dewan Da'wah, kalimat: "Dalam keduanya (gadis-gadis) yang suci menundukkan pandang. Tiada menusia maupun jin sebelum mereka menjamah, " tidak memberi pengertian yang jelas. Mungkin maksudnya, "Dalam sorga itu ada gadis-gudis suci yang menundukkan pandangan yang belum pernah sebelumnya manusia dan jin menjamah ", kata Dewan Da'wah mengakhiri pendapatnya.
(51)
Contoh-contoh kesalahan dan arti yang tidak mencapai maksud di atas, dilampiri dengan sepucuk surat yang isinya memohon kepada Menteri Agama :
1) Agar membentuk sebuah panitia pemeriksa yang terdiri atas ulama dan cendikiawan yang memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat, yaitu "tabahhur" dalam ilmu-ilmu agama (mengusai betul ilmu-ilmu agama) dan "ta'amuq" dalam Bahasa Al-Qur'an dan Bahasa Indonesia (mendalam betul dalam Bahasa AlQur'an dan Bahasa Indonesia).
2) Menahan sementara penerbitan dan penyebaran Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia selesai.
Masih banyak tanggapan atas terbitnya Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin, baik berbentuk surat maupun artikel yang isinya secara keseluruhan tidak sempat dikemukakan di sini, di antaranya :
1) Surat dari Majelis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara' Departemen Kesehatan R.I kepada Menteri Agama.
2) Artikel dengan judul "Bacaannya Mengasyikkan, Tapi Terjemahannya Perlu Diamankan, " oleh aminuddin Aziz, Pelita, Jumat 22 dan 23 Desember 1978. 3) Pendapat dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Zaidan Djauhari dan Amin
Iskandari yang disampaikan kepada pers tentang banyaknya kesalahan dalam Terjemahan Al-Qur'an H.B. Jassin, Pos Kota, 23 Oktober 1978.
Apabila diperhatikan reaksi masyarakat atas terjemahan H.B. Jassin yang pada umumnya disampaikan melalui surat kepada Menteri Agama, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, atau ditulis dalam berbagai media cetak seperti surat kabar, sudah selayaknya penerbitan karya tersebut ditangguhkan.
(52)
Kenyataannya tetap diterbitkan sebagaimana diharapkan oleh H.B. Jassin dan sebagian masyarakat yang cara pandangnya terhadap karya tersebut berbeda dengan mereka yang bereaksi.
Ketika hal izin penerbitan ini ditanyakan ke Departemen Agama, secara tegas dijawab bahwa selain naskah itu sudah dikoreksi oleh tim, tetap saja memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan di kemudian hari seperti yang dialami oleh terjemahan-terjemahan Al-Qur'an lainnya. Jadi, dapat dikatakan selalu ada permasalahan-pemasalahan yang akan muncul sesuai dengan perkembangan pemikiran para pembaca dan perkembangan bahasa penerima sebagai konsekuensi dari karya terjemahan yang mengandung nilai subyektif.
Di sisi lain tidak semua hasil koreksian yang disampaikan oleh masyarakat kepada Departemen Agama, Majelis Ulama dan badan-badan lain sebagai hal yang prinsip (kebenaran yang menjadi pokok dasar bertindak). Sebagai contoh dapat dikemukakan hasil koreksian yang disampaikan oleh H. Oemar Bakry :
Kata-kala "huda" kadang-kadang diterjemahkan dengan "penunjuk" seperti pada ayat 2 surat Al-Baqarah, dan kadang-kadang diterjemahkan dengan "pimpinan" seperti pada ayat 16 surat Al-Baqarah. Terjemahan berbunyi "merekalah yang menukar pimpinan dengan kesesatan". Bukanlah pasangan yang lebih tepat ialah "petunjuk" sehingga keindahan bahasanya dapat terpelihara?
Dalam koreksian di atas, Oemar Bakry menginginkan pasangan yang lebih tepat dalam kalimat terjemahan sehingga keindahan bahasanya dapat terpelihara. Dalam hal ini H.B. Jassin juga berkata : "tapi saya menerjemahkan Qur'an ke dalam Bahasa Indonesia yang puitis, dengan memperhatikan keindahan bunyi, irama, hiasan, warna dan
(53)
suasana." Jadi, penggunaan kata "pimpinan" pada ayat 16 surat Al-Baqarah tersebut dimaksudkan oleh H.B. Jassin untuk keindahan bunyi dan suasana sehingga tidak membosankan pembaca, sebab kata pimpinan sama artinya dengan bimbingan, yang juga merupakan terjemahan kata "huda" pada ayat 175 surat Al-Baqarah.
Contoh kedua adalah kata " " pada ayat 265 surat Al-Baqarah yang diartikan oleh H.B. Jassin dengan "ernbun ". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, embun yang dimaksudkan oleh H.B. Jassin tidak terlaiu menyimpang dari makna yang dimaksudkan oleh Ibnu Kasir.
Dalam tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Ibnu Kasir mengartikan " " dengan “ ” `gerimis' atau `hujan rintik-rintik', sedangkan embun dalam Bahasa Indonesia salah satu pengertiannya ialah titik-titik air yang jatuh dari udara. (pada malam hari).43
C. Analisa Terhadap Terjemahan Karya H.B. Jassin Pada Surat Ar-Rahman dan Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama R.I.
Suatu terjemahan biasanya ditulis pada naskah agar dapat dikaji oleh orang yang tidak memahami Bahasa Arab (bahasa Al-Qur'an) sehingga dapat memahami kehendak Allah Azza Wa Jalla dari kitab-Nya Al-Aziz lantaran terjemahan itu.44
Kata "terjemah" dapat digunakan pada dua arti yaitu terjemah harfiah atau pengalihan bahasa secara Iafzi dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain di mana tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa sumber, dan terjemah tafsiriah atau terjemah maknawiyah,
43
Ibid., h. 116 - 121
44
Muhammad Ali Ashobuni, Attibyun fi ulumil Qur’an, penerjemah, Muhammad Qodirun Nur, (Jakarta:
(54)
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa adanya ikatan dengan konteks bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.45
Daiam surat Ar-Rahman terdapat 78 ayat yang memiliki keistimewaan tersendiri karena terdapat 31 ayat dimana bunyi ayat tersebut di ulang-ulang sebanyak itu pula. Lebih lanjut, sehubungan dengan analisa yang penulis lakukan pada terjemahan surat Ar-Rahman karya H.B. Jassin yang akan dibandingkan dengan terjemahan Departemen Agama, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan:
Agar jenis penerjemahan Al-Qur'an yang dilakukan oleh H.B. Jassin bisa ditetapkan, terlebih dahulu dikemukakan contoh-contoh sebagai sampel. Dalam haI ini penulis mengambil surat Ar-Rahman agar mudah dibandingkan dengan terjemahan Departemen Agama.
Berikut ini adalah kutipan Ar-Rahman yang secara langsung diambil dari H.B. Jassin (1991,749-754) tanpa perubahan.
1.
2.
3.
4.
5.
AR-RAHMAN-YANG MAHA PEMURAH
Turun di Makkah, 78 ayat
Dengan nama Allah Yang maha pemurah Yang maha penyayang (Tuhan) yang Maha pemurah
Mengajari (Muhammad) Al Quran.
Menciptakan Insan.
Diajari-Nya fasih perkataan.
Matahari dan bulan (beredari) dengan perhitungan.
☺
☺
☺
45
Manna Khalil Alqattan, Mabahis fi ulumil Qur’an, penerjemah, Muzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996), cet.ke-3, h. 443.
(55)
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Tanaman merambat dan pohonan keduaya sujud kepada Tuhan.
Langit ia tinggikan dan diadakan-Nya Neraca (keadilan),
Supaya kamu jangan melampaui batas Timbangan.
Tegakkan neraca dengan keadilan, dan jangan kamu kurangi sukatan.
Bumi ia bentangkan untuk semua insan
Di atasnya tumbuh buah-buahan dan pohon korma dengan selodang.
Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum baunya.
Maka karunia manakah dari Tuhnmu, Yang Kamu (manusia) dan kamu (jin)
Dustakan ?
Ia ciptakan manusia dari tanah liat Kering bunyi seperti tembikar,
Dan dia menciptakan jin dari nyalanya api.
Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu (manusia) dan kamu (jin)
Dustakan?
(Ia adalah) Tuhan kedua timur dan Tuhan kedua barat
Maka karunia manakah dariTuhanmu, Yang Kamu (manusia) dan kamu (jin)
Dustakan? Ia lepaskan kedua lautan
Yang saling bertemu
☺ ☺ ☺ ☺ ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧
(1)
dengan bahasa yang lebih sederhana. Terjemah adalah mengalih pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
3. Usaha penerjemahan Al-Qur'an yang dilakukan oleh penerjemah-penerjemah Eropa (Orientalis) bermaksud menandingi Islam dan berkecenderungan atau bertendensi negatif dalam rangka mencapai target-target mereka yaitu menyudutkan Islam. Di antara mereka adalah Ladovicci Meracci, A. Ross, Du Ryer, dan J.M. Rodwell. Usaha yang hina tersebut diikuti oleh para sarjana muslim yang berusaha menerjemahkan secara obyektif seperti DR. Muhammad Abdul Hakim Khan dan Muhammad Mannaduke Pickthall.
4. Beberapa kelemahan dalam terjemahan Al-Qur'an adalah masalah bahasa terjemahan, tidak menguasai bahasa sasaran, teknik penulisan dan transliterasi.
5. Cara kerja H.B. Jassin dalam menerjemahkan Al- Qur'an adalah dengan mempelajari berbagai terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing serta mempergunakan bermacam-macam kamus bahasa Arab, daftar kata korkondansi, dan berbagai buku ilmu bantu untuk dapat menyokong berbagai pengertian.
6. Berbagai hambatan dalam penerjemahan "Bacaan Mulia di antaranya adalah kekakuan dalam terjemahan, tidak adanya tanda-tanda baca yang jelas sehingga akan menghasilkan pengertian yang berbeda, dan jenis kata sambung yang terbatas dan masing-masing mernpunyai fungsi yang dapat berbeda. "
(2)
72
7. Seluruh pola penerjemahan dalam Bacaan Mulia pada umumnya bersifat puitis, begitu pula pada surat Ar-Rahman, dan pada ayat yang diulang sebanyak 31 kali langsung menjelaskan maksud ayat. Namun tidak sama kalimat-kalimat prosa dapat disusun secara visuil menjadi puisi, karena tergantung pada pmilihan kata yang dipergunakan.
B. Saran-Saran
1. Menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga pemerintah yaitu departemen Agama RI untuk pelatihan penerjemahan Al-Qur'an dan tafsirnya serta pembuatan kamus Al-Qur'an.
2. Mengadakan berbagai seminar dan lokakarya dengan para ahli dan penerjemah, khususnya penerjemah Al-Qur'an, dan bimbingan yang diperuntukkan bagi para peminat pemula agar tidak terjadi kesalahan dalam penerjemahannya.
3. Mendirikan lembaga-lembaga atau biro-biro penerjemahan Arab-Indonesia dan sebaliknya secara profesional sebagai sarana pengembangan bakat keterampilan menerjemah bagi para peminatnya.
4. Mengadakan buku-buku tafsir berbahasa Indonesia semacam tafsir Al-Azhar demi memperkaya intetektualitas Islam di tanah air sebagai bukti pemahaman yang meningkat kepada kitab suci Al-Qur'an.
5. Menyusun program penerjemahan buku-buku berbahasa Arab dan pemeliharaannya oleh sebuah lembaga konsorsium dari perguruan-perguruan
(3)
tinggi baik negeri maupun swasta, beserta jumlah buku yang akan di terjemahkan dan diterbitkan tiap tahun.
6. Mengkaji ulang berbagai terjemahan Al-Qur’an baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Asing guna memperoleh informasi dari tiap-tiap terjemahan tersebut yang pada akhirnya menemukan terjemahan Al-Qur’an yang layak berlaku di masyarakat.
7. Membuat sejarah penerjemahan Al-Qur’an secara akurat dan secara detail, karena sampai saat ini berbagai literatur tentang penerjemahan ini belum ditemukan yang memiliki data akurat dan lengkap.
(4)
74
DAFTAR PUSTAKA
AI-Ahwani, Ahmad Fuad, Dr., Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad, dan As-Suyuthi, Jalalludin Abdurrahman bin Abi Bakri, Tafsiran Al-Quranu' al-adhimu lil imamaini Al-Jalalaini, Surabaya.
Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, Cet. Ke-1.
_________, Konkordansi Al Qur'an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat Al Qur'an, Bandung: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1996, Cet. Ke-2
Badriyatim M.A, Drs, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1997 Chaer, Abdul, Kamus Dialek Jakarta, Jakarta: PT. Nusa Indah 1976
Guntur Tangan, Henry, Prinsip-prinsip Dasar, Sastra, Bandung: Angkara, 1993 Hanafi, Nurachman, Teori dan Seni Menerjemahkan, NTT: PT. Nusa Indah, 1986, Cet. Ke-2
Hoesin, Oemar Amin, Gelanggang Sastra, Jakarta: Pustaka Islam, 1953
Hassan, Abdul Kodir, Kamus Quran, Jakarta : PT. Tinta Mas Jakarta, Al-Muslimun Bangil 1984
Jassin, H.B, Kesusasteraan Indonesia di Masa, Jepang, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985
_________,, Kesusasteraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei III, Jakarta: PT. Gramedia, 1985
_________, Kontroversi Al Qur'an Berwajah Puisi, Jakarta: Pustaka Utama, 1985 _________, Sastra Indonesia, Sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: PT. Gramedia;
1983
_________,Al-Qur'anul Karim-Bacaan Mulia, Jakarta: PT. Djambatan, 1978,1982 & 1991
(5)
_________,Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, jilid 1&2 _________,(Perjalanan Ke Amerika), Jakarta: Balai Omong-omong H.B. Jas,sin
Pustaka, 2000
Keraf, Gorys, Diksi Dan Gaya Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1996 _________,Al-Qur'an dan Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1985 Lubis MA Ismail, DR., "Falsifikasi Terjemahan Al-Qur'an ", Departemen Agama
Repubilk Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacan, Edisi 1990. Machali, Rachayah, Pedoman Bagi Penerjemah, Jakarta, PT. Grasindo, 2000
Muhammad Najib, Izzuddin, DR, Usus Al Tarjamah (Min Al-Injiliziah ila al--Arabiyah bi al-al--Arabiyah), Kairo
Shaleh, Qamaruddin, K.H., Dahlan, H.A.A, Dahlan, M.D, Prof, Dr., Asbabbun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur'an, Bandung: CV. Diponegoro, 1992, cet.ke-14
_________, Al-Qur'anul Karim wa tarjamatu ma'anihi Al-Lugho Al-Andanisiyyah Soegeng M.Pd, A.J Drs, dan Susilo, Madya Eko, drs, Pedoman Penerjemah,
Semarang: Danara Prize, 1991.
Surin, Bacthiar, Terjemah dan tafsir Al-Qur’an, Bandung: Fa. Sumatera.
Tombak Alam, Datuk. H, Metode menerjemahkan Al Qur’anul Hakim, Rineka Cipta. Widyamartaya, A, Seni Menerjemahkan, Yogyakarta: PT. KANISIUS, 1989.
Yusuf, Suhendra, Drs., Teori Terjemah (Pengantar kearah pendekatan linguistik dan sosiolinguistik), Bandung: Mandari Maju, 1994, Cet. Ke-1
(6)