Analisis Terjemahan Al-QUr'an H.B. Jassin Bacaan Mulia

(1)

(Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim) Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

Rina Indri Astuti

NIM:106024000946

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATUALLAH

JAKARTA 1431H/2010

i   


(2)

ii   

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta.

Jakarta, 06 September 2010

Rina Indri Astuti NIM: 106024000946


(3)

iii   

H.B. JASSIN BACAAN MULIA

(Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Rina Indri Astuti

NIM:106024000946

Pembimbing

Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag. NIP: 19570715 198803 1001

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATUALLAH

JAKARTA 1431H/2010


(4)

iv   

Skripsi yang berjudul ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA (Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta pada hari Senin 06 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai selah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada program studi Tarjamah.

Jakarta, 06 September 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Dr.Akhmad Saehuddin, M.Ag.

NIP: 19570816 199403 1001 NIP: 1970050 520000 3103 Anggota

Dr. H.A. Ismakun Ilyas, MA. Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag.


(5)

v   

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b Be

ت t Te

ث ts te dan es

ج j Je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d De

ذ dz de da zet

ر r Er

ز z Zet

س s Es

ش sy es dan ye

ص S es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

ع ، koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha


(6)

vi   

ك k Ka

ل l El

م m Em

ن n En

و w We

ـه h Ha

ء ` Apostrof

ي y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

____________ A Fathah

---ِ--- I Kasrah

____________ U Dammah

Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ____

ي Ai a dan i

_____


(7)

vii   

harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ___

ا Â a dengan topi di atas

__

ي Î i dengan topi di atas

_

و Û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang dalam yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf yaitu لا dialih aksarakan menjadi /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydidi yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( _ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan mengadakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh hururf-huruf syamsyiah. Misalnya, kata ةروﺮﱠﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah.

Ta Marbûtah

Jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata siifat (na’t) (lihat contoh 2 ). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ ( lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

1 ﺔﻘ ﺮﻃ Tarîqah


(8)

viii   

Huruf Kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia, untuk proper name ( nama diri, nama tempat dan sebagainya), seperti al-kindi bukan Al-kindi ( untuk huruf “al” a tidak boleh kapital).


(9)

ix   

“Analisis Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan Mulia; Studi Terhadap Konteks Ayat Tentang Non-Muslim”

Terjemahan Al-Quran merupakan item yang sangat penting bagi masyarakat muslim terutama bagi mereka yang tidak memahami Bahasa Arab. Terlebih dari itu maka terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin pun menyuarakan hasil terjemahannya mengenai ayat-ayat non-muslim. Maka, skripsi ini menerangkan tentang analisis terjemahan Al-Quran H.B. Jassin tentang ayat-ayat non-muslim yang sampai saat ini masih terjadi pro dan kontra dikalangan para ulama.

Penulis menarik kesimpulan bahwa terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin tentang ayat-ayat non-muslim dianggap benar berdasarkan perbandingan dengan terjemahan Al-Quran yang lain dan pengkajian tafsir Al-Quran mengenai ayat-ayat non-muslim.

Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif yaitu dengan mengumpulkan data-data aktual, melaksanakan studi kepustakaan dari beberapa literatur tertulis, baik dari buku-buku, artikel, majalah, internet, dan dokumen.

Konteks ayat non-muslim mendapat perhatian khusus dikalangan para ulama klasik dan modern. Hal yang diperdebatkan adalah penafsiran dan batasan tentang ayat tersebut. Banyak kritikan tajam yang dilontarkan kepada H.B. jassin terhadap terjemahannya. Akan tetapi fokus terhadap ayat non-muslim penulis tidak menemukan penyimpangan makna pada kontek ayat non-muslim, yang membedakan hanyalah pemilihan kata. Terlebih lagi ketika menulusuri kata auliya’ yang mana pada kata tersebut terdapat banyak makna yang mana dari kata auliya’ itu timbul perdebatan dikalangan para ulama untuk menentukan hukum dan batasan seorang non-muslim dijadikan seorang pemimpin.


(10)

x   

Alhamdulilahi Rabbil’allamin penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang senatiasa memberikan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada penulis, sehingga karya ini bisa selesai. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada teladan alam semesta, kajeng nabi Muhammad saw beserta keluarganya, para sahabatnya dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan curahan syafaatnya di hari akhir nanti.

Penulis mengucapkan terma kasih yang sebesar-besarnya kepada Civitas academica UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta, terutama kepada Prof.Dr. Komaridin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatuaallah Jakarta. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ketua Jurusan Tarjamah dan Sekertaris Jurusan Tarjamah Akhmad Saekhuddin M,Ag.

Terima kasih yang tak terhingga pula kepada bapak Drs. H. D. Sirojuddin AR, M,Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan serta memotovasi penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan bapak.

Kepada Jajaran Jurusan Tarjamah: Drs. Ismakun Ilyas, M.A, Syarif Hidayatullah, M.Hum, Dr. Sukron Kamil, M.A, Irfan Abubakar, M.A, Drs. A. Syatibi, M,Ag, dan lainnya.terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang penulis dapatkan menjadi manfaat dan berkah dikemudian hari. Amin.

Penghormatan serta ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis. Ayahanda terhebat Gimin dan ibunda terkasih Eni, adik-adik penulis Edi Saputra, Tri Jayanti,


(11)

xi   

Merekalah yang menjadi motivasi penulis dalam menggapai semua mimpi serta orang yang mencintai penulis apa adanya.

Terima kasih kepada PDS (Pusat Dokumentasi dan Sastra H. B. Jassin) yang telah berbaik hati memberikan pelayanan berupa buku-buku serta Referensi kepada penulis. Kepada kepala dan karyawan perpustakaan fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan umum Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatuallah Jakarta, perpustakaan UI dan perpustakaan Atmajjaya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengakses berbagai referensi kepada penulis.

Kepada sahabat terbaik dan tersayang penulis Siti Hamidah, dan Leni Helpianti terima kasih untuk semua kebaikannya dan kebersamaannya hingga detik ini masih ada.

Penulis mengucapkan kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2006, kepada Nur’aini dan Yatmi yang telah bersedia menemani penulis baik suka dan duka dalam menyelasikan skripsi ini dan mengisi kebersamaan dengan penulis selama di kampus ini semoga kebersamaan ini tetap ada dan membawa kesan yang baik. Kemudian kepada mely Amelia, Ade Erna Wati, Yuli Handayani, Wulan, Yuyun, Iyum, Fuad, Komeri, Nubzah, Suti, Anis, Novita, Elida, Ruston, Kholis dan Daus yang senatiasa menjadi teman yang menyenangkan dan memberikan kontribusi berarti bagi penulis yang berguna untuk masa depan penulis. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh kakak kelas dan adik kelas sehingga penulis bangga menjadi salah satu mahasiswi Tarjamah.


(12)

xii   

Semoga skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 06 September 2010 Penulis


(13)

xiii   

PERNYATAAN ……….ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……….iii

LEMBAR PENGESAHAN………iv

PEDOMAN TRANSLITERASI……….v

ABSTRAK……… ... ……..ix

KATA PENGANTAR………x

DAFTAR ISI………xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Pembatasan dan Perumusan masalah………...4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...7

D. Metodologi Penelitian………8

E. Sistematika Penulisan………...8

BAB II LANDASAN TEORI PENERJEMAHAN A. Gambaran Umum Penerjemahan………...………...10

1. Definisi Penerjemahan………...………..….10

2. Metode Penerjemahan……….………..11

3. Proses Penermahan……….. ... ……..16

B. Gambaran Tentang Al-Qur’an………...………...19

1. Penerjemahan Al-Qur’an……….………..19

2. Pengertian Al-Qur’an………….………....19

3. Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an………...21

4. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an………...23


(14)

xiv   

B. Pendidikan H. B. Jassin………...26

C. Karir H. B. Jassin……….………...26

D. Propesi dan prestasi H. B. Jassin……….28

E. Karya Tulis H. B. Jassin………..28

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA; STUDY KONTEKS TENTANG AYAT-AYAT NON-MUSLIM A. Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim…….………...…...30

B. Menelusuri Kebenaran Terjemahan Al-Qur’an Karya H. B. Jassin tentang Ayat-ayat Non-Muslim……….……..40

C. Analisis terhadap kata “Auliya” dalam Konteks tentang Ayat-ayat Non-Muslim…60 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….………...67


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan merupakan sesuatu kegiatan yang menjadi penting bagi manusia pada abad modern ini yaitu kegiatan yang bukan saja di miliki penerjemah, para guru bahasa, dan para peminat bahasa lainnya, melainkan juga telah memberikan daya tarik bagi para ilmuan lainnya yang menyadari kekuatan bahasa sebagai salah satu media yang dapat memantau kesepakatan perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah banyak buku-buku dan artikel-artikel tentang terjemahan, di tulis para ahli dalam suatu cabang ilmu tertentu dengan pendekatan yang beraneka

ragam sesuai dengan di siplin ilmunya masing-masing.1

Dalam proses menerjemahkan berusaha untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber tanpa merubah maksud dan pesan tersebut. Begitu pula dalam membentuk

kalimat ke dalam bahasa sasaran haruslah jelas.2

Dalam masalah penerjemahan perlu kirannya seorang penerjemah memiliki pengetahuan mengenai tahapan-tahapan penerjemahan, syarat-syarat penerjemahan dan ragam-ragam penerjemahan, guna mayoritas naskah yang diminati untuk dijadikan sasaran, serta pendekatan apa yang sebaiknya di ambil. Secara umum ragam terjemahan terdiri dari tiga macam yaitu:

terjemahan kata demi kata, terjemahan harfiyah dan terjemahan bebas.3 Setelah penerjemah

mengenal lebih jauh ragam-ragam penerjemahan akan dapat mengetahui keunggulan dan

      

1

Suhendra Yusuf,Teori Terjemahan, Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994) Cet.ke-1,h.7 

2

Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Ende Flores-NTT:Nusa Indah, 1986), h.24 

3

Nurachman ,Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 54-58 


(16)

kekurangan terhadap ragam penerjemahan yang di gunakan. Sehingga penerjemah lebih selektif dalam memilih dan menggunakan ragam penerjemahan yang sesuai dengan tujuan penulis (Bsu).

Kemampuan menerjamahkan mempunyai peranan yang signifikan untuk menguak apa saja maksud di balik ayat yang masih di anggap abu-abu oleh para ulama klasik dan modern dan terkesan mengandung sebuah misteri yang patut untuk di pecahkan. Oleh karenanya, latar belakang keilmuan seseorang khususnya kemampuan menerjemahkan pada ayat Al-Quran memberikan dampak dan sudut pandang yang berbeda.

fakta sejarah mengatakan bahwa Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama ternama asal Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi

non-muslim dalam konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya

at-Ta’ashshub wa At-Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam di bina atas prinsip toleransi, kerja sama dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, di lihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia, mengatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam

seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan.4

Dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahl-Dzimah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan komunitas muslim. Kendati non-muslim dzimi diperbolehkan ibadah sesuai keyakinannya dan di perbolehkan menerapkan hukum keluarganya, mereka tidak boleh       

4


(17)

menda’wahkan ajaran agamanya. Dalam urusan agama, mereka di pimpin oleh masing-masing pemuka agama mereka. Namun, dalam urusan publik, semua jabatan admistratip dan politik haruslah di pegang oleh muslim, mereka tidak bisa menduduki posisi strategis dalam pemerintahan mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota majelis

permusyawaratan, mereka tidak punya hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah.5

Ahl-Dzimah sering kali disebut sebagai kelompok kelas dua dan menurut Muhammad Arkoun, model toleransi seperti itu adalah model toleransi tanpa peduli. Alasannya karena konsep dzimah dalam praktek disertai oleh rekayasa untuk mengurangi peran kelompok non-muslim dan menegaskan keunggulan Islam atas yang lain. Namun bagi Arkoun, konsep ini masih lebih baik

dari pada kondisi kaum muslim dalam masyarakat agama lain.6

Akan tetapi dewasa ini, sering kita lihat khususnya di Indonesia bahwa non-muslim diberi kebebasan menyebarkan ajarannya walaupun bukan dengan metode dakwah, namun dapat kita lihat dengan melihat tayang iklan di TV yang substansinya untuk menyebarkan ajarannya. Begitu juga pada sistem pemerintahan dan kekuasaan pemerintah, yaitu berpengaruh untuk menentukan kemajuan suatu negara, dapat kita lihat banyak orang-orang non-muslim yang menduduki jabatan penting di parlemen. Hanya saja persoalan pemimpin (Presiden) dalam hal ini masih menjadi kontropersi pro dan kontra antara pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju, akan tetapi secara garis besar non-muslim sudah menebarkan sayapnya.

Dari pernyataan tersebut menunjukan bahwa adanya perlindungan terhadap kafir dzimmi di sebabkan mereka telah mengikuti aturan yang dibuat oleh kaum muslim.

       5

 Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, (Jakarta: CSRC, 2007), h. 73 

6


(18)

Hal ini berdasarkan QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9 yang berbunyi:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil."(8)7

Lain halnya versi H.B.Jassin yang mengartikan sebagai berikut:

"sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka itulah orang-orang yang zalim."(9)8

Begitu juga perihal apakah non-muslim boleh atau tidak dijadikan pemimpin. Oleh karenanya Al-Quran memberi solusi dan perintah, yang tertera dalam surat Al-Maidah ayat 57 yaitu yang berbunyi:

       7

 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag, 1971), h. 924 

8


(19)

“ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh beriman.”9

Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang

kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin.10 Dalam hal ini, tentu

saja maksudnya adalah pemimpin publik.11 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa

Al-Maraghy.12 Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim

untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim. Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin-pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka

       9

 H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152  

10

 Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 74 

11

 Muhammad Ali ash-Shabuny, Syafwat at-Tafsir, Beirut: Dar al-Fikr, 1976, h.351 

12


(20)

sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim."13

Terlepas dari itu, pandangan kaum muslim bahwa orang-orang non-muslim tidak dibenarkan untuk menjadi seorang pemimpin adalah berdasarkan ketentuan Al-Quran yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran non-muslim tidak di akui oleh Allah sampai mereka mengikuti ajaran Rosul.

Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 68 :

"katakanlah: Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang kafir itu."14

Penafsiran tersebut tampaknya tidak menjadi masalah pada masa klasik dan pertengahan Islam, karena pada masa itu agama dan kebiasaan menjadi alasan bagi berdirinya sebuah negara. Dalam sejarah awal Islam, hal itu bisa dibuktikan dari upaya Nabi Muhammad yang menciptakan bentuk persaudaraan baru berdasarkan agama (Ukhuwah Islamiyyah) untuk menjadikan persaudaraan berdasarkan darah, meski Nabi juga membentuk negara multietnis dan agama, sebagaimana terlihat dalam piagam Madinah. Dalam konteks sistem negara-bangsa       

13

 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 

14


(21)

dewasa ini, dimana kebangsaan atau kewarganegaraan yang menjadi alasan berdirinya sebuah negara, maka penafsiran seperti diatas adalah problematika, alasannya karena dalam konsep bangsa-negara, semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak di bedakan berdasarkan agama.

Selain itu, penafsiran tersebut juga menjadi masalah dalam konteks hak-hak sipil yang diakui oleh hukum internasional yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama yang dimaksud hukum internasional yang memuat prinsip anti diskriminasi agama. Sebab itulah, beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak memberikan hak kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya hanya menunjukan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi barat yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan

anggota dari mayoritas.15

Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan oleh mantan Presiden RI ke-4 KH.Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak penuh, termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al Maidah ayat 57, di jadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala

       15


(22)

negara. Alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah “auliya” yang berarti teman

atau pelindung. Bukan “umara” yang berarti penguasa.16

Dari semua uraian diatas Penulis berkesimpulan bahwa tedapat perbedaan pendapat terhadap ketentuan boleh atau tidaknya non-muslim menjadi pemimpin, dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah keterangan dari Al-Quran surat Al-Maidah ayat 57, kemudian di pertegas

lagi oleh KH.Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang mempermasalahkan kata “Auliya”. Maka

jelaslah, tokoh syariah modern tidak berpatokan kepada Syariah klasik, berwawasan lebih liberal, dan terkesan lebih luas kebijakan terhadap non-muslim.

Dari statement itu perlu adanya kajian yang lebih lanjut terutama konteks terjemahan pada ayat-ayat non-muslim secara kontemporer sehingga adanya pendalaman terhadap permasalahan ini. Karena pemahaman konteks kalimat sangatlah dibutuhkan untuk memahami suatu kalimat.

Penulis tertarik dengan permasalahan tersebut, sehingga Penulis ingin sekali menganalisa terjemahan konteks dalam ayat non-muslim. Untuk itu, Penulis mencoba melakukan penelitian skripsi dengan judul “ ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B JASSIN BACAAN MULIA; STUDI TERHADAP KONTEKS AYAT-AYAT TENTANG NON-MUSLIM” dengan asumsi teoritis, bahwa studi terhadap konteks kalimat untuk memahami terjemahan ayat non-muslim dalam Al-Quran.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

       16


(23)

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta demi menyamakan persepsi agar kajian yang ditulis tidak melebar pembahasanya, Penulis perlu untuk memberikan batasan dan rumusan masalah yang akan dikaji.

Berkaitan dengan ayat-ayat non-muslim dalam al-Quran, banyak sekali hal yang dapat di kaji. Namun dalam penelitian ini, Penulis hanya akan meneliti yaitu dalam Al-Quran, serta sebagai upaya untuk memahami bagaimana cara H.B. Jassin menerjemahkanm ayat non-muslim tersebut diatas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini terbentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Mencoba menganalisis Ayat-ayat tentang non-muslim.

2. Jika dilihat dari konteks ayat tentang non-muslim apakah terjemahan dalam al-Quran

terjemahan H.B. Jassin bacaan mulia sudah benar atau tidak?

3. Menganalisis kata “Aulia” dalam konteks ayat non-Muslim.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Berdasarkan masalah yang Penulis kemukakan, maka yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terjemahan ayat-ayat non- muslim dalam al-Quran.


(24)

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui ayat-ayat tentang non-muslim

b. Untuk mengetahui terjemahan Al-Quran oleh H.B. Jassin Bacaan Mulia

c. Untuk mengetahui analisis kata “Aulia” tentang ayat-ayat non-muslim.

D. Metodologi Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang di teliti, kemudian mendeskriptifkan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas yang ada. Di samping itu juga Penulis akan menganalisa dan memberikan perincian terhadap masalah yang akan diteliti dengan cara memilah-milah antara satu pengertian dengan pengertian yang lain, untuk memperoleh kejelasan masalah yang akan diteliti. Adapun pencarian data yang dilakukan adalah dengan langkah-langkah membaca dan mengkaji karya H.B.Yassin Bacaan Mulia pada bukunya Syariah Islam dan Ham; dampak perda syariah terhadap kebebasan sipil,

hak-hak perempuan, dan non-muslim sebagai bahan pokok (Main Responses) serta dengan buku

lainya yang berkaitan dengan ayat non-muslim sebagai pelengkap (Secondary Responses).

Kajian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Reseach), data-data yang

dikumpulkan dari sumber-sumber kepustakaan berupa buku-buku. Untuk menghindari penulisan

yang keliru maka dalam teknis penulisan, Penulis sepenuhnya berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) tahun 2007 yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(25)

Untuk memudahkan dalam pembahasan, sistematika penulisan skripsi ini Penulis susun dalam lima bab, yaitu:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian yang terdiri dari tujuan Umum dan Khusus, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian.

Bab kedua berbicara seputar kerangka teori penerjemahan dan seputar tentang Al-Quran yang meliputi: wawasan penerjemahan terdiri dari definisi penerjemahan, Metode-metode penerjemahan, Proses Penerjemahan, dan Syarat-syarat Penerjemahan. Wawasan penerjemahan Al-Quran mencakup definisi penerjemahan Al-Quran, Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an, Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an dan Cara Menerjemahkan Al-Qur’an

Bab ketiga menjelaskan tentang biografi H.B.Jassin, meliputi: Riwayat hidup, Pendidikan, Karir, Profesi dan Prestasi, serta karya-karya H.B. Jassin.

Bab keempat difokuskan pada Analisis Terjemahan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan Mulia; studi terhadap konteks ayat tentang non-Muslim

Bab kelima yaitu bab penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dari pembahasan proposal skripsi ini.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI PENERJEMAHAN

A. GAMBARAN UMUM PENERJEMAHAN

Secara etimologis istilah terjemah itu diambil dari bahasa Arab, Tarjamah. Menurut Didawi,

bahasa Arab sendiri memungut kata tersebut dari bahasa Armenia, tarjuman. Kata turjuman

sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu

bahasa ke bahasa yang lain.1 Memasuki dunia penerjemahan sama artinya dengan mengenal

sesuatu yang unik atau menarik. Unik karena sampai saat ini peminat terjemah masih bisa dikatakan sedikit. Dalam menerjemahkan d butuhkan kerja keras, teliti dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang maksimal karena yang dihadapi adalah naskah berbahasa asing. Menariknya, akan banyak hal-hal baru yang ditemui untuk menambah wawasan serta informasi. Lewat terjemahan, segala sesuatu yang tadinya belum dikenal dan tersingkap bisa segera terungkap jelas. Menerjemahkan sebagai suatu proses akan membedah misteri tersebut guna diambil manfaatnya oleh setiap individu, masyarakat dan bangsa.

Berbicara tentang penerjemahan ada baiknya dimulai dari perumusan penerjemahan itu. Sekilas translation dengan interpretation terlihat sama, nyatanya keduanya sangat berbeda. Biasanya translation mengacu pada peralihan pesan tertulis. Sedangkan interpretation mengacu pada pesan lisan saja. Kata penerjemahan dengan terjemahan pun perlu juga dibedakan. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan.

      

1

Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia , (Bandung: Humaniora, 2005), h. 7. 


(27)

1. Definisi Penerjemahan

Dalam pengertian yang luas, Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) kedalam bahasa lain (sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai sistem penulisan yang telah baku ataupun belum, baik salah atau keduanya didasarkan pada

isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu.2 Seorang teknisi yang sedang memesan

instrumen tertentu seperti apa yang tertera di dalam skema pemasangannya adalah salah satu contoh kegiatan atau proses penerjemahan. Salah seorang yang sedang merumuskan gagasan-gagasan yang ada dalam benaknya ke dalam bahasa matematika merupakan contoh terjemah. Jadi kegiatan terjemahan dalam pengertian yang luas. Adalah semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal, dari satu bentuk ke dalam bentuk yang lainnya.

Sedangkan dalam pengertian yang lebih sempit, terjemah (translation) biasa diartikan

sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat didalam teks bahasa pertama atau bahasa

sumber (source language) dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran

(target languge).3

Penerjemahan merupakan suatu tindakan komunikasi. Sebagai tindakan komunikasi kegiatan tersebut tidak terlepas dari bahasa. Dengan demikian, penerjemahan merupakan

       2

Zuchridin Suryanwinata dan Sugeng Hariyanto, Translation Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, (Jakarta: Kanisius, tth), h. 13 

3

Suhendra Yusuf, Teori Terjemahan, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju,1994), cet.ke-1.h.8 


(28)

kegiatan yang melibatkan bahasa, dan dalam pembahasannya tidak dapat mengabaikan

pemahaman tentang konsep-konsep kebahasaan itu sendiri.4

Mengalihkan bahasa atau menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, dilakukan untuk mengetahui makna yang digunakan oleh bahasa sumber secara tepat agar isinya mendekati asli dan ketika membaca seperti bukan hasil

penerjemahan dan dapat dipahami oleh pembaca.5

2. Metode Penerjemahan

Metode penerjemahan adalah teknik yang digunakan oleh seorang penerjemah saat hendak memutuskan menerjemahkan suatu Tsu. Banyak metode penejemahan yang dikembangkan oleh para ahli. Namun, diantara metode yang ada, metode yang ditawarkan Newmark (1988) dinilai

sebagai paling lengkap dan menandai.6 Menurut Newmark, dalam bukunya A Textbook of

Translation, membagi metode penerjemahan ke dalam dua keompok besar, yaitu (1) metode penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sumber; (2) metode penerjemahan yang

berorientasi kepada bahasa sasaran.7 Adapun Nababan, membagi metode penerjemahan dalam

sepuluh jenis.8 Lain halnya dengan Brislin, ia mengklasifikasikan metode penerjemahan ke

dalam empat jenis.9

      

4

Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, (Jakarta: Gramedia,2002), h. 17 

5

E. Sadtono, Pedoman Penerjemahan, (Jakarta: Depdikbud, 1985),Cet. Ke-1,h.9  6

Moch. Syarif Hidayaullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Aran-Indonesia,(Tagerang: Dikara, 2009), Cet.III,h.31 

7

P.Newmark, A Textbook of Translation (UK: Prentice Hall International,1988), h.45-47.  

8 Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet ke-1, h. 30-34  9 R.W. Brislin, Translation: Application and Research (New York: Garden Press Inc, 1976), h.3-4. 


(29)

Berikut ini Penulis akan paparkan beberapa Metode Penerjemahan dari para ahli teori terjemah yang sering digunakan dan dijadikan rujukan oleh para penerjemah dan pencinta terjemahan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Penerjemahan Kata Demi Kata (Word for Word Translation)

Metode penerjemahan ini pada dasarnya kata-kata bahasa sasaran diposisikan di bawah versi bahasa sumber. Kata-kata bahasa sumber diterjemahkan diluar konteks dan sangat terkait dalam tatanan kata. Penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah susunan kata bahasa sasaran. Dengan kata lain, penerjemahannya apa

adanya.10

Contoh:

مﺎ

ﻻو

ﻻو

ﻻو

ةﺮ

ﷲا

Terjemahannya: Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya Bahi:rah, Sa’bah, Wasilah

dan Ham.11

b. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Kategori ini melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber,

seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya.12 Akibat yang sering

muncul dari terjemah kategori ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena

penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Hasilnya dapat dengan mudah dibayangkan,

       10

 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Perjemahan, h.14 

11

Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15 

12


(30)

yakni bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk di baca

penutur bahasa sasaran (bahasa Indonesia).13

Contoh:

ﻂ ا

آ

ﺎﻬﻄ

ﻻو

ﻰ ٍا

ﺔ ﻮ ﻐ

كﺪ

ﻻو

Terjemahannya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggur pada lehermu dan

janganlah kamu mengulurkannya....

c. Penerjemahan Setia (Faithful translation)

Penerjemahan setia adalah memproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya dan kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan, berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak kaku dan terasa asing, tidak berkompromi dengan kaidah

Tsa.14

Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah memproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialih bahasakan, tetapi menyimpang dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Ia berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak baku dan terasa asing. Ia tidak berkompromi dengan kaidah Tsa. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal pengalihan.

Contoh:

ﻜ ﺎ ا

ﺬ ا

ﻜ ﺬ

      

13

Ibnu Burdah,Menjadi Penerjemah:Metode dan Wawasan menerjemah teks arab, (Yogyakarta: Tiara kencana, 2004), h.16. 

14


(31)

Terjemahannya: Hendaklah diminta izin kepadamu oleh orang yang dimiliki oleh tangan-tanganmu.

d. Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)

Dibandingkan dengan penerjemahan harfiah, penerjemahan semantis lebih lentur. Karena penerjemahan semantis dapat dikompromikan dengan struktur gramatikal bahasa sasaran. Selain itu, penerjemahan semantis masih mempertimbangkan unsur-unsur bahasa sumber selama masih

dalam batas kewajaran.15

Contoh:

ا

مﺎ ا

ﻬ ﻮ ا

اذ

ار

Diterjemahkan: Aku lihat si muka dua di depan kelas.

e. Penerjemahan Adaptasi (Adaptation Translation)

Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan bahasa sasaran. Biasanya metode ini di pakai dalam menerjemahkan drama atau puisi, yaitu yang mempertahankan tema, karakter dan alur. Ini berarti bahwa unsur budaya dalam teks sumber

disulih (substituted) dengan unsur budaya pembaca TSa. .16

contoh :

ﺮﻬ ا

ﻰ ﺎ

ﺎ ا

مﺪ

ﻮﻄ

ةﺪ

ﺷﺎ

       15

 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.16  16

Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h.64. 24 Moch Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h.4 


(32)

Terjemahannya : Dia hidup jauh dari jangkauan, diatas gemericik air sungai yang terdengar jernih .17

f. Penerjemahan Bebas (Free Translation)

Metode penerjemahan bebas lebih mengutamakan isi dengan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber. Terjemahan bebas, pada umumnya lebih diterima, ketimbang terjemahan harfiah, karena dalam terjemahan bebas biasanya tidak terjadi penyimpangan makna maupun pelanggaran norma-norma BSu. Kekurangan teknik penerjemahan bebas ialah bahwa yang disampaikan oleh terjemahan bebas ke dalam teks BSu bukan padanan makna teks BSa, tapi

gambaran situasi yang menghasilkan perolehan padanan situasi. 18

Contoh :

ﺎ ا

ﺔ ﺎ

ﺪ ﺪ ا

ﻪ ﻮ ا

Terjemahannya: Pembaruan wilayah pemerintahan Ibukota Baru’ (lama) Jerman-Berlin19.

g. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

Metode ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks Bsu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak di dapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Beberapa pakar penerjemahan kaliber dunia seperti Seleskovitch menyukai metode penerjemahan ini, yang dianggapnya “hidup” dan

“alami” (dalam arti akrab). 20

        

18

Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation the New Millenium Publication (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h.52-53 

19

 Moch.Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, (Jakarta:2007), h.16 

20


(33)

Contoh :

موﺪ ﻻ

ماﺮ ا

لﺎ ا

Terjemahannya : Harta haram tak akan bertahan lama 21

h. Penerjemahan Komunikatif

Metode ini mengupayakan mereproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik dari aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu versi Tsa-nya pun langsung berterima. Sesuai dengan namamya metode ini

memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan.22

Metode ini adalah yang banyak digunakan dalam penerjemahan. Dalam metode ini yang di pentingkan adalah penyampaian pesannya, sedangkan terjemahannya sendiri lebih diarahkan

pada bentuk yang berterima dan wajar dalam Bsa. 23

Contoh :

ٍﺎ

باﺮ

آ

ﺔﻐﻀ

Terjemahannya : Maka ketahuilah sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah

kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging.24

3. Proses Penerjemahan

Orang yang berusaha memperoleh pengetahuan mengenai penerjemahan paling tidak

harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Proses Penerjemahan. Soemarno mengatakan

      

21

Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.16 

22

Rochayah, Pedoman bagi Penerjemah, h. 54. 

23

Moch Syarif, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5. 

24


(34)

bahwa proses penerjemahan ialah langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah

pada waktu dia melakukan penerjemahan.25 Menerjemahkan bukan hanya sekedar menyadur,

dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut disampaikan oleh Harimurti Kridalaksana). Selain memahami definisi penerjemahan, seorang penerjemah hendaknya mengetahui pula

proses penerjemahan. 26

Menurut Larson, ketika menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah penerjemahan idiomatik untuk mengkomunikasikan setiap makna dari teks bahasa sumber ke dalam bentuk yang natural dari bahasa sasaran. Larson menambahkan, bahwa penerjemahan berfokus pada pembelajaran leksikal, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber yang dianalisa untuk menentukan maknanya. Pencarian makna ini kemudian disampaikan kembali secara leksikal dan struktur gramatikal yang sesuai dengan

bahasa sasaran beserta konteks budayanya.27

Bentuk dari teks yang akan diterjemahkan dan hasil penerjemahan ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda antara bujur sangkar dan segi tiga. Bentuk itu menggambarkan bahwa dalam penerjemahan teks, bentuk dari bahasa sumber dapat berubah ke dalam bentuk yang sesuai

dengan bahasa sasaran untuk mencapai penerjemahan idiomatik.28

       25

 Soemarno, Harimurti Kridalaksana, (Jakarta: 1997). h. 13 

26

 Widyamartaya, h. 14 

27

 Moch Syarif , Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h.15  28

Hafidah Fitri Ariyani, “Pergeseran makna dalam naskah film berbagi suami karya Nia Dinata” (proposal penelitian fakultas bahasa dan seni, universitas negeri Yogyakarta, 2007), h. 11-12.  


(35)

Adapun salah satu Proses Penerjemahan yang sering dianut oleh banyak teoritisi

penerjemahan adalah Proses Penerjemahan karya Nida (1975: 80).29

Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu ialah

a. Analisis

b. Pengalihan (Transfer)

c. Penyelarasan (Restructuring)30

1) Syarat-syarat penerjemah

Untuk menjadi penerjemah yang baik, seseorang harus membekali diri dengan syarat-syarat berikut:

a. Penerjemah harus menguasai Bsu dan Bsa

Penguasaan Bsu dan Bsa dimulai dari pembendaharaan kosakata, pola pembentukan kata, aspek pemaknaan pada masing-masing bahasa. Penerjemah yang hanya mengandalkan kemampuannya dalam Bsu, tanpa mendalami Bsa, akan menghasilkan terjemahan yang terasa asing.

b. Penerjemah harus memahami dengan baik isi teks yang akan diterjemahkan

Isi teks yang akan diterjemahkan terkait pokok pikiran yang hendak disampaikan dalam Tsu. Ini dikaitkan dengan penguasaan penerjemah dalam menyelami apa yang hendak disampaikan oleh penulis Tsu.

      

29

Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah, h. 5 

30


(36)

c. Penerjemah harus mampu mengalihkan ide atau pesan yang terdapat pada Bsu.

Setelah memahami isi teks yang akan diterjemahkan, penerjemah yang baik harus mampu mengalihkan ide dan pesan yang berhasil ditangkapnya. Keakuratan ide dan pesan yang berhasil ditangkap oleh penerjemah, sangat tergantung pada pemahaman dan kepekaan penerjemah saat menyelami Tsu.

d. Penerjemah harus terbiasa teliti dan cermat.

Seorang penerjemah tidak boleh ceroboh, karena ia bertanggung jawab secara ilmiah dan moral pada penulisan Tsu agar menyampaikan ide dan pesan penulis dengan sebenar-benarnya.

e. Penerjemah harus mempunyai pengalaman dalam menafsirkan sesuatu.

Ini berarti seorang penerjemah dituntut untuk memiliki kemampuan menganalogikan dan menganalisis suatu kasus.

f. Penerjemah harus terbiasa berkonsultasi dengan penasehat ahli.

Untuk memastikan pemahaman dan pengalihan pesan Tsu, seorang penerjemah harus terbiasa mendiskusikan kasus-kasus yang dihadapi dan bertukar teknik baik dalam memahami maupun dalam menerjemahkan Tsu.

g. penerjemah harus yang benar-benar orang yang menguasai topik yang hendak

diterjemahkan.

Seorang penerjemah yang baik tidak dibenarkan menerjemahkan topik yang tidak dikuasai, apalagi bila hasil terjemahanya disebarluaskan untuk khalayak pembaca.


(37)

Ini bagian yang membutuhkan proses dan latihan yang tak kenal lelah. Karena, hal ini terkait dengan penerjemah dalam mengalihkan Tsu, yang lebih sering berbeda struktur dengan Tsa.

i. Penerjemah harus mengetahui dengan baik karakteristik sang penulis.

Pada titik tertentu, seorang penerjemah harus memahami benar mana yang merupakan bagian dari gaya bahasa penulis dan mana yang bukan. Ini penting agar penerjemah mengerti

mana aspek dari Tsu yang harus dipertahankan dan mana yang tidak harus dipertahankan.31

Terkait dengan penerjemahan penulis juga akan memaparkan sedikit sekilas tentang al-qur’an, yaitu sebagai berikut:

B. GAMBARAN TENTANG AL-QUR’AN

1. Penerjemahan Al-Qur’an

Secara harfiah, terjemah berarti memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke

bahasa lain atau mengalih bahasakan. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa atau alih

bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.32

Muhammad Ali Ash-Shobuni menyatakan bahwa menerjemahkan al-Qur’an berarti

menukilkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain selain bahasa arab.33

Seorang pakar ulama Al-Qur’an dari universitas Al-Azhar Mesir, Muhammad Husayn Al-Dzahabi memberikan definisi tersendiri mengenai penerjemahan Al-Qur’an. Pertama,       

31

Moch Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah,(Jakarta:2007), h.15-16 

32

Departemen Pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997),h.1047  33

Muhammad Ali Ash-Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Terjemahan Muhammad Qodiru Nur (Jakarta:Pustaka Amani, 1988), h.285 


(38)

mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua, menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung didalamnya dengan menggunakan

bahasa lain.34 Dari definisi tersebut, dapat di simpulkan bahwa terjemah adalah menyalin atau

mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain, agar inti pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan dapat dipahami oleh orang awam atau orang-orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.

2. Pengertian Al-Qur’an

Para ulama tafsir al-Qur'an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa

(lughowi atau etimologis) bahwa kata Al-Qur'an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Makna ini bisa dipadukan menjadi satu,

menjadi “al-Qur'an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”.

Sedangkan makna al-Qur'an secara ishtilaahi ialah “Firman Allah SWT yang menjadi mukjizat

abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, di turunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar” Dari definisi di atas terdapat lima bagian penting:

• Al-Qur'an adalah firman Allah SWT serta wahyu yang datang dari Allah Yang Maha

Mulia dan Maha Agung. Maka firman-Nya (al-Qur'an) pun menjadi mulia dan agung juga, yang harus diperlakukan dengan layak, pantas, dimuliakan dan dihormati.

• Al-Qur'an adalah mu’jizat. Manusia tak akan sanggup membuat yang senilai dengan

al-Qur'an, baik satu mushaf maupun hanya satu ayat.       

34


(39)

• Al-Qur'an itu diturunkan ke dalam hati Nabi SAW melalui malaikat Jibril AS (QS 26:192). Hikmahnya kepada kita adalah hendaknya al-Qur'an masuk ke dalam hati kita. Perubahan perilaku manusia sangat ditentukan oleh hatinya. Jika hati terisi dengan al-Qur'an, maka al-Qur'an akan mendorong kita untuk menerapkannya dan memasyarakatkannya. Hal tersebut terjadi pada diri Rasululullah SAW, ketika al-Qur'an diturunkan kepada beliau. Ketika A’isyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, beliau

menjawab: Kaana khuluquhul qur’an; akhlak Nabi adalah al-Qur'an.

• Al-Qur'an disampaikan secara mutawatir. Al-Qur'an dihafalkan dan ditulis oleh banyak

sahabat. Secara turun temurun al-Qur'an itu diajarkan kepada generasi berikutnya, dari orang banyak ke orang banyak. Dengan cara seperti itu, keaslian al-Qur'an terpelihara, sebagai wujud jaminan Allah terhadap keabadian al-Qur'an. (QS 15:9).

• Membaca al-Qur'an bernilai ibadah, berpahala besar di sisi Allah SWT. Nabi bersabda:

“Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, laam satu huruf, miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali lipat” (al-Hadist). 35

Dari pengertian diatas bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang didalamnya terdapat banyak sekali terdapat ilmu pengetahuan. Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa arab dengan bahasa yang indah. Namun, itu semua hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Sebab adanya perbedaan bahasapun sangat mempengaruhi. Telah kita ketahui Al-Qur’an menggunakan bahasa arab sedangkan kita menggunakan bahasa indonesia. Inilah salah satu faktor yang membut kebanyakan orang menjadi sulit mengerti apalagi memahami isi kandungan dalam Al-Qur’an.

      

35


(40)

Padahal, pada saat yang bersamaan, Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk atau hidayah yang harus dipahami dengan baik dan benar oleh seluruh umat muslim. Dari permasalahan diatas terlihat jelas bahwa harus ada yang dapat menghubungkannya. Disinilah betapa pentingnya penerjemahan Al-Qur’an. Para alim ulama dan cendikiawan selalu berusaha menerjemahkan serta menafsirkan Al-Qur’an. Karena menerjemahkan Al-Qur’an tidak semudah menerjemahkan teks selainnya. Penerjemahpun bukan sembarang orang dan harus memiliki kriteria khusus seperti yang disebutkan pada syarat penerjemah.

Selain syarat yang disebutkan diatas, penerjemahpun sebaiknya memiliki keterampilan dan kompetensi dalam berkomunikasi secara verbal. Penerjemah juga harus menghargai naskah aslinya, dengan tujuan jika ingin menyingkatnya, maka pesan inti tidak terlewatkan. Itulah sebabnya seorang penerjemah harus dapat membedakan mana pesan inti dan mana yang bukan pesan inti.

3. Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur’an

Kegiatan menerjemah, lebih-lebih menejemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa asing, bukan merupakan perbuatan yang mudah yang dapat dilakukan oleh sembarang orang.

Kegiatan menerjemah merupakan pekerjaan berat meskipun tidak berarti mustahil dilakukan seorang, terutama oleh mereka yang berbakat dan berminat untuk menjadi mutarjim. Karena untuk dapat penerjemah dengan baik, seseorang penerjemah tidak hanya menguasai bahasanya saja, tetapi harus mengetahui materinya juga. Lain halnya dengan seorang penerjemah yang handal dan profesional yang tidak mengalami kesulitan baik dalam menerjemahkan buku, novel, cerven, puisi, syair dan kitab suci Al-Qur’an.


(41)

Untuk dapat menerjemahkan sesuai dengan maksud tulisan, terlebih lagi menerjemahkan Al-Qur’an, mutarjim harus memenuhi beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat seperti yang diungkapkan Al-Dzahabi sebagai berikut:

a. Mutarjim Al-Qur’an pada dasarnya harus memiliki persyaratan yang dikenakan pada

mufassir seperti i’tikad baik, niat yang tulus, serta menguasai ilmu-ilmu seperti ilmu kalam, fikih usul fikih ,ilmu akhlak, dan lain-lain. Dengan persyaratn ini, seorang penerjemah Al-Qur’an diharapkan terhindar dari kekeliruan dalam menerjemahkan.

b. Mutarjim Al-Qur’an harus memiliki akidah islamiyah yang kuat dan lurus. Karena orang

yang tidak dibolehkan untuk menerjemahkan dan atau menafsirkan Al-Qur’an, sebab tidak sejalan dengan tujuan ulama dari turunnya Al-Qur’an itu sendiri yaitu sebagai kitab petunjuk.

c. Sebelum menerjemahkan Al-Qur’an, penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat

Al-Qur’an itu sendiri yang hendak di terjemahkan, kemudian di terjemahkan dan atau di tafsirkan sekaligus. Selain dimaksudkan untuk memudahkan pembaca mengecek makna yang sesungguhnya manakala terdapat terjemahan Al-Qur’an yang di ragukan kebenarannya, terutama dalam rangka mempertahankan otensitas teks Al-Qur’an itu sendiri.

d. Mutarjim juga harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni bahasa

asal yang diterjemahkan dan bahasa terjemahan. Dalam konteks ini, bahasa Al-Qur’an dan bahasa terjemahan itu sendiri yaitu bahasa Indonesia. Jadi, mutarjim Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia seperti, tidak hanya dituntut untuk menguasai derngan baik bahasa Arab


(42)

Al-Qur’an yang diterjemahkan, tetapi juga harus memahami dalam menggunakan bahasa

Indonesia dengan baik dan benar.36

Ian Finlay seperti yang dikutip Suhendra Yusuf memaparkan beberapa kriteria penerjemah antara lain:

• Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-to date

• Memahami materi yang akan diterjemahkan

• Mengetahui terminologi-terminologi padanan terjemahnya di dalam bahasa sasaran.

• Berkemampuan mengekspresikan dan mengapresiasikan serta merakan gaya, irama,

nuaasa serta register kedua bahasa yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran.

4. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur’an

Secara umum penerjemahan Al-Qur’an dibagi menjadi 2 macam yaitu: terjemahan harfiyah dan tafsiriyah adalah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, tergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan ini identik dengan terjemahan laterlek atau terjemahan lurus, yaitu terjemahan yang dilakukan kata demi kata. Muhammad Husayn Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiyah ini dalam dua bagian, antara lain:

a. Terjemah harfiyah bi al-mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat

dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.

      

36


(43)

b. Terjemahan harfiyah bighairi al-mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan tadi, hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang

akan di terjemahkan.37

Sedangkan terjemahan tafsiriyah atau lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah adalah terjemahan yang dilakukan penerjemah (mutarjim) dengan lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa asal di terjemahkan. Terjemahan ini tidak terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan atau biasa disebut dengan

penerjemahan bebas.38

5. Cara Menerjemahkan Al-Qur’an

Cara menerjemahkan Al-Qur’an tentu sangat berbeda dengan menerjemahkan teks biasa. Seorang penerjemah Al-Qur’an harus memulai dengan beberapa tahapan. Seperti yang diungkapkan H. Datuk Tombak Alam dalam bukunya burjudul Metode Menerjemahkan Al-Qur’an Al-Karim 100 kali Pandai, beliau memberikan beberapa proses yang harus ditempuh seorang mutarjim Al-Qur’an. Adapun tahapannya sebagai berikut

Pertama, yaitu menerjemahkan secara harfiyah dan menurut susunan bahasa Arab yang sudah tentu tidak cocok dengan susunan bahasa Indonesia yang baik. Hal ini dilakukan pada tahap pertama agar dalam penerjemahan dapat mengenal kedudukan dan hukum kata itu.

Kedua, membuang kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an kedalam terjemahan.

      

37

Muhammad Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirin, h.24 

38


(44)

       

Ketiga, yaitu menggeser atau menyusun kalimatnya dalam terjemah untuk mencapai bahasa Indonesia yang baik, yaitu di awal digeser ke belakang dan yang akhir diletakkan ke muka sesuai dengan susunan kalimat dalam bahasa Indonesia (S,P,O,K). Tahap ini boleh dipergunakan jika diperlukan, akan tetapi jika seorang penerjemah ingin dikatakan hasil terjemahannya itu baik,

maka tahap ini haus dipenuhi.39

 

39

Sei H.Datuk Tombak Alam, Metode Menerjemahkan Al-Qur’an Al-Karim 100 kali pandai, (jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.19 


(45)

BAB III

BIOGRAFI H.B. JASSIN

A. Riwayat hidup singkat H.B. Jassin

Beliau lahir di sebuah desa di Gorontalo, Sulawesi Utara pada tanggal 31 juli 1917 dan meninggal di Jakarta 11 Maret 2000. Nama lengkapnya adalah Hans Bague Mantu Jassin, namun nama yang biasa digunakan hanya Hans Begue Jassin. Hans adalah nama kedua orang tuanya. Sedangkan Begue diambil dari nama sang ayah. Guru-guru dan teman sekelasnya di sekolah

biasa memanggilnya dengan sebutan Han’s.1

Sewaktu masih tinggal di Gorontalo, beliau dipanggil dengan sebutan Jamadi. Sifat Jassin hampir sama dengan Bung Karno dan Buang Hatta. Ia tidak suka menulis title didepan namanya. Ia cukup menaruh nama aslinya saja yaitu H.B. Jassin dan kependekannya H.B.J.

Dalam dunia sastra, Hans Bague Jassin atau yang dikenal dengan H. B. Jassin, mendapat predikat paus Sastra Indonesia dan dia mempunyai posisi yang istimewa. Bagai kritikus sastra, karya-karya Jassin menjadi acuan kalangan sastrawan dan peminat sastra di Indonesia. Selama puluhan tahun, kehadiran putra gorontalo ini telah member warna dalam kesusastraan Indonesia.

Ia juga disebut sebagai wali penjaga sastra Indonesia yang sesungguhnya.2

Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin, pegawai BPM (Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di Balikpapan, sehingga kota itu meninggalkan kenang-kenang yang manis baginya. Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya. Dikota Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para calon seniman, diantaranya       

1

 Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta: PT. Jambatan, 1990), edisi baru, h. 73-75 

2

H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, (Jakarta: Harian Media Indonesia, 2003), h. 20 


(46)

Chairil Anwar. Dalam perjalanannya pulang ke Gorontalo tahun 1939, ia mampir untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta. Takdir sangat terkesan dengan Jassin dan mengirim surat ke Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya surat itu berlayar bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan orang tuanya, ia bekerja di kantor Asisten Residen Gorontalo antara bulan Agustus sampai Desember 1939, Sebagai tenaga

magang.3

B. Pendidikan

HIS, Balikpapan (1932)

MULO

HBS Medan (1939)

Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1957)

Pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959)

Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975)

Menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman4

A. Karir H.B. Jassin

Pada bulan Agustus 1939 Volontair dikantor Asisten Residen Gorontalo, kemudian Pada bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana. Pada bulan Februari 1940 sampai tanggal 21 Juli 1947, H.B Jassin mulai       

3

 H.B. Jassin, Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, h. 20 

4

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, 14 Juni 1975. h. 1 


(47)

bekerja di Balai Pustaka. Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang redaksi buku di bawah bimbingan Armin Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi di tahun 1945 sampai dengan 21 Juli 1947. Tanggal 21 Juli

1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka.5

Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus bekerja dalam lingkungan majalah sastra- budaya. Ia menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia ditahun 1947-1966, majalah Zenith ditahun 1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963, majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra ditahun 1961-1964

dan tahun 1967-1969.6

Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983,

      

  5

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 2 

6

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 1 


(48)

anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara

Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991. 7

Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu berlangsung sejak di larangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun 1965.

Dalam dua periode memimpin majalah Sastra, H.B. Jassin mengalami masing-masing satu musibah, cerpen Langit Makin Mendung yang kemudian menyeret H.B. Jassin kedepan pengadilan. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara

dengan masa percobaan dua tahun. 8

Sejak tahun 1940, H.B. Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat

berguna bagi pendokumentasian buku.9

Pada tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki,

jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.10

C. Profesi dan Prestasi

       7

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 2 

8

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h.2 

9

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 2 

10

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h.2 


(49)

Profesi :

Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942).

Penasehat Balai Pustaka (1940-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970), Nusantara (1963-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan Yayasan Idayu (1974-1992).

Redaksi penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran Indonesia(1969-1972).

Redaksi penyusun buku dr. Irene Hilgers-Hesse (editor), Perlenim Reisfeld (1972). Redaksi penyusun Almanak sastra Indonesia I Daftar Pustaka (1972).

Penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1973-1982).11

Prestasi :

Tokoh Pembukuan Nasional(2 Mei 1996)

Penghargaan dari pengurus pusat IKAPI atas jasa-jasanya kepada perbukuan di Indonesia (17 Oktober 2000)12

D. Karya Tulis

Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),

Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei I-IV (1954), Heboh Sastra 1968 (1970),

Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983), Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983),

Surat-Surat 1943-1983 (1984),

Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993),

       11

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h.2 

12

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h.3 


(50)

       

Koran dan Sastra Indonesia (1994),

Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997), Omong-Omong HB. Jassin (1997)13

  13

 Hans Bague Jassin, Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI, Dokumentasi, h. 3 


(51)

BAB IV

ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B. JASSIN BACAAN MULIA; Studi Terhadap Konteks Ayat-ayat tentang Non-Muslim

A. Ayat-ayat tentang non-muslim

Ayat tentang non-muslim tentunya sangat menarik untuk di kupas. Sebab dalam ayat tersebut telah terjadi pro-kontra terhadap penafsirannya. Telah di singgung di awal bahwa sudah terjadi perdebatan antara ulama klasik dan modern terhadap penafsiran tentang ayat non-muslim antara boleh dan tidak membolehkan seorang non-muslim menjadi pemimpin.

Sebut saja Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama ternama asal Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi non-muslim dalam

konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya at-Ta’ashshub wa

At-Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerja sama, dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, dilihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia, mengatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan. Dalam surat Al-Maidah ayat 57 disebutkan:


(52)

“ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh beriman.”1

Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin. Dalam hal ini, tentu

saja maksudnya adalah pemimpin publik.2 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa

Al-Maraghy. Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim. Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat dan pelindung. Mereka saling melindungi yang satu terhadap yang lain. Dan

      

1

H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152 

2


(53)

barang siapa diantara kamu berpaling kepada mereka, ia pun termasuk golongan mereka. Sungguh, allah tiada memberi bimbingan kepada kaum yang zolim. "3

Dalil penguat terhadap tidak dibolehkannya non-muslim menjadi seorang pemimpin adalah Surat Ali-Imran ayat 28-30:

“(28) Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingati kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”4

      

3

H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h. 151 

4


(54)

29) Katakanlah: “Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu, atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.” Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.5

(30) “Pada hari ketika tiap-tiap dir mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan allah sangat penyayang kepada hamba-hambanya.6

Sedangkan beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak memberikan hak kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya hanya menujnjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi Barat yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari mayoritas.

Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan mantan Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak-penuh,       

5

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 80 

6


(55)

termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al Maidah ayat 57, dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala

negara.7

Resistensi negara-negara muslim terhadap presiden non-muslim sangat mungkin dipengaruhi oleh pemahaman ideologi klasik Islam dalam bidang politik dan pemerintahan yang dalam literatur Sunni klasik disebut konsep negara khilafah seperti yang telah saya sebutkan di atas. Dalam negara khilafah, peran khalifah sebagai pemimpin negara begitu besar, karena khalifah mengatur dua masalah sekaligus yaitu urusan agama dan urusan dunia. Misalnya dalam urusan dunia di bidang politik, kekuasaan khalifah memegang 3 (tiga) fungsi sekaligus yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam urusan agama, khalifah menjadi imam shalat, khatib di khutbah jum’at, idul fitri maupun idul adha dan menjadi pemimpin rombongan haji. Ini berarti peran khalifah begitu sentralistik, ini membuat rakyat yang dikuasainya begitu

tergantung olehnya karena mengurusi dua hal sekaligus yaitu agama dan dunia.8 Berdasarkan

pemahaman ini, corak kepemimpinan yang terbentuk adalah individual yang mengharuskan kepala negara di mayoritas muslim itu juga cukup dan menguasai seluk beluk ajaran agama

(islam). Sesuatu yang tidak mudah dipenuhi oleh para pemimpin non-muslim.9

Di samping itu, sikap mayoritas muslim di negara muslim tersebut yang masih tidak lepas

(baca : taqlid) dari pemikiran para “juris” Islam klasik yang membuat konsep politik Islam

begitu rigid, tertutup, terlebih lagi anti pluralistik sehingga konsekuensinya membatasi hak

      

7

Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, h. 72 

8

http:www.//multiply.com/journal/item/67.diakses pada tanggal 23 April 2010 

9


(56)

politik non-muslim termasuk menjadi Presiden. Asumsi masyarakat islam dalam benak para pemikir politik Islam itu adalah masyarakat homogen, yang menjadikan non-muslim warga kelas dua, dengan relasi sosial searah bukan “resiprokal” atau “timbal-balik” dan dibalut dalam bingkai konflik, bukan dalam bingkai persamaan dan kesetaraan.

Pendapat yang pasti kenapa presiden non-muslim tidak dibolehkanya adalah dari penyalahgunaan tafsir tentang Al-Qur’an dan As-sunnah, sehingga sebagian besar muslim baik klasik maupun kontemporer “mengunci” ayat-ayat Al-Qur’an yang secara jelas melarang non-

muslim sebagai pemimpin sebagai sebuah hal permanen, tidak dipengaruhi dinamika sejarah (

a-historis) dan steril dari konteks. Sebut saja misalnya :

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan

meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S Ali Imran : 28)10

Dari penafsiran ayat di atas diketahui bahwa kata “Wali” jamaknya auliyaa berarti teman yang

akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.

      

10


(57)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S Al Maa-idah : 51)11

Masih banyak yang lain, dengan redaksinya hampir sama yaitu larangan menjadikan non-muslim menjadi pemimpin.

Tentu tugas para pemikir Islam liberal untuk “memutus” monopoli tafsir atas Islam yang cenderung ekstrim itu sekaligus “memecah” kebuntuan ijtihad dengan re-interpretasi, desakralisasi ayat-ayat larangan tadi agar sesuai dengan konteks dan spirit zaman. Menurut Abdullahi Ahmad Naim pemikir Islam asal Sudan, ayat-ayat larangan ini konteks turunnya adalah “Madaniyah”, ketika perang antara muslim dengan non-muslim sedang bergejolak, sehingga “spirit” yang diusungnya beraura diskriminatif bahkan bernada benci. Dalam sosiologi hukum dikatakan bahwa hukum merupakan dinamika sosial-kultural-politik, yang keberadaanya harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat kontekstual. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat kontemporer di mana Hak Azasi Manusia (HAM) sudah diterima di seluruh negera-negara dunia, berkembangnya prinsip multikulturalisme serta demokrasi, maka segala produk       

11


(58)

hukum yang mencantumkan diskriminasi terhadap minoritas harus tertolak baik secara moral maupun praksis.

Sebagai gantinya, perlu dikembangkan spirit “ayat-ayat Makkiyah” yang menekankan persamaan universal di antara sesama manusia, dan perlu juga di tekankan perihal ayat-ayat yang menyuruh menegakkan keadilan kepada sesama manusia, karena merupakan prinsip ajaran Islam yang diterima sebagai sebuah etika universal oleh manusia di seluruh dunia. Allah berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al Hujuraat : 13)12

      

12


(59)

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S Al Mumtahanah: 8)13

Konteks Indonesia

Beruntung dalam konstitusinya Indonesia, pertama : tidak menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama resmi negara, kedua : tidak mencantumkan syarat bahwa presiden RI harus seorang muslim. Ini artinya, jabatan presiden terbuka bagi siapa saja, dengan latar belakang apa pun, asal warga negara Indonesia.

Tetapi dalam kenyataan politik, presiden Indonesia adalah jabatan “ekslusif” yang hanya diduduki oleh orang-orang dengan latar belakang tertentu berdasarkan tradisi, misalnya banyaknya anggapan bahwa presiden Ri harus “orang Jawa”, atau presiden RI harus “orang ex-militer.”

Kesan ini juga begitu kuat terjadi di Amerika Serikat (AS), sulit membayangkan presiden berasal dari “ras kulit hitam”, karena berdasarkan sejarah pemilihan presiden yang sudah lebih dari 100 tahun, tak pernah terpilih presiden AS kulit hitam.

Saat ini, ada kecenderungan menarik dalam masyarakat global yang terus diguyur “modernisasi”, di mana kepercayaan masyarakat akan suatu mitos berangsur mulai terkikis termasuk dalam soal pilihan politik. Di Indonesia mulai muncul “gebrakan” yang mencoba “memecah” stagnasi suksesi politik dengan memunculkan ide-ide yang bertentangan dengan mitos selama ini, misalnya presiden bukan orang Jawa, presiden muda, presiden dari calon       

13


(1)

Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat, bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman bersikap lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab melebihi sesame orang beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama orang yang beriman dengan agama mereka.

Untuk mendekatkan kepada paham kita, bacalah pula tafsir surat al-Mumtahanah ayat 1 yaitu:

⌧ ⌧

Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah, dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke Makkah,


(2)

 

       

membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh mereka bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.

Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan ada yang melindunginya di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di Makkah, seperti sahabat-sahabat Rasulullah saw, yang lain. Dengan mengirim surat itu dia hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri sendiri dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya hukuman berat.

Hathib bin Abi Balta'ah termasuk sahabat besar, namun demikian sekali-sekali orang besar pun bisa terperosok kepada satu langkah yang merugikan negara dengan tidak disadari, karena lebih mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka dalam surat al-Mumtahanah ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman jangan mengambil orang kafir menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang.37

 

37


(3)

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN

Pada skripsi ini menyimpulkan bahwa di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang berkaitan tentang non-muslim diantaranya adalah Surat Al-Mumtahanah: 8-9, Al-Maidah:51,57,68, Ali Imran:28-30, Al-Hujuraat:13. Pada ayat-ayat tersebut menyebutkan indikasi terhadap larangan kaum muslim untuk akrab dengan orang non-muslim serta larangan non-muslim dijadikan seorang pemimpin.

Selanjutnya, terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dalam bukunya Bacaan Mulia Khususnya pada ayat-ayat tentang non-muslim dinilai tidak ada penyimpangan. Sebab jika di bandingkan dengan terjemahan yang lain, terjemahan H.B. Jassin pada intinya memiliki kesamaan makna akan tetapi ia lebih menggunakan kata-kata yang lebih sederhana seperti kata pada umumnya menggunakan kata “pemimpin” akan tetapi H.B. Jassin menggunakan kata “sahabat” dan lain sebagainya.

Permasalahan yang muncul pada konteks ayat-ayat non-muslim adalah terletak pada perbedaan terjemah kata ‘Auliya’. Kata ‘Auliya’ adalah bentuk jamak dari kata ‘wali’. Kata ini makna dasarnya adalah ‘dekat’. Kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata ‘Auliya’.

 

67   


(4)

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali ash-Shabuny, Muhammad,” Syafwat at-Tafsir.” jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1976.

Alam, Sei H. Datuk Tombak, “Metode Menerjemahkan Al-Qur’an Al-Karim 100 kali pandai.” Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Al-Dzahabi, Muhammad Husayn, “Al-Tafsir Wa al-Mufassirin.” tt:tpn,1976 Amal dan panggabean, Politik Syariah. t.t.: t.pt.

Ariyani, Hafidah Fitri, “Pergeseran makna dalam naskah film berbagi suami karya Nia Dinata.” Proposal penelitian fakultas bahasa dan seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2007.

Ash-Shobuni, Muhammad Ali, “Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis.” Terjemahan Muhammad Qodiru Nur, Jakarta: Pustaka Amani, 1988.

Bakri, H. Oemar, “Polemik Terjemahan Al-Qur’anul karim Bacaan Mulia H.B. Jassin.” Jakarta, t.t.

Brislin, R.W., “Translation: Application and Research.” New York: Garden Press Inc, 1976. Burdah, Ibnu, “Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan menerjemah teks arab.”

Yogyakarta: Tiara kencana, 2004.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Hanafi, Nurachman, “Teori dan Seni Menerjemahkan.” Ende Flores-NTT: Nusa Indah, 1986. Hidayatullah, Moch Syarif, “Diktat Teori dan Permasalahan Terjemah.” Jakarta: t.pt. 2007. Hidayaullah, Moch. Syarif, “Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Aran-Indonesia.”

Cet.III, Tangerang: Dikara,2009.

Hoed, Benny Hoedoro, “Penerjemahan dan Kebudayaan.” Jakarta: Pustaka Jaya, 2006. Jassin, H.B, “Bacaan Mulia.”, Djambatan, 1991.

Jassin, Hans Bague, “Riwayat Hidup dan Daftar Karya Promovendus Doctor Honoris Causa UI.” Dokumentasi, 14 Juni 1975.


(5)

Kamil, Sukron,dkk, “Syariah Islam dan HAM.” Jakarta: CSRC, 2007.

Kridalaksana, Harimurti, “Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa.” Flores: Nusa Indah, 1985. Larson, Mildred L., “Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan

Antarbahasa.” Terjemahan Kencana wati Taniran, Jakarta: Arcan.1991. Machali, Rochayah, “Pedoman bagi Penerjemah.” Jakarta: Gramedia,2002.

Moentaha, Salihen, “Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation the New Millenium Publication.” Jakarta: Kesaint Blanc, 2006.

Nababan, Rudolf, “Teori Menerjemah Bahasa Inggris.” cet ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Newmark, P., “A Textbook of Translation.” UK: Prentice Hall International, 1988.

Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, “H.B.Jassin Bahaia Terjemahannya Dibaca Orang,” Artikel, Jakarta, t.t.

Pusat Dokumen Sastra H.B.Jassin, “H.B.Jassin, Dimana Mulanya Puisi Qur’an.” Artikel, Jakarta, t.t.

Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, “H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia.” Artikel, Jakarta, 2006.

Sadtono, E., “Pedoman Penerjemahan.” Jakarta: Depdikbud, 1985, Cet. Ke-1

Shihab, M. Quraish, “Tafsir Al-Misbah;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran .” Ciputat: Lentera Hati, 2001.

Suadi Putro, Muhammad Arkoun, “Islam dan Modernitas.” Jakarta: Paramidina, 1998. Suma, Muhammad Amin, “Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (1).” Jakarta: pustaka firdaus, 2000. Suryanwinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto, Translation Bahasa Teori dan Penuntun

Praktis Menerjemahkan, Jakarta: Kanisius, tth

Syihabudin, ”Penerjemahan Arab-Indonesia.” Bandung: Humaniora, 2005.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1971


(6)

 

Yatim, Badri, “Sejarah Peradaban Islam.” Jakarta: Rajawali Pers, 1997.

Yusuf, Suhendra, Teori Terjemahan, “Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik.” Cet.ke-1, Bandung: Mandar Maju, 1994.

http://blog.re.or.id/definisi-alquran.htm. Diakses pada hari rabu tgl. 24 maret 2010.

http:www.//multiply.com/journal/item/67. Diakses pada tanggal 23 April 2010.