Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh Povi Maspupah
NIM 1112013000053
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
iv
ABSTRAK
Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah
Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan
implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yang disertai dengan teknik sadap, catat, rekam, simak libat cakap, dan metode analisis isi atau dokumen. Analisis dokumen digunakan untuk mencari dan mengklasifikasikan bentuk penggunaan gaya bahasa, membedah makna yang terkandung dalam setiap terjemahan ayat surah Ar-Rahman, khususnya yang mengandung gaya bahasa. Adapun hasil analisis dan mengenai implikasi penelitian terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, disajikan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan dan menguraikannya dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka.
Hasil yang diperoleh setelah melakukan penelitian yaitu ditemukan 22 jenis
gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia karya H. B. Jassin. Gaya bahasa tersebut, di antaranya adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, di antaranya adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis, asindeton, polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan apostrof, dan gaya bahasa kiasan, di antaranya adalah gaya bahasa simile, personifikasi, sinekdoke, dan antonomasia. Selanjutnya, ditemukan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, terdiri dari gaya bahasa repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan antitesis. Gaya bahasa retoris paling banyak ditemukan
dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia
karya H. B. Jassin. Penelitian ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, pada materi yang memuat gaya bahasa, seperti materi puisi, terutama dalam hal pemberian contoh.
(6)
v
ABSTRACT
Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Figurative Language of The Most Gracious Translation in the Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B. Jassin and the Implication for Indonesian Language and Literature
Education”. Faculty of Educational Sciences. Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. Advisor: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016.
It is a qualitative descriptif research, which aims to describe the use of
figurative language of the most gracious: a translation of the Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia by H. B. Jassin and its implication for Indonesian language and literature learning at school.
The method used in this research is simak (observation) method, followed by
sadap (tapping), catat (note), rekam (record), simak libat cakap techniques, and content or document analysis method. Document analysis is used to conduct and classify the form of figurative language usage, to reveal the meaning contained within each verse translation of the most gracious, especially which contains figurative language. As for the research result is presented using a qualitative descriptive method, which describes and analyses it in the form of word.
The research result reveals that 22 types of figurative language are found in
the most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.
Jassin. There are 22 types of figurative language. They are figurative language based on the real or not real meaning, consistsing of rhetoric language, which in turn consisting of inversion, alliteration, assonance, ellipsis, apofasis, asyndeton, polysyndeton, pleonasm, tautology, prolepsis, erotesis, periphrasis, apostroph, and figurative language based on unreal meaning, which include simile, personification, sinekdoke, and antonomasia. Furthermore, there are figurative language based on the sentence structure, consisting of repetition, paralelism,
climax, anticlimax, and antithesis. The rhetoric language is mostly found in the
most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.
Jassin. This research can be applied to Indonesian language and literature learning at school, on the material which discusses figurative language, like poetry, especially in providing examples.
(7)
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan banyak nikmat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Selawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada seorang nabi dan rasul, yang memberikan peringatan kepada orang-orang kufur dan menyampaikan kabar gembira kepada insan-insan yang beriman, yakni Nabi Muhammad Saw.
Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam
Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, disusun guna memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penulisan skripsi ini, tentu tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki M. Hum., sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai pembimbing skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan nasihat, dan motivasi kepada penulis.
3. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah
memberikan banyak ilmu, terutama selama proses perkuliahan, memberikan nasihat, dan motivasi kepada penulis.
4. Keluarga besar penulis, terutama Ibu dan Bapak yang senantiasa mendoakan,
memberikan dukungan berupa materi, perhatian, nasihat, dan motivasi kepada penulis.
5. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(8)
vii
dukungan, dan motivasi kepada penulis, terutama kepada Putri Anggraeni Ruminto, Ulfah Sundusiah, dan Yayah Nur Asyani.
Semoga segala kebaikan berbagai pihak, mendapat balasan dari Allah Swt. Sesuai dengan firmanNya dalam surah Ar-Rahman, bahwa sesungguhnya tidak ada balasan untuk kebaikan selain dengan kebaikan. Selain itu, pada skripsi ini, tentulah tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi para mahasiswa dan para peneliti selanjutnya yang tertarik kepada bidang linguistik.
Jakarta, 10 Desember 2016 Penulis
Povi Maspupah NIM. 1112013000053
(9)
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH... ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah ... .... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Gaya Bahasa a. Pengertian Gaya Bahasa ... 9
b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa ... 10
2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik a. Fonologi ... 36
b. Sintaksis ... 37
(10)
ix
d. Pragmatik ... 41
3. Terjemah a. Pengertian Terjemah ... 42
b. Macam-Macam terjemah ... 44
c. Persyaratan Terjemahan ... 49
d. Persyaratan Penerjemah ... 51
e. Tahap-Tahap Penerjemahan ... 52
4. Alquran a. Pengertian Alquran ... 54
b. Isi Kandungan Alquran ... 56
B.Penelitian yang Relevan ... 57
BAB III METODE PENELITIAN 1. Sumber Data ... 65
2. Metode Pengumpulan Data ... 66
3. Metode Analisis Data ... 67
BAB III HASIL PENELITIAN A. Biografi H. B. Jassin ... 69
B. Surah Ar-Rahman ... 74
C. Hasil Penelitian 1. Temuan Data ... 77
2. Analisis dan Deskripsi Data ... 80
D. Impilkasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. ... 139
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 143
B. Saran ... 145
DAFTAR PUSTAKA
... 146LAMPIRAN-LAMPIRAN
(11)
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 : Daftar Uji Referensi
Lampiran 3 : Surah Ar-Rahman dan Terjemahannya dalam Al-Qurân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin
Lampiran 4 : Hasil Kegiatan Mengaji
Lampiran 5 : Pedoman Transliterasi
Lampiran 6 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(12)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak hanya mempunyai gaya dalam berpakaian, berbicara, mengajar, belajar, berjalan, memimpin, dan mendidik anak, tetapi juga gaya dalam berbahasa yang disebut gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan gaya seseorang dalam menggunakan bahasa. Bentuk penggunaan gaya bahasa pun tentu berbeda-beda. Gaya bahasa tersebut, akan menjadi ciri khas yang membedakan seseorang dengan orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, sesungguhnya manusia banyak menggunakan gaya bahasa untuk menyatakan maksud, pikiran, dan perasaan.
Gaya bahasa tidak saja digunakan dalam komunikasi lisan, tetapi juga tulisan, seperti yang dilakukan oleh para penulis terutama para penulis teks sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Bentuk pengunaan
gaya bahasa seperti daun melambai-lambai, angin berbisik ke telingaku,
dan gadis itu mematung, merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa yang banyak ditemukan dalam teks sastra. Perlu diketahui juga, bahwa penggunaan gaya bahasa tidak saja dapat ditemukan dalam teks sastra, tetapi dalam teks-teks lain seperti teks pidato, jurnal, artikel, esai, dan Alquran terjemahan.
Berkaitan dengan Alquran terjemahan, dalam skripsi ini penulis akan memfokuskan analisis pada penggunaan gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Alasannya, penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran terjemahan belum banyak yang melakukan, terutama mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian justru lebih banyak dilakukan pada teks-teks sastra dan tindakan kelas yang berhubungan dengan pendidikan. Oleh karena itu, penulis lebih memilih melakukan
(13)
analisis gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Lebih dari sepuluh penelitian mengenai gaya bahasa yang pernah dilakukan, tiga di antaranya
adalah skripsi karya Hendryanoor Setiawan yang berjudul “Gaya Bahasa
Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan Display
Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Yogyakarta, tahun 2012,1 skripsi karya Novita Rihi Amalia yang berjudul
“Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2010,2 dan skripsi karya Evi
Selulawati yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan
Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M.
C. Escher: Analisis Stilistika”, program studi Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2012.3
Dari sekian banyak versi Alquran terjemahan, penulis lebih memilih
Alquran terjemahan karya H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia. Kehadiran Al-Qur‟ân Al-KarîmBacaan Mulia yang banyak menuai kontroversi, sang penerjemah bukan dari kalangan para ulama, melainkan seorang sastrawan, merupakan hal yang menarik perhatian penulis. Selain
itu, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, jika
dibandingkan dengan Alquran terjemahan versi lain, terutama versi Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud Yunus, mempunyai perbedaan-perbedaan. Salah satu dari perbedaan tersebut adalah dari segi diksi dan tipografi. H. B. Jassin sebagai seorang sastrawan, mencoba untuk menerjemahkan Alquran secara puitis. Menurutnya, bahasa Alquran sungguh luar biasa puitisnya, sayang sekali jika tidak diterjemahkan
1Hendryanoor Setiawan, “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan DisplayWacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Skripsi, (Universitas Negeri Yogyakarta, 2012), Tidak dipublikasikan.
2Novita Rihi Amalia, “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”, Skripsi, (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), Tidak dipublikasikan. 3Evi Selulawati, “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis Stilistika”, Skripsi, (Universitas Indonesia, 2012).
(14)
dengan bahasa yang puitis pula. Alquran terjemahan H.B. Jassin adalah Alquran terjemahan dalam bentuk puisi. Sebuah puisi pada umumnya dapat dilihat pada bentuk visualnya, yakni berbeda dari prosa, ditulis tidak baris demi baris yang panjangnya memenuhi lebar halaman, akan tetapi baris demi baris yang panjangnya hanya memehuni sebagian lebar
halaman.4 Serangkaian kata terjemahan Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia, disajikan rata tengah, dengan posisi terjemahan bahasa Indonesia di sebelah kiri ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab.
H. B. Jassin sebagai sang penerjemah, adalah seorang sastrawan sekaligus kritikus sastra yang terkenal dan mendapat julukan “Paus Sastra”. Julukan tersebut, diberikan oleh Gayus Siagian pada satu
kesempatan simposium sastra Fakultas Sastra UI, Desember 1956,5
sebagai penghargaan dari apa yang telah dilakukannya, yaitu kecintaan, ketekunan, dan perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap sastra Indonesia. Selain itu, bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
pengabdian konkret H. B. Jassin pada dunia kesusastraan Indonesia.6
Lebih lanjut, kata paus di dalam agama Katolik merupakan pemimpin
tertinggi yang berkedudukan di Vatikan. Namun, ini bukan berarti bahwa H. B. Jassin adalah seorang pemimpin tertinggi beragama Katolik. H. B. Jassin bukanlah pengikut paus. H. B. Jassin adalah penganut Islam.
Adapun kata paus, digunakan untuk menggambarkan sifatnya yang suka
bertenang-tenang, mirip dengan ikan paus.7
Kemampuan dan kelihaian H. B. Jassin menggunakan gaya bahasa dalam teks-teksnya terutama teks sastra fiksi, baik itu untuk menyampaikan maksud maupun untuk memperindah cerita, sudah tidak diragukan lagi. Banyak sekali penghargaan-penghargaan yang diraih H. B.
Jassin atas karya-karyanya. Namun, bagaimanakah jika sang “Paus Sastra”
4H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. 2000), h.26.
5Hawe Setiawan, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia 2, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2008), h. 99.
6Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 287-288. 7H.B. Jassin, Op. Cit., h.78.
(15)
ini menerjemahkan Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia? Apakah sang “Paus Sastra” juga menggunakan kelihaiannya
menggunakan gaya bahasa dalam menerjemahkan ayat-ayat Alquran seperti pada teks-teks sastra tanpa melenceng dari arti yang dikandungnya? Bagaimanakah bentuk penggunaan gaya bahasanya? Hal inilah yang
kemudian ingin sekali penulis kaji lebih mendalam, dengan memilih
Al-Qur‟ân Al-KarîmBacaan Mulia karya H. B. Jassin sebagai sumber primer dalam mengkaji gaya bahasa. Hanya saja, analisis akan difokuskan pada terjemahan surah Ar-Rahman. Alasannya, surah Ar-Rahman adalah surah yang menarik dan unik. Menarik dan uniknya surah Ar-Rahman ini karena memuat kalimat yang digunakan berulang-ulang, yaitu sebanyak 31 kali. Pengulangan kalimat tersebut, juga merupakan salah satu bentuk penggunaan gaya bahasa yang sangat jelas terlihat, berbeda dengan surah-surah lainnya. Persajakan akhir ayat dalam surah-surah Ar-Rahman begitu indah
dan rapi. Persajakan akhir seperti alif nun, alif mim, alif ra, dan nun
membuat surah ini sangat indah.
Lebih lanjut, penelitian mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh materi gaya bahasa. Menyajikan contoh gaya bahasa, tidak hanya terbatas pada karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, tetapi juga pada terjemahan ayat-ayat Alquran pun dapat ditemukan berbagai contoh penggunaan gaya bahasa yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya. Sehingga, akan menambah pengetahuan siswa terhadap materi gaya bahasa, yang biasanya merupakan bagian dari materi seperti puisi, cerpen, dan drama. Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari
(16)
membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat, mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis
karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.8 Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada umumnya, materi gaya bahasa merupakan bagian dari materi puisi, cerpen, novel, atau drama. Melalui kegiatan membaca dan menulis, siswa dan guru dapat mencari, menemukan, menyajikan dan menganalisis contoh gaya bahasa, baik dari teks sastra, maupun dalam Alquran terjemahan berbahasa Indonesia, untuk menambah pengetahuan dan mengasah pemahaman.
Penelitian terhadap Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.
Jassin ini memang sudah pernah dilakukan, dengan berbagai fokus penelitian yang berbeda, seperti skripsi Siti Rohmanatin Fitriani berjudul “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Żurqān dan H. B.
Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir
Hadis, 20039 dan skripsi Ahmad Muh. Ikhlas berjudul “Transformasi
Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās
(Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas
8J. S. Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 14-15.
9Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Żurqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan.
(17)
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016.10 Hal tersebut, jelas berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penulis lebih memfokuskan kajian pada persoalan gaya bahasa dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah dipaparkan di atas, dengan penuh semangat dan keyakinan, pada skripsi ini
penulis memutuskan untuk mengambil judul penelitian “Gaya Bahasa
Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia
Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.
1. Kemampuan H. B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran tanpa
melenceng dari arti yang dikandung ayat.
2. Bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam
Al-Qur‟ân Al-KarîmBacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
3. Sebab-sebab penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman
dalam Al-Qur‟ân Al-KarîmBacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
4. Hubungan penggunaan gaya bahasa dengan kalimat pada ayat-ayat lain
dan isi kandungan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
5. Pemberian contoh materi gaya bahasa di sekolah yang hanya terfokus
pada buku ajar dan teks-teks sastra.
C.
Pembatasan Masalah
Adapun dalam penelitian ini, masalah-masalah akan dibatasi pada
persoalan mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam
10Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,
(18)
Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
D.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bagaimana bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah
Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-KarîmBacaan Mulia karya H. B. Jassin?
b. Bagaimana implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah
Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
E.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah
Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-KarîmBacaan Mulia karya H. B. Jassin.
b. Mendeskripsikan implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah
Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
F.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan mengingatkan kembali kepada penulis dan pembaca, mengenai materi pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Islam, yaitu mengenai gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa, terjemahan, macam-macam terjemahan, syarat terjemahan, persyaratan penerjemah, tahapan penerjemahan, Alquran, dan mengenai riwayat hidup H. B. Jassin. Landasan-landasan teori tersebut, diharapkan mampu menjadi dasar pemikiran, menyumbangkan pemahaman, dan menjadi referensi bagi
(19)
penulis dan pembaca, baik dalam proses pembelajaran, maupun dalam penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap positif baik bagi penulis maupun pembaca, karena banyak hal yang dapat diambil, dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, dan senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Adanya penelitian ini, diharapkan juga mampu membentuk semangat, memberikan motivasi kepada penulis dan pembaca untuk selalu membaca Alquran, mengkaji, dan mengamalkan ajaran di dalamnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu membentuk karakter penulis dan pembaca menjadi pribadi yang kritis, mampu mengetahui, memahami, dan menganalisis berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dijadikan bahan penelitian dan evaluasi diri dengan mengambil nilai-nilai positif untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari. Penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, sebagai motivasi, dan referensi bagi guru-guru bahasa Indonesia dalam memberikan contoh-contoh materi pelajaran, juga bagi peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai persoalan gaya bahasa dalam Alquran terjemahan yang tidak hanya terdapat pada surah Ar-Rahman, serta sebagai inovasi bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
(20)
9
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN
A.
Landasan Teori
1. Gaya Bahasa
a. Pengertian Gaya Bahasa
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap dalam
bukunya Telaah Wacana memaparkan pengertian gaya bahasa dengan
mengambil penjelasan dari Harimurti Kridalaksana. Mereka
memaparkan, ”Gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu: pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek
tertentu; keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.”11
Sementara itu, pendapat Gorys Keraf mengenai gaya bahasa, dipaparkan sebagai berikut.
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada
keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi
kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style
menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu.12
Lebih lanjut, terkait dengan persoalan gaya bahasa, Gorys Keraf memaparkan,
Bila dilihat secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah
cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah
11Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta: The Intercultural Intitute, 2009), Cet. I, h. 159.
12Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cet. XIV, h. 112.
(21)
laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara menulisnya lain daripada kebanyakan orang”, “Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis” dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang
mempergunakan bahasa itu.13
Selanjutnya, pengertian mengenai gaya bahasa juga dipaparkan oleh Diah Erna Triningsih. Beliau menyatakan, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”14
Sementara itu, Abd. Rohman memaparkan persoalan gaya bahasa dalam istilah Arab. Beliau menyatakan,
Dalam bahasa Arab gaya bahasa disebut dengan istilah uslub, yang
secara etimologis berarti jalan di antara pepohonan, seni, bentuk,
madzhab, dan seterusnya. Adapun secara terminologis, kata uslub
diartikan dengan istilah metode pengungkapan yang dipilih pengarang dalam menyusun ujaran serta memilih kosa kata yang
diungkapkannya.15
Berdasarkan berbagai pemaparan mengenai gaya bahasa di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara seseorang menggunakan bahasa, yang kemudian menjadi ciri khas orang tersebut yang membedakan dengan orang lain, dan digunakan untuk memberikan efek-efek tertentu dalam setiap kalimatnya.
b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa
Banyak ahli yang menyatakan pendapatnya mengenai jenis-jenis gaya bahasa, sehingga gaya bahasa banyak jenisnya. Pada bagian ini, penulis telah melakukan pendataan terhadap jenis-jenis gaya bahasa
13Keraf, Ibid., h. 113.
14Diah Erna Triningsih, Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia, (Klaten: PT Intan Pariwara, 2009), h. 8.
15Abd. Rohman, Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 71.
(22)
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gorys Keraf, Henry Guntur Tarigan, Okke Kusuma Sumantri Zaimar, dan Ayu Basoeki Harahap. Adapun klasifikasi gaya bahasa menurut Gorys Keraf, terbagi menjadi gaya bahasa berdasarkan segi nonbahasa dan gaya bahasa berdasarkan segi bahasa, yang terdiri atas gaya bahasa berdasarkan pemilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat,
dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.16 Sementara
itu, klasifikasi gaya bahasa menurut Henry Guntur Tarigan terbagi menjadi gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya
bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.17 Selanjutnya,
klasifikasi gaya bahasa menurut Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap terbagi menjadi majas berdasarkan persamaan makna, majas berdasarkan perbandingan makna, majas berdasarkan oposisi makna, majas berdasarkan pertautan makna berkat kedekatan
acuan, dan majas yang mengambil bentuk majas lain.18 Pada bagian ini,
penulis akan memfokuskan pembahasan mengenai penggunaan gaya bahasa dilihat dari segi linguistiknya. Berdasarkan hasil pembacaan terhadap buku-buku ahli yang membahas mengenai jenis-jenis gaya bahasa, secara keseluruhan gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi 51 jenis. Berikut penulis paparkan mengenai penjelasan jenis-jenis gaya bahasa tersebut.
1. Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh:
Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran harapan, dan pengalaman harapan.19
16Keraf, Op. Cit., h. 116-117.
17Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6. 18Zaimar, Op. Cit., h. 163-176.
(23)
2. Antiklimaks
Antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting. Contoh:
Ketua pengadilan negeri itu merupakan orang yang kaya,
pendiam, dan tidak terkenal namanya.20
3. Paralelisme
Gorys Keraf menyatakan, “Paralelisme adalah gaya bahasa yang
berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.” Contoh:
Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah,
harus diadili kalau bersalah. (Tidak baik: Baik golongan yang
tinggi maupun mereka yang rendah kedudukannya, harus diadili kalau bersalah.)21
Sementara itu, Abdul Chaer menyatakan, “Kesejajaran atau
paralelisme adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan cara membentuk beberapa kalimat dengan unsur-unsur yang mirip atau hampir sama, baik tentang jumlah, isi, maupun pola kata yang
digunakan.”22 Lebih lanjut, Niknik M. Kuntarto menyatakan, “Agar
kalimat yang Anda buat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan
bentuk-bentuk yang sama pada kata-kata yang berparalel.”23
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa paralelisme adalah gaya bahasa yang diwujudkan
20
Keraf, Ibid., h. 125.
21Ibid
., h. 126.
22Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Cet. I, h. 377.
23Niknik M. Kuntarto, Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Cet. XII, h. 177.
(24)
melalui kesejajaran pemakaian kata-kata dalam bentuk gramatikal yang sama.
4. Antitesis
Gorys Keraf menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang
mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan
menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.”24
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa Antitesis merupakan perbandingan antara dua antonim (kata-kata yang mengandung arti semantik berlawanan). Majas ini menggunakan dua kata yang berlawanan. Contoh:
Kelulusan Putri dalam ujian sungguh melegakan dada, tetapi
kemampuan membiayainya di perguruan tinggi justru
menyesakkan dada mereka.25
Sementara itu, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan,
Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan dua kata (bentuk lain) yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua kata (bentuk lain) mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi tidak bersifat implisit. Contoh:”Besar kecil, tua muda, kaya miskin, semua berlomba-lomba ingin hidup senang. Ketiga kata majemuk yang ditampilkan, mempunyai makna yang berlawanan
satu sama lain.”26
Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung kata-kata atau kelompok kata yang bertentangan.
24
Keraf, Loc. Cit., h.126. 25Triningsih,Op. Cit., h. 37. 26Zaimar, Op. Cit., h. 170.
(25)
5. Repetisi
Gorys Keraf menyatakan, “Repetisi adalah pengulangan bunyi, suka kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk
memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.”27 Sementara
itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa repetisi adalah majas yang mengandung perulangan berkali-kali kata atau kelompok kata yang sama. Contoh:
Anakku! Rajinlah belajar demi masa depan,
Rajinlah belajar mengangkat derajat keluarga!
Rajinlah belajar menuntut ilmu, rajinlah belajar mencapai cita-cita.
Rajinlah belajar diiringi doa Bunda, rajinlah belajar anakku,
Tuhan selalu bersamamu.28
Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki
Harahap menyatakan, “Dalam repetisi (pengulangan), seluruh kata
(atau bentuk lain) diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata
saja, dapat berupa satu frasa, satu klausa, bahkan satu kalimat.”29
Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan pengulangan bunyi, kata, atau beberapa kata yang dianggap penting.
6. Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi konsonan yang sama. Misalnya:
Takut titik lalu tumpah.
Keras-keras kerakkena air lembut juga.30
27Keraf, Op. Cit., h. 127.
28Triningsih, Op. Cit., h. 46. 29Zaimar, Op. Cit., h. 163. 30Keraf,Op. Cit., h. 130.
(26)
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa aliterasi merupakan majas yang memanfaatkan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi pada awal kata (permulaan kata), bukan perulangan konsonan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf. Contoh:
Kalau kanda kala kacau
Biar bibir biduan bicara31
Berdasarkan pendapat dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa aliterasi.
7. Asonansi
Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan
bunyi vokal yang sama. Misalnya:
Ini muka penuh luka siapa punya
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.32
8. Anastrof
Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.
Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.33
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut anastrof dengan istilah inversi. Inversi merupakan gaya bahasa yang mementingkan bagian kalimat selain subjek sehingga bagian yang dipentingkan itu
31Triningsih,Op. Cit., h. 44-45. 32Keraf, Loc. Cit., h. 130. 33Ibid.
(27)
berada sebagai subjek. Contoh: Sungguh nyaman dan damai lebaran
tahun ini.34
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
9. Apofasis atau Preterisio
Gorys Keraf menyatakan pendapatnya mengenai gaya bahasa apofasis atau preterisio. Beliau memaparkan,
Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di
mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Misalnya:
Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan Anda menipu diri sendiri.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.35
10. Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara mengalihkan amanat atau pembicaraan, dari hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya:
Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah
Kami dari belenggu penindasan ini.
Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.36
34Triningsih, Op. Cit., h. 44. 35Keraf, Op. Cit., h. 130-131. 36Ibid., h. 131.
(28)
11. Asindeton
Asindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan
pemakaian beberapa kata, frasa atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya:
Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik
penghabisan orang melepaskan nyawa.37
12. Polisindeton
Polisindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan
pemakaian beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya:
Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?38
13. Kiasmus
Kiasmus merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian,
baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya:
Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.39
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa kiasmus merupakan majas yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.
37
Keraf, Ibid., h. 131. 38Ibid.
(29)
Contoh:
Apa yang akan terjadi jika pria berlagak seperti wanita dan wanita berlagak seperti pria? Akan tetapi, inilah yang terjadi saat ini.40
14. Elipsis
Elipsis merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya:
Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...41
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa elipsis merupakan sebuah majas yang dihasilkan dengan cara membuang atau menghilangkan kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Contoh:
Pada waktu pulang membawa banyak barang berharga serta
perabot rumah tangga. (penghilangan subjek: mereka)42
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa elipsis adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghilangkan suatu unsur kalimat.
15. Eufemismus
Eufemismus merupakan gaya bahasa berupa
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk mengantikan acuan-acuan yang mungkin
40Triningsih,Op. Cit., h. 46. 41Keraf, Loc. Cit., h. 132. 42Triningsih,Op. Cit., h. 43.
(30)
dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya:
Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati) Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila) Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (= bodoh)43
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut Eufemismus dengan kata Eufemisme. Beliau memaparkan bahwa Eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus yang dipakai untuk mengantikan ungkapan yang dirasa kasar, dianggap merugikan, atau
tidak menyenangkan.44 Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar
dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Eufemisme adalah
ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung, bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar.”45
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa eufimismus adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menggunakan ungkapan yang lebih halus, untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar.
16. Litotes
Gorys Keraf menyatakan, “Litotes adalah gaya bahasa yang
dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu
pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.”46 Henry
Guntur Tarigan juga memaparkan pendapatnya mengenai litotes. Beliau menyatakan, ”Litotes merupakan majas yang menyatakan
43Keraf,Loc. Cit., h. 132. 44Triningsih, Loc. Cit., h. 43. 45Zaimar, Op. Cit., h. 180. 46Keraf,Op. Cit., h. 132-133.
(31)
sesuatu lebih rendah atau dikecilkan dari keadaan yang sebenarnya
dengan tujuan untuk merendahkan diri.”47
Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan bahwa litotes berbeda dengan hiperbola, digunakan untuk melemahkan nilai yang dikemukakan atau diungkapkan si pengujar, dengan tujuan bersopan-santun. Contoh:
silahkan singgah di gubuk saya.48
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa litotes adalah penggunaan kata-kata dengan tujuan merendahkan diri.
17. Histeron Proteron
Histeron Proteron merupakan gaya bahasa yang dihasilkan
dengan cara menampilkan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya:
Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.
Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.49
18. Pleonasme
Pada dasarnya, pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan
untuk menyatakan gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme apabila
kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya:
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.
Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.
47Triningsih,Op. Cit., h. 39. 48Zaimar, Op. Cit., h. 178. 49Keraf, Op. Cit., h. 133.
(32)
Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan
kata-kata: dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang
merah itu.50
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang berbeda. Sebenarnya komponen makna yang ada pada kata pertama, telah hadir pada wilayah makna kata berikutnya. Orang sering
mengatakannya sebagai pemakaian kata yang lewah.”51
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pleonasme adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menggunakan kata-kata yang berlebihan. Jika kata-kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh.
19. Tautologi
Pada dasarnya, tautologi sama seperti pleonasme, merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada
yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Sebuah acuan disebut
tautologi apabila kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung pengulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya:
Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
Globe itu bundar bentuknya.
Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu
sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut
sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00, dan
bundar sudah tercakup dalam globe.52
50Keraf,Ibid., h. 133. 51Zaimar, Op. Cit., h.164. 52Keraf, Op. Cit., h. 133-134.
(33)
20. Perifrasis
Perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perifrasis hampir sama seperti pleonasme, hanya perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya:
Ia telah beristirahat dengan damai (= mati, atau meninggal)
Jawaban dari permintaan sudara adalah tidak (= ditolak)53
21. Prolepsis atau antisipasi
Prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa dengan
mempergunakan kata-kata atau sebuah kata lebih dahulu sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.
Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu.
Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat tu.
Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sedan biru.54
22. Erotesisataupertanyaan retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang digunakan baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, dengan tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang
wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban.55
Misalnya:
Bukankah kita adalah makhlukNya yang harus beriman dan
bertakwa kepadaNya?
53
Keraf, Ibid., h. 134. 54Ibid.
(34)
23. Silepsis
Silepsis merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan
menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal
benar, tetapi secara semantik tidak benar.
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.56
24. Zeugma
Zeugma merupakan gaya bahasa yang diwujudkan melalui kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal). Misalnya:
Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir
orang itu.
Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.57
25. KoreksioatauEpanortosis
Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang
mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya:
Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.58
26. Hiperbol
Gorys Keraf menyatakan, “Hiperbolsemacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan
membesar-besarkan sesuatu hal.”59 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan
56Keraf, Ibid., h. 135.
57Ibid
. 58Ibid. 59Ibid.
(35)
menamakan hiperbol dengan istilah hiperbola. Beliau menyatakan,
“Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan
yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat atau meningkatkan
kesan dan pengaruh.”60 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki
Harahap memaparkan, “Hiperbola adalah ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang membesar-besarkan sesuatu
(berlebih-lebihan).”61 Contoh:
Citaku kepadamu seluas samudra, hingga tak sanggup aku
hidup tanpamu. Jika kau mati, maka akupun akan ikut mati.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang diwujudkan melalui pemakaian kata yang berlebihan, untuk membesar-besarkan sesuatu hal.
27. Paradoks
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh:
Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang melimpah-limpah.62
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa paradoks merupakan pernyataan yang berlawanan dengan pendapat umum, bisa dianggap aneh atau luar biasa. Bisa juga dikatakan bahwa paradoks merupakan suatu
proposisi yang salah sekaligus juga benar. Contoh: Meskipun hatinya
sangat panas, kepalanya tetap dingin.63
60Triningsih,Loc. Cit., h. 39.
61Zaimar,Op. Cit., h. 176. 62Keraf,Op. Cit., h. 136. 63Zaimar, Op. Cit., h. 170-171.
(36)
Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menyajikan gagasan yang bertentangan dari sesuatu yang nyata.
28. Oksimoron
Gorys Keraf menyatakan, “Oksimoron merupakan gaya bahasa
yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang
bertentangan.”64 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan
bahwa oksimoron merupakan majas yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata berlawanan dalam frasa yang sama.
Contoh: Bahan-bahan nuklir dapat digunakan untuk kesejahteraan
manusia, tetapi juga dapat memusnahkannya.65
29. Persamaan atau Simile
Persamaan atau Simile merupakan perbandingan yang bersifat
eksplisit. Artinya, perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu hal sama dengan hal yang lain. Untuk itu, perbandingan tersebut
memerlukan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana,
dan sebagainya. Misalnya:
Kikirnya seperti kepiting batu
Bibirnya seperti delima merekah Matanya seperti bintang timur66
Sementara itu, Diah Erna Triningsih mengemukakan pendapat
Henry Guntur Tarigan mengenai simile. Bila Gorys Keraf
menyebutnya dengan istilah persamaan, maka Henry Guntur Tarigan
lebih memilih istilah perumpamaan. Menurutnya, “Majas
Perumpamaan merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. Perbandingan tersebut
ditandai dengan kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana,
64Keraf, Loc. Cit.
65Triningsih, Op. Cit., h. 40. 66Keraf, Op. Cit., h. 138.
(37)
dan sejenisnya.”67 Selanjutnya, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan
Ayu Basoeki Harahap menyatakan, “Dalam simile terdapat dua kata
(atau bentuk lainnya) yang masing-masing menampilkan konsep dan acuan yang berbeda.”68
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa simile adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membandingkan
dua hal atau lebih dengan menggunakan kata-kata seperti laksana,
bak, bagaikan, dan seperti.
30. Metafora
Gorys Keraf menyatakan, “Metafora adalah semacam analogi
yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk
yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata,
dan sebagainya.69Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan
bahwa kata metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang
berarti „memindahkan‟. Metafora merupakan sebuah analogi yang membandingkan dua benda secara langsung dalam bentuk singkat. Contoh:
Kita harus selalu mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur sebagai bunga bangsa.
Bunga bangsa= orang berjasa; pemuda
Jangan pernah percaya dengan mulut manis lintah darat itu karena ia hanya ingin meraup keuntungan.
Lintah darat= orang yang membungakan uang dengan memungut bunga terlalu tinggi.70
67Triningsih, Op. Cit., h. 35. 68Zaimar, Op. Cit., h. 165. 69Keraf,Op. Cit., h. 139. 70Triningsih,Loc. Cit., h. 35.
(38)
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat.
31. Alegori
Gorys Keraf menyatakan, “Alegori adalah suatu cerita singkat
yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah
permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah
sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.”71
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa alegori adalah cerita yang diceritakan dengan lambang-lambang. Alegori merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan dan bertujuan
menyampaikan pesan moral.72 Lebih lanjut, M. Zainal Falah
memberikan sebuah contoh mengenai gaya bahasa alegori. Berikut adalah contoh alegori yang dikemukakan M. Zainal Falah dalam
buku Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia.
Hati-hatilah dalam mengarungi samudra yang penuh bahaya gelombang, topan, dan badai. Apabila nahkoda dan juru mudi senantiasa seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya akan tercapai tanah tepian yang menjadi idaman.
Kata “samudra” yang dimaksud pengarang adalah kehidupan.73
32. Parabel
Gorys Keraf menyatakan, “Parabel adalah suatu kisah singkat
dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk
71Keraf, Op. Cit., h. 140. 72Triningsih, Op. Cit., h. 36.
73M. Zainal Falah, Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: CV Karyono, 1996), Cet. V., h. 41.
(39)
menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.”74
Sebagai contoh yaitu cerita Kisah Mahabrata dan Kisah Ramayana.
33. Fabel
Gorys Keraf menyatakan, “Fabel merupakan suatu metafora
berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak
seolah-olah sebagai manusia.”75 Sebagai contoh cerita Anak Katak
Hijau yang Nakal dan Kancil Mencuri Mentimun.
34. Personifikasi
Gorys Keraf menyatakan, “Personifikasi atau Prosopopoeia
adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah
memiliki sifat-sifat kemanusiaan.76 Sementara itu, Henry Guntur
Tarigan menyebut personifikasi dengan istilah penginsanan. Beliau
menyatakan, “Personifikasi atau penginsanan merupakan majas yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat manusia dan mampu melakukan
tindakan seperti yang dilakukan manusia.”77
Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan bahwa personifikasi merupakan majas yang menyatakan benda mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat
seperti manusia. Contoh: Rani tidur di teras, dibelai angin
sepoi-sepoi.78
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang menyatakan benda mati seolah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia.
74Keraf, Loc. Cit., h. 140. 75Ibid.
76Ibid.
77Triningsih,Loc. Cit., h. 36. 78Zaimar, Op. Cit., h. 168.
(40)
35. Alusi
Gorys Keraf menyatakan bahwa alusi merupakan acuan yang
berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau
peristiwa. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah
Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut
memperjuangkan persamaan haknya.79
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa alusi merupakan majas yang menunjuk pada suatu peristiwa atau tokoh secara tidak langsung, berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap acuan tersebut. Contoh:
Dapatkah kau membayangkan perjuangan KAMI dan KAPI pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan keadilan di tanah air ini?80
Berdasarkan pemaparan dari dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa alusi.
36. Eponim
Gorys Keraf menyatakan,”Eponim adalah suatu gaya bahasa
yang diwujudkan dengan penggunaan nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai
untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk
menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan
kecantikan.”81
79Keraf,Op. Cit., h. 141.
80Triningsih, Op. Cit., h. 42-43. 81Keraf, Loc. Cit.
(41)
37. Epitet
Epitet merupakan gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya:
Lonceng pagi untuk ayam jantan
Puteri malam untuk bulan
Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.82
38. Sinekdoke
Mengenai sinekdoke, Gorys Keraf menyatakan,
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani
synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama.
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan
untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).83
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa Sinekdoke merupakan majas yang menyebutkan nama bagian
sebagai pengganti nama keseluruhan (pars pro toto) atau
menyebutkan keseluruhan sebagai pengganti nama sebagian (totem
pro parte). Contoh:
Bagaimana kita dapat hidup dengan tenang jika belum memiliki lantai tempat menetap di Jakarta?
Indonesia memenangkan kejuaraan bulu tangkis tingkat internasional.84
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam sinekdoke adanya kedekatan acuan yang disebabkan karena acuan yang pertama merupakan bagian dari acuan
yang kedua (pars pro toto) atau acuan yang pertama mencakup
acuan yang kedua (totem pro parte). Contoh: Telah lama ia tak
82Keraf, Ibid., h. 141.
83Ibid., h. 142.
(42)
nampak batang-hidungnya. (sebagian menggantikan keseluruhan) dan Italia mengalahkan Inggris dengan telak. (keseluruhan untuk
sebagian)85
39. Metonimia
Metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan sebuah
kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Contoh:
Ia membeli sebuah chevrolet.
Saya minum satu gelas, ia dua gelas.
Ialah yang menyebabkana air mata yang gugur. Pena lebih berbahaya dari pedang.
Ia telah memeras keringat habis-habisan.86
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa metonimia merupakan majas yang menggunakan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Contoh:
Ayah baru saja membeli Honda dengan harga lima belas juta
rupiah.87
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam metonimi yang menjadi landasan adalah hubungan kontiguitas acuan. Hubungan-hubungan itu dapat bersifat parsial, seperti contoh: “Gedung putih itu telah mengumumkan perang.”, bersifat temporal, seperti contoh “Mingguan itu berisi
85Zaimar,Op. Cit., h. 175. 86Keraf, Loc. Cit., h. 142. 87Triningsih, Op. Cit., h. 41-42.
(43)
gosip saja.”, dan bersifat kausal, seperti contoh “Paman Hamzah
adalah seorang kuli tinta.”88
Berdasarkan pemaparan empat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa metonimia.
40. Antonomasia
Antonomasia merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk
menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan. Misalnya:
Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.
Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.89
41. Hipalase
Hipalase merupakan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
digunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Misalnya:
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah
adalah manusianya, bukan bantalnya).90
42. Ironi
Ironi atau sindiran gaya bahasa yang mengatakan sesuatu hal dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya:
Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!91
Sementara Itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa ironi merupakan sebuah ungkapan yang menyatakan sindiran atau ejekan
88Zaimar,Op. Cit., h. 173-174. 89Keraf, Loc. Cit., h. 142. 90Ibid.
(44)
secara halus, tetapi cukup menyinggung perasaan orang lain. Contoh:
Aku bangga dengan sikap hematmu, hingga uang tabungan ini terkuras habis hanya untuk berfoya-foya.92
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu yang sebaliknya dari apa yang ingin dikatakan. Perlu diingat bahwa dalam ironi selalu ada sasaran (bulan-bulanan), yaitu yang dituju oleh ujaran ironis tadi. Selain itu, pemahaman ironi sangat
tergantung dari konteks.93
Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan maksud yang berlainan dari serangkaian kata-katanya.
43. Sinisme
Sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian, mengandung ejekan. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Misalnya:
Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.94
44. Sarkasme
Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi
dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Misalnya:
Mulut kau harimau kau
Lihat sang Raksasa itu (Maksudnya si Cebol)
Kelakuanmu memuakkan saya.95
92Triningsih, Op. Cit., h. 40. 93Zaimar , Op. Cit., h. 171. 94Keraf, Loc. Cit., 143. 95Ibid., h. 143-144.
(45)
45. Satire
Satire merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia, dengan tujuan agar diadakan
perbaikan secara etis maupun estetis.96
46. Inuendo
Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Inuendo merupakan sebuah kritik secara tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat sambil lalu. Misalnya:
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum.
Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya.97
47. Antifrasis
Antifrasis merupakan sebuah ironi yang berwujud penggunaan
sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi. Misalnya:
Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol)98
48. Pun atau Paronomasia
Pun atau paronomasia merupakan kiasan dengan menggunakan
kemiripan. Pun atau Paronomasia menggunakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Tanggal dua gigi saya tanggal dua
“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”99
96
Keraf, Ibid., h. 144.
97Ibid.
98Ibid., h. 144-145. 99Ibid., h. 145.
(46)
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa paronomasia merupakan gaya bahasa yang berwujud penjajaran kata yang berbunyi sama, tetapi berlainan makna atau kata-kata yang memiliki persamaan bunyi, tetapi berbeda maknanya. Contoh:
Ketika saya sibuk mengukur kelapa di dapur, burung balam tetangga terdengar sedang mengukur bersahut-sahutan.100
49. Gradasi
Gradasi merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian dan urutan kata yang secara sintaksis bersamaan memiliki satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan di antaranya paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif. Contoh:
Jasmani dan rohani yang diberikan Tuhan; Tuhan Yang Maha Pengasih.101
50. Depersonifikasi
Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Gaya bahasa ini menampilkan manusia sebagai binatang, benda-benda
alam, atau benda lainnya. Contoh: Aku heran melihat Tono
mematung.102
51. Paralipsis
Paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan hal yang tersirat dalam kalimatnya. Contoh:
100Triningsih,Loc. Cit., h. 40. 101Ibid., h. 44.
(47)
Pak guru sering memuji anak itu, yang (maafkan saya) saya maksud memarahinya.103
Berdasarkan hasil penggabungan jenis-jenis gaya bahasa dari para ahli, penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa banyak jenisnya, lebih dari lima puluh gaya bahasa. Masing-masing para ahli mempunyai kategori pengklasifikasian jenis gaya bahasa yang
berbeda-beda. Pada skripsi ini, penulis lebih memilih
pengklasifikasian gaya bahasa menurut Gorys Keraf, karena lebih lengkap dan disertai contoh yang mudah dipahami, untuk diterapkan dan dijadikan acuan dalam kegiatan analisis data. Selain itu, Gorys Keraf menggunakan istilah “gaya bahasa” bukan “majas”. Hal tersebut, lebih sesuai dengan judul penelitian yang dilakukan penulis.
2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik
a. Fonologi
Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi bahasa. 104 Secara etimologi, kata
fonolgi terbentuk dari kata fon yang bermakna bunyi dan logi yang
bermakna ilmu. 105 Pada umumnya, bunyi bahasa diklasifikasikan
menjadi bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini menjadi bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan paru-paru. Selanjutnya, arus udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan-apa-apa, kecuali bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu, sesuai dengan jenis
vokal yang dihasilkan.106
103Triningsih, Op. Cit., h. 41.
104Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 102. 105Ibid.
(48)
Selanjutnya, bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu. Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah arus udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara, tidak mendapat hambatan apa-apa; sedangkan dalam pembentukan bunyi konsonan, arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan. Bunyi konsonan ada yang bersuara ada yang tidak, sedangkan bunyi
vokal semuanya adalah bersuara.107
b. Sintaksis
Secara etimologis, sintaksis berasal dari bahasa Belanda syntaxis. Di
dalam bahasa Inggris, sintaksis dikenal dengan istilah syntax. Semantara
itu, dari sisi kaidah penyerapan bahasa asing, istilah sintaksis dalam bahasa Indonesia memiliki kedekatan dengan istilah bahasa Belanda
syntaxis. Adapun pembahasa sintaksis secara berturut-turut dimulai dari
frasa, klausa, sampai pada tataran kalimat.108
1. Frasa
Frasa merupakan satuan gramatikal berupa gabungan kata dan bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang
mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.109 Ciri utama
frasa ialah berupa kelompok kata, tidak predikatif, dan tidak melampaui batas fungsi atau hanya menduduki satu fungsi. Tidak melampaui batas fungsi sintaksis maksudnya frasa itu hanya menduduki satu fungsi. Frasa itu bisa menduduki fungsi subjek saja, atau menduduki fungsi predikat saja, atau menduduki fungsi objek saja, atau menduduki fungsi pelengkap saja, atau menduduki fungsi
107Chaer, Ibid., h. 113.
108La Ode Sidu, Sintaksis Bahasa Indonesia, (Kendari: Unhalu Press, 2013), h. 21. 109Ibid.
(49)
keterangan saja. Dengan demikian, frasa merupakan konstituen
pengisi fungsi-fungsi sintaksis.110
2. Klausa
Klausa merupakan kelompok kata yang predikatif. Klausa merupakan tataran di dalam sintaksis yang berada di atas tataran frasa dan di bawah kalimat. Ciri utama klausa adalah ciri predikat,
yang kehadirannya adalah wajib.111 Di pihak lain, S. Effendi, Djoko
Kentjono, dan Basuki Suhardi menyatakan, “Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frasa; di dalamnya terdapat satu hubungan predikatif (atau hubungan subjek-predikat). Klausa pada umumnya merupakan konstituen dasar kalimat.”112
3. Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir, dan juga terdiri atas klausa. Kalimat boleh terdiri atas satu klausa atau lebih. Kalimat dalam bentuk tulisan memiliki kriteria yang mengikat, seperti huruf kapital di awal kalimat dan diakhiri dengan salah satu tanda perhentian
seperti titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!).113
Kalimat umumnya berwujud serangkaian kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat, mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan kategori sintaksis, fungsi sintaksis, dan peran semantisnya.
a. Kategori Sintaksis
Bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis utama, yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva atau kata sifat, dan adverbia atau kata keterangan. Selain itu, ada
110Sidu, Ibid., h. 23. 111Ibid., h. 42-43.
112S. Effendi, dkk., Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), h. 36.
(50)
juga kelompok lain yang dinamakan kata tugas, yang terdiri atas beberapa subkelompok kecil, misalnya preposisi atau kata depan,
konjungtor atau kata sambung, dan partikel.114
b. Fungsi Sintaksis
Setiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Adapun fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek,
pelengkap, dan keterangan.115 Predikat dalam bahasa Indonesia
dapat berwujud frasa verbal, adjektival, nominal, numeral dan preposisional. Selain predikat, kalimat umumnya mempunyai subjek yang biasanya terletak di depan predikat. Subjek dapat berwujud nomina, tetapi pada keadaan tertentu kategori kata lain juga dapat menduduki fungsi subjek. Ada juga kalimat yang mempunyai objek. Pada umumnya, objek yang berupa frasa nominal berada di belakang predikat yang berupa frasa verbal transitif aktif. Objek tersebut berfungsi sebagai subjek jika
kalimat tersebut diubah menjadi pasif.116
Selanjutnya, yang dinamakan pelengkap atau komplemen mirip dengan objek. Pelengkap pada umumnya berupa frasa nominal dan frasa nominal itu juga berada di belakang predikat verbal. Perbedaan yang penting adalah pelengkap tidak dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif. Di sisi lain, pelengkap mirip dengan keterangan juga. Kedua-duanya membatasi acuan konstruksi yang bergabung dengannya. Perbedaannya ialah pelengkap pada umumnya wajib hadir untuk melengkapi
114Hasan Alwi, dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 35-36.
115Ibid., h. 36. 116Ibid., h. 36-37.
(51)
konstruksinya, sedangkan keterangan tidak. Tempat keterangan biasanya bebas, sedang tempat pelengkap selalu di belakang verba(beserta objeknya). Keterangan ada yang menyatakan alat,
tempat, cara, waktu, kesertaan, atau tujuan.117
c. Peran Semantis
Pada dasarnya, setiap kalimat memerikan suatu peristiwa yang melibatkan satu peserta atau lebih, dengan peran semantis yang berbeda-beda. Peserta tersebut dinyatakan dengan nomina atau frasa nominal. Peran semantis terdiri atas pelaku, sasaran, pengalam, pemeruntung, dan atribut. Adapun penjelasan mengenai peran semantis tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pelaku
Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan dan dinyatakan oleh verba predikat. Peserta umumnya manusia atau binatang. Peran pelaku merupakan peran semantis utama subjek kalimat aktif dan pelengkap pasif.
2) Sasaran
Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan dan dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran merupakan peran utama objek atau pelengkap.
3) Pengalam
Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa dan dinyatakan predikat. Peran pengalam merupakan peran unsur subjek yang predikatnya adjektiva atau verba taktransitif yang lebih menyatakan keadaan.
4) Peruntung
Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan
117Alwi, dkk., Ibid., h. 38.
(1)
K. Strategi Pembelajaran : Cooperative Learning
L. Teknik Pembelajaran : Student Active Learning
M. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran:
a. Kegiatan Awal Apersepsi
1. Guru memberikan salam, menyapa siswa, memimpin doa, dan mengabsen siswa.
2. Guru mengkondisikan kesiapan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa sebelum belajar.
3. Guru bertanya mengenai meteri pelajaran pertemuan lalu, dan meminta siswa mengumpulkan tugas pertemuan lalu.
4. Guru memberitahukan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator kompetensi, dan tujuan belajar yang akan dicapai.
b. Kegiatan Inti Eksplorasi
1. Guru menyampaikan pemaparan terkait dengan pembahasan yang akan disampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru dan siswa melakukan tanya jawab.
3. Guru menugaskan siswa untuk membuat sebuah puisi berdasarkan peristiwa yang dialami
Elaborasi
1. Siswa mengerjakan tugas membuat puisi dengan menggunakan gaya bahasa.
2. Guru memantau dan mengarahkan kegiatan siswa.
(2)
Konfirmasi
1. Guru dan siswa memberikan apresiasi terhadap keberhasilan siswa dalam mengerjakan tugas
2. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan hasil kerja siswa.
c. Kegiatan Penutup
1. Guru menunjuk beberapa siswa untuk menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan
2. Guru memberikan apresiasi dan umpan balik terhadap kesimpulan yang yang disampaikan siswa.
3. Guru menegaskan kembali kesimpulan secara jelas kepada siswa. 4. Guru memberikan tugas individu kepada siswa.
5. Siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya pada pertemuan selanjutnya.
6. Guru menginformasikan materi pertemuan selanjutnya.
7. Guru menutup pembelajaran dengan doa dan mengucapkan salam.
N. Sumber dan Media Pembelajaran
a. Buku utama pelajaran bahasa Indonesia b. Infokus
c. Power Point
O. Penilaian
1. Prosedur Penilaian a. Penilaian Proses
Menggunakan format pengamatan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran sejak dari kegiatan awal sampai dengan kegiatan akhir. b. Penilaian Hasil Belajar
(3)
Menggunakan instrumen penilaian hasil belajar dengan tes tulis berbentuk esai (terlampir).
2. Instrumen Penilaian
a. Penilaian Proses: Penilaian sikap individu b. Penilaian Hasil Belajar : Esai atau uraian
Jakarta, 08 Februari 2016
Mengetahui
Kepala SMP Islam Harapan Ibu, Guru praktikan bahasa Indonesia
Dra. Hj. Budi Suci Nurani, M. Pd Povi Maspupah
(4)
Lampiran
Penilaian Tanpa Tes
a. Penilaian Proses
Penilaian Sikap Individu
Keterangan Skor:
1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik
4 = Sangat Baik Skor Maksimal = 16
Nilai = Skor Perolehan X 100 Skor Maksimal
No Nama Peserta Didik
Aspek
Jumlah Nilai Tekun Aktif Teliti Rasa Ingin
(5)
b. Penilaian Hasil Belajar
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan tepat!
1. Buatlah sebuah puisi tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan gaya bahasa yang telah dipelajari!
2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam puisimu!
3. Carilah contoh gaya bahasa metafora dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia! Jelaskan!
4. Carilah contoh gaya bahasa simile dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia! Jelaskan!
5. Carilah contoh gaya bahasa personifikasi dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia! Jelaskan!
Keterangan Skor:
Skor maksimal= 20
Jumlah Skor Maksimal= 100
Perhitungan nilai akhir dalam skala 0-100 adalah sebagai berikut: Nilai = Perolehan Skor X 100
(6)
Lampiran 7
BIODATA PENULIS
Povi Maspupah, lahir di Tasikmalaya, 30 Juni 1993. Wanita berdarah Sunda ini, menempuh pendidikan formalnya di SD Negeri Bungursari Tasikmalaya, SMP Negeri 16 Tasikmalaya, SMA Negeri 1 Anjatan Indramayu, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama menempuh pendidikannya, terutama di SMP dan SMA, wanita ini banyak mengikuti organisasi sekolah, di antaranya adalah OSIS, PRAMUKA, BINA VOKAL, dan SANGGAR SENI. Mengikuti berbagai organisasi di sekolah, baginya sangat menyenangkan, karena selain mendapat pengetahuan dari materi pelajaran, juga mendapat pengetahuan dan pengalaman-pengalaman dari berorganisasi. Di dalam organisasi yang digelutinya, wanita yang sangat menyukai seni ini pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS (SMP dan SMA), Ketua OSIS (SMA), dan ketua BINA VOKAL ( SMA). Sementara itu, di Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta, wanita ini pun ikut bergabung dalam organisasi yang dinamakan Pojok Seni Tarbiyah, khusunya dalam elemen tari tradisional.
Selama menempuh pendidikannya, wanita ini seringkali mengikuti berbagai perlombaan, seperti lomba baca puisi, menulis puisi, bintang DAI, Musabaqah Tilawatil Qur‟an (MTQ), baca cerita Islami (pada Festival Anak Saleh Indonesia), cerdas cermat, debat antarmahasiswa PBSI dalam kegiatan Bulan Bahasa, dan tahfiz Al-qur‟an. Semua lomba yang pernah diikutinya, senantiasa membuahkan hasil yang baik, atas kehendak Yang Maha Kuasa. Wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren ini bercita-cita menjadi seorang guru.