Peranan Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di Indinesia

(1)

PERANAN HAMKA

DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh

Anas Yusman

NIM: 102022024352

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H./2008 M.


(2)

PERANAN HAMKA

DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh

Anas Yusman

NIM: 102022024352

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H./2008 M.


(3)

PERANAN HAMKA

DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh

Anas Yusman

NIM: 102022024352

Pembimbing,

Drs. Tarmizy Idris.

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H./2008 M.


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERANAN HAMKA DALAM ORGANISASI

MUHAMMADIYAH DI INDONESIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Nopember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.) pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam.

Jakarta, 13 Nopember 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. H.M. Ma'ruf Misbah, MA. Usep Abdul Matin, S.Ag., MA., MA.

NIP: 150247010 NIP: 150288391

Penguji, Pembimbing,

Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. Drs. Tarmizy Idris. NIP: 150268588 NIP: 150244516


(5)

ABSTRAK Anas Yusman

Peranan Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di Indonesia

Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sampai saat ini mengindikasikan bahwa para pemimpinnya memiliki kemampuan membaca dan memahami situasi dan kondisi dari waktu ke waktu, serta mampu mengelola jalannya roda organisasi tersebut. Keanggotan Hamka dalam Muhammadiyah menjadikannya sebagai inspirasi, guru dan pencetak kader-kader Muhammadiyah.

Taufik Abdullah mengatakan bahwa Hamka dan para tokoh segenerasinya bukanlah termasuk "sang pemula" dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan Hamka dilahirkan ketika masyarakat Minangkabau meniti periode baru dalam sejarah sosialnya. Hamka adalah anak zamannya yang dilahirkan dan dibesarkan tokoh-tokoh yang mengukir sejarah Indonesia ketika gerakan reformasi Islam lahir dan menyebar di Indonesia. Hamka sebagai seorang ulama pemikir, muballigh, dan sastrawan bukan saja aktor di atas pentas sejarah tanah air, ia adalah hasil yang otentik dari lingkungan kesejarahan yang mengitari dirinya.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana peranan Hamka bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia. Melalui studi kepustakaan dan wawancara di ketahui bahwa sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru terjadi perubahan dan perkembangan politik, agama, dan sosial budaya dalam masyarakat. Hamka dan Muhammadiyah tampil sebagai agen perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia dalam tatanan masyarakat maupun konstitisonal.

Terdapat tiga hal yang diteliti mengenai peranan Hamka dalam Muhammadiyah. Pertama yaitu sikap intern anggota Muhammadiyah, yang dilakukan sesama anggota persyarikatan Muhammadiyah untuk mengembangkan organisasinya, anggota dan amal usaha yang dimilikinya. Kedua, sikap antar organisasi, yang dilakukan dengan organisasi sosial maupun keagamaan lain yang berlainan mazhab dan juga pemikiran-pemikiran. Ketiga, sikap dengan pemerintah, yang dilakukan dengan konsistensi dan etika dalam aktivitas politik sangat mempengaruhi pemerintahan karena harus ada ketegasan dalam membela kebenaran.


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, rasa syukur yang teramat dalam, kehadirat Robbul Izzati, Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya serta shalawat dan salam tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikut risalah-nya. Maka selesailah penyusunan skripsi

dengan judul Peranan Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di

Indonesia, yang sangat dibutuhkan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Meskipun terdapat halangan dan cobaan yang selalu menghampiri di setiap gerak langkah penyusunan skripsi ini, namun berkat pertolongan Allah yang maha pengasih dan penyayang, serta bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dan ini penulis jadikan suatu pelajaran yang sangat berarti, yang tak akan terlupakan dalam sejarah kehidupan pribadi penulis. Dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapakan :

ةﺮﺧ ْاو

ﺎ ْﱡﺪﻟا

تادﺎﻌﺳو

تاﺮْﺧ

ﷲا

آاﺰﺟ

.

ْ

Khusunya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, para Pembantu Dekan, Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam beserta seluruh Staf Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang


(7)

dengan Ikhlas dan ridha membimbing dan mendidik penulis agar berusaha meningkatkan intelektual Islam pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam. 2. Bpk. Drs. Tarmidzy Idris, beliau Dosen Pembimbing Skripsi saya yang

selalu bersedia memberikan bimbingan, pengarahan, dan kontribusi ide maupun gagasannya selama proses penulisan skripsi berlangsung hingga selesai karya tulis terbaik saya.

3. Bpk. Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, MA, beliau sebagai Kajur SPI dan Dosen Pembimbing Akademik saya, beliau terus memotivasi agar segera menyelesaikan skripsi ini.

4. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Iman Jama’, Perpustakaan DPRD DKI Jakarta, dan Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta, yang telah memberikan pelayanan dan segala fasilitas selama penulisan skripsi ini.

5. Bpk. H. Rusydi Hamka yang dengan rela memberikan keluangan waktunya untuk memberikan informasi yang berharga dan bermanfaat bagi penulisan skripsi ini.

6. Pusat Kajian Hamka Universitas UHAMKA Jakarta dan Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta yang telah banyak memberikan penulis data-data yang sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Ayahanda H. Selamet Kana dan Ibunda Hj. Muhiyah yang tercinta, dengan penuh kesabarannya senantiasa memotivasi penulis agar tetap


(8)

bersemangat tanpa kenal lelah selama menuntut ilmu pengetahuan di UIN Syarif Hidayatullah dan proses penulisan skripsi.

8. Kakanda Zayadi Mufty, Ubay Bahrum, Dian Farsiah, Umar Riza dan adinda Parid Andy, cinta untuk kalian yang telah memberikan bantuan dan motivasi yang besar untuk menyelesaikan kuliah.

9. Semua teman-teman penulis khususnya temanku: Ghazali, Sidik, Fakhrizal, Iqbal, Zulmi, Kholis, Testriono, Bahruddin, Baiquni, Aden, Diana, Santi, Ifah, Yuni, Ria, Olman, dan teman-temanku yang lainnya, yang penulis tidak sebutkan namanya satu persatu. Namun memberikan kenangan indah, mesra nan damai menyejukkan hati, ketika bersama-sama dengan kalian.

10.Yuta, PTM Six, PTM Perwira, PTM Wiraguna, PTM Sahabat, PTM Pos Fatmawati, PTM Goro, dan PTM IPDN yang telah memberikan semangat dan motivasi penulis.

Demikianlah kiranya, segala kritik dan masukan demi perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi diri pribadi penulis dan bagi para pembaca umumnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Jakarta, 28 Oktober 2008


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... ...i

KATA

PENGANTAR……….ii

DAFTAR

ISI………...iv

BAB I.

PENDAHULUAN………....1 A. Latar Belakang

Masalah………... 1 B. Pembatasan dan Perumusan

Masalah………..11 C. Tujuan

Penelitian……….12 D. Metode

Penulisan……….…12 E. Tinjauan


(10)

F. Sistematika

Penulisan………..16

BAB II. BIOGRAFI

HAMKA………17 A. Sejarah dan Kepribadian

Hamka……….17 B. Karya-Karya

Hamka………23 C. Kondisi Sosial

Masyarakat………..25

BAB III. KETERLIBATAN HAMKA DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI

INDONESIA……….32 A. Latar Belakang Berdirinya

Muhammadiyah………...32

B. Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia…………...40

C. Jabatan Politik Hamka

……….………...43 1. Hamka dalam

Muhammadiyah……….43 2. Hamka dalam Partai


(11)

3. Hamka dalam

MUI………49

BAB IV. HAMKA DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH DI

INDONESIA………..56 A. Peranan Hamka dalam Bidang

Politik……….56 B. Peranan Hamka dalam Bidang Agama ………...67

C. Peranan Hamka dalam Bidang Sosial Budaya ………74

BAB V.

KESIMPULAN………...87

DAFTAR

PUSTAKA………...93

LAMPIRAN……….…. .98


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah telah mencatat bahwa Islam merupakan suatu kerangka bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban di dunia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban yang telah dibentuk oleh dunia Islam pada abad pertengahan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuan dari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi setelah abad ke-13 ketika Bagdad dihancurkan oleh Hulagu Khan pada 1258 M, membawa dampak yang negatif bagi dunia Islam. Peradaban dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mengalami kemunduran termasuk di bidang keagamaan.1

Di kalangan umat Islam pada saat itu mereka yang menyadari tentang keadaan kaum muslimin dan menilai kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini yang dianggap telah menyimpang dari ajaran agama Islam yang benar. Mereka berpendapat jika kaum muslimin kembali kepada prinsip-prinsip ajaran Islam dan menggerakkan semangat ijtihad2 dalam setiap proses pemikiran

1

Nurcholish Madjid,Khazanah Intelektual Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 21

2

Ijtihad adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Islam untuk menyesuaikan masalah dengan kebutuhan-kebutuhan zaman. Islam telah mengaitkan berbagai kebutuhan yang selalu berubah dengan berbagai kebutuhan yang bersifat tetap. Seorang mujtahid yang mendalami agama bertugas menemukan benang merah yang menghubungkan kedua jenis kebutuhan tersebut. Mereka memiliki kewajiban menjelaskan hukum Islam. Makna Ijtihad bukan berarti bahwa seorang duduk dan kemudian berbicara apa saja semaunya. Islam memilki serangkaian undang-undang yang bisa berubah dan tidak tetap. Akan tetapi, karena undang-undang yang bisa berubah-ubah itu dikaitkan dengan undang-undang yang bersifat tetap dan tidak berubah, maka kebebasan sama sekali tidak terlepas dari tangannya. Ijtihad dalam bidang agama menyebabkan manusia bisa melihat masalah


(13)

dan berpegang teguh pada warisan abad pertengahan yang telah dicapai oleh para ulama Islam terdahulu di bidang pemikiran keagamaan, maka kaum muslimin akan memperoleh kembali kejayaan sebagaimana yang pernah dicapainya pada waktu lampau. Mereka inilah yang dengan gigih memperjuangkan ide-ide Islam ke dalam usaha pembaharuan bagi umat Islam.3

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab di penggiran imperium itu. Jamaluddin al-Afghani mengajarkan solidaritas Pan Islam dan pertahanan terhadap Imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernisasi.

Pada saat kedatangan bangsa Eropa khususnya Belanda ke Indonesia banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda dan penetrasi Kristen. Tidak mungkin perjuangan Islam akan maju di Indonesia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadarai perlunya perubahan-perubahan dengan menggali ajaran-ajaran Islam untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh, atau

dengan jelas. Lihat Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), h. 169-171

3

M. Natsir, Disekitar Reformasi dan Modernisasi Mayarakat Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1972), h. 198


(14)

menggunakan metode-metode yang telah di bawa ke Indonesia oleh kekuasaan kolonial seperti pihak missi Kristen.4

Di Pulau Jawa terdapat pertentangan internal masyarakat Jawa, masyarakat di Indonesia terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik. Kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari Hindhu-Budha, terbentuk falsafah baru berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang animistik. Islam yang di bawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke Nusantara dengan corak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari sistem kepercayaan Hindhu-Budha. Kepercayaan-kepercayaan tradisional tersebut masih melekat pada masyarakat Jawa yang menyebabkan terjadinya sinkretisme.

Agama-agama di Jawa yang menyimpulkan bahwa adanya konsep pemikiran keagamaan orang Jawa yaitu “santri, abangan, dan priyayi”5

hubungan kelompok muslim tersebut memiliki konfrontasi yang keras. Dengan demikian pola hubungan yang dominan adalah kesalahpahaman dan rasa saling tidak percaya antara masing-masing pihak, kerjasama dan persahabatan adalah kasus yang sangat jarang.6

4

Deliar Noer,Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 38

5

Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dan sinkretisme tersebut; pada umumnya berhubungan dengan unsue pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 6

6

Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 135


(15)

Belanda juga membawa misi kristenisasi bagi Indonesia. Penetrasi Kristen ini adalah strategi Belanda yang sangat khawatir dengan akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam, sementara dipihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan bangsa yang dijajahnya.7 Penetrasi Kristen ini berasal dari penguasa keraton Yogyakarta yang atas desakan dari pemerintah Belanda untuk mencabut larangan penginjilan bagi masyarakat Jawa, sejak saat itulah missionaris Kristen mulai melaksanakan penetrasinya di pulau Jawa. Penetrasi yang mulai berjalan sejak 1850-an ke wilayah Jawa tengah itu membangkitkan kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan –kegiatan misi ini.8

Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk oraganisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persayarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung, Bukittinggi (1930), dan partai-partai politik, seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang

7

Aqib Suminto,Politik Islam Hindia Belanda, 4th ed. (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 9

8


(16)

Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisaasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada Tahun 1938.

Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalakan politik etis atau politik balas budi. Gagasan politik etis Belanda di bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tujuan mengembangkan agama Kristen dan melemahkan Islam. Hal ini dibuktikan pada usaha kaum zending dan misi mendirikan sekolah-sekolah Kristen disamping memaksakan sistem pendidikan kolonial yang netral agama. 9 Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi kaum bumiputera, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Jong Java, Taman siswa, Jong Sumatran Bond, Jong Ambon, Jong Selebes dan lain-lainnya.10

Bangsa Belanda di Indonesia telah membawa pengaruh buruk bagi perkembagan Islam di Indonesia. Ia mendirikan sekolah model barat yang sekuler atau tidak memperhatikan dasar-dasar moral keagamaan. Belanda mengetahui bahwa di Indonesia terdapat pertentangan antara kelompok adat dan Islam, oleh karena itu Belanda ikut campur dalam masalah ini untuk memperkeruh hubungan antar kelompok ini. Belanda mendukung kelompok adat karena Belanda menginginkan untuk menghilangkan atau membatasi pengaruh Islam dan juga

9

Rusydi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal dalam Gerakan Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 111-112

10

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 157-158


(17)

Belanda ingin mendominasi bagi perkembangan hukum adat agar dapat di gantikkan dengan hukum Belanda.11

Pembaharuan Islam di Indonesia untuk melawan laju penjajahan,

sinkretisme dan juga penetrasi agama Kristen. Terdapat perbedaan pergerakan pembaharuan antara di Jawa dengan di Minangkabau Sumatera Barat. Kedua daerah ini memiliki corak yang sangat berlainan, gerakan-gerakan regional di daerah-daerah masing-masing yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berbeda yang akhirnya membentuk suatu bentuk pembaharuan Islam di Indonesia. Gerakan pembaharuan Islam di Jawa yang muncul dengan lahirnya Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan dengan cara-cara organisasi yang kita kenal sekarang, sedangkan di Minangkabau gerakan pembaharuan itu terbentuk dengan adanya percobaan dan usaha-usaha yang terkordinir melalui pendidikan dan tulisan.

Muhammadiyah di Jawa tumbuh bersama perkumpulan-perkumpulan lain seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam. Gerakan pembaharuan di Minangkabau tumbuh melalui yayasan pendidikan di daerah surau yang selanjutnya dikembangkan pada permulaan abad 20 oleh tokoh tokoh agama seperti Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, H. Abdullah Ahmad, H. Said Umar, H. Djamil Djambek.

Perbedaan antara gerakan pembaharuan di Jawa hanya disebabkan adanya perbedaan struktur sosial dan kebudayaan yang telah lama berkembang di masing-masing tempat berbeda. Di Minangkabau munculnya gerakan pembaharuan ini

11


(18)

lebih banyak didasarkan pada lokasi-lokasi dimana terdapat beberapa surau di beberapa tempat, dimana tenaga pengajarnya adalah para pemuda yang telah melaksanakan ibadah haji dan menetap beberapa saat di sana untuk mempelajari agama, dan setelah mereka pulang ke kampung halamannya mereka mengajar agama di tempat mereka berasal.12 Sebagaimana visi rantau Minangkabau untuk menuntut ilmu di luar dan kembali untuk mengembangkan daerahnya.

Munculnya organisasi itu seiring dengan tantangan zaman yang mengimpit umat Islam dengan adanya pendidikan umum yang diselenggarakan oleh kolonial Hindia-Belanda.13 Gerakan Islam yang telah timbul sejak masa kolonial telah tumbuh di Indonesia. Ormas-ormas Islam maupun nasional terus berupaya untuk mencerdaskan bangsa dan organisasi ini mendirikan sekolah yang dapat dijadikan alat untuk mencerdaskan rakyat Indonesia untuk mengimbangi sekolah yang dibangun oleh kolonial Belanda.14

Begitu banyak tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia dimulai dari Minangkabau seperti Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jamaluddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ia yang mempunyai hubungan erat dengan para pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah, dan ia pula yang mengenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925,15 dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.

12

Paricia. C. Brown,“Antara Kauman dan Surau,” Panji Masyarakat, no. 353 (Oktober 1982): h. 47

13

M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), h. 95

14

A. Syafi’I Ma’arif, Independensi Muhammadiysah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), h. 3

15


(19)

Muhammadiyah lahir sebagai organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini merupakan organisasi yang memberikan pemikiran-pemikiran yang

segar dan menekankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Muhammadiyah

bersinggungan dengan bidang sosial, politik, budaya dan juga bidang-bidang kehidupan lain, oleh karena itu di dalam setiap pergerakan Muhammadiyah tidak lepas dari watak keislamannya.16Muhammadiyah berusaha untuk melakukan pembaharuan dengan pola pemikiran yang berorientasi kedepan, tetapi tidak beranjak dari keimanan.

Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial, terutama pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh KH. A. Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta diselenggarakan dengan sangat sederhana. Sekolah ini yang akhirnya menjadi embrio munculnya organisasi formal pada tahun 1912 di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan sendiri. Oleh karena itu sejak Muhammadiyah didirikan selalu membangaun sekolah-sekolah, madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, dan juga mendirikan majalah-majalah yang berdasarkan Islam.

Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah terus berangsur-angsur mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktivitas sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan dan lain-lain sehingga pada akhirnya aktivitas dalam bidang sosial ini dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memperoleh sukses besar.

16

Hery Sucipto dan Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan Hingga A. Syafi’I Ma’arif (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 146-147


(20)

Berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu kemunculan gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman, Muhammadiyah dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama kepada ajaran tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik, takhayul, dan khurafat. Dan banyak yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi. Sebagai gerakan ilmu dapat dilihat pada komitmen Muhammadiyah terhadap persoalan pendidikan, disamping keberaniannya mendobrak tradisi lama untuk membuka kembali pintu ijtihad. Sebagai gerakan amal, Muhammadiyah berhasil mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat, terutama dapat dilihat dalam usahanya menyantuni kaum dhu’afa, pelayanan

kesehatan masyarakat dan lain-lain17. Muhammadiyah berupaya

mengaktualisasikan cita-citanya dengan sistem berorganisasi yang bersifat responsif dan adaptif terhadap perubahan zaman.18

Salah seorang yang penting bagi Muhammadiyah adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Hamka merupakan seorang pembaharu dalam Islam di Indonesia. Sejak ayahnya (Haji Rasul) memelopori “Islam kaum muda Minangkabau,” Hamka sudah terbiasa dengan pembicaraan mengenai dunia keilmuan sejak kecil. Hamka sejak usia dini sudah banyak belajar dari tokoh-tokoh besar nasional seperti Ki Bagushadikusumo, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, RM. Supyopranoto, dan KH. Fakhruddin.

Hamka sudah mampu untuk mendirikan sebuah Tabligh Muhammadiyah tahun 1925, dalam perjalanan karirnya ia telah memangku beberapa jabatan mulai

17

Sutarmo, Muhammadiyah Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), h. 122-123

18


(21)

dari tahun 1928 sebagai anggota kongres Muhammadiyah di Solo, kemudian sebagai Ketua Taman Pustaka, Ketua Majlis Tabligh dan sampai akhirnya ia memangku jabatan sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Tahun 1934 ia diangkat menjadi Majlis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah.19

Hamka banyak disebut sebagai sejarahwan dengan banyaknya karya-karya Hamka yang ditulis mengenai dirinya sendiri seperti karyanya tentang Kenang-Kenangan Hidup, kemudian mengenai orang tuanya seperti Ayahku. Dalam bidang agama ia pun juga menulis tentang Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya, kemudian Tasawwuf Modern. kemudian tentang sejarah, sebagaimana hasil karya Hamka seperti Sejarah Umat Islam. Hamka sebagai seorang sastrawan dengan mengeluarkan beberapa karyanya tentang roman seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1939), Merantau ke Deli (1940), Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Hamka dalam sejarah kehidupannya berperan sebagai patriot pada masa pra dan masa awal berdirinya republik ini, berdiri pada barisan depan pembendung arus pengaruh kaum komunis zaman Orde Lama dan tampil sebagai figur ulama-demokrat pada masa Orde Baru.20 Hamka pada masa Soekarno pernah di penjara sekitar selama dua tahun empat bulan (1964-1966) karena berbeda pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenai Pancasila sebagai dasar/falsafah negara. Hamka dituduh melakukan tindakan subversif terhadap pemerintah.

19

Sucipto dan Ramly,Tajdid Muhammadiyah, h. 140-142

20

Adnan Buyung Nasution, "Hamka: Figur Yang Langka," dalam Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat, 2nd ed. (Jakarta: Sinar harapan, 1984), h. 286-287


(22)

Hamka pada zaman pergerakan merupakan salah satu singa podium karena ia fasih berbicara dan lancar menulis dengan mengutamakan rajin menimba ilmu. Dengan kepiawannya itu ia pernah memimpin sebuah redaksi dwi mingguan “Panji Masyarakat” di Medan.21 Hamka pernah menjadi tenaga pengajar di beberapa Universitas diantaranya Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.

Pada tahun 1955 Hamka pernah memberikan ceramah agama di California, Amerika Serikat sebagai anggota delegasi perwakilan Indonesia. Hamka juga mendapat kehormatan dalam bidang intelektual yaitu mendapat gelar

Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Kairo, kemudian pada tahun 1974 ia mendapat lagi gelar dari Universitas Kebangsaan Malaysia.22Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 1975-1981).23

Berbagai karya yang dimiliki Hamka mulai dari karya sastra, politik dan juga agama, kemudian terjadinya pembaharuan dalam bidang politik, sosial keagamaan di Indonesia, khususnya Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pembaharuan di Indonesia membuat saya ingin mengambil tema peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

21

Deliar Noer,Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 72

22

Sucipto dan Ramly,Tajdid Muhammadiyah, h. 146-147

23


(23)

Pada penulisan ini, masalah yang diangkat adalah mengenai peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Oleh karena itu penulis mengidentifikasi mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Muncul dan berkembangnya organisasi-organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan di Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Perkembangan politik, agama dan pendidikan masa pendudukan Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi hanya pada peran Hamka di dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia (1925-1981).

b. Perumusan Masalah

Adapun masalah yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran Hamka dalam Muhammadiyah, atau lebih spesifik lagi adalah:

1. Bagaimanakah pandangan Hamka mengenai perkembangan agama, sosial, dan politik di Indonesia, khususnya Muhammadiyah?

2. Bagaimanakah perjuangan Hamka dalam mengembangkan

Muhammadiyah di Indonesia?

3. Bagaimana citra Muhammadiyah di Indonesia pada masa Hamka menjadi anggota Muhammadiyah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai lewat penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang keluarga, pendidikan dan karya-karya Hamka


(24)

2. Menambah wawasan mengenai perkembangan agama, sosial dan politik di Indonesia

3. Agar mengetahui peran Hamka bagi perkembangan

Muhammadiyah di Indonesia

D. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan pendekatan historis dengan metode Deskriptif-Analitis. Pendekatan ini di gunakan untuk mendapatkan penjelasan secara deskriptif dan analitis tentang peranan Hamka bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia, disamping menjelaskan profil Hamka termasuk juga latar belakang berdirinya Muhammadiyah dan pengaruhnya bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia dan perkembangan politik, agama,dan sosial budaya di Indonesia sejak penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama dan Orde Baru. Maka dari itu tahap-tahap penelitian yang dilakukan dengan metode kepustakaan (library research), dan studi kelapangan (field research). Untuk menganalisa data yang tersedia yaitu dengan menggunakakan pendekatan historis. Pendekatan ini digunakan agar mendapatkan penjelasan dan pemahaman mengenai peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Adapun pedoman yang digunakan dalam teknik penulisan. Penulis menggunakan buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: (Skripsi, Tesis dan Disertasi), CeQDA. 2007 1. Studi Kepustakaan (Library Research)

Peneliti melakukan penelusuran atas data-data yang berbentuk tulisan. Oleh karena itu studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan penelaahan


(25)

buku-buku dan tulisan-tulisan sebagai sumber rujukan yang berkaitan kiprah Hamka bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia

2. Studi Lapangan (Field Research)

Pendekatan yang digunakan peneliti yaitu melalui observasi terlibat dengan melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan tokoh-tokoh yang bersinggungan langsung atau dengan tokoh yang dianggap penting bagi penelitian ini.

E. Tinjauan Pustaka

Sepanjang penelitian penulis dengan menelusuri beberapa literatur tentang Hamka ada beberapa penulisan yang berkaitan langsung dengan Hamka. Dari penelitian penulis, ada dua disertasi yang mengkaji tentang Hamka antara lain: Dr. Sudja’I yang memfokuskan diri pada kajian tafsir. Tetapi ia mengangkat salah satu tema yaitu khilafah yang di tulis oleh Hamka dalam tafsirnya, kemudian membandingkan kata yang sama (khilafah) dalam tafsir yang ditulis Sayyid Quthb. Disertasi yang kedua adalah karya DR. Tamrin Kamal yang mengkaji tentang peran Hamka dalam purifikasi ajaran Islam pada masyarakat Minangkabau.

Selain disertasi diatas ada beberapa penelitian diantaranya skripsi Abdul Azis tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1975-1981). Ia menerangkan tentang perubahan yang terjadi di dalam bidang agama, politik, sosial dan budaya. MUI menjadi kontrol bagi pemerintahan dalam bidang keagamaan di Indonesia.


(26)

Terdapat buku-buku maupun artikel yang berhubungan dengan Hamka antara lain, buku yang ditulis oleh Yunan Yusuf yang mengkaji tentang corak pemikiran kalam Hamka dalam tafsir Al-Azhar. Kajian ini menulis tentang riwayat hidup Hamka dan proses panjang penulisan karya fenomenal dan monumental Tafsir Al-Azhar karya Hamka, penulis menjelaskan dengan sangat komprehensif dan cermat, mengingat penulis menguraikan dengan cermat dan gamblang akan pemikiran kalam Hamka dalam tafsirnya dengan mengelompokkan ayat-ayat tersebut dengan aliran ilmu kalam.24

Junus Hamzah yang berjudul Hamka Sebagai Pengarang Roman. Kajian Junus ini menggunakan pendekatan studi sastra yang menampilkan Hamka sebagai sosok sastrawan dengan latar belakang sebagai muslim. Memeang banyak karya-karya satra yang telah dihasilkan oleh Hamka, Ia juga menjelaskan pembicaraan masalah takdir disini dalam konteks perwatakan dari tokoh-tokoh utama roman-roman Hamka dengan latar belakang ajaran takdir.25

Fachry Ali, menulis sebuah artikel, “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia; Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya.” Fachry menyimpulkan bahwa Hamka seorang pembaharu Islam di Indonesia, dengan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya, Hamka memiliki kredibilitas yang tinggi. Pemahamannya yang luas mengenai agama dan juga pemikran-pemikiran membuat Hamka menjadi seorang yang berpandangan luas. Hamka adalah seorang ulama yang berada dalam posisi terdepan dalam masyarakat Islam

24

Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990), h. 26

25

Junus Amir Hamzah, HAMKA Sebagai Pengarang Roman; Sebuah Studi Sastra (Jakarta: Mega Book Store, 1964), h. 16-27


(27)

modern Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi. Ia berani mendobrak tradisi yang menyimpang dari ajaran agama Islam.26

Taufik Abdullah menulis tentang Buya Hamka: Aktor di atas pentas sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ia mengatakan bahwa Hamka dan para tokoh segenerasinya bukanlah termasuk "sang pemula" dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan Hamka dilahirkan ketika masyarakat Minangkabau meniti periode baru dalam sejarah sosialnya. Hamka adalah anak zamannya yang dilahirkan dan dibesarkan tokoh-tokoh yang mengukir sejarah Indonesia ketika gerakan reformasi Islam lahir dan menyebar. Hamka sebagai seorang ulama pemikir, muballigh, dan sastrawan bukan saja aktor di atas pentas sejarah tanah air, ia adalah hasil yang otentik dari lingkungan kesejarahan yang mengitari dirinya.27

Yang tidak kalah menariknya, bahwa orang di luar Indonesiapun mengkaji Hamka yakni James Rush. Studinya tentang Hamka, ia berkesimpulan bahwa Hamka dalam arti penting sebagai salah satu pelaku sejarah modern Indonesia yang turut berperan membuat formulasi ide-ide dikalangan bangsa Indonesia.28Paper ini hanya menjelaskan peranan Hamka dalam bidang politik sebagai seorang sufi, yakni orang yang mengutamakan moral diatas segalanya.

Dengan menjelaskan beberapa literatur yang menulis tentang Hamka, maka penulis yakin bahwa judul yang penulis angkat belum ada yang

26

Fachry Ali, “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia; Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuamgannya.” Prisma 4, (Februari 1983): h. 49

27

Taufik Abdullah, "Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia," dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 15-16

28

James Rush, “Hamka dan Indonersia Modern,”dalam Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Hamka. Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Panjimas, 1983), h. 449-460


(28)

membahasnya, yaitu peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mewujudkan suatu pembahasan yang sistematis, maka penulis menyusun skripsi ini kedalam beberapa bab. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran umum sekitar penelitian yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

Bab II. Membahas sejarah dan kepribadian Hamka, sejak ia lahir dan beranjak masa kanak-kanak, masa pencarian ilmu atau pendidikan, karya-karya yang di ciptakan Hamka, dan juga kondisi masyarakat saat itu.

Bab III: Membahas Keterlibatan Hamka di dalam Muhammadiyah. Mulai dari sejarah lahirnya Muhammadiyah, tujuan dan perkembangan Muhammadiyah di Indonesia sejak pertama kali berdirinya sekaligus tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam mendirikan dan mengembangkan Muhammadiyah di Indonesia. Jabatan-jabatan yang di miliki Hamka dan perannya di dalam Muhammadiyah, partai Masyumi, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Bab IV. Membahas Hamka dan gerakan Muhammadiyah di Indonesia, yaitu peran Hamka dalam organisasi Muhammadiyah ini dari beberapa aspek yang melingkupi politik, agama dan juga sosial budaya


(29)

BAB II

BIOGRAFI HAMKA

A. Sejarah dan Kepribadian Hamka

Luar biasa adalah ungkapan yang tepat bagi seorang Hamka, ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan dasarnya, dan ia tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, sehingga ia tidak memiliki ijazah pendidikan apapun, namun berhasil menjadi seorang ulama besar, juru dakwah yang kenamaan, yang memiliki berbagai disiplin ilmu, pintar dalam menulis dan bagus dalam berceramah, dan di depan namanya terdapat predikat keilmuan Prof Dr. “Si Bujang Jauh” itulah julukan Hamka karena begitu sering dan lamanya ia pergi ke berbagai negeri dan daerah.29 HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di Kampung Molek di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat 16 Februari 1908.30 Ibunya bernama Siti Safiyah31 dan Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul seorang pelopor Tajdid di Minangkabau.

Hamka seorang ulama yang multidimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar-gelar "Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak

29

Hery Sucipto dan Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafi’I Ma’arif (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 145

30

Ibid, h. 141

31

“Nama Saya Hamka,” dalam Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat, 3rd ed. (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h. 51


(30)

boleh hilang, setitik tidak boleh lupa.” Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek garis keturunan ibunya Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung. Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh,” berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago. Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.

Sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadziyyah Fakhriyyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Mentri menyebut ulama kharismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor Hamka.” Pada tahun 1955 ia dipilih untuk duduk menjadi anggota Konstituante mewakili partai Masyumi Jawa Tengah hingga Masyumi dan Konstituante dibubarkan oleh Soekarno dan kemudian ia juga menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975.

Terdapat beberapa faktor yang mendukung Hamka menjadi seseorang ulama, pujangga, sastrawan, sejarahwan, pejuang kemerdekaan dan sekaligus sebagai aktivis organisasi diantaranya,

Pertama, Faktor genealogis atau keturunan. Hamka merupakan keturunan dari seorang pejuang dan ulama Islam, Nenek moyang Hamka adalah Tuanku Pariaman. Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam


(31)

Bonjol di masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal dengan “Perang Paderi” (1821-1837).32 Kakeknya adalah Syekh Amrullah biasa disebut Tuanku Kisa-I dan ayahanda Haji Abdul Karim Amrullah yang biasa disebut sebagai Haji Rasul.

Syekh Amrullah adalah golongan "Kaum Tua" yang merupakan pengikut aliran Naqsabandiyah, Haji Rasul merupakan golongan "Kaum Muda" Minangkabau yang merupakan pembaharu Islam di Minangkabau.33 Hamka memiliki keunggulan kakeknya dan ayahnya. Hamka menjadi ulama penggerak modernisasi Islam di Indonesia dan ia yang juga memformulasikan tasawwuf ke arah yang positif.

Kedua, membaca, menghafal, menulis dan berbicara. Dalam Usia 6 tahun (1914) ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Ketika Hamka berumur tujuh tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya. Sejak 1916-1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatra Thawalib” di Padang Panjang dan Parabek. Guru-gurunya saat itu adalah Syeh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay.

Pada 1924 ia pergi ke tanah Jawa untuk mempelajari tentang pergerakan, Ki Bagus Hadikusumo mengajarkan tafsir, HOS Cokroaminoto yang mengajarkan "Islam dan Sosialisme," RM Suryopranoto untuk belajar Sosiologi, ia belajar

32

Shobahussurur, dkk., Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (Jakarta: YPI Al-Azhar, 2008), h. 4

33

Murni Jamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20 (Jakarta: INIS, 2002), h. 95


(32)

"Agama Islam" dengan KH. Fakhruddin.”34 Ia memperdalam pengetahuannya dengan buku-buku mengenai sejarah, kebudayaan, filsafat, sastra, serta sejumlah karya pengarang-pengarang barat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Alber Camus, Jean Paul Sarte, Wiliam James, Freud, Toynbee sampai Karl Marx. Pengetahuannya yang luas membuat ia produktif dalam menulis, banyak sekali karya-karya yang telah dilahirkan oleh Hamka, tercatat sekitar 113 buak karya tulis yang telah dibuat, termasuk beberapa majalah.

Kebiasaan mengahafal membuat Hamka memiliki daya ingat yang sangat kuat. Seakan-akan tiap pengalaman yang dialami merupakan sesuatu yang sangat intens, betapapun sebenar-benarnya “biasanya” pengalaman itu. Tingkat intensitas ini seakan tidak memudar walaupun ia menerimanya dari tangan kedua. Tulisan-tulisan Hamka tidak pernah gersang, karena ia terluluh didalam masalah yang ditulisnya. Engage, orang Minangkabau menyebutnya.35walaupun begitu tidak semua bisa diungkapkan oleh Hamka bukan hanya soal ingatan, tetapi yang lebih penting apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya yang merupakan sebagian realitas dari peristiwa yang diceritakan. Selain itu Hamka juga seorang pembicara yang handal setelah ia belajar tentang pergerakan di Jawa, hingga ia mendapat julukan singa podium karena kepiawaiannya dalam berorasi.36

Ketiga, merantau. Pergi merantau menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya untuk mengenal dunia luar yang luas dimana mereka

34

Rusydi Hamka, "Hamka: Kepribadian, Sejarah, dan Perjuangannya," dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 71

35

Taufik Abdullah, "Masa Awal Muhammadiyah di Minangkabau: Cuplikan dari Arsip Belanda," dalam Kenang-Kenangan 70 Tahun Hamka (Jakarta: Nurul Islam, 1978), h. 131

36


(33)

akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang.37 Kebanyakan orang Minangkabau keluar daerahnya memiliki dua hala yang pertama berdagang, yang kedua menuntut ilmu. Selain berkeliling ke pulau-pulau di Indonesia, terdapat Perjalanan Buya Hamka ke luar negeri dalam kegiatan Internasional diantaranya: Tahun 1950 berkunjung ke negara-negara Arab, Saudi Arabia, Mesir, Syria, Irak, dan Libanon, menemui sejumlah pengarang dan ulama-ulama di negara tersebut. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika memenuhi undangan State Departement (Kementrian Luar Negeri), berkeliling di negara tersebut selama 4 bulan.

Tahun 1953-1954 menjadi Missi Kebudayaan RI ke negara Muangthai dipimpin Ki Mangunsarkoro. Tahun 1954 ke Burma mewakili Departemen Agama RI dalam perayaan 2000 tahun wafatnya Budha Gauthama. Tahun 1958 menghadiri Konferensi Islam di Lahore, dari sana melanjutkan perjalanan ke Mekkah untuk Umrah dan ke Kairo untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa Univesitas Al-Azhar. Tahun 1967 ke Malaysia sebagai tamu Negara (Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman). Tahun 1968 sebagai Anggota Delegasi Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Islam di Rabbat, Ketua Delegasi adalah KH. M. Ilyas.

Tahun 1968 ke Aljazair menghadiri Peringatan Masjid Annabah, kemudian melanjutkan perjalanan ke Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland. Tahun 1971 menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Tahun 1975

37

William H. Federick dan Soeri Soeroto, ed., Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, 3rd ed. (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 333


(34)

mengahdiri Muktamar Masjid di Mekkah sebagai Ketua Delegasi Masjid di Indonesia. Tahun 1976 menghadiri Konferensi Islam di Kucing Ibukota Serawak, Malaysia Timur. Tahun 1976, seminar 2000 tahun Malaysia di Kuala Lumpur, di prakarsai oleh Yayasan Sabah. Tahun 1976 menghadiri Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Kuala Lumpur dengan paper Pengasuh Islam pada Kesusastraan Melayu. Tahun 1977 menghadiri upacara pengislaman Gubernur Serawak Malaysia Timur. Tahun 1977 menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore Pakistan. Tahun 1977 menghadiri Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah), sebagai Ketua Delegasi Indonesia di Kairo.38

Keempat, Masjid Al-Azhar dan Tafsir Al-Azhar, kedua peninggalan Hamka merupakan pusaka peninggalannya yang sangat berharga. Pada 1959 Universitas Al-Azhar memberikan gelar Ustadziyyah fakhriyyah (Doktor Honoris Causa) kepada Hamka.39 Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. Muhammad Al-Bahay berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah satu agendanya adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru. Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, Mahmoud Syaltout memberikan nama bagi Masjid Kebayoran Baru itu dengan nama Masjid Al-Azhar. 40 Sejak saat itu semua orang sepakat melekatkan nama Masjid Agung Al-Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran baru.

38

Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Hamka. Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Nurul Islam, 1978), h. 285

39

Sucipto dan Ramly,Tajdid Muhammadiyah, h. 146

40


(35)

Setiap kuliah subuh Hamka selalu memberikan pelajaran tafsir di Masjid Agung Al-Azhar. Pada tahun 1962. Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya menerbitkan sebuah majalah bernama Gema Islam ketika Hamka menjadi pemimpin redaksinya. Rangkaian pelajaran tafsir kuliah subuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberikan nama “Tafsir Al-Azhar,” merujuk kepada tempat dimana tafsir itu diberikan sekaligus penghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir).

Surat pertama yang dikaji adalah surat Al-Kahfi, juz XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya yang dimulai sejak 1958, kemudian dimuat di majalah Gema Islam pada 1962 hingga Januari 1964. Mulai saat itu Hamka memiliki hasrat untuk menyusun tafsirnya dalam kitab-kitab yang kemudian diberi nama Tafsir Al-Azhar.41

B. Karya-Karya Hamka

Terdapat sekitar 113 buah karya yang telah dibuat oleh Hamka, beberapa karya Hamka mengenai Filsafat diantaranya: Falsafah Ideologi Islam (1950), Falsafah Hidup (1970), Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Renungan Tasawwuf (1985), Tasawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya (1980), Tasawwuf Modern (1981), Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad (1952), Tafsir Al-Azhar 30 juz

Karya Hamka mengenai Agama diantaranya: Akhlaqul Karimah (1992), Agama dan Perempuan (1939), Do’a-Do’a Rasulullah SAW (1974), Khatibul

41

Yunan Yusuf, “Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, dan Universitas Al-Azhar Indonesia,” dalam Afif, Buya Hamka, h. 94


(36)

Ummah, jilid I ditulis dalam bahasa Arab, Khatibul Ummah, jilid II, Khatibul Ummah, jilid III, Hikmat Isra’ dan Mi’raj, Bohong di Dunia (1975), Karena Fitnah, Lembaga Hidup (1962), Lembaga Budi (1980), Lembaga Hikmat (1953), Pedoman Muballigh Islam (1937), Pandangan Hidup Muslim, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (1958), Pelajaran Agama Islam (1956), Studi Islam (1985), Tanya Jawab I dan II (1975, Tjahaya Baru (1950), Pembela Islam: Tarikh Sayyidina Abu Bakar Shiddiq (1929), Kepentingan Melakukan Tabligh (1929), Keadilan Ilahi (1939)

Karya Hamka mengenai Kesusastraan diantaranya: Dari Hati ke Hati (2002), Dari Lembah Tjita-Tjita (1967), Mengembara li Lembah Nil (1950), Di Dalam Lembah Kehidupan (1976), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1979), Di Tepi Sungai Dajlah (1950), Di Jemput Mamaknya (1939), Di Lamun Ombak Masyarakat, Empat Bulan di Amerika, Jilid I (1953), Empat Bulan di Amerika, Jilid II (1953), Margaretha Gauthier (1975), Merantau ke Deli (1977), Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950), Menunggu Beduk Berbunyi (1947), Tuanku direktur, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1979), Laila Majnun, Balai Pustaka (1932)

Karya Hamka mengenai Politik diantaranya: Adat Minangkabau menghadapi Revolusi (1946), Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983), Falsafah Ideologi Islam (1950), Ghirah dan Tantangannya Terhadap Islam (1982), Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968), Islam; Revolusi Ideologi Islam, tahun 1950, Islam dan Demokrasi, tahun 1946, Islam dan Adat Minangkabau (1985), Keadilan Sosial dalam Islam (1950),


(37)

Merdeka, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Negara Islam (1946), Revolusi Fikiran (1946), Revolusi Agama, Sesudah Naskah Renville, Semanagat Islam, Urat Tunggang Pancasila, Ekspansi Ideologi: Alghazwul Fikri (1963)

Karya Hamka mengenai sejarah diantaranya: Ayahku, tahun 1992, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao,”tahun 1970, Dari Perbendaharaan Lama, tahun 1963, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I ( 1974 (autobiografi sejak lahir 1908 sampai ( 1950), Kenang-Kenangan Hidup, Jilid II, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid III, Kenang-Kenangan Hidup, jilid IV, Sejarah Umat Islam Jilid I, di tulis ( 1938 diangsur hingga 1950, Sejarah Umat Islam Jilid II, Sejarah Umat Islam Jilid III, Sejarah Umat Islam Jilid IV, Sejarah Hidup Jamaluddin Al- Afghani, Sejarah Islam di Sumatera, Adat Minangkabau dan Agama Islam, ( 1929, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, ( 1929, Sesudah Naskah Renville, ( 1947

Karya-karya Hamka yang lain diantaranya: Muhammadiyah di Minangkabau (Dalam Kongres Muhammadiyah di Padang) (1975), Arkanul Islam, Makassar (1932), Mati Mengandung Malu yang merupakan Salinan al-Manfaluthi (1934), Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946), Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret (1947), Pribadi (1950), 1001 Soal Hidup yaitu kumpulan karangan pada Pedoman Masyarakat (1950), Soal-Jawab yang disalin dari karangan-karangan Majalah “Gema Islam” (1960), Himpunan Khutbah-Khutbah, Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973), Islam dan Kebathinan (1970), Sayyid Jamaluddin Al-Afghani (1965), Cita-Cita Kenegaraan dalan Ajaran Agama Islam: makalah Kuliah Umum di University Keristan (1970)


(38)

Terdapat beberapa majalah yang dipimpin oleh Hamka diantaranya: Kemauan Zaman (1929), Tentera, 4 nomor terbit di Makassar (1932), Al-Mahdi, 9 nomor terbit di Makassar (1933), Pedoman Masyarakat (1936-1942), Semangat Islam (1944-1948), Menara (1946-1948), Panji Masyarakat (1959)

C. Kondisi Sosial Masyarakat

Terdapat beberapa fase dalam perjalanan hidup Hamka, pertama yaitu munculnya gerakan nasionalis di Minangkabau. Pertentangan tersebut yaitu antara mayoritas penduduknya yang teguh memeluk Islam dengan adat yang matrilineal dalam stratifikasi masyarakat Minangkabau. Gagasan yang memungkinkan bersatunya masyarakat Minangkabau dengan pepatah “Adat dipimpin oleh penghulu, agama oleh ulama, pemerintah oleh cendikiawan," ketiganya terjalin menjadi satu. Di Minangkabau memang telah memiliki adat yang bertentangan dengan ajaran Islam, terutama mengenai pembagian waris melalui garis keturunan ibu. Permusuhan antara Belanda terhadap kekuasaan Islam yaitu dengan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi untuk melawan Belanda atas dasar agama sebagai alasannya.42

Haji Rasul mendirikan sekolah yang bernama Sumatera Thawalib43. Sumatera Thawalib ini sangat berbeda dari surau tradisional, karena metode

42

Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 150-151

43

Thawalib School adalah pengembangan pendidikan yang ada di Surau Jembatan Besi. Ini terjadi setelah Syekh Abdul Karim Amrullah kembali dari perjalanannya ke tanah Jawa. Pada awalnya, Thawalib School masih menggunakan cara pengajian di Surau, buku-buku dan kitab yang digunakan masih dengan buku-buku lama, perubahan yang dilihat yaitu terdapatnya pembagian kelas-kelas yang terbagi menjadi tujuh kelas. Lihat Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 54-55


(39)

pengajarannya inovatif, memasukkan pelajaran sekuler ke dalam kurikulumnya, dan sesuai dengan ajaran agama mereka, yang memberi tekanan pada pentingnya fikiran dan keputusan pribadi daripada menerima begitu saja ajaran-ajaran Islam tradisional. Sungguhpun kaum modernis angkatan pertama ini membatasi penggunaan prinsip-prinsip ini hanya pada masalah-masalah agama, lalu berkembang pemikiran antara keyakinan Islam dengan nasionalisme anti-kolonial dan fikiran-fikiran sosialisme.44

Pada tahun 1924 sebelum Hamka pergi ke pulau Jawa. Ketika itu Padang Panjang sudah ada hawa baru. Haji. Dt. Batuah dan kawannnya, Natar Zainuddin, telah kembali dari perlawatannya dari pulau Jawa. Mereka membawa paham baru yaitu komunis. Paham baru itu ditebarkan terutama di kalangan murid-murid Sumatera Thawalib. Banyak juga murid-murid Sumatera Thawalib yang tertarik ke dalam komunis. Pertengkaran antara modernis generasi pertama dengan anak-anak didik mereka mengenai politisi sekolah telah memecah belah Sumatera Thawalib pada tahun 1920-an, bahkan pendirinyapun Haji Rasul melepaskan diri dari Sumatera Thawalib yang telah dibangunnya itu, karena telah didominasi oleh faham komunisme yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Komunis yang digembor-gemborkan di sana adalah benci kepada pemerintah Belanda dengan alasan Qur’an dan Hadist, melawan penindasan kaum kafir karena penjajahan kaum kapitalis, Imperialis, yang berlawanan dengan ajaran Islam. Maka dari itulah banyak murid-murid dari Sumatera Thawalib yang ikut dalam pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin komunis, yang pecah di

44


(40)

Sumatera Barat pada bulan Januari 1927.45 Tetapi ketika pemberontakan-pemberontakan tersebut dipadamkan oleh Belanda, di Sumatera Barat bangkit kembali gerakan kebangsaan yang dipimpin oleh kaum agamawan. Sebagaimana telah terjadi pada tahun 1922 telah terjadi perpecahan dalam Sarekat Islam, yaitu “SI Merah” dan “SI Putih,” SI Merah menjadi komunis dan yang putih tetap dalam ajaran Islam.

Diantara pemimpin-pemimpin SI Merah ialah H. Misbah di Solo. Majalahnya "Medan Muslimin" banyak tersebar di Padang Panjang. H. Dt. Batutah adalah pengikut H. Misbah, sebagaimana menurut Haji Rasul bahwa H. Misbah telah mempelajari teori ekonomi Karl Marx tidak sampai inti, ia meninggalkan kepercayaannya kepada Tuhan, dan H. Dt. Batutah terus berpegang teguh hingga wafat.

Thawalib mulai dimasuki komunis, Haji Dt. Batutah mengeluarkan satu majalah bernama "Pemandangan Islam." Titik berat penyerangan sebagai kebiasaan kaum komunis yaitu menyerang pemimpin-pemimpin Islam yang berpengaruh. HOS. Cokroaminoto adalah target serangan, penghinaan, cacian. Ia dituduh menghabiskan uang rakyat, menggelapkan atau korupsi yang saat itu disebut “mencokro,” dan dia dituduh sebagai dalang berkembangnya imperialis. Muhammadiyah dituduh “Sarekat Hijau” yang didirikan oleh Belanda untuk menghisap rakyat dan yang Islam sejati adalah komunis. Inilah propaganda yang terus di lakukan komunis di Padang Panjang.46

45

Murni, Jamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Abad ke-20 (Jakarta: INIS, 2002), h. 47

46


(41)

Pada tahun 1930 dibuat sebuah gerakan baru yang bernama Permi (Persatuan Muslim Indonesia), sebuah partai politik yang berakar didaerah itu yang didirikan oleh tamatan Sumatera Thawalib dan juga para ulama yang baru pulang dari studi ke Kairo. Pada tahun 1933 Hatta baru pulang dari studi di Belanda, dan mendirikan cabang partainya di Minangkabau yaitu PNI Baru, dan mengangkat Khatib Sulaiman sebagai pemimpinnya.

Tahun 1933, kolonial Belanda mengambil tindakan keras terhadap aktivitas kaum nasionalis di seluruh Indonesia. Belanda banyak menahan anggota Permi dan juga pemimpin terkemuka dari partai agama yang radikal yang satunya lagi di Sumatera Barat, yaitu PSII. Padahal orang-orang yang sekuler seperti PNI Baru tidak ditahan. Tekanan Belanda memaksa Permi bubar.47 Pada tahun-tahun ini guru-guru di sekolah Sumatera Thawalib, perguruan-perguruan Islam dan organisasi-organisasi pemuda tetap mendidik muridnya dengan mengkombinasikan cita-cita nasional dan Islam.

Kini, pihak Jepang mencoba mengembangkan para guru Islam tradisional pedesan sebagai mata rantai utama, akan tetapi banyak menemui kesulitan antara pihak Jepang dengan para pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dengan kaum Islam modernis. Ayahanda Hamka, Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap membungkuk sebagai penghormatan kepada Kaisar di Tokyo yang bertentangan dengan kewajiban seorang muslim untuk shalat menghadap Mekkah dan tunduk hanya kepada Allah.48

47

Kahin, Pergolakan, h. 152-153

48


(42)

Sejak 1944 Hamka sengaja menjauh dari Nippon. Kalau tidak perlu benar, dia tidak mendekat, sampai Tyokan menanyakan kenapa Hamka tidak datang-datang lagi. Hingga 7 September 1944 ketika Perdana menteri Koiso yang menggantikan PM Tojo, menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia dihari depan. Ketika berita itu beredar Hamka kedatangan dua orang wartawan Yahya Ya’kub dan Hadely Hasibuan dari Domei (kantor betita Jepang). Janji Kemerdekaan yang akan diberikan Jepang karena mereka terdesak dalam beberapa peperangan dengan kekalahan. akan tetapi Jendral Koiso Kuniaki (1944-1945), ia memiliki kecenderungan untuk memberikan kemerdekaan semu bagi Indonesia. Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi “To-Indo” dalam bahasa Jepang untuk “Hindia Timur” yang terus dipakai hinga 1945. Akan tetapi, dia tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu. Hingga Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.

Kedua, terjadinya pertentangan Internal dalam masyarakat Minangkabau. "Kaum Tua" dan "Kaum Muda" di Minangkabau sangat berperan bagi perubahan sosial kemasyarakatan di Minangkabau. Haji Rasul juga merupakan tokoh gerakan “Kaun Muda” yang saat itu sangat gencar mempertahankan pendirian dan pandangannya. Tokoh Tiga Serangkai yaitu Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek,49 dan Haji Abdullah Ahmad. Mereka menentang

49

Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah seorang tokoh Kaum Muda. ia di lahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 sebagin anak dari Muhammad Saleh Datuk Malaka, Kepala Nagari Kurai. Ia memperoleh pendidikan di sekolah rendah yang mempersiapkan pelajar-pelajar untuk sekolah guru (Kweekschool). Pada tahun 1896 ayahnya membawa ia ke Mekkah dan bermukim selama 9 tahun untuk mempelajari agama hingga tahun 1903. Pada tahun 1918 ia mendirikan lembaga yang bernama Surau Insyik Djambek, surau ini di gunakan untuk memberikan pelajaran agama dan juga sebagai tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam. Syekh Djamil Djambek adalah seorang yang ahli dalam ilmu falak, ia yang membuat jadwal shalat dan juga waktu puasa bulan Ramadhan, ia membuat ini sejak 1911. Pada tahun 1913 ai mendirikan


(43)

praktek-praktek keagamaan yang menyimpang berupa bid’ah, takhayul dan khurafat.

Syekh Ahmad Khatib dengan tegas melarang praktek-praktek agama yang dicemari dengan kaifiyat-kaifiyat yang bid’ah-bid’ah dan ia juga menentang keras pembagian harta waris yang diambil dari garis keturunan Ibu, karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang telah dibuat dalam faraid. Hal itu yang diajarkan Haji Rasul sepulangnya ia ke Minangkabau, tetapi banyak diantara murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Diantara mereka yang terkenal adalah Syekh Khatib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsabandi yang menyusun kitab “Miftah ad-Din”, juga ulama Kaum Tua lain bernama Sulaiman ar-Rusuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul banyak mendapat tantangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling keras menentang ialah Syekh Muhammad Sa’ad Mungka.50

Haji Rasul atau Syekh Abdul Karim Amrullah sangat mengecam keras praktek ajaran tarekat yang disebut rabitah dan wasilah, dengan menulis sebuah buku berjudul Qati’u Razbi al Mulhidin (Pemotong Tusukan Orang-Orang Yang Ilhad). Haji Abdullah Ahmad mendirikan sebuah majalah yang diberi nama “ Al-Munir” tahun 1911, majalah ini merupakan wadah bagi gerakan Kaum Muda yang memuat artikel tentang masalah agama dengan tujuan agar umat Islam memiliki pengetahuan yang berguna dan membersihkan Islam dari tuduhan sebagai

“Tsamarotul Ikhwan,” yaitu organisasi yang bersifat sosial yang menerbitkan artikel dan juga brosur-brosur tentang agama. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 8th ed. (Jakarta: LP3ES. 1996), h. 42-44

50


(44)

penghambat kemajuan.51Al Munir memuat artikel-artikel yang berisi kritikan pedas terhadap tradisi keagamaan masyarakat luas, seperti masalah usalli, kenduri di rumah orang kaya yang kematian, berdiri ketika membaca barzanji, mentalqinkan mayat di atas kubur, masalah tasyabbuh, masalah taqlid yang dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. 52

Selain itu juga Haji Rasul mengeluarkan fatwa dibolehkannya khutbah dalam bahasa yang difahami oleh umat di tempat itu dan kalaulah memakai bahasa Arab cukuplah saja rukun-rukunya saja, agar khutbah itu memiliki faedah dan petunjuk bagi kaum muslimin.53

Gerakan Kaum Muda ini mendapat reaksi atau tantangan dari kalangan ulama Kaum Tua yang merasa posisi mereka terdesak dan dipersalahkan, sehingga mereka juga mengeluarkan kritik yang pedas bagi Kaum Muda yaitu bahwa mereka telah keluar dari mazhab Ahli Sunnah wal jama’ah, Mu’tazilah, Wahabi dan, Khawarij.54 Oleh karena itu sejak kecil Hamka sudah akrab dengan dialog-dialog tentang perdebatan antara Kaum Muda dan Kaum Tua mengenai Agama.

51

Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990), h. 26

52

Ibid., h., 27

53

Hamka, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), h. 7

54


(45)

BAB III

KETERLIBATAN HAMKA DALAM MUHAMMADIYAH

A. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah

Lahir suatu pemikiran baru atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan dari kondisi kehidupan sosial dan budaya yang melingkupinya. Boleh jadi, munculnya pemikiran atau gerakan baru itu merupakan respons terhadap kondisi yang ada. Atau sebaliknya, yaitu sebagai kekuatan yang ditujukan untuk mendukung kemapanan itu sendiri agar menjadi lebih kukuh. Yang jelas, salah satu dari kedua motivasi tersebut selalu ada dalam setiap fenomena yang muncul. Namun untuk menjelaskan proses kemunculan suatu fenomena tentu tidak begitu mudah, karena banyaknya faktor yang saling berpengaruh. Begitu juga dengan Muhammadiyah55 sebagai gerakan Islam bercorak modernis yang berdiri awal abad ke-20 M tentu

55

Secara bahasa (etimologis), Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad saw.” yaitu nama Nabi dan Rasul Allah SWT yang terakhir, kemudian mendapat tambahan ‘ya’ nisbah yang artinya menjeniskan atau menisbahkan. Jadi Muhammadiyah itu “umat Muhammad saw” atau ‘pengikut Muhammad saw’, yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Dengan demikian siapapun yang mengaku beragama Islam sesungguhnya ia adalah Muhammadiyah tanpa harus dilihat dan dibatasi oleh adanya perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis, dan sebagainya.

Secara Istilah (terminologi), Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah ma’ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafaul (berpengharapan baik) dapat mencontoh jejak perjuangan Nabi Muhammas saw dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai cita-cita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagi realita. Lihat Mustafa Kamal Pasya, dkk., Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), h. 43-44


(46)

tidak dapat dipisahkan dari situasi serta sejumlah faktor yang melatarbelakangi kemunculannya di Indonesia.56

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan57 atas saran murid-muridnya dari Budi Utomo untuk mendirikan sebuah lembaga yang permanen.58 Muhammadiyah didirikan dengan maksud untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad kepada penduduk Indonesia. Organisasi ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membahas

56

Muhammadiyah yang lahir di Indonesia merupakan respons dari situasi dan kondisi masyarakat yang terpuruk akibat kolonialisme Belanda dan ajaran Islam yang dipandang sudah tidak murni dan bercampur dengan ajaran yang menyimpang. Lihat. Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), h. 18-19

57

Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan pedagang.

Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya. Di samping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha." Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa. Di samping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri dan perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat. Lihat Y.B. Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf (Jakarta: Rasindo, 1996), h. 64

58

Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 84


(47)

masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid dan juga membuat buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah.59

Dalam satu muktamarnya, Muhammadiyah mempertegas Landasan geraknya dengan pernyataan berikut. Keberhasilan Muhammadiyah, antara lain dalam pembaharuan pemikiran Islam dengan mengembalikan pada sumbernya yang asli, yakni al-Qur’an dan Sunnah dengan mengembangkan ijtihad, sikap, dan pemikiran yang apresiatif terhadap kemajuan modernisasi pendidikan modernisasi gerakan organisasi modern, dan dalam meningkatkan kualitas hidup ummat dan masyarkat melalui gerakan amal usahanya dibidang pendidikan, kesejahteraan umat, pelayanan sosial, membangun sarana dan prasarana fisik, dan upaya-upaya dakwah lainnya, baik yang bi al-qawl maupun bi al-hal.”60

Faktor-faktor yang mendukung lahirnya Muhammadiyah di Indonesia: 1. Munculnya Gerakan Modern Islam di Indonesia

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukkan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progressif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran Imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan ferormis puritanis (Salafiah), gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad

59

Noer,Gerakan Modern, h. 86

60

Siti Chamamah Suratno, "Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam-Nasional," dalam Baidhawy dan Jinan, ed., Agama dan Pluralitas, h. 32


(48)

ke-20 yang lebih bersifat intelektual.61 Maka dari itulah tidak ada tempat takut kecuali kepada Allah. Dan Wahabi menentang keras sikap jumud, karena itu membuat agama menjadi beku.62

Akhir-akhir abad 19 gagasan pembaharuan Islam mulai diperkenalkan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Muslim Indonesia yang menyadari terjadinya pembaharuan di dunia Islam, khususnya di Mesir. Seperti pembaharuan yang dikembangkan oleh Jamal Al-Din Al-Afghani,63 Syekh Muhammad Abduh64 dan penerusnya Muhammad Rasyid Ridha65 mulai mendapat respons dari masyarakat Indonesia.66

61

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, 12nd ed. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 257

62

Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Medan: Madju, 1963), h. 179

63

Jamaluddin Al-Afghani lahir di dekat Kabul, Afghanistan pada tahun 1839 M dan Meninggal di Istambul, Turki pada tahun 1897 M.

Adapun pokok-pokok pemikirannya dalam masalah keagamaan antara lain: Pertama: Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa pada segala masa. Kedua: Untuk menjawab segala perkembangan dan tantangan zaman yang senantiasa maju karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka adalah pendirian yang benar, sebab hanya dengan jalan ijtihad tantangan tersebut dapat di jawab. Ketiga: Umat Islam dimana-mana terlihat dalam perpecahan dan kehancuran. Hal ini terjadi karena lemahnya tali persaudaraan, lemahnya rasa ukhuah Islamiyah dan solidaritas Islam.

Disamping pemikiran keagamaan seperti diatas, Jamaluddin Al-Afghani juga banyak berbicara dan berbuat dalam bidang politik, antara lain: Pertama: Tidak henti-hentinya mengingatkan kepada dunia Islam terhadap ancaman dan bahaya penjajahan bangsa-bangsa Barat. Kedua: Dunia Nasrani, sekalipun mereka berbeda-beda dalam keturunan dan kebangsaan, manakala mengahadapi Timur, khususnya Islam, mereka bersatu untuk mengahncurkan negara Islam. Ketiga: Perang Salib masih tetap berkobar sepanjang masa, demikian juga semangat fanatik petapa Petrus. Keempat: Harus diciptakan suatu kepastiah hukum dalam penyelenggaraan negara. Di dalamnya juga ditentukan batas-batas kekuasaan dan kewenangan dari para penyelenggara negara agar dengan demikian para penguasa tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang (despotis). Lihat Sutarmo, Muhammadiyah, h. 19-20

64

Muhammad Abduh dilahirkan di suatu desa di Mesir pada tahun 1849 M dan meninggal pada tahun 1905. Sesudah menamatkan studinya di Universitas Al-Azhar dengan predikat “Alim (Cum Laude), kemudian ia diangkat sebagai dosen di Universitas Al-Azhar itu juga. Muhammad Abduh menegaskan bahwa umat Islam hanya bisa bangkit dari kenistaan hidupnya kalau mereka mau membekali jiwa dan semangat berkorban semata-mata karena Allah SWT dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman hidupnya.

Adapun pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh antara lain: Pertama: sebab musabab yang membawa kemunduran umat Islam karena adamya kejumudan atau kebekuan berfikir di kalangan umat Islam, yaitu kebekuan dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini populer sekali ucapannya yang berhubungan dengan jumudnya umat Islam Al-Islamu mahjubun bil muslimin. Artinya ajaran Islam tertutup kesempurnaannya oleh umat Islam sendiri. Kedua: Ajaran


(49)

Di antara sekian banyak daerah Muslim di Asia Tenggara, kepulauan Nusantara merupakan bagian terpenting yang paling tidak sejak awal abad ke-19 M. sebagaimana diakui oleh Alfian (1989), telah muncul bibit-bibit pembaruan yang bercorak Wahabi yang ditandai dengan kepulangan tiga orang haji dari studinya di Mekkah.67Berkembangnya ide-ide pembaruan dari Timur Tengah ke daerah-daerah kepulauan Nusantara itu menjadi sangat mungkin, karena salah satunya adalah semakin meningkatnya Jama’ah haji Indonesia sejak akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke-20 M. jama’ah haji tersebut bukan hanya ingin menunaikan ibadah haji semata-mata, akan tetapi hal yang sangat penting adalah semangat untuk belajar agama Islam langsung berasal dari tempat Islam itu muncul. Oleh sebab itu, tidak dapat dielakkan lagi bahwa para pelajar yang berasal dari tanah Jawi itu bersentuhan dengan gagasan pembaruan yang sedang

Islam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal fikiran. Oleh sebab itu, agama Islam adalah agama yang sesuai dengan akal. Ketiga: Ajaran Islam pasti sesuai dengan pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, umat Islam harus sanggup mendalami ilmu pengetahuan modern. Keempat: Satu-satunya usaha yang harus ditempuh untuk memajukan ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam ialah dengan mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Lihat Ibid., h. 20-21

65

Rasyid Ridha adalah salah satu murid Muhammad Abduh yang sangat cerdas, dan termasuk murid yang paling disayangi dan paling dekat dengan gurunya. Ia dilahirkan di sebuah desa Libanon pada tahun 1865 dan wafat pada tahun 1935. Pokok-pokok pemikirannya dalam pembahruan Islam dapat dikatakan sama dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, iapun dikenal sebagai politikus yang sangat cermat.

Adapun pokok-pokok pikiran pembaharuan Rasyid Ridha antara lain: Pertama: Paham umat Islam tentang agamanya serta tingkah laku mereka banyak yang telah menyeleweng dari ajaran Islam yang suci murni. Untuk itu umat Islam harus dibimbing ke jalan Islam yang sebenarnya, yang bersih dari segala macam bentuk bid’ah, khurafat, serta syirik. Kedua: Agar segera terwujud kesatuan dan pesatuan umat Islam, sekali-kali jangan didasarkan pada kesatuan bahasa atau bangsa, tetapi atas dasar kesatuan iman dan Islam. Di samping itu, dianjurkan kepada umat Islam agar dijaga kerukunan umat Islam atas dasar penuh toleransi atau tengang rasa sekalipun mazhab mereka berbeda-beda. Ketiga: Kaum wanita harus diikutsertakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Keempat: Sebagian paham dan ajaran kaum Sufi dianggapnya memperlemah agama Islam karena mereka melalaikan tugas kewajibannya diatas dunia. Mereka menenemkan paham yang pasif, pasrah pada keadaan tanpa berusaha dan berikhtiar. Padahal yang benar ialah bahwa ajaran Islam adalah agama yang penuh dinamika dan optimisme, yang mendorong umatnya agar aktif mengolah bumi untuk mendapatkan kenikmatan Allah dan mensyukurinya. Lihat Ibid., h. 21-22

66

Shihab, Membendung Arus, h. 128-129

67


(50)

berkembang di Timur Tengah saat itu. Hampir dapat dipastikan bahwa dari kelompok inilah yang menjadi penggerak utama pembaruan di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-20.68

2. Sikap Beragama Masyarakat Jawa

Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia Belanda (Indonesia), terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik. Kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari Hindhu-Budha, terbentuk falsafah baru berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang animistik. Bentuk-bentuk kepercayaan baru tersebut berupa ruh-ruh nenek moyang yang dianggap penjelmaan dari Tuhan. Kepercayaan semacam itu memberikan kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan dalam cara-cara berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Ketika agama Islam datang ke Indonesia, kepercayaan-kepercayaan tradisional tersebut masih melekat. Kedatangan ahli-ahli tasawwuf itu pada masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawwuf dari Persia dan India, tetapi masih berkisar di Pulau Jawa dan Sumatera.69Islam yang di bawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke Nusantara dengan corak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari sistem kepercayaan Hindhu-Budha. Dengan demikian Islam dapat masuk ke Nusantara dengan cara damai, karena di antara unsur-unsur terdapat persamaan dengan pola kepercayaan dan pemikiran orang Jawa khususnya, dan pulau-pulau di Nusantara pada umumnya.

68

Ibid., h. 17-18

69

Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), h. 203


(51)

Hal ini memungkinkan terjadinya pembaruan antara keyakinan-keyakinan tradisional dengan ajaran Islam yang bercorak tasawwuf. Muncullah keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Harry J. Benda menyimpulkan bahwa Islam di Jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan kurang murni jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.70 Paling tidak bahwa untuk jangka waktu yang lama sebagai pemenang agama di Jawa adalah Agama Kejawen, adat-istiadat Jawa, feodalisme Jawa, dan bukannya peradaban Islam yang urban. Kemenangan Agama Kejawen atas Islam dalam waktu yang lama itu menjadikan kehidupan umat Islam Jawa dilingkupi oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang dianggap dapat mempengaruhi nasib. Seperti kepercayaan kepada keramat yang dimiliki orang-orang yang disucikan, para dukun, dan sebagainya. Semuanya masih menjadi bagian kehidupan yang tak terpisahkan sampai awal abad ke-20 M71

Dari keyakinan sinkretis ini maka muncullah pengamalan ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang selanjutnya tampil dalam bentuk takhayul, bid’ah, dan khurafat. Keyakinan sinkretis sebagai asimilasi kebudayaan yang lama dengan ajaran Islam itu kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “Agama Jawa” atau Kejawen.72 Dari sinilah Muhammadiyah muncul sebagai gerakan purifikasi.

3. Pendidikan, Kristenisasi dan Politik Islam Hindia Belanda

70

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), h. 31

71

Sutarmo, Muhammadiyah…,h. 21

72

Geertz memakai istilah “Kejawen” dihadapkan dengan kelompok santri. Kelompok kejawen ciri-cirinya adalah tidak menjalankan ibadah formal seperti shalat, puasa, selametan, dll, tetapi tetap mengaku sebagai pemeluk Islam. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 13


(1)

BAB V KESIMPULAN

Sebagaimana telah dirumuskan bahwa penelitian dengan judul Peranan Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di Indonesia menunjukkan bahwa: Hamka adalah sosok yang fenomenal dalam pemikiran maupun perjuangan keumatan dan kebangsaan sekaligus. Sebagai putra daerah (Minangkabau), Hamka telah menjadi salah satu putra terbaik Indonesia. Beliau sanggup menghadirkan sesuatu yang sangat monumental dan fenomenal. Contoh yang diberikan Hamka bisa diaplikasikan dalam membangun daerah tanpa harus kehilangan jati diri atau ragu-ragu untuk mengembangkan daerahnya, tetapi tetap memiliki akar ideologi yang kuat. Hamka mengajarkan agar mampu untuk terus mengembangkan diri dan kemudian menghadirkan dinamisasi yang sangat hidup.

Beliau adalah seorang pemimpin yang mempunyai keberanian untuk mengambil resiko dari sikap yang ia yakini, di dalam Muhammadiyah beliau memangku beberapa jabatan mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, Ketua Tabligh, Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, menjadi Muballigh di Bengkalis dan Makassar, menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah, Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur, Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, sampai terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1953 hingga 1971, dan sampai akhir hayatnya ia diangkat sebagai penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai


(2)

tokoh Muhammadiyah, beliau mengilhami para tokoh muda Muhammadiyah, beliau menjadi guru dan juga seorang pencetak kader bagi Muhammadiyah. Yang paling mencolok adalah beliau seorang Muhammadiyah yang bisa diterima kalangan organisasi Islam linnya, terutama di kalangan kaum Nahdiyyin.

Hamka seorang ulama yang sederhana, ilmunya sangat luas. Menurut beliau para muallimin dan muallimat agar piawai menghubungkan resep-resep keagamaan dengan konteks masyarakat yang sedang berjalan pada waktu itu, sehingga agama menjadi sangat relevan, selalu aktual, selalu ada kaitan dengan kehidupan riil. Muhammadiyah sangat beruntung memiliki kader seperti Hamka, selain sebagai guru besar bagi Muhammadiyah, Hamka adalah guru besar bagi guru-guru di Indonesia maupun umat, karena itulah beliau sangat menganjurkan agar memilki kecerdasan intelektual yang memadai, memiliki keterampilan dan kemampuan menyampaikan ilmu-ilmunya dengan berbagai cara, dan memiliki stabilitas emosi yang tinggi.

Sejak tahun 1925 beliau sudah ikut mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat, mendirikan Tabligh School, Kulliyatul Muballighin, beliau banyak mencetak kader-kader Muhammadiyah, ia menjadi guru Muhammadiyah baik di pusat maupu di daerah-daerah, ia sering memberikan pengajian bagi Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah. Ia selalu mengajarkan agar muridnya memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosinal yang kuat, dan kecerdasan sosial yang ditonjolkan, kecerdaan sosial ini dimaksudkan adalah kemampuan untuk bergaul dari pimpinan yang paling atas sampai rakyat yang paling kecil.


(3)

Hamka menolak pemahaman yang mengatakan bahwa kehidupan ruhani itu membenci dunia, mencari kebahagiaan dunia adalah sesat, tertipu oleh hawa nafsu. Maka dibuat cara-cara (thariqat) yang menghindar dari kehidupan ramai, berkhalwat, menyendiri, menyepi hingga tidak perduli terhadap lingkungan sekitarnya, masa bodoh, tidak teratur pakaian dan rumahnya, dan tersisih dari pergaulan. Hamka mengajarkan bahwa pemahaman yang seperti itu tidak diajarkan oleh agama. Pemahaman itu akan membawa kemunduran. Pemahaman itu menyebabkan umat terpuruk, tertindas, dan kalah. Agama Islam bukan musuh kemajuan. Islam justru menuntun kepada kemajuan, menempuh tujuan untuk perdamaian segala bangsa. Allah tidak mengaharamkan perhiasan, Islam mengajarkan kita agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Islam mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan dunia dengan banyak anjuran untuk membaca, menuntut ilmu, dan meneliti. Semua ilmu milik Allah untuk dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan.

Spiritualisme menurut Hamka mestinya mendorong manusia untuk bersemangat, tidak malas, guna memperoleh kembali fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh. Dengan spiritualisme, seseorang bangkit memimpin dunia tanpa silau dengan kemajuan yang berujung pada pemajuan dunia. Kemajuan adalah untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kemakmuran menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Gaya hidup modern tidak jarang membawa manusia kepada kehidupan materialis hingga mengesampingkan nilai-nilai spiritual. Ajaran tasawwuf dimaksudkan untuk menarik kehidupan materialis itu untuk dibawa kepada nilai esoteris. Namun ajaran Islam adalah ajaran keseimbangan antara yang eksoteris


(4)

dan esoteris. Oleh karenannya tasawwuf yang benar adalah sesuai dengan nilai Islam yang menyeimbangkan antara kedua hal tersebut. Tasawwuf yang benar adalah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, menjunjung tinggi akhlak mulia, setia kepada syariah, memberi manfaat kepada banyak manusia, dan mendorong semangat kemajuan. Inilah paham spiritualisme yang benar yang di ridhoi oleh Allah SWT sehingga pengikutnya mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Hamka sangat mendukung pemberdayaan perempuan sebagaimana yang telah di lakukan Muhammadiyah sejak dahulu dengan mendirikan Aisiyah, menurut beliau perempuan juga berhak mendapatkan dan menentukan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang disukai. Perempuan berhak menuntut ilmu yang setinggi-tingginya, sebagaimana Rasulullah telah mengajarkan bahwa Menuntut ilmu itu merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Banyak tokoh-tokoh perempuan dalam Islam yang memberi andil besar dalam membangun kejayaan umat. Di balik kejayaan suatu bangsa, terdapat keteguhan jiwa dan perjuangan kaum perempuan. Maka ada kata-kata hikmah yang menyebutkan bahwa perempuan adalah tiang negara. Bila perempuannya baik, baiklah negara, bila perempuannya bobrok, maka bobrok pulalah negara.

Menurut Hamka, orang Islam yang memadukan iman dan amal sholeh itulah yang sanggup menjadi penolong Allah, menjadi pembela agama Allah, pembela kebenaran, menegakkan keadilan, menyebarkan kesejahteraan. Menurut Buya, membela agama Allah mengandung dua hal yaitu mempertahankan agama dari segala gangguan dan memperjuangkan agar Islam maju dan berkembang di segala lini kehidupan. Umat Islam diberi ajaran untuk bersikap toleran, pandai


(5)

menenggang rasa, memberi kebebasan kepada orang yang berbeda keyakinan untuk menjalankan agamanya.

Hamka menganjurkan untuk memperdalam pengetahuan dan ajaran Islam, diikuti dengan amal, sehingga menjadi pandangan hidup yang sebenarnya dan dapat membandingkan mana yang kita punya dan yang mana kepunyaan orang lain, kemudian mempelajari sejarah umatnya di Indonesia dan diluarnya, sehingga dia insyaf bahwa kebudayaan Islam itu universal sifatnya. Kebudayaan yang universal itulah tujuan terakhir dunia di zaman sekarang. Sementara Nasionalisme sempit tidak akan panjang usianya. Hamka juga menambahkan agar menuntut ilmu pengetahuan, merenung filsafat, mencintai seni. Sebab semua itu anjuran tegas dari agamanya. Sehingga kelak dapat disumbangkan kepada dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Untuk membina satu kebudayaan kepunyaan umat manusia, sebagai hasil kecerdasan akal dan keluhuran iman.

Pembaharuan terhadap pendidikan Islam sangat diperlukan. Cara pandang yang serba negatif dan mencoba lari dari Islam harus dihentikan. Anak-anak Islam harus di didik untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Bangga dengan sumber ajaran agamanya, memahami sejarah bangsanya, dan tidak tercerabut dari akar keislamannya. Begitu juga cara pandang yang sempit, mengisolasi diri, tidak mau membuka wawasan, sejatinya telah melenceng dari ajaran hakiki Islam yang menyuruh untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi khalifah di muka bumi.

Hamka menolak pembaharuan atau modernisasi sebagai upaya sekularisasi, yaitu upaya untuk mempreteli Islam itu sendiri, atau meninggalkan


(6)

pokok-pokok ajaran agama. Hamka mengantisipasi agar jangan sampai umat Islam bersikap netral kepada agama yang menyebabkan ia menjadi tidak perduli kepada agamanya, kemudian Ghirah beragama tidak ada lagi hingga lantas meeka menganggap agama itu tidak perlu. Benci kepada segala yang berhubungan dengan agama. Orang yang teguh menjalankan agamanya diangap fanatik dan orang yang teguh beragama itu tidak terpelajar. Hamka mengatakan bahwa modernisasi itu bukan westernisasi. Sehingga yang diambil dari Barat itu pembaharuan, itulah modern. Ajaran Islam tidak menonjolkan Barat dan Timur. Ajaran Islam itu universal dan memandang manusia dari segala universalnya pula.