Peranan politik Hamka HAMKA DAN GERAKAN MIUHAMMADIYAH DI INDONESIA

BAB IV HAMKA DAN GERAKAN MIUHAMMADIYAH DI INDONESIA

A. Peranan politik Hamka

Politik dalam Islam tidak hanya menyangkut ikhwal tatanan politis, melainkan juga tatanan moral, dan seharusnya merupakan pencerminan kemanusiaan dari polisi manusia sebagai khalifah Tuhan. Sebagai demikian kegiatan, sikap dan perilaku politik Islam, selayaknya diwarnai oleh langkah- langkah untuk mewujudkan tatanan politik dan tatanan moral yang manusiawi. Islam telah menggariskan suatu paduan strategis, yakni bahwa sebagai gerakan ideologis tidak mungkin terlepas dari realitas dan aspirasi sosial masyarakatnya. Hamka dalam sejarah kehidupannya di warnai oleh hal itu, ia berperan sebagai patriot pada masa pra dan masa awal berdirinya republik ini, berdiri pada barisan depan pembendung arus pengaruh kaum komunis zaman Orde Lama dan tampil sebagai figur ulama-demokrat pada masa Orde Baru. 103 Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sampai saat ini mengindikasikan bahwa para pemimpinnya memiliki kemampuan membaca dan memahami situasi dan kondisi dari waktu ke waktu, serta mampu mengelola jalannya roda organisasi tersebut. Keanggotan Hamka dalam Muhammadiyah menjadikannya sebagai inspirasi, guru dan pencetak kader-kader Muhammadiyah. Hamka berpandangan bahwa Islam adalah meliputi seluruh kegiatan hidup manusia. Islam tidak saja 103 Adnan Buyung Nasution, Hamka: Figur Yang Langka, dalam Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat , 2 nd ed. Jakarta: Sinar harapan, 1984, h. 286-287 membahas masalah Ibadah mahluk kepada Tuhannya, tidak pula hanya membahas tentang politik saja, yakni membahas hubungan antara seorang dengan masyarakat, Islam bukan pula hanya urusan ulama atau kepala-kepala agama. Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. 104 Perjalanan hidup Hamka melewati masa pemerintahan kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Pada masa penjajahan Belanda, Hamka berjuang lewat jalur intelektual, spiritual, dan bahkan fisik bersama tokoh-tokoh nasional, terutama dalam organisasi Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Pada masa revolusi melawan Belanda 1945-1949, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Hamka ditunjuk oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai Sekretaris Front Pertahanan Nasional yaitu Himpunan partai-partai politik di Sumatera Barat dalam upaya mempertahankan persatuan melawan Belanda. 105 Hamka juga ikut mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota BNPK, yaitu pasukan rakyat yang besar sekali perananya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatera Barat. Selain itu Hamka juga berjasa memperkenalkan Komisi Tiga Negara KTN kepada rakyat ketika KTN berkunjung ke Bukittinggi. KTN mendapat sambutan yang positif dari rakyat setelah Hamka menyampaikan orasi tentang arti pentingnya KTN dalam proses kemerdekaan Indonesia. 106 104 Ibid., h. 230 105 Emzita, Ayah Masih Tetap Sediakala, dalam Nasir Tamara, dkk., h. 301 106 Rusydi Hamka, “Kepribadian, Sejarah dan Perjuangannya,” dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka Jakarta: Uhamka Press, 2008, h. 75 Pada tahun 1942, Belanda mulai menyadari bahwa kedudukannya sebagai penjajah akan tergantikan oleh Jepang, Belanda dengan segera melakukan konsolidasi dengan mengumpulkan segenap masyarakat di Medan. Hadir dalam pertemuan itu dari Muhammadiyah, al-Jamiatul Wasliyah, Wahidiyah, juga perwakilan dari keturunan Tionghoa dan India, dan tentu saja partai-partai politik yang ada saat itu seperti Gerindo Gerakan Rakyat Indonesia, Parindra Partai Indonesia Raya, kemudian raja-raja Sumatera Timur, Deli, Langkat, Serdang, dan Kualuh. Pihak Belanda mengajak seluruh lapisan masyarakat agar bersatu dengan Belanda untuk melawan Jepang, keinginan itu ditanggapi baik oleh perwakilan Tionghoa dan India, ketika perwakilan ulama diminta untuk memberikan pendapatnya yang intinya agar mendukung Belanda, para ulama tidak ada yang menyetujuinya dan dapat dikatakan bahwa apa yang diinginkan Belanda sangat tidak masuk akal. Saat itu Hamka mendapat sinyal dari pihak ulama untuk menjadi juru bicara pihak ulama, dalam kapasitasnya mewakili Muhammadiyah diharapkan tampil dalam menjawab dan menanggapi keinginan Belanda. Hamka berterima kasih mengenai maksud Belanda atas himbauan persatuan yang disampaikan pihak Belanda. Kemudian maksud yang diinginkan Belanda untuk bersekutu melawan Jepang, Hamka mengatakan kepada pihak Belanda semoga berhasil. 107 Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengat tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. 107 Shobahussurur, dkk., Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA Jakarta: YPI Al-Azhar, 2008, h. 66-68 Sebelum serbuan Jepang, tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada waktu Belanda menyerah, telah berlangsung begitu banyak perubahan luar biasa yang memungkinkan terjadinya Revolusi Indonesia. Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan- perkembangan tersebut. Terutama di Jawa, sampai tingkatan yang lebih kecil di Sumatera, mereka mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai banyak generasi muda serta memberi kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat. 108 Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan mereka dan memobilisasi mereka demi kemenangan Jepang. Pada masa kolonial Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda pada 1942, majalah Pedoman Masyarakat pimpinan Hamka dilarang terbit. Pelarangan terbit majalah itu justru membuat Hamka mempunyai banyak waktu lebih untuk melakukan kegiatan dakwahnya, dan tidak lama, Hamka menerbitkan majalah Semangat Islam bersama Yunan Nasution dan Yusuf Ahmad. Selain itu ia lebih memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah wilayah Sumatera bagian Timur. Dalam kedudukannya saat itu sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Sumatera Timur. Di Sumatera bagian Timur Medan, Riau juga Aceh seringkali terjadi sengketa kerajaan Melayu, yang kaum ulamanya lebih cenderung kepada aliran lama, berhadapan dengan para ulama pembaruan dari Muhammadiyah. Kejadian 108 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2 nd ed. Jakarta: Serambi, 2005,

h. 405-406

ini terus berlangsung terutama dikarenakan peran atau hubungan kerajaan dan para ulama yang beraliran lama ini sangat kental dengan budaya feodal kerajaannya. 109 Ketika pendudukan Jepang di Indonesia, Hamka lebih bersikap koperatif terhadap Jepang, Jepang pada 1943 telah menguasai Indonesia dengan semboyan “Saudara Tua,” yang akan membebaskan Asia dari tangan penjajah. Jepang melantik Hamka sebagai “Penasihat Agama Islam” dan kedudukannya langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Namun Hamka merasa perlu menerima jabatan yang diberikan Jepang, sebagai strateginya dalam perjuangan melalui dakwahnya, dengan terus memberikan semangat perlawanan rakyat terhadap penjajah Jepang melalui pidato, dialog serta tulisannya. Pada tahun 1944 Hamka menerima pengangkatan dirinya menjadi anggota Syu Sangi Kai Dewan Perwakilan Rakyat, konsekwensinya sangat pahit, Hamka dikucilkan, dibenci dan dipandang sinis oleh masyarakat di Medan dan sekitarnya. Hal ini membuat Hamka melakukan “lari malam” dari kota Medan ke Padang Panjang pada tahun 1945, 110 Hamka mengatakan bahwa bulan Agustus sampai Desember adalah masa yang paling pahit selama hidupnya. Di Jakarta, Soekarno juga bersikap kompromi terhadap pemerintah Jepang, Soekarno mengangap perlu untuk bersikap begini. Soekarno juga banyak mendapat caci maki dari rakyat kepadanya. Hamka berinisiatif untuk bertemu 109 Shobahussurur, Mengenang, h. 68-69 110 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990, h. 26 dengan Soekarno dengan tujuan agar segala kebijakan yang akan diambilnya di Jakarta sejalan dengan kebijakan yang akan Hamka lakukan di Medan. 111 Setelah Indonesia merdeka berkembanglah rezim Orde Lama dan Soekarno menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Pada tahun 1945 sampai dengan 1949 sistem pemerintahan negara yang baru lahir adalah demokrasi tanpa atribut apa pun. Kemudian dibawah naungan UUDS 1950, demokrasi kita dikenal dengan nama Demokrasi Liberal 1950-4 Juli 1959. Partai politik menentukan hitam putihnya perpolitikan kita ketika itu. Pada rentan waktu sekitar delapan tahun, negara kita sangat labil, pemerintahan tidak berjalan efektif. Maka situasi ini mendorong Soekarno melakukan perubahan menyeluruh dengan mengganti Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin pada 1959 112 . Pada tahun 1950 Hamka dan keluarganya pindah ke Jakarta. Pada 1952, Hamka diangkat oleh pemerintah menjadi Anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementrian PP dan K, selain itu beliau juga diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar, dan Penasehat pada Kementrian Agama. Setelah terjadinya perlawanan PRRIPermesta di Sumatera Barat yang melibatkan para pemimpin Masyumi seperti Muhammad Natsir, Syafrudin Prawinegara dan lain-lain, oleh pemerintah dibawah pimpinan Presiden Soekarno yang pada waktu itu sangat dekat dengan komunis, diputuskan untuk membubarkan partai Masyumi dan setelah itu Hamka tidak lagi menjalani politik 111 HamkaTentang Hamka, Panjimas, no. 2 Oktober 2002: h. 70 112 Miftakhul Anam, Urgensi Implementasi Demokrasi Substantif dalam Keragaman Beragama, dalam Erlangga Husada, dkk., Kajian Islam Kontemporer Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, h. 111 praktis, namun tidak menghentikan kiprah politiknya secara langsung. Setelah Masyumi bubar Hamka membidani penerbitan majalah “Pedoman Masyarakat,” sebuah majalah yang lebih mengutamakan misi dakwah dan kebudayaaan sama seperti “Pedoman Masyarakat” yang dipimpinnya saat ia tinggal di Medan. Melalui media ini Hamka terus mengkritisi pemerintahan Soekarno. Sikap Hamka dengan pemerintah dilakukan dengan penuh konsistensi dan etika dalam aktivitas politik yang sangat mempengaruhi pemerintahan karena harus ada ketegasan dalam membela kebenaran. Pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan memang sangat labil dan masih banyak konflik yang bergejolak di Indonesia. Perbedaan-perbedaan mengenai bentuk negara juga sering didengungkan masa awal Indonesia merdeka. Kritik juga disampaikannya dalam berdakwah memimpin jamaah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada edisi pertama majalah Panji Masyarakat itulah, Hamka menuliskan sebuah karangannya yang berjudul “Istiqomah.” Dalam tulisannya itu ia menafsirkan surat 41 al-Fushilat ayat 30. Artikel itu dituliskannya di masa pemerintahan Soekarno yang di dalam menjalankan roda pemerintahannya telah bertindak secara diktator dan sangat dekat dengan komunis yang atheis. 113 Surat-surat kabar komunis pada masa itu seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur, ditambah dengan koran-koran Nasionalis pendukung Soekarno, setiap hari menyerang Hamka seperti ”Neo-Masyumi” muncul di masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Majalah Panji Mayarakat yang di pimpinanya 113 Shobahussurur, Mengenang, h. 69 pun dibredel setelah memuat tulisan dari Mohammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita.” Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno. Ia menguraikan secara menyeluruh semua pelanggaran- pelanggaran konstitusional yang dilakukan rezim Soekarno. Soekarno juga dengan kekuaannya melakukan tindakan penangkapan kepada Hamka dimana pada 27 Agustus 1964 berdasarkan Undang-Undang Anti Subversif yang dibuat peerintah Soekarno. Masyarakat yang “Kontra Revolusi” harus ditindak. Hamka bersama beberapa pimpinan lainnya di jebloskan ke dalam penjara. Alasannya Hamka dituduh telah mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia atau melakukan makar, yang bertujuan untuk menggulingkan kudeta pemerintah serta ingin membunuh Soekarno, dengan mendapatkan bantuan dana dari Tengku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia waktu itu dan Hamka dituduh telah melakukan penghasutan terhadap mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ketika memberikan kuliah umum Hamka dituduh mengajak Mahasiswa untuk meneruskan perjuangan Mr. Kasman Singodimejo dan kawan- kawan untuk melawan pemerintahan Sukarno. Hamka terus ditahan hingga tumbangnya masa rezim Orde Lama Soekarno dan di bubarkanhnya Partai Komunis oleh Pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto. 114 Memang pada masa Demokrasi Terpimpin, marhaenisme sebagai simbol nasionalisme sekuler diartikan sebagai marxisme yang diterapkan di Indonesia, Kemudian, formula nasakom nasionalisme-agama-komunisme yang begitu digandrungi Soekarno semakin memperburuk keadaan yang memang sudah 114 Ibid., h. 73 buruk. Kejatuhan presiden Indonesia yang pertama ini karena memaksakan suatu formula ideologi yang secara substansial tidak dapat dan tidak mungkin dipakai. 115 Pemerintahan Orde Baru bibawah pimpinan Presiden Soeharto, pada masa ini dakwah-dakwah yang di lakukan Hamka dan juga para muballigh lainnya terus diawasi dengan ketat. Walaupun menaruh curiga tetapi kegiatan-kegiatan Hamka dalam berceramah dan menyempaikan dakwah Islam di biarkan. Pada 1967 Majalah Panji Masyarakat terbit kembali dan mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan 50.000 eksemplar setiap terbitnya. Hamka mendapatkan kebebasannya kembali untuk mengembangkan majalah yang dipimpinnya itu. Pada 1973, Hamka menulis artikel di Harian Kami edisi 23 Agustus 1973, yang isinya berupa penolakan terhadap usulan Perubahan Undang- Undang Perkawinan dari Pemerintah. Ia menolak usulan itu karena menurutnya itu bertentangan dengan syariat Islam 116 . Pemerintah Orba pernah memprakarsai Musyawarah Antar Umat Beragama, yang maksunya mempertemukan para 115 Syafi’I Ma’arif, Watak Komunisme Indonesia: Membonceng, dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999, h. 34-35 116 Hamka menyuarakan tentang rencana Undang-Undang Perkawinan, Hamka mengatakan bahwa sebelum mereka membuat rencana dan rancangan, terutama mengenai perkawinan, sudah tentu mereka mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan syariat Islam. Dalam pokok ajaran Tasyirul Islamy, bahwa yang dipelihara dengan syariat itu ada lima perkara, 1. Memelihara agama, 2. Memelihara jiwa, 3. Memelihara akal, 4. Memelihara keturunan, 5. Memelihara harta Di dalam bagian 4. Memelihara keturunan, disebutkan maksudnya: Pertama. Memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan musnah karena kesia- siaan manusia, Kedua, Memelihara agar keturunan itu dibangsakan dengan sah kepada orang tuanya. Lihat. David Bourchier dan Vedi R Hadiz , ed., Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2006, h. 115 pemimpin dan ulama Islam dengan pemimpin Kristen untuk meredakan pertikaian dan perselisihan yang seringkali terjadi pada masa itu. 117 Sikap dan perilaku politik Hamka yang memperlihatkan peranan dan citra politiknya di Indonesia bukan hanya pada saat ia duduk di parlemen, atau kegiatan-kegiatan atau tulisan-tulisan Hamka dalam masa Orde Lama ketika pengaruh komunis begitu kuat seperti LEKRA hingga dibentuk MASBI Musyawarah Antar Seniman Budaya Islam. Hamka juga berjuang pada masa pemerintahan Orde Baru. Ketika pada Pemilihan Umum tahun 1971, pada saat itu terdapat desakan agar para pegawai negeri pada saat itu di haruskan memilih Golongan Karya. Hamka sebagai anggota Muhammadiyah dan juga orang yang duduk di dalam pemerintahan menegaskan bahwa “Saya sebagai seorang warga negara yang mempunyai kesadaran beragama dan bernegara yang menghormati merah putih. Saya pun menegaskan bahwa dengan pernyataan ini bukanlah saya mesti masuk salah satu partai politik, bukan juga saya harus membantu kampanya Golongan Karya. Bukan berarti jika tidak ikut dalam kampanye Golongan Karya bukan berarti saya keluar dari perjuangan Islam dan juga bukanlah 117 Tersiar berita di masyarakat bahwa musyawarah itu telah gagal. Ada dua gagasan pemerintah yang disampaikan oleh Soeharto dan Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat sendiri: Pertama, supaya diadakan Badan Kontak Antar Agama. Kedua, supaya diadakan satu Piagam yang ditandatangani bersama, yang isinya menerima anjuran Presiden agar pemeluk suatu agama yang telah ada jangan dijadikan sasaran propaganda oleh agama yang lain. Usulan yang pertama berhasil disetujui bersama yaitu perlunya Badan Kontak Agama yang akan menjadi penyelidik penyelesaian kalau terjadi perselisihan antar agama dibawah kementrian agama. Sedangkan usaha kedua, tentang orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran propaganda suatu agama tidaklah terdapat kata sepakat, sebab itu musyawarah dikatakan gagal. Pihak Islam dapat menerima gagasan tersebut, sedangkan pihak kristen hanya setuju apabila diadakan badan konsultasi antar agama saja. Tetapi mereka tidak dapat menyetujui kemerdekaan mereka menyebarkan agama kristen kepada penduduk Indonesia yang bukan Kristen dibatasi. Tambunan, SH menegaskan bahwasanya bagi orang kristen menyebarkan Perkabaran Injil keoada orang yang belum Kristen adalah “Titah Ilahi” yang wajib dijunjung tinggi. lihat Hamka, Dari Hati ke hati: Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002, h. 182- 183 berarti berkurang loyalitas saya kepada Presiden Soeharto, pemilihan umum adalah pilihan demokratik, bukan soal loyalitas-loyalitasan. 118 Pada 23 Juli 1975, Hamka terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI. Pada peresmian MUI di depan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama sebagai wakil dari pemerintah, Hamka mengatakan bahwa dirinya mau menerima permintaan pemerintah agar para ulama berperan mengisi pembangunan dari segi rohaniah. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa penerimaannya sekaligus untuk selalu membenarkan segala tindakan dan keputusan pemerintah. Hamka merasa tak terhalangi untuk terus menyampaikan kritik pada pemerintah termasuk Presiden Soeharto sekalipun. Antara lain menolak keinginan Soeharto yang menghendaki diakuinya keberadaan golongan kepercayaan, dan dikuatkan dengan pencantumannya dalan GBHN. 119 Setelah terpilih menjadi Ketua MUI untuk yang kedua kali periode 1980- 1985, pada pidato pelantikan yang kedua kalinya sebagai ketua umum MUI, 118 Adnan Buyung Nasution, Hamka Figur yang Langka, dalam Tamara, Hamka di Mata, h. 284-285 119 Dalam pertemuan untuk menonjolkan gerakan Kebathinan, Kepercayaan, dan Kerohania yang telah dihidup-hidupkan sejak beberapa lama. Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali telah menjelaskan bahwa “Gerakan Kebathinan atau Kepercayaan, itu bukan agama.” Gerakan Kebatinan atau yang dinamai dengan Gerakan Kepercayaan atau Gerakan Kerohanian dan sebagainya mempunyai rencana bahwa pada tahun 1978, seluruh agama di Indonesia ini akan dibikin habis, terutama agama Islam. Yang aman tegak hanya agama asli Indonesia, yaitu agama kebatinan yang dipelopori dari Jawa Tengah. Hamka sangat mendukung Menteri Agama, Hamka mengatakan kita umat beragama, terutama kaum muslimin tidak bertanya-tanya lagi dalam hati melihat sikap dan tingkah laku kaum kebatinan, kaum perdukunan, kaum pertenungan dan peramalan minta diakui jadi agama sendiri, dan disamping minta diakui mempunyai program, pula hendak menghapus agama di Indonesia, dan hanya tinggal satu agama saja “asli Indonesia,” padahal yang dimaksud dengan Indonesia itu ialah kepercayaan dari satu golongan kecil saja yaitu “Jawa.” Semua hendak berlindung di belakang UUD ’45, semuanya hendak mempergunakan Pancasila jadi landasan. Karena dalam Pancasila ada “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mereka merencanakan mempergunakan Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi dasar dalam menegakkan keagungan Majapahit kembali. Lihat Hamka, Dari Hati, h. 188-189 beliau menyinggung Pancasila. 120 Tidak lama setelah pengangkatannya itu, Hamka meletakkan jabatannya karena ada perbedaan pendapat antara Majelis Ulama Indonesia dengan pemerintah mengenai perayaan Natal Bersama 121 .

B. Peranan dalam Bidang Agama