Hamka dalam Partai Masyumi

Pada tahun 1950 beliau turut mengadakan penyelesaian dan pembangunan Muhammadiyah kembali pada Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta dan untuk selanjutnya turut menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru dan Kepribadian Muhammadiyah. Maka pada Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto pada tahun 1953, Hamka terpilih menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau terus menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah mulai dari Kongres Muhammadiyah di Purwokerto, Palembang, Yogyakarta, Makassar dan Padang. Karena Hamka sudah mulai tua dan kesanggupan sudah berkurang, maka pada Kongres Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1971, Hamka memohon agar dirinya tidak lagi dicalonkan dalan Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah karena alasan kesehatan beliau sudsah sangat menurun. Sejak Kongres Muhammadiyah di Makassar 1971 itu beliau ditetapkan menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. dan setelah Kongres Muhammadiyah di Padang pada tahun 1975 hingga akhir hayatnya pada 1981 beliau tetap menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah 89 .

2. Hamka dalam Partai Masyumi

Masyumi di bentuk dalam Muktamar Islam di Indonesia di gedung madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945, dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan Masyumilah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam. Para pelopor Partai Politik Islam Indonesia Masyumi adalah 89 Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Hamka Jakarta: Nurul Islam, 1978, h.283-284 para pemimpin Islam yang sudah tidak asing lagi dalam dunia pergerakan saat itu, antara lain: Dr. Sukiman Wirjosendjoyo mantan pemimpin Partai Islam Indonesia dan Muhammad Natsir dari Persis. Natsir juga tercatat selaku ketua panitia kongres dengan anggota: Sukiman Wirjosendjoyo PII, Abikusmo Tjokrosudjoso PSII, A. Wahid Hasyim NU, Wali Al-Fatah PII, Sri Sultan Hamengkubuwono IX non afiliasi, Sri Paku Alam VII non afiliasi dan Gafar Ismail PII. 90 Tujuan Masyumi dalam Anggaran Dasar 1945 pasal II menyebutkan bahwa Masyumi bertujuan untuk menegakkan kedaulatan RI dan Agama Islam, dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Masyumi memiliki tujuh Program perjuangan yaitu kenegaraan yang akan memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam, berbentuk republik, perekonomian, keuangan, sosial, pendidikan dan kebudayaan, politik luar negeri, dan Irian Barat. 91 Tahun 1955 berlangsung Pemilu pertama di Indonesia yang berjalan secara demokratis. Pemilu ini diselenggarakan dibawah naungan UUD Sementara 1950, karena UUD 1945 telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak UUD RIS 1949 diberlakukan. Pemilu 1955 memilih wakil rakyat untuk parlemen DPR dan Majelis Konstituante yang bertugas menyusun suatu UUD yang permanen. Peserta pemilu ini tak kurang dari 29 partai politik, golongan dan calon perorangan yang terjun ke gelanggang. Dari kalangan Islam tidak kurang dari 5 partai yang ikut Pemilu, yaitu Masyumi, NU, PSII, Perti dan AKUI Angkatan 90 Abdul Aziz Taba, Islam dan Negara dalam Politik Orde baru Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 158 91 Yusuf, Ensiklopedi, h. 250 Kesatuan Umat Islam. Total kelima partai meraih suara untuk parlemen 16.518.332 suara, sedangkan untuk Majelis Konstituante mendapat suara sebanyak 16.464.008. dengan itu, kalangan Islam memperoleh kursi 115 dari 257 kursi parlemen dan 28 kursi dari 504 kursi Konstituante. 92 Pemilu 1955 menghasilkan empat partai terbesar, yaitu PNI 22,3 dengan 57 kursi, diikuti Masyumi 20,9, 57 kursi, Nahdatul Ulama NU, 18,4, 45 kursi, dan Partai Komunis Indonesia PKI, 16,4, 39 kursi. Adapun sisa kursi sebanyak 59 kursi dibagi-bagi diantara partai-partai kecil, seperti PSI partai Sosialis Indonesia dibawah pimpinan Teungku Sjahrir yang hanya memiliki 5 kursi di parlrmen. Dari jumlah itu wakil dari kelompok Islam jika disatukan berjumlah sekitar 44. 93 Bagi Hamka, Masyumi inilah yang terus mendorongnya ke dalam kancah politik. Hamka masuk dalam Masyumi menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante, yaitu dewan pembuat undang-undang hasil pemilihan umum 1955, terjadi suatu perdebatan serius mengenai dasar negara. Ada yang menghendaki dasar negara Islam, diusung oleh partai-partai Islam, seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama, Perti dan Sarekat Islam. Ada yang menghendaki tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, yang diusung oleh partai-partai Nasionalis, Komunis, Sosialis, Kristen dan Katolik. Pancasila sangat gencar dibicarakan dalam sidang-sidang Konstituante pada 1956-1959 sebagai suatu masalah yang menyangkut dasar negara. Ia 92 Taba, Islam dan Negara, h. 172 93 Ibid., h. 54 mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun juga di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia, sungguhpun ia dapat juga menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. 94 begitupun golongan yang kontra Islam yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan itu berujung dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Hamka yang berisi antara lain: kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, Demokrasi Terpimpin, dan pembubaran Dewan Konstituante. Jimly Assiddiqie mengatakan bahwa Hamka tidak terjebak dalam dua kutub yaitu menuju negara agama atau negara sekuler. Menurut Hamka sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa kita sebagai umat Islam tunduk dan patuh terhadap ajaran Al-Quran dan Hadis, sebagai warga negara Indonesia kita wajib menjujung tinggi prinsip negara hukum dan demokrasi berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. 95 Negara Republik Indonesia sama sekali bukan teokrasi, melainkan demokrasi.

3. Hamka dalam MUI