Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah

BAB III KETERLIBATAN HAMKA DALAM MUHAMMADIYAH

A. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah

Lahir suatu pemikiran baru atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan dari kondisi kehidupan sosial dan budaya yang melingkupinya. Boleh jadi, munculnya pemikiran atau gerakan baru itu merupakan respons terhadap kondisi yang ada. Atau sebaliknya, yaitu sebagai kekuatan yang ditujukan untuk mendukung kemapanan itu sendiri agar menjadi lebih kukuh. Yang jelas, salah satu dari kedua motivasi tersebut selalu ada dalam setiap fenomena yang muncul. Namun untuk menjelaskan proses kemunculan suatu fenomena tentu tidak begitu mudah, karena banyaknya faktor yang saling berpengaruh. Begitu juga dengan Muhammadiyah 55 sebagai gerakan Islam bercorak modernis yang berdiri awal abad ke-20 M tentu 55 Secara bahasa etimologis, Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad saw.” yaitu nama Nabi dan Rasul Allah SWT yang terakhir, kemudian mendapat tambahan ‘ya’ nisbah yang artinya menjeniskan atau menisbahkan. Jadi Muhammadiyah itu “umat Muhammad saw” atau ‘pengikut Muhammad saw’, yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Dengan demikian siapapun yang mengaku beragama Islam sesungguhnya ia adalah Muhammadiyah tanpa harus dilihat dan dibatasi oleh adanya perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis, dan sebagainya. Secara Istilah terminologi, Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah ma’ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafaul berpengharapan baik dapat mencontoh jejak perjuangan Nabi Muhammas saw dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai cita-cita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagi realita. Lihat Mustafa Kamal Pasya, dkk., Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003, h. 43-44 tidak dapat dipisahkan dari situasi serta sejumlah faktor yang melatarbelakangi kemunculannya di Indonesia. 56 Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan 57 atas saran murid- muridnya dari Budi Utomo untuk mendirikan sebuah lembaga yang permanen. 58 Muhammadiyah didirikan dengan maksud untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad kepada penduduk Indonesia. Organisasi ini mendirikan lembaga- lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membahas 56 Muhammadiyah yang lahir di Indonesia merupakan respons dari situasi dan kondisi masyarakat yang terpuruk akibat kolonialisme Belanda dan ajaran Islam yang dipandang sudah tidak murni dan bercampur dengan ajaran yang menyimpang. Lihat. Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005, h. 18-19 57 Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan pedagang. Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya. Di samping memberikan pelajaranpengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut Sidratul Muntaha. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa. Di samping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri dan perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat. Lihat Y.B. Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf Jakarta: Rasindo, 1996, h. 64 58 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta: LP3ES, 1996, h. 84 masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid dan juga membuat buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah. 59 Dalam satu muktamarnya, Muhammadiyah mempertegas Landasan geraknya dengan pernyataan berikut. Keberhasilan Muhammadiyah, antara lain dalam pembaharuan pemikiran Islam dengan mengembalikan pada sumbernya yang asli, yakni al-Qur’an dan Sunnah dengan mengembangkan ijtihad, sikap, dan pemikiran yang apresiatif terhadap kemajuan modernisasi pendidikan modernisasi gerakan organisasi modern, dan dalam meningkatkan kualitas hidup ummat dan masyarkat melalui gerakan amal usahanya dibidang pendidikan, kesejahteraan umat, pelayanan sosial, membangun sarana dan prasarana fisik, dan upaya-upaya dakwah lainnya, baik yang bi al-qawl maupun bi al-hal.” 60 Faktor-faktor yang mendukung lahirnya Muhammadiyah di Indonesia: 1. Munculnya Gerakan Modern Islam di Indonesia Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukkan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progressif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran Imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan ferormis puritanis Salafiah, gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad 59 Noer, Gerakan Modern, h. 86 60 Siti Chamamah Suratno, Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam- Nasional, dalam Baidhawy dan Jinan, ed., Agama dan Pluralitas, h. 32 ke-20 yang lebih bersifat intelektual. 61 Maka dari itulah tidak ada tempat takut kecuali kepada Allah. Dan Wahabi menentang keras sikap jumud, karena itu membuat agama menjadi beku. 62 Akhir-akhir abad 19 gagasan pembaharuan Islam mulai diperkenalkan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Muslim Indonesia yang menyadari terjadinya pembaharuan di dunia Islam, khususnya di Mesir. Seperti pembaharuan yang dikembangkan oleh Jamal Al-Din Al-Afghani, 63 Syekh Muhammad Abduh 64 dan penerusnya Muhammad Rasyid Ridha 65 mulai mendapat respons dari masyarakat Indonesia. 66 61 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, 12 nd ed. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001, h. 257 62 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama Medan: Madju, 1963, h. 179 63 Jamaluddin Al-Afghani lahir di dekat Kabul, Afghanistan pada tahun 1839 M dan Meninggal di Istambul, Turki pada tahun 1897 M. Adapun pokok-pokok pemikirannya dalam masalah keagamaan antara lain: Pertama: Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa pada segala masa. Kedua: Untuk menjawab segala perkembangan dan tantangan zaman yang senantiasa maju karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka adalah pendirian yang benar, sebab hanya dengan jalan ijtihad tantangan tersebut dapat di jawab. Ketiga: Umat Islam dimana-mana terlihat dalam perpecahan dan kehancuran. Hal ini terjadi karena lemahnya tali persaudaraan, lemahnya rasa ukhuah Islamiyah dan solidaritas Islam. Disamping pemikiran keagamaan seperti diatas, Jamaluddin Al-Afghani juga banyak berbicara dan berbuat dalam bidang politik, antara lain: Pertama: Tidak henti-hentinya mengingatkan kepada dunia Islam terhadap ancaman dan bahaya penjajahan bangsa-bangsa Barat. Kedua: Dunia Nasrani, sekalipun mereka berbeda-beda dalam keturunan dan kebangsaan, manakala mengahadapi Timur, khususnya Islam, mereka bersatu untuk mengahncurkan negara Islam. Ketiga: Perang Salib masih tetap berkobar sepanjang masa, demikian juga semangat fanatik petapa Petrus. Keempat: Harus diciptakan suatu kepastiah hukum dalam penyelenggaraan negara. Di dalamnya juga ditentukan batas-batas kekuasaan dan kewenangan dari para penyelenggara negara agar dengan demikian para penguasa tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang despotis. Lihat Sutarmo, Muhammadiyah, h. 19-20 64 Muhammad Abduh dilahirkan di suatu desa di Mesir pada tahun 1849 M dan meninggal pada tahun 1905. Sesudah menamatkan studinya di Universitas Al-Azhar dengan predikat “Alim Cum Laude, kemudian ia diangkat sebagai dosen di Universitas Al-Azhar itu juga. Muhammad Abduh menegaskan bahwa umat Islam hanya bisa bangkit dari kenistaan hidupnya kalau mereka mau membekali jiwa dan semangat berkorban semata-mata karena Allah SWT dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman hidupnya. Adapun pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh antara lain: Pertama: sebab musabab yang membawa kemunduran umat Islam karena adamya kejumudan atau kebekuan berfikir di kalangan umat Islam, yaitu kebekuan dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini populer sekali ucapannya yang berhubungan dengan jumudnya umat Islam Al-Islamu mahjubun bil muslimin. Artinya ajaran Islam tertutup kesempurnaannya oleh umat Islam sendiri. Kedua: Ajaran Di antara sekian banyak daerah Muslim di Asia Tenggara, kepulauan Nusantara merupakan bagian terpenting yang paling tidak sejak awal abad ke-19 M. sebagaimana diakui oleh Alfian 1989, telah muncul bibit-bibit pembaruan yang bercorak Wahabi yang ditandai dengan kepulangan tiga orang haji dari studinya di Mekkah. 67 Berkembangnya ide-ide pembaruan dari Timur Tengah ke daerah-daerah kepulauan Nusantara itu menjadi sangat mungkin, karena salah satunya adalah semakin meningkatnya Jama’ah haji Indonesia sejak akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke-20 M. jama’ah haji tersebut bukan hanya ingin menunaikan ibadah haji semata-mata, akan tetapi hal yang sangat penting adalah semangat untuk belajar agama Islam langsung berasal dari tempat Islam itu muncul. Oleh sebab itu, tidak dapat dielakkan lagi bahwa para pelajar yang berasal dari tanah Jawi itu bersentuhan dengan gagasan pembaruan yang sedang Islam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal fikiran. Oleh sebab itu, agama Islam adalah agama yang sesuai dengan akal. Ketiga: Ajaran Islam pasti sesuai dengan pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, umat Islam harus sanggup mendalami ilmu pengetahuan modern. Keempat: Satu-satunya usaha yang harus ditempuh untuk memajukan ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam ialah dengan mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Lihat Ibid., h. 20-21 65 Rasyid Ridha adalah salah satu murid Muhammad Abduh yang sangat cerdas, dan termasuk murid yang paling disayangi dan paling dekat dengan gurunya. Ia dilahirkan di sebuah desa Libanon pada tahun 1865 dan wafat pada tahun 1935. Pokok-pokok pemikirannya dalam pembahruan Islam dapat dikatakan sama dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, iapun dikenal sebagai politikus yang sangat cermat. Adapun pokok-pokok pikiran pembaharuan Rasyid Ridha antara lain: Pertama: Paham umat Islam tentang agamanya serta tingkah laku mereka banyak yang telah menyeleweng dari ajaran Islam yang suci murni. Untuk itu umat Islam harus dibimbing ke jalan Islam yang sebenarnya, yang bersih dari segala macam bentuk bid’ah, khurafat, serta syirik. Kedua: Agar segera terwujud kesatuan dan pesatuan umat Islam, sekali-kali jangan didasarkan pada kesatuan bahasa atau bangsa, tetapi atas dasar kesatuan iman dan Islam. Di samping itu, dianjurkan kepada umat Islam agar dijaga kerukunan umat Islam atas dasar penuh toleransi atau tengang rasa sekalipun mazhab mereka berbeda-beda. Ketiga: Kaum wanita harus diikutsertakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Keempat: Sebagian paham dan ajaran kaum Sufi dianggapnya memperlemah agama Islam karena mereka melalaikan tugas kewajibannya diatas dunia. Mereka menenemkan paham yang pasif, pasrah pada keadaan tanpa berusaha dan berikhtiar. Padahal yang benar ialah bahwa ajaran Islam adalah agama yang penuh dinamika dan optimisme, yang mendorong umatnya agar aktif mengolah bumi untuk mendapatkan kenikmatan Allah dan mensyukurinya. Lihat Ibid., h. 21-22 66 Shihab, Membendung Arus, h. 128-129 67 Sutarmo, Muhammadiyah, h. 88 berkembang di Timur Tengah saat itu. Hampir dapat dipastikan bahwa dari kelompok inilah yang menjadi penggerak utama pembaruan di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-20. 68 2. Sikap Beragama Masyarakat Jawa Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia Belanda Indonesia, terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik. Kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari Hindhu-Budha, terbentuk falsafah baru berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang animistik. Bentuk-bentuk kepercayaan baru tersebut berupa ruh-ruh nenek moyang yang dianggap penjelmaan dari Tuhan. Kepercayaan semacam itu memberikan kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan dalam cara-cara berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ketika agama Islam datang ke Indonesia, kepercayaan-kepercayaan tradisional tersebut masih melekat. Kedatangan ahli-ahli tasawwuf itu pada masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawwuf dari Persia dan India, tetapi masih berkisar di Pulau Jawa dan Sumatera. 69 Islam yang di bawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke Nusantara dengan corak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari sistem kepercayaan Hindhu-Budha. Dengan demikian Islam dapat masuk ke Nusantara dengan cara damai, karena di antara unsur-unsur terdapat persamaan dengan pola kepercayaan dan pemikiran orang Jawa khususnya, dan pulau-pulau di Nusantara pada umumnya. 68 Ibid., h. 17-18 69 Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III Jakarta: Balai Pustaka, 1981, h. 203 Hal ini memungkinkan terjadinya pembaruan antara keyakinan-keyakinan tradisional dengan ajaran Islam yang bercorak tasawwuf. Muncullah keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Harry J. Benda menyimpulkan bahwa Islam di Jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan kurang murni jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. 70 Paling tidak bahwa untuk jangka waktu yang lama sebagai pemenang agama di Jawa adalah Agama Kejawen, adat-istiadat Jawa, feodalisme Jawa, dan bukannya peradaban Islam yang urban. Kemenangan Agama Kejawen atas Islam dalam waktu yang lama itu menjadikan kehidupan umat Islam Jawa dilingkupi oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang dianggap dapat mempengaruhi nasib. Seperti kepercayaan kepada keramat yang dimiliki orang-orang yang disucikan, para dukun, dan sebagainya. Semuanya masih menjadi bagian kehidupan yang tak terpisahkan sampai awal abad ke-20 M 71 Dari keyakinan sinkretis ini maka muncullah pengamalan ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang selanjutnya tampil dalam bentuk takhayul, bid’ah, dan khurafat. Keyakinan sinkretis sebagai asimilasi kebudayaan yang lama dengan ajaran Islam itu kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “Agama Jawa” atau Kejawen. 72 Dari sinilah Muhammadiyah muncul sebagai gerakan purifikasi. 3. Pendidikan, Kristenisasi dan Politik Islam Hindia Belanda 70 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang Jakarta: Pustaka Jaya, 1985, h. 31 71 Sutarmo, Muhammadiyah…, h. 21 72 Geertz memakai istilah “Kejawen” dihadapkan dengan kelompok santri. Kelompok kejawen ciri-cirinya adalah tidak menjalankan ibadah formal seperti shalat, puasa, selametan, dll, tetapi tetap mengaku sebagai pemeluk Islam. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, h. 13 Kedatangan agama Kristen di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan masuknya kolonialisme. Dimulai dari penaklukan dan pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, 73 Belanda melakukan politik etis mencerminkan peralihan penting dalam strategi pemerintah kolonial ke arah Kristenisasi Indonesia. Kebijakan netralitas agama yang digemborkan oleh Belanda hanya isu belaka, Belanda mempunyai kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang Kristen pribumi di Indonesia, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi Kristenisasi di Indonesia. 74 Umat Islam menganggap agama Kristen apakah mereka Katolik ataupun Protestan adalah agamanya kaum kolonial yang ingin menjajah negeri ini dan menukar agama rakyat, Akibatnya, pemberontakan yang timbul menentang penjajah itu, di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, sebagian besar merupakan pemberontakan yang bermotif agama. Gagasan politik etis Belanda di bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tujuan mengembangkan agama Kristen dan melemahkan Islam. Hal ini dibuktikan pada usaha kaum zending dan misi mendirikan sekolah-sekolah Kristen disamping memaksakan sistem pendidikan kolonial yang netral agama. Pemerintah Belandapun memberikan subsidi yang tak sebanding antara sekolah missi dan sekolah Islam, padahal penduduk Hindia Belanda jelas sekali bahwa masyarakatnya mayoritas beragama Islam. 75 Terdapat dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. 73 Rusydi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal dalam Gerakan Islam Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986, h. 111-112 74 Shihab, Membendung Arus, h. 44 75 Rusydi, Etos Iman, h. 111 Lembaga pendidikan pesantren saat itu memiliki masalah dengan proses belajar mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Dalam sistem belajar mengajar masih menggunakan sorogan dan weton, guru dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi, materi dan kurikulum yang digunakan pesantren masih berkisar pada studi Islam klasik seperti fikih, tasawwuf, ilmu kalam dan ilmu sejenisnya. 76 Pendidikan Barat ini mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern. Ilmu-ilmu yang diajarkan biasa disebut sebagai ilmu umum. Politik Islam Hindia Belanda ini sebetulnya ingin menerapkan kebijakan netralitas terhadap agama, tidak memihak pada agama sebagai sesuatu yang berbahaya. Kebijakan netralitas itu hanya strategi semata untuk mengelabui umat Islam agar umat Islam dapat menerima kehadiran Belanda sebagai penjajah. 77 Hegemoni secara politik sangat jelas ketika Belanda menerapka sistem dualisme kepemimpinan, pada satu sisi diakuinya otoritas raja-raja kecil yang telah ada dan berkembang di Indonesia, tetapi pada sisi lain, raja-raja kecil itu dipaksa berhenti pada konsensus yang telah ditetapkan oleh Belanda. 78 Politik Etis merupakan salah satu langkah untuk tetap menguasai Indonesia dan mengemban misi Kristenissi Bangsa Indonesia Snouk Hurgronje menyarankan pertama, agar dalam semua masalah ritual keagamaan, misalnya ibadah rakyat Indonesia harus dibiarkan menjalankan ibadahnya, agar mendapar pandangan dari pribumi bahwa Belanda tidak ikut 76 Sudarmo Shobron, Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi Surakarta: LPID UMS, 2008, h. 44-45 77 Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, h. 50 78 Ansari, Kolonialisme dan Kristenisasi di Indonesia: Dua Sisi Mata Uang yang tak Terpisahkan Suatu Tinjauan Sejarah, Mimbar Agama dan Budaya, vol. 23, no. 3 2006: h, 203 campur dalam maslah ibadah, Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam seperti perkawinan, waris, wakaf dan hubungan lain, pemerintah Belanda harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya, agar pribumi menyadari bahwa lembaga mereka itu terbelakang dan menggantinya dengan model yang dipergunakan di Barat. Ketiga, Pemerintah tidak boleh mentoleransi kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslimin yang dapat menyerukan Pan-Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata untuk melawan Belanda. 79

B. Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia