Hamka dalam MUI Jabatan Politik Hamka

mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun juga di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia, sungguhpun ia dapat juga menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. 94 begitupun golongan yang kontra Islam yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan itu berujung dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Hamka yang berisi antara lain: kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, Demokrasi Terpimpin, dan pembubaran Dewan Konstituante. Jimly Assiddiqie mengatakan bahwa Hamka tidak terjebak dalam dua kutub yaitu menuju negara agama atau negara sekuler. Menurut Hamka sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa kita sebagai umat Islam tunduk dan patuh terhadap ajaran Al-Quran dan Hadis, sebagai warga negara Indonesia kita wajib menjujung tinggi prinsip negara hukum dan demokrasi berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. 95 Negara Republik Indonesia sama sekali bukan teokrasi, melainkan demokrasi.

3. Hamka dalam MUI

Ketika pemerintah ingin mendirikan Majelis Ulama Indonesia, banyak kalangan Islam menduga lembaga itu akan lebih berfungsi melayani Pemerintah daripada untuk kepentingan umat Islam. Di sini Hamka menunjukkan sikapnya bahwa “Ulama tak bisa di beli,” dan ketika Hamka terpilih menjadi ketua Majelis 94 Hery Sucipto dan Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan Hingga A. Syafi’I Ma’arif, Jakarta: Grafindo, 2005, h. 74 95 Jimly Assiddiqie, “Keislaman dan Keindonesiaan: Kiprah dan Pemikiran Buya Hamka,” dalam Afif, Buya Hamka, h. 182-183 Ulama Indonesia pada 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juni 1975 ternyata cukup memegang prinsip-prinsip Islam. Pada awalnya banyak orang meragukan Hamka menjadi ketua , karena pada sebelum terbentuknya MUI, ia adalah orang yang meragukan terbentuknya badan fatwa yang diusulkan pemerintah, karena beliau khawatir badan ini akan disalahgunakan oleh pemerintah, ia menerima setelah berkonsultasi dengan pimpinan Muhammadiyah. Terdapat dua alasan Hamka menerima kedudukan sebagai ketua umum MUI, Pertama: adanya bahaya ideologi Komunis di Indonesia, untuk menghadapinya orang harus menghadapi ideologi yang lebih kuat, yakni Islam. Untuk mencapai hal ini, kaum Muslimin seharusnya dapat bekerjasama dengan pemerintah Suharto yang juga bersikap anti Komunis. Kedua: dengan pembentukan MUI ini di harapkan adanya kerjasama yang lebih harmonis dan mengikis adanya saling curiga antara pemerintah dan umat Islam. 96 Selain itu pula mengapa Hamka didukung untuk menjadi ketua MUI karena ia merupakan warga Muhammadiyah yang diterima oleh golongan lain, terutama golongan NU. Pada 17 September 1975 Hamka beserta beberapa pimpinan MUI lainnya dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto menyampaikan secara langsung bahwa para pemimpin Islam sangat gusar dengan gerakan Kristenisasi di berbagai tempat di Indonesia. Pihak Kristen dengan berbagai akses kegiatan kristenisasi untuk menarik orang Islam masuk Kristen dengan iming-iming pemberian bahan 96 Rusydi, Pribadi, h. 68 makanan dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Presiden Soeharto memberikan sambutan yang positif terhadap pernyataan Hamka yang berani itu. 97 Pada tanggal 25 Agustus 1976, MUI diundang Letjen Kartakusumah dari Dewan Pertahanan keamanan Nasional Wanhamkamnas untuk menghadiri dengar pendapat tentang penafsiran Pancasila dan UUD 1945 yang akan dirumuskan dalam sidang umum MPR pada tahun 1978. Beberapa hal pokok yang dibacakan Hamka mengenai “Pembahasan dari intisari UUD 1945” antara lain: pertama, negara berdiri sebagai pertemuan keinginan luhur rakyat Indonesia dengan “Berkat Rahmat Allah.” Kedua, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila Pokok, dan negara Republik Indonesia sama sekali bukan teokrasi, melainkan demokrasi. Ketiga, pemeluk agama Islam adalah pendukung utama Pancasila dan keaktifan umat didalam melaksanakan ibadat dan kewajiban agamanya masing- masing adalah salah satu alat yang ampuh untuk mengukuhkan Pancasila. 98 Hamka menambahkan bahwa Indonesia memiliki landasan bernegara Pancasila yang mengindikasikan bahwa Indonesia itu bukanlah negara yang memisahkan urusan negara dan agama dan juga Indonesia bukanlah negara agama, karena di Indonesia memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan legitimasi bahwa di Indonesia mempercayai bahwa Indonesia ini bukan negara agama, karena di Indonesia terdapat beberapa agama yang diakui oleh negara. Pada rapat kerja II, MUI Agustus 1977, Hamka mengutarakan persepsinya mengenai peranan ulama: “Agama dengan kekuasaan akan bertambah kuat, 97 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, h. 280 98 Adnan Buyung Nasution, Hamka: Figur Yang Langka, dalam Tamara, Hamka di Mata, h. 285 kekuasaan dengan agama akan bertambah kekal.” Hamka menunjukkan bahwa agama adalah komponen pokok yang harus diperhitungkan oleh pemegang kekuasaan manapun. Pada 1 Juni 1980, MUI menyebarkan fatwa tentang pernikahan antar agama, sebelumnya MUI pada 11 Agustus 1975, MUI DKI Jakarta telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya bagi laki-laki muslim menikahi wanita non-muslim sekalipun dari dari kalangan ahl al-kitab dan larangan bagi kaum wanita muslim untuk menikah dengan laki-laki non-muslim tanpa pandang bulu apakah laki-laki itu ahl al-kitab atau musyrik. Fatwa MUI 1 Juni 1980 itu pada dasarnya adalah mengukuhkan fatwa MUI DKI yang memutuskan: Pertama: Seorang wanita Islam tidak diperbolehkan haram untuk dinikahkan dengan laki- laki non-muslim, Kedua: Pria muslim tidak boleh haram untuk menikahi wanita non-muslim. Fatwa ini selain di tandatangani Ketua Umum MUI Hamka dan Sekretaris MUI Kafrawi, juga dibubuhi tanda tangan Menteri Agama yang saat itu dipegang oleh Alamsyah. 99 Pada tahun 1981 timbul masalah sekitar fatwa MUI pada 7 Maret 1981 tentang perayaan natal bersama dan dicabut kembali tanggal 30 April 1981, kemudian diikuti oleh pengunduran diri Hamka pada 21 Mei 1981, maka masyarakat menjadi saksi betapa sebenarnya sikap dan pengaruh politis tokoh ini bahwa ukhuah Islamiyah menjadikan persatuan. 100 99 Azra, Historiografi, h. 288 100 Nasution, Hamka, h. 285-286 Sebenarnya masalah ini sudah pernah timbul sejak 1968, pada tahun itu hari raya Idul Fitri sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968. Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan di jawatan-jawatan dan departemen- departemen; Lebaran-Natal. Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamkapun sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 telah menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al- Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri 101 . Artinya MUI berdiri dia telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan umat beragama. Dan ini telah berjalan baik, tetapi belum ada patokan dan batas-batas tentang mana yang akan kita rukunkan dan mana yang akan kita damaikan, maka timbullah soal Natal, lebih jelasnya tentang Natal Bersama. Pada Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut- pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah lama hal 101 Shobahussurur, Mengenang, h. 79-80 ini diperbincangkan dalam kalangan kaum muslimin. Meskipun tidak ada pula orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha ke tanah lapang atau masjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka orang Kristen tidak hidup rukun dengan orang Islam. Disinilah terdapat kesalahpahaman di antara Pimpinan MUI dengan Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja. Tetapi MUI pusat menyatakan ini sangat penting, maka disebarkanlah surat edaran ke cabang-cabang di seluruh Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Agama memutuskan untuk mencabut beredarnya fatwa tersebut, fatwa tersebut dicabut kembali tanggal 30 April 1981, kemudian diikuti oleh pengunduran diri Hamka pada 21 Mei 1981 Sikap Hamka dalam pernyataan Mundurnya dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia: Bismillahirrahmanirrahim 1. Menteri Agama H. Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia tanggal 23 April 1981 yang telah lalu telah menyatakan kecaman atas tersiarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dalam kesempatan itu H. Alamsyah telah menunjukkan kemarahannya dan menyatakan ingin mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Menteri Agama. 2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan: Bukan beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia. Dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya fatwa yang membuat Menteri Agama mau mengundurkan diri itu. Akan tetapi saya pun mengatakan pula bahwa Majelis Ulama Indonesia yang telah berdiri selama enam tahun, perlu dipertahankan siapa pun yang menjadi ketuanya. 3. Karena anggapan bahwa Majelis Ulama Indonesia masih diperlukan adanya di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya, maka saya pun menandatangani surat Keputusan Pencabutan Peredaran itu dengan pengertian bahwa nilai fatwa itu sendiri tetap sah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa. 4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi atas sahnya isi fatwa tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun demikian saya berharap pula kerjasama yang lebih baik antara ulama dan umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui Pimpinan Majelis Ulama setelah saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. 5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang telah memilih saya melalui MUNAS Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang lalu. Terima kasih. Jakarta, 18 Mei 1981 Hamka. 102 102 Azra, Historiografi, h. 289-290

BAB IV HAMKA DAN GERAKAN MIUHAMMADIYAH DI INDONESIA