Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan merupakan sesuatu kegiatan yang menjadi penting bagi manusia pada abad modern ini yaitu kegiatan yang bukan saja di miliki penerjemah, para guru bahasa, dan para peminat bahasa lainnya, melainkan juga telah memberikan daya tarik bagi para ilmuan lainnya yang menyadari kekuatan bahasa sebagai salah satu media yang dapat memantau kesepakatan perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah banyak buku-buku dan artikel-artikel tentang terjemahan, di tulis para ahli dalam suatu cabang ilmu tertentu dengan pendekatan yang beraneka ragam sesuai dengan di siplin ilmunya masing-masing. 1 Dalam proses menerjemahkan berusaha untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber tanpa merubah maksud dan pesan tersebut. Begitu pula dalam membentuk kalimat ke dalam bahasa sasaran haruslah jelas. 2 Dalam masalah penerjemahan perlu kirannya seorang penerjemah memiliki pengetahuan mengenai tahapan-tahapan penerjemahan, syarat-syarat penerjemahan dan ragam-ragam penerjemahan, guna mayoritas naskah yang diminati untuk dijadikan sasaran, serta pendekatan apa yang sebaiknya di ambil. Secara umum ragam terjemahan terdiri dari tiga macam yaitu: terjemahan kata demi kata, terjemahan harfiyah dan terjemahan bebas. 3 Setelah penerjemah mengenal lebih jauh ragam-ragam penerjemahan akan dapat mengetahui keunggulan dan 1 Suhendra Yusuf,Teori Terjemahan, Pengantar ke arah pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik, Bandung: Mandar Maju, 1994 Cet.ke-1,h.7 2 Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, Ende Flores-NTT:Nusa Indah, 1986, h.24 3 Nurachman ,Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 54-58 1 kekurangan terhadap ragam penerjemahan yang di gunakan. Sehingga penerjemah lebih selektif dalam memilih dan menggunakan ragam penerjemahan yang sesuai dengan tujuan penulis Bsu. Kemampuan menerjamahkan mempunyai peranan yang signifikan untuk menguak apa saja maksud di balik ayat yang masih di anggap abu-abu oleh para ulama klasik dan modern dan terkesan mengandung sebuah misteri yang patut untuk di pecahkan. Oleh karenanya, latar belakang keilmuan seseorang khususnya kemampuan menerjemahkan pada ayat Al-Quran memberikan dampak dan sudut pandang yang berbeda. fakta sejarah mengatakan bahwa Muhammad Al-Ghazali dan Al-Ghanausy ulama ternama asal Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba mengapresiasi non-muslim dalam konteks politik modern. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya at- Ta’ashshub wa At-Tasamuh bin al-Masihiyyah wa al-Islam, masyarakat Islam di bina atas prinsip toleransi, kerja sama dan inklusivitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “ sudah manjadi orang-orang Islam, di lihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan.” Hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak kewajiban kaum muslimin. Sementara itu, Al-Ghanausi, ulama asal Tunisia, mengatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non- muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan umat Islam seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun bukan. 4 Dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahl-Dzimah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan komunitas muslim. Kendati non-muslim dzimi diperbolehkan ibadah sesuai keyakinannya dan di perbolehkan menerapkan hukum keluarganya, mereka tidak boleh 4 Amal dan Panggabean, Politik Syariah, Tt: Tp, Tth, h. 187-188 menda’wahkan ajaran agamanya. Dalam urusan agama, mereka di pimpin oleh masing-masing pemuka agama mereka. Namun, dalam urusan publik, semua jabatan admistratip dan politik haruslah di pegang oleh muslim, mereka tidak bisa menduduki posisi strategis dalam pemerintahan mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota majelis permusyawaratan, mereka tidak punya hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah. 5 Ahl-Dzimah sering kali disebut sebagai kelompok kelas dua dan menurut Muhammad Arkoun, model toleransi seperti itu adalah model toleransi tanpa peduli. Alasannya karena konsep dzimah dalam praktek disertai oleh rekayasa untuk mengurangi peran kelompok non-muslim dan menegaskan keunggulan Islam atas yang lain. Namun bagi Arkoun, konsep ini masih lebih baik dari pada kondisi kaum muslim dalam masyarakat agama lain. 6 Akan tetapi dewasa ini, sering kita lihat khususnya di Indonesia bahwa non-muslim diberi kebebasan menyebarkan ajarannya walaupun bukan dengan metode dakwah, namun dapat kita lihat dengan melihat tayang iklan di TV yang substansinya untuk menyebarkan ajarannya. Begitu juga pada sistem pemerintahan dan kekuasaan pemerintah, yaitu berpengaruh untuk menentukan kemajuan suatu negara, dapat kita lihat banyak orang-orang non-muslim yang menduduki jabatan penting di parlemen. Hanya saja persoalan pemimpin Presiden dalam hal ini masih menjadi kontropersi pro dan kontra antara pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju, akan tetapi secara garis besar non-muslim sudah menebarkan sayapnya. Dari pernyataan tersebut menunjukan bahwa adanya perlindungan terhadap kafir dzimmi di sebabkan mereka telah mengikuti aturan yang dibuat oleh kaum muslim. 5 Sukron Kamil,dkk, Syariah islam dan HAM, Jakarta: CSRC, 2007, h. 73 6 Suadi Putro, Muhammad Arkoun, Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramidina, 1998, h. 88-95 Hal ini berdasarkan QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9 yang berbunyi: ☺ ☺ ☺ Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.8 7 Lain halnya versi H.B.Jassin yang mengartikan sebagai berikut: sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka itulah orang-orang yang zalim.9 8 Begitu juga perihal apakah non-muslim boleh atau tidak dijadikan pemimpin. Oleh karenanya Al-Quran memberi solusi dan perintah, yang tertera dalam surat Al-Maidah ayat 57 yaitu yang berbunyi: 7 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1971, h. 924 8 H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, Jakarta: Djambatan, 1991, h. 778 “ Hai orang-orang yang beriman Janganlah ambil sebagai pembela dan penolong yang menjadikan agamamu bahan ejekan dan permainan, yaitu sebagian orang-orang yang menerima kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir tapi bertakwalah kepada Allah jika kamu sungguh beriman.” 9 Ash-Shabuny menafsirkan ayat ini sebagai ayat yang melarang menjadikan orang-orang kafir ataupun musyrik termasuk Yahudi dan Nasrani, sebagai pemimpin. 10 Dalam hal ini, tentu saja maksudnya adalah pemimpin publik. 11 Interpretasi senada juga dilakukan oleh Musthafa Al- Maraghy. 12 Tak mengherankan kemudian, jika ayat ini dijadikan justifikasi sebagai umat muslim untuk tidak menghendaki dan mau di pimpin oleh non-muslim terutama dalam urusan-urusan publik. Terlebih lagi jika kita lihat kepada ayat-ayat lain yang berunsur tentang non-muslim. Pada QS. Al-Maidah ayat 51 Allah berfirman: ⌫ ☺ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin-pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka 9 H.B.Jassin,, Bacaan Mulia, h. 152 10 Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 74 11 Muhammad Ali ash-Shabuny, Syafwat at-Tafsir, Beirut: Dar al-Fikr, 1976, h.351 12 Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 74 sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. 13 Terlepas dari itu, pandangan kaum muslim bahwa orang-orang non-muslim tidak dibenarkan untuk menjadi seorang pemimpin adalah berdasarkan ketentuan Al-Quran yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran non-muslim tidak di akui oleh Allah sampai mereka mengikuti ajaran Rosul. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 68 : ⌧ ☺ ⌧ ⌧ katakanlah: Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu Muhammad dari tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang kafir itu. 14 Penafsiran tersebut tampaknya tidak menjadi masalah pada masa klasik dan pertengahan Islam, karena pada masa itu agama dan kebiasaan menjadi alasan bagi berdirinya sebuah negara. Dalam sejarah awal Islam, hal itu bisa dibuktikan dari upaya Nabi Muhammad yang menciptakan bentuk persaudaraan baru berdasarkan agama Ukhuwah Islamiyyah untuk menjadikan persaudaraan berdasarkan darah, meski Nabi juga membentuk negara multietnis dan agama, sebagaimana terlihat dalam piagam Madinah. Dalam konteks sistem negara-bangsa 13 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 169 14 H.B. Jassin, Bacaan Mulia, h.154 dewasa ini, dimana kebangsaan atau kewarganegaraan yang menjadi alasan berdirinya sebuah negara, maka penafsiran seperti diatas adalah problematika, alasannya karena dalam konsep bangsa-negara, semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak di bedakan berdasarkan agama. Selain itu, penafsiran tersebut juga menjadi masalah dalam konteks hak-hak sipil yang diakui oleh hukum internasional yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama yang dimaksud hukum internasional yang memuat prinsip anti diskriminasi agama. Sebab itulah, beberapa ahli syariah modern menolak penafsiran di atas. Menurut Amin Rais sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, kebebasan berkehendak, bebas dari ketakutan, dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam islam, hak non-muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah lainnya juga diakui. Namun Islam tidak memberikan hak kepada non-muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini menurutnya hanya menunjukan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi barat yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam memberlakukan syarat secara the jure dan de fakto bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari mayoritas. 15 Pandangan yang sama, bahkan lebih leberal dimunculkan oleh mantan Presiden RI ke-4 KH.Abdurrahman Wahid. Baginya, non-muslim adalah warga negara yang memiliki hak penuh, termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Al Maidah ayat 57, di jadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-muslim menjadi kepala 15 Sukron, Syariah islam dan HAM, h. 71 negara. Alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah “auliya” yang berarti teman atau pelindung. Bukan “umara” yang berarti penguasa. 16 Dari semua uraian diatas Penulis berkesimpulan bahwa tedapat perbedaan pendapat terhadap ketentuan boleh atau tidaknya non-muslim menjadi pemimpin, dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah keterangan dari Al-Quran surat Al-Maidah ayat 57, kemudian di pertegas lagi oleh KH.Abdurrahman Wahid Gusdur yang mempermasalahkan kata “Auliya”. Maka jelaslah, tokoh syariah modern tidak berpatokan kepada Syariah klasik, berwawasan lebih liberal, dan terkesan lebih luas kebijakan terhadap non-muslim. Dari statement itu perlu adanya kajian yang lebih lanjut terutama konteks terjemahan pada ayat-ayat non-muslim secara kontemporer sehingga adanya pendalaman terhadap permasalahan ini. Karena pemahaman konteks kalimat sangatlah dibutuhkan untuk memahami suatu kalimat. Penulis tertarik dengan permasalahan tersebut, sehingga Penulis ingin sekali menganalisa terjemahan konteks dalam ayat non-muslim. Untuk itu, Penulis mencoba melakukan penelitian skripsi dengan judul “ ANALISIS TERJEMAHAN AL-QURAN H.B JASSIN BACAAN MULIA; STUDI TERHADAP KONTEKS AYAT-AYAT TENTANG NON-MUSLIM” dengan asumsi teoritis, bahwa studi terhadap konteks kalimat untuk memahami terjemahan ayat non- muslim dalam Al-Quran.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah