Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mkro Ditinjau Dari UU NO. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

(1)

PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN

USAHA MKRO DITINJAU DARI UU NO. 21 TAHUN 2008

TENTANG PERBANKAN SYARIAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Sarjana Hukum

Oleh : HANISA ASTRI NIM : 060200230

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN

USAHA MIKRO DITINJAU DARI UU NO.21 TAHUN 2008

TENTANG PERBANKAN SYARIAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Sarjana Hukum

Oleh : HANISA ASTRI NIM : 060200230

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP. 1962 0421 1988 03 2001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Drs.Ramlan Yusuf Rangkuti, MA Syamsul Rizal, SH M,Hum NIP. 1951 0317 1980 03 1003 NIP. 1964 0216 1989 11 1001


(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta sembah sujud kepada-Nya, karena dengan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, selanjutnya shalawat beriring salam disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan kecerahan dan keterangan iman, Islam dan ilmu kepada umat manusia.

Penulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari UU No. 21 Tahun 2008”. Judul ini diambil berdasarkan ketertarikan Penulis untuk memahami lebih jelas tentang Peran Perbankan Syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan skripsi ini tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan ini banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dengan tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan tulus telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis.

6. Bapak Dr Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Dosen Pembimbing I yang dengan tulus, ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

7. Bapak Syamsul Rizal SH, M,Hum selaku Dosen Pembimbing II yang dengan tulus, ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. 8. Alm Bapak Hermasyah SH, M,Hum yang telah banyak membimbing penulis

selama kuliah, semoga arwah Bapak diterima di Sisi Allah Swt.

9. Seluruh Dosen dan Staf administrasi di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membantu penulis selama menempuh pendidikan di almamater tercinta ini.

10. Teriring doa dan takzim ananda dan rasa hormat serta terima kasih yang mendalam kepada ayahanda ”Edy Susanto” dan Ibunda tercinta ” Rusnila”


(5)

yang telah berjuang membesarkan dan mendidik ananda dengan curahan kasih sayang, membantu dengan semangat untuk menyelesaikan skripsi dan studi di Fakultas Hukum USU.

11. Keluarga Penulis Hanry Prima( abang), Ayu Anggraini (kakak ipar), Hanida Dwi Ardani SS (kakak), Aulia Jihan Nizam (adik), Audina Mutia Ningrum (adik) yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Nurul Ain SH yang telah memberikan semangat, dorongan, perhatian kepada penulis dan kesabarannya terhadap penulis dalam menghadapi masa-masa penulisan skripsi ini.

13. Teman – teman baik penulis, Randy Syahputra, deasy, feby, layla, budi, (moga cepat kelar kuliah nya) rahmat, bembenk, terima kasih telah mejadi teman terbaik dan selalu memberikan semangat.

14. Teman –teman baik penulis alwan, keke, milki, neira, hafid, fadil, terima kasih telah menjadi teman terbaik dan selalu memberikan semangat.

15. Kepada keluarga Besar Alm. Rusmin semua nya terima kasih atas dukungan dan Semangat yang telah diberikan oleh penulis.

16. Kepada ka Uun, bg ali, buk atun, Ari, Om herman terima kasih telah memberikan semangat.


(6)

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua. Serta dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah referensi bagi pihak – pihak yang berkepentingan.

Medan, Agustus 2010

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

ABSTRAKSI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Kegunaan Penelitian ... 13

E. Keaslian Judul... 13

F. Tinjauan Kepustakaan ... 14

G. Metodologi ... 14

1. Sifat penelitian ... 17

2. Sumber data ... 17

3. Teknik pengumpulan data ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN USAHA MIKRO DITINJAU DARI UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH ... A. Pengertian Perbankan dengan Prinsip Syariah ... 21

B. Ciri-ciri Perbankan Syariah ... 23

C. Produk Perbankan Syariah ... 25


(8)

BAB III : PENGATURAN PEMBIAYAAN USAHA MIKRO MENURUT UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH ...

A. Pengertian Usaha Mikro dan Usaha Kecil ... 43

B. Ciri-ciri Usaha Mikro ... 46

C. Pembiayaan Usaha Mikro ... 52

D. Perkembangan Usaha Mikro di Indonesia ... 54

E. Pengaturan Pembiayaan Usaha Mikro dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ... 61

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Proses Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah... 31

Tabel 4.2.Proses Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Muqayyah ... 32

Tabel 4.3.Aplikasi Pembiayaan Musyarakah ... 33


(10)

ABSTRAKSI

Usaha mikro, kecil dan menengah merupakan perluasan pengertian usaha kecil dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Ada beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian bagi umat Islam di Indonesia. Pada bank konvensional, bank telah menetapkan benda-benda yang diperolehkan sebagai jaminan. Sedangkan pada bank dengan sistem syariah, yang dijadikan sebagai jaminan adalah proyek yang dikerjakan secara bersama-sama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha. Selain itu bank syariah sama sekali tidak mengenal hal yang disebut dengan “bunga” yang dianggap riba dan hukumnya haram.

Penulisan skripsi yang berjudul Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah bertujuan Bagaimana peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Bagaimana pengaturan pembiayaan usaha mikro diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Untuk menjawab permasalahan itu digunakan hukum normatif melalui penggunaan data sekunder, seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan, buku-buku tentang pembiayaan, situs di internet, dan hasil – hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam Peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah sebagai lembaga yang memberikan modal bagi perkembangan usaha mikro. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil). Pengaturan pembiayaan usaha mikro terdapat dalam Pasal 22 UU No. 20 Tahun 2008 dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya antara lain Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, Pengembangan lembaga modal ventura, Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi impan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah.


(11)

ABSTRAKSI

Usaha mikro, kecil dan menengah merupakan perluasan pengertian usaha kecil dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Ada beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian bagi umat Islam di Indonesia. Pada bank konvensional, bank telah menetapkan benda-benda yang diperolehkan sebagai jaminan. Sedangkan pada bank dengan sistem syariah, yang dijadikan sebagai jaminan adalah proyek yang dikerjakan secara bersama-sama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha. Selain itu bank syariah sama sekali tidak mengenal hal yang disebut dengan “bunga” yang dianggap riba dan hukumnya haram.

Penulisan skripsi yang berjudul Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah bertujuan Bagaimana peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Bagaimana pengaturan pembiayaan usaha mikro diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Untuk menjawab permasalahan itu digunakan hukum normatif melalui penggunaan data sekunder, seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan, buku-buku tentang pembiayaan, situs di internet, dan hasil – hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam Peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah sebagai lembaga yang memberikan modal bagi perkembangan usaha mikro. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil). Pengaturan pembiayaan usaha mikro terdapat dalam Pasal 22 UU No. 20 Tahun 2008 dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya antara lain Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, Pengembangan lembaga modal ventura, Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi impan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Efek dari krisis finansial global belakangan sudah mulai dirasakan oleh masyarakat secara umum, dan yang paling merasakannya adalah yang tingkat ekonominya golongan kecil dan menengah. Dimana angka pengangguran semakin signifikan meningkat dalam hitungan beberapa bulan belakangan, dunia usaha semakin sulit akibat nilai tukar rupiah yang semakin anjlok dan berakibat pada berbagai harga kebutuhan masyarakat, artinya perekonomian masyarakat semakin tidak stabil. Jika hal ini tidak diantisipasi dapat mengakibatkan angka kemiskinan kita semakin meningkat lagi.

Persoalan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab sekelompok orang, namun dibutuhkan kerjasama semua stake holder sehingga kita mampu membebaskan bangsa dan secara khusus daerah kita dari jeratan kemiskinan tersebut. Seperti pemanfaatan anggaran yang tepat sasaran dan nyata serta bernilai produktif oleh Pemkab/Pemko umpamnya, meningkatkan volume pemberdayaan sumber-sumber yang ada untuk kalangan masyarakat miskin atau mereka yang berpenghasilan rendah/rumah tangga. Atau dengan beberapa kiat sederhana yang memberikan peluang bagi warga miskin dalam modal usaha berupa kredit-mikro.

Upaya pengembangan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dewasa ini mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak, baik pemerintah, perbankan, swasta, lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga-lembaga internasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh besarnya potensi UMKM yang perlu diefektifkan sebagai motor penggerak


(13)

perekonomian nasional setelah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Usaha mikro, kecil dan menengah merupakan perluasan pengertian usaha kecil dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output nasional (Product Domestic Regional Bruto /PDRB) hanya 56,7% dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99% dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6% dalam penyerapan tenaga kerja. Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.1

Peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis 1997. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah, UMKM menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan.

Berdasarkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, UMKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90% total unit usaha dan menyerap angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama. Data BPS juga memperkirakan 57% Product Domestic Bruto (PDB) bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15% dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah

1Aloysius Gunadi Brata, “Distribusi Spasial UKM Di Masa Krisis Ekonomi,” artikel,


(14)

UMKM (Non Performing Loan/NPL) hanya 3,9%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai 10,2%.2 Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemberian kredit ke UMKM merupakan salah satu upaya dalam rangka penyebaran risiko perbankan, sementara suku bunga kredit UMKM sesuai dengan tingkat bunga pasar sehingga bank akan mempunyai margin yang cukup. Sektor ini mempunyai ketahanan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena kurangnya ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan ekonomi lemah. Namun demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya ketersediaan dana pada saat ini, jumlah dan sasaran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana, adanya kemudahan akses ke sumber pembiayaan serta perlunya program pendampingan (technical assistance).

Tampilnya Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil bukan berarti Departemen lain terlepas dalam pembangunan UKM, tentunya sesuai dengan tugas dan peran Departemen teknis masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan pemerintah sebagai acuan untuk membangun UKM. Peraturan-peraturan tersebut meliputi:

1. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1223/KMKK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara.

2. Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 81 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembinaan Kepada Usaha Kecil dan Koperasi.

3. Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 13/M/SK/I/1990. 4. Undang-undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. 5. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan,

2


(15)

6. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang Pengembangan dan Usaha Kecil dan

7. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 Tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.3

Banyaknya peraturan dan perundangan tersebut dan berkembang tidak sesuai dengan harapan. Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua UKM dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang kondusif menunjang tumbuhnya UKM. Faktor internal yang menjadi penyebab terhalangnya perkembangan UMKM antara lain disebabkan karena masih lemahnya sumber daya manusia UKM untuk akses dengan permodalan, pemasaran, dan lingkungan pendukung lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang berasal dari luar adalah masih kurangnya komitmen dan kordinasi pemerintah untuk membangun UKM, lemahnya lembaga pendukung seperti bank, lembaga penjaminan dan lembaga pelayanan jasa penunjang UKM. Oleh sebab itu perlu dicari paradigma baru untuk mengembangkan UKM.4

Era globalisasi membuka peluang sekaligus tantangan bagi pengusaha Indonesia termasuk usaha kecil, karena pada era ini daya saing produk sangat tinggi, live cycle product relatif pendek mengikuti trend pasar, dan kemampuan inovasi produk relatif cepat.5 Ditinjau dari sisi ekspor, liberalisasi berdampak positif terhadap produk tekstil/pakaian jadi, akan tetapi kurang menguntungkan sektor pertanian khususnya produk makanan.

Pemerintah dan Bangsa Indonesia terjerat beban ekonomi dan moneter yang berkelanjutan dan menghawatirkan, berkenaan beban utang dan

3 Riana Panggabean, “Membangun Paradigma Baru Dalam Mengembangkan UKM,”

http://www.smecda.com/deputi7/file_infokop/riana.htm. diakses tanggal 21 Maret 2006.

4 Ibid. 5


(16)

ketergantungan sektor produksi (barang dan jasa). Hal ini disebabkan berbagai investasi yang tidak efektif dan responsif serta berbagai kebijakan moneter dan perbankan yang kaku serta tidak selektif mewujudkan mekanisme pasar yang sehat, disamping itu tersingkirnya potensi mikro ekonomi masyarakat yang justru bergerak dalam lingkup potensi internal.

Sistem ekonomi Islam merupakan model dan proses yang menghendaki gerak interaktif dinamis yang berimbang secara struktural dengan gerak keadilan disertai kebajikan yang berdasarkan potensi dasar sumberdaya manusia dan alam. Ekonomi Islam merupakan tatanan perekonomian yang bergerak berdasarkan dinamika dan motivasi Al-Qur’an dan sunnah Rasululah SAW.

Pada sisi orientasi pembangunan ekonomi konvensional lebih menekankan pada nilai optimalisasi yang merujuk pada target minimisasi atau maksiminasi. Sementara itu Islam menekankan pada nilai manfaat dan kemaslahatan yang akan diperoleh masyarakat, sehingga indikator yang digunakan adalah hasil akhir dari optimalisasi yang berhubungan dengan zakat, infak dan sadaqah serta berbagai kebajikan ibadan dan amal sholeh lainnya. Itulah sebabnya gerak ibadah dan amal sholeh dari kemajuan ekonomi akan memapankan hukum yang pada akhirnya akan mengecilkan jumlah pelanggaran kejahatan.

Salah satu jalan yang dipakai untuk melaksanakan sistem ekonomi Islam adalah dengan diberikannya kesempatan bagi pengelola bank dan masyarakat untuk melaksanakan sistem perbankan yang berdasatkan syariat Islam, yaitu sistem Perbankan syariah. Sistem perbankan syariah merupakan solusi bagi umat Islam dalam menghadapi perbankan konvensional yang dijalankan selama ini.


(17)

bank konvensional dianggap mengandung riba sehingga meninmbulkan keengganan bagi umat Islam untuk menyimpan uangnya maupun meminta kredit di bank. Namun masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah maupun pengelola bank dalam menjalankan sistem perbankan syariah ini. masih banyak umat yang belum mengetahui akan sistem kerja dan keuntungan dari melaksanakan sistem perbankan syariah.

Ummat Islam merupakan umat mayoritas yang ada di Indonesia. Sistem perbankan yang ada selama ini dianggap kurang “islami” karena masih mengandung unsur riba bagi sebagian umat Islam. Sementara riba dianggap hal yang haram dan dilarang oleh Allah SWT. Dalam memenuhi kebutuhannya, seseorang kadangkala tidak memiliki uang atau dana yang cukup. Untuk itu salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengajukan permohonan kredit. Namun secara konvensional, bank telah menetapkan sejumlah tertentu yang harus dibayar oleh kreditur secara berkala, misalnya 5% perbulan. Hal ini telah lama berlaku di Indonesia hingga timbulnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk melakukan kegiatan perbankan dengan sistem syariah.

Ada beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian bagi umat Islam di Indonesia. Pada bank konvensional, bank telah menetapkan benda-benda yang diperolehkan sebagai jaminan. Sedangkan pada bank dengan sistem syariah, yang dijadikan sebagai jaminan adalah proyek yang dikerjakan secara bersama-sama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha. Selain itu bank syariah sama sekali tidak mengenal hal yang disebut dengan “bunga” yang dianggap riba dan hukumnya haram.


(18)

Dengan adanya produk-produk perbankan syariah ini maka dapat memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk menjalankan sistem perekonomian Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah rasul.

Pembinaan usaha mikro dan usaha kecil merupakan bentuk partisipasi BUMN dalam

mewujudkan sebeasar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini disebutkan dalam Penjelasan Umum

No. II Undang-undang No. 19 Tahun 2003 yang menyebutkan:

Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi.

Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.

Pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil yang telah berhasil berkembang menjadi usaha menengah, masih dapat dilanjutkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun lagi untuk lebih memantapkan usahanya setelah menjadi usaha menengah tersebut masih dapat memanfaatkan bantuan pembinaan dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.6

Lembaga pembiayaan dan lembaga penjaminan adalah lembaga yang sudah ada atau yang akan dibentuk, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun dunia usaha. Sedangkan lembaga pendukung lainnya antara laian dapat berupa lembaga pendidikan dan

6 Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta, 2007,


(19)

pelatihan, lembaga pengkajian, lembaga pemasaran dan informasi, klinik konsultasi bisnis, inkubator, lembaga bantuan hukum dan pembelaan.7 Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya untuk meningkatkan ekspor dan pengembangan teknologi usaha kecil.

Pelaksanaan penjaminan usaha kecil, baik lembaga penjamin yang dimiliki pemerintah maupun swasta memberikan bantuan kemudahan berupa penyederhanaan tata cara atau persyaratan yang ringan serta pendirian lembaga penjaminan usaha kecil di daerah, baik di daerah Tingkat I (satu) maupun Daerah Tingkat II (dua). Pada dasarnya, kemitraan usaha industri kecil menjangkau pengertian yang luas. Kemitraan itu berlangsung antara semua pelaku dalam perekonomian baik dalam arti asal usul kepemilikannya, yang meliputi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta, dan Koperasi, maupun dalam arti ukuran usaha yang meliputi Usaha Besar, Usaha Menengah dan Usaha Kecil.

Selain aspek pelaku, dalam aspek objeknya, kemitraan bersifat terbuka dan menjangkau segala sektor kegiatan ekonomi. Menyadari bahwa upaya mewujudkan struktur perekonomian yang semakin seimbang dan kuat membutuhkan peran yang lebih besar dari Usaha Kecil sebagai kegiatan ekonomi rakyat, yang sebenarnya juga masih sangat memerlukan iklim usaha yang kondusif, pembinaan dan pengembangan, maka diperlukan perhatian yang lebih

7 Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 32 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan


(20)

besar lagi untuk mengarahkan kemitraan usaha di antara Usaha Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil.

Secara prinsip, kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar dan berjalan berdasar norma-norma ekonomi yang berlaku dan atau lazim, serta adanya kebutuhan dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam kaitannya dengan keperluan untuk memberi perhatian dan dorongan yang lebih besar kepada terwujudnya kemitraan Usaha Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil, prinsip prinsip di atas pada prinsipnya juga tetap diberlakukan. Yang diberi penekanan adalah, adanya penciptaan iklim dan pembinaan sehingga dapat mempercepat perwujudannya.8 Termasuk dalam pengertian Usaha Kecil juga badan hukum koperasi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Salah satu bentuk pembinaan usaha mikro adalah dengan menjalankan sistem waralaba. Meskipun didorong untuk bermitra dengan cara pemberian waralaba dengan Usaha Kecil, tetapi tetap perlu diperhatikan faktor kemampuan atau kesesuaian usaha di bidang yang diwaralabakan tersebut. Hal ini penting agar dorongan untuk mewujudkan kemitraan tersebut tidak malah merusak iklim usaha pada umumnya. Persaingan sehat adalah: “persaingan yang bersifat terbuka antar pelaku ekonomi dalam hal memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama dan adil dalam menghasilkan, menjual dan membeli suatu barang atau jasa sehingga tidak terjadi dominasi pasar yang merugikan masyarakat banyak.”9

8 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan. 9 Ngurah Parsua, “Membangun Ekonomi Kerakyatan melalui jaringan dan


(21)

Secara bersamaan, langkah-langkah tersebut dimaksud untuk mencegah berlangsungnya praktik persaingan tidak sehat. Dalam kehidupan perekonomian pada umumnya, praktik curang atau persaingan tidak sehat tersebut meliputi kegiatan yang beraneka ragam, seperti antara lain:

1. Tindakan yang menyesatkan atau membingungkan atau juga memberi kesan yang salah kepada konsumen dalam menentukan pilihan atas produk yang dikehendaki.

2. Memberikan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai alasan atau jumlah pengurangan harga.

3. Pemberian keterangan asal atas barang atau jasa yang membingungkan atau meyesatkan.

4. Pemberian pernyataan tentang kualitas atau standar, model, dan kadar suatu produk yang tidak benar.10

Pencegahan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat di atas juga dibarengi dengan kebijakan juga perlu diarahkan untuk mencegah penyalahgunaan posisi dominan, dan berlangsungnya persekutuan untuk menghindari persaingan. Upaya pencegahan penyalahgunaan posisi dominan dilakukan dengan beberapa praktik yang lazim dan tidak dibenarkan antara lain:

1. Menolak dengan alasan yang tidak wajar untuk mengadakan jual beli dan atau melakukan diskriminasi harga, mutu, jumlah, cara pembayaran, atau waktu penyaluran dalam jual beli.

2. Menetapkan persyaratan agar pembeli tidak menjual barang atau jasa lain yang sejenis, dan atau harus membeli berikut barang barang aatau jasa lain.

3. Melakukan perbuatan yang tidak wajar yang baerakibat merugikan, menghalangi, dan atau membatasi pesaing.

4. Mengeluarkan pernyataan palsu atau tindakan menyesatkan mengenai sifat, kegunaan, mutu, ukuran, dan spesifikasi barang atau kasa yang dihasilkan atau dijual.

5. Dengan sengaja melakukan pembatasan, penghentian produksi, penjualan, penyaluran barang atau jasa, yang berakibat menaikkan harga secara tidak wajar.11

10 Ibid. 11


(22)

Praktik persekutuan lain yang juga perlu ditangkal adalah tindakan yang dapat

atau dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari persaingan. Dalam hal ini yang biasa dilakukan dengan cara:

1. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menyebabkan terhambatnya persaingan sehat.

2. Secara langsung atau tidak langsung menetapkan harga yang tidak wajar sehingga menghalangi atau menyingkirkan pesaing.

3. Membatasi atau menghentikan produksi, penjualan atau penyaluran barang atau jasa, yang berakibat menaikkan barang secara tidak wajar.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: ”Peran Dan Fungsi Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah”

B. Perumusan masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah?

b. Bagaimana pengaturan pembiayaan usaha mikro diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian mengenai judul di atas adalah agar dapat memecahkan permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun tujuan dari


(23)

1. Untuk mengetahui peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

2. Untuk mengetahui pengaturan pembiayaan usaha mikro dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan atau faedah penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Penulisan ini sebagai bentuk penambahan literatur terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan pemberian kredit perbankan berdasarkan

prinsip syariah.

b. Secara praktis

Secara praktis hendaknya hasil dari penelitian ini dapat memberikan jalan

keluar bagi seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemberian kredit perbankan dengan sistem syariah.

E. Keaslian Judul

Permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah hasil dari pemikiran dan ide sendiri yang didasarkan pada referensi dari buku-buku, artikel-artikel, serta informasi dari media cetak maupun elektronik. Dengan demikian dapat di katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis asli.

F. Tinjauan Kepustakaan

Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada ketentuan Alquran dan Sunnah berisi tentang nilai persaudaraan, rasa cinta, penghargaan


(24)

kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi antara lain:

1. Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.

2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing. Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok manusia .

3. Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan lebih.

4. Melarang praktek penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan stabilitas harga.

5. Melarang praktek asosial (mal-bisnis).12

Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio menyebutkan defenisi bank Islam: ”Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata bermuamalat secara Islam”.13 Warkum Sumitro menyebutkan defenisi bank Islam adalah:

Bank Islam berarti yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di dalam operasionalisasinya bank Islam harus mengikuti dan praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijithad para ulama yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist.14

12 Gita Danupranata, “Ekonomi Islam”, cetakan pertama, 2006, UPFE-UMY,

Yogyakarta, hlm. 26-27.

13

Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 1-2.

14 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait , Raja


(25)

Dengan diperkenankannya jenis bank berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dalam sistim perbankan kita saat itu di samping bank konvensional yang kita kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistim bunga, tetapi atas dasar prinsip bagi hasil atau jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam. Juga diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang terlebih dahulu dikenal dalam sistim perbankan kita.

Uang dan sistim perbankan dirancang untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencapaian tujuan-tujuan utama sosio-ekonomi Islam. Berikut ini dikemukakan tujuan dan fungsi dari sistim keuangan dan perbankan syari’ah:

1. Kesejahteraan ekonomi yang menyeluruh berdasarkan full employment dan tingkat pertumbuhan ekonomi optimum.

2. Keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan.

3. Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan dapat dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan pembayaran dan nilai tukar yang stabil.

4. Mobilitas dan investasi tabungan bagi pembanguan ekonomi dengan aminan pengembalian yang adil dan prospektif.

5. Penagihan yang efektif dari semua jasa dan produk perbankan.15

Dengan telah adanya Undang-Undang yang mengatur usaha Dunia Industri Kecil, merupakan suatu statemen tentang adanya Dunia Usaha Industri Kecil, sekaligus merupakan peringatan bahwa kehadiran Dunia Industri Kecil begitu penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena usaha kecil

15


(26)

mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi khususnya dan pembangunan Nasional pada umumnya.

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah mempunyai suatu Undang-Undang yang secara khusus mengatur kegiatan usaha industri kecil, seperti terdapat di Negara tetangga Malaysia yang disebut dengan program Bumi Putra.16 Definisi dari Industri Kecil (Usaha Kecil) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan.

Pemberdayaan Industri Kecil bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah dan juga untuk meningkatkan peranan industri kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkukuh struktur perekonomian nasional.

Industri kecil harus memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1000.000.000,-(satu milyar rupiah), pemiliknya merupakan warga Negara Indonesia, berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar, atau berbentuk usaha orang perseorangan, badan

16


(27)

usaha yang tidak berbadan hukum, termasuk koperasi. Adanya keterbatasan modal dan dunia usaha industri kecil, menimbulkan akibat terbatasnya pendapatan, sehingga kemampuan untuk memupuk modal sukar berkembang.

Bila ingin membina dan mengembangkan Dunia Usaha Industri Kecil, atau Usaha Kecil maka harus membenahi hal-hal yang menjadi penghambat berkembangnya usaha industri kecil, dan memberikan sarana yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan tersebut.

G. Metode Penelitian 1. Sifat/ bentuk penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan–peraturan yang berkaitan dengan peran dan fungsi perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Selain itu dipergunakan juga bahan–bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

2. Sumber data

Sumber data ini berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan hukum primer berupa UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.dan UU No.20 tahun 2008 tentang usaha Mikro,Kecil

dan Menengah

b. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil – hasil penelitian, laporan – laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil – hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.


(28)

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk – petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan – bahan primer, sekunder dan tersier diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini17. Selanjutnya Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku – buku, majalah – majalah, surat kabar, peraturan perundang – undangan dan bahan – bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan kemudian diorganisasikan dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data dalam skripsi ini adalah analisis dengan cara kualitatif yaitu menganalisis secara lengkap dan komperensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat mejawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini18.

H. Sistematika Penulisan

17

Bambang sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm 195

18 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982,


(29)

Gambaran secara keseluruhan mengenai skripsi ini akan dijabarkan dengan cara menguraikan sistematika penulisannya yang terdiri atas 4 (empat) bab yaitu:

BAB I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Merupakan bab yang berisikan tentang Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pengertian.

BAB III Merupakan bab yang berisikan tentang Pengaturan Pembiayaan Usaha Mikro Diatur Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

BAB IV Kesimpulan dan saran, merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan permasalahan yang dalam skripsi ini.


(30)

BAB II

PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN USAHA MIKRO DITINJAU DARI UU NO. 21 TAHUN 2008

TENTANG PERBANKAN SYARIAH

A. Pengertian Perbankan dengan Prinsip Syariah

Istilah lain yang digunakan untuk sebutan bank syariah adalah bank Islam. Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio menyebutkan defenisi bank Islam: ”Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata bermuamalat secara Islam”.19 Warkum Sumitro menyebutkan defenisi bank Islam adalah:

Bank Islam berarti yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di dalam operasionalisasinya bank Islam harus mengikuti dan praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijithad para ulama yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist.20

Sejalan dengan hal tersebut, Sudarsono menyatakan bahwa Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syari’ah. oleh karena itu, usaha Bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagang utamanya.21

19 Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana

Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 1-2.

20 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait , Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 35.

21 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta ,


(31)

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan pengertian prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan

perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Penjelasan Umum UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan tentang fungsi disahkannya peraturan perbankan yang berdasarkan prinsip syariah.

Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.22

Dengan diperkenankannya jenis bank berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dalam sistim perbankan kita saat itu di samping bank konvensional yang kita kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistim bunga, tetapi atas dasar prinsip bagi hasil atau jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam. Juga

22


(32)

diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang terlebih dahulu dikenal dalam sistim perbankan kita.

Disamping itu, pendirian jenis bank bagi hasil ini akan dapat memberi pelayanan kepada bagian dari masyarakat yang karena prinsip agama atau kepercayaa tidak bersedia memanfaatkan jasa-jasa bank konvensional. Bagaimana pun juga harus diakui bahwa dalam masyarakat banyak kelompok yang memiliki prinsip bahwa sistem bunga yang dianut oleh perbankan merupakan pelanggaran terhadap syari’at agama dan merupakan riba yang di dalam hukum Islam merupakan perbuatan dosa atau haram, sejalan dengan itu, bank dengan prinsip bagi hasil dimaksudkan untuk melayani segmen pasar tersebut.

B. Ciri-ciri Perbankan Syariah

Sistem perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang beropersi

berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan bank konvensional. Ciri-ciri yang berdapat dalam sistem perbankan syariah antara lain:

1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah yang nominal, yang besarnya tidak kaku. Hal ini sesuai dengan S. Al-Baqarah ayat (280).

2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian sudah berakhir.

3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank Islam tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed

return) yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang

mengetahui untung ruginya suatu proyek yang dibiayai oleh bank hanya Allah semata.

4. Bank Islam tidak menerapkan jual beli dan sewa menyewa uang dari mata uang yang sama, yang dari transaksi itu dapat menghasilkan keuntungan.


(33)

5. Adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syari’ahnya.23

Ciri-ciri perbankan syariah seperti tersebut di atas bersifat universal dan kumulatif. Artinya bank syariah yang beroperasi di mana saja harus memiliki ciri-ciri yang disebutkan di atas, jika tidak dipenuhi, maka hilanglah identitasnya sebagai bank syariah.

Selain itu sistem perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:

1. Peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan 2. Membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif.

3. Prinsip bahwa pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang halal sesuai dengan prinsip syari’ah dan memiliki keunggulan imperatif terhadap sistem perbankan konvensional.24

Selain itu sistem perbankan syari’ah yang menerapkan pola pembiayaan usaha dengan prinsip bagi hasil sebagai salah satu usaha pokok dalam kegiatan perbankan syari’ah juga akan menumbuhkan rasa tanggungjawab pada masing-masing pihak, baik bank maupun debiturnya akan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan akan memperkecil kemungkinan resiko terjadinya kegagalan usaha.

Adanya karakteristik perbankan syari’ah dengan bank konvensional menyebabkan timbulnya keengganan bagi pengguna jasa perbankan terutama bagi pengguna jasa yang akan berpindah dari bank konvensional ke bank syari’ah. Keengganan tersebut disebabkan antara lain karena hilangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi bank syari’ah untuk mendapatkan nasabah dengan cepat.

23 Ibid, hlm. 20.

24 Ashari Akmal Tarigan (ed), Ekonomi dan Bank Syari’ah pada Millenium ketiga, IAIN


(34)

Produk-produk Perbankan Syariah

Kalau kita mencermati isi Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Perbankan yang diubah, maka telah dan membatasi kegiatan usaha bank, yakni: pertama, mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank; kedua, kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat; dan ketiga, bank umum dapatmengkhususkan untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya.

Kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank Umum lebih luas dari pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh Bank Perkreditan Rakyat, karena ada kegiatan bank umum yang dilarang untuk dilakukan pada Bank Perkreditan Rakyat. Bagi bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiataan usahanya.

Karena sifat yang berdasarkan syariah, maka produk-produk syariah bank konvensional, yaitu diantaranya bank maupun nasabah tidak diperkenankan menerima bunga bank. Akan tetapi, jika ada hasil, maka hasil tersebutlah yang dibagi di antara bank dengan pihak nasabah. Selain itu, produk-produ dari bank syariah harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam yang melarang riba. Beberapa produk syariah memang ada counterpart-nya dalam prodik bank umum, sementara yang lainnyaterasa asing sama seali. Bahkan, beberapa prinsip dalam perbankan konvensional terpaksa dilarang dan ini memang merupakan konsekunsi dari pengakuan terhadap eksistensi bank syariah itu sendiri. Di antara prinsip hukum perbankan yang dilanggar oleh bank syariah adalah menjadi pemegang


(35)

saham pada perusahaan lain yang dibiayainya sendiri menjadi pembeli barang modal barang atau perdaganagn untuk perusahaan atau orang lain

Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menentukan bahwa: “Usaha bank umum dalam menyediakan pembiayaan dan/atau melalukan kegiatan usaha lain berdasarkan prinsip syariah ditetapkan dengan ketentuan Bank Indonesia.“ Berdasarkan ketentuan di atas, kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan Bank Umum dengan menerapkan prinsip syariah, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR. Dikatakan Bank Umum Syariah wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:

a. Giro berdasarkan prinsip wadiah;

b. Tabungan bedasarkan prinsip wadiah atau mudharabah; c. Deposito berdasarkan prinsip mudharabah; atau

d. Bentuk lain berdasarkan wadiah atau mudharabah. 2. Melakukan penyaluran dana melalui:

a. Transaksi jual beli berdasarkan prinsip: 1) murabah;

2) istisnah; 3) ijarah; 4) salam;

5) jual beli lainnya.

b. Pembiyaan bagi hasil berdasarkan prinsip: 1) mudharabah;

2) musyarakah;

3) bagi hasil lainnya.

c. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip: 1) hiwalah;

2) rahn; 3) qardh.

3. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata

(underlyimng transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah;

4. Membeli surat-surat berharga Pemerintah dan/atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah;

5. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasrkan prinsip wakalah;


(36)

6. Menerima pembayaran tagihan atas surat surat yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah;

7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadiyah yad amanah;

8. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip

wakalah;

9. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah laian dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat dibursa efek berdasarkan prinsip ujr;

10. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip wakalah,

murabahah, mudharabah, musyarakah dan wadiah serta memberikan

fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah;

11. Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujr; 12. Melakukan kegiatan wali amanat berdsarkan prinsip wakalah;

13. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, bank Umum Syariah dapat pula:

1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdsarkan prinsip sharat, 2. Melakukan kegiatan pernyataan modal berdsarkan prinsip musyarakah

dan/atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali pernyatannya; dan

3. Melakukan kegiatan pernyataan modal sementara berdasarkan prinsip

musyarakah dan/atau mudharabah untuk mengatasi akibat

4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus.25

Seperti halnya dalam bank Konvensional, produk perbankan yang ditawarkan bank syari’ah pun terbagi kepada dua bagian pokok, yaitu produk pengerahan dan penyaluran dana.

25 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya


(37)

Peranan Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Usaha Mikro

Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil).

Dalam penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari nasabah atau masyarakat, bank syariah menawarkan beberapa produk perbankan sebagi berikut: 1. Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah merupakan akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama.

Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah yang disepakati sebelumnya. Prinsip mudharabah ini dalam perbankan digunakan untuk menerima simpanan dari nasabah, baik dalam bentuk tabungan atau deposito. Dan juga untuk melakukan pembiayaan.

Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut. Rukun Mudharabah:

1. Ada shahibul maal (modal/nasabah); 2. Mudharib (pengusaha/bank) ;

3. Amal (usaha/pekerjaan);

4. Hasil (bagi hasil/keuntungan), dan 5. Aqad (ijab-qabul), 26

Sedangkan syarat-syaratnya, khususnya berkaitan dengan modal, maka modalnya harus dalam bentuk uang tunai atau barang yang dapat dihargakan dengan harga pada masa itu sesuai dengan mata uang yang dapat berlaku; dan

26 Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan,


(38)

modal tersebut juga harus diketahui dengan jelas (dapat diukur). Pembagian keuntungan antara mudharib dan shahibul maal berdasarkan nisbah sesuai kesepakatan awal dan tidak dalam jumlah yang pasti. Nisbah bagi hasil disetujui dalam kontrak; dan perbandingan bagi hasil dapat ditentukan dalam persen atau pembagian. Dari segi kerugian: kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas uasaha yang telah dilakukan. Adapun kerugian akibat salah urus atau kelalaian

mudharib menjadi beban mudharib.

Dari karakteristik mudharabah di atas, maka aplikasi perjanjian jenis ini harus memenuhi ketentuan tersebut (syarat dan rukun serta ketentuan-ketentuan khusus lainnya). Misalkan isi perjanjian tentang bagi hasil:…… dan pihak pertama pemilik dana/ shahibul maal/ deposan/ pemegang rekening) dan pihak kedua (bank/pengelola dan/mudharib) berjanji akan berbagi hasil atas dana pihak pertama dalam bentuk …. (deposito/ tabungan /usaha) dengan perbandingan bagi hasil… (40%(empat puluh persen) )….. Untuk pihak pertama dan… (60%(enam puluh persen)).. untuk pihak kedua…. “, dan begitu pula seterusnya tentang kerugian, jumlah modal, jangka waktu penempatan , dan lainnya.

Selanjutnya, pada saat jatuh tempo nasabah berkewajiban mengembalikan modal kepada bank, baik dengan cara dicicil atau dilunasi seluruhnya. Keberlakuan bagi hasil antara nasabah dan bank berlangsung selam modal yang di berikan bank belum dikembalikan seluruhnya. Dalam operasionalnya, pembiayaan


(39)

mudharabah ini dibedakan antara: “Pembiayaan mudharabah mutlaqah dengan

pembiayaan mudharabah muqayyadah.”27

Dalam pembiayaan mudharabah mutlaqah nasabah diberikan kebebasan untuk melakukan usaha dan tidak terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pihak bank, sedangkan dalam pembiayaan mudharabah muqayyadah nasabah hanya melakukan jenis usaha tertentu dan terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank sebagai penyedia modal. Proses aplikasi kedua pembiayaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 4.1

Proses Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah

27 H. A Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Ummat, (Sebuah

Pengenalan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 74

Perjanjian bagi hasil

Mudharib/

Nasabah

Rab al-Mal/ Bank

Proyek/usaha

Pembagian keuntungan


(40)

Tabel 4.2.

Proses Aplikasi Pembiayaan

Mudharabah Muqayyah

2 dana 1 proyek

3 paper

investasi investasi

2. Pembiayaan Musyarakah

Pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya. Modal yang disetor bisa berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property,

equipment, atau intangible asset (seperti hak paten dan googwill) dan

barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

Dalam pelaksanaan kegiatan usaha pemilik modal diperkenankan menyerahkan pengelolaan usahanya kepada pihak lain (ketiga). Dalam hal seperti ini dapat dilakukan dalam dua bentuk perjanjian, yaitu perjanjian musyarakah antar pemilik modal atau perjanjian murabahah antara pemilik modal dengan pengelola usaha. Pembagian keuntungan ditentukan dalam perjanjian sesuai dengan proporsi masing-masing pihak, yakni antara bank dan nasabah penerima

NASABAH BANK PROYEK

Bank Reksadana

Manajer Investasi

Ekuiti

Obligasi Bagi hasil


(41)

modal. Proses aplikasi pembiayaan musyarakah ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 4.3.

Aplikasi Pembiayaan Musyarakah

3. Pembiayaan Murabahah

Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam

transaksi jual beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termasuk harga pembeliaan dan keuntungan yang diambil.

Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku

penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat

murabahah dalam perbankan adalah sama dengan syarat dalam fiqh dalam hal

jual-beli. Syarat-syarat lain seperti barang-barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijaksanaan bank yang bersangkutan.

Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut.

Nasabah

Parsial: Asset

Value

Bank Syari’ah Parsial: Asset Value

Proyek/Usaha

Bagi Hasil Keuntungan Sesuai Porsi Kontribusi Modal (Nasabah)


(42)

Rukun murabahah: a. “Penjual;

b. Pembeli;

c. Barang yang diperjualbelikan; d. Harga; dan

e. Ijab-qabul.”28

Sedangkan syaratnya: mengenai barang yang diperjualbelikan: sifat, jenis dan jumlahnya jelas dan tidak termasuk kategori barang haram. Harga pembelian dan keuntungan serta cara pembayarannya harus disebut dengan jelas dan dinyatakan secara tertulis.

Murabahah dalam teknis perbankan: harga jual bank adalah harga beli dari

supplier ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi, nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir, maka harga jual beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan, akad tersebut menjadi batal; cara pembayaran dan jangka waktu yang disepakati bersama, dapat lumpsum atau secara angsuran.

Pembiayaan murabahah adalah pembiayaan untuk membeli barang nasional ataupun internasional. Dalam produk ini bank tidak melakukan perdagangan baik dengan pemasok maupun dengan penerima kredit, karena barang yang dibeli langsung diatasnamakan penerima kredit. Harga jual adalah harga beli diatambah mark up yang diperhitungkan secara lum sum dan disetujui penerima kredit. Sekalipun barang yang dibeli diatasnamakan penerima kredit, tetapi surat tanda bukti pemilikan tetap dipegang bank selama harga pembelian

28


(43)

belum dilunasi. Proses aplikasi pembiayaan murabahah ini dapat digambarkan sebagi berikut.

Tabel 4.4.

Aplikasi Pembiayaan Murabahah 1.Negosiasi & Persyaratan

4. Pembiayaan Al Bai’ Bithaman Ajil

Pembiayaan Al Bai’ Bithaman Ajil adalah pembiayaan untuk pembelian barang dengan cicilan. Syarat-syarat dasar dari produk ini hampir sama dengan pembiayaan murabahah. Perbedaan di antara keduanya terletak pada cara pembayaran, dimana pada pembiayaan murabahah pembayaran ditunaikan setelah berlangsungnya akad kredit, sedangkan pada pembiayaan

Al Bai’ Bithaman Ajil cicilan baru dilakukan setelah nasabah penerima barang

mampu memperlihatkan hasil usahanya. 5. Pembiayaan salam

Pembiayaan salam diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan berjangka pendek untuk produksi agribisnis atau industri jenis lainnya. Pembelian produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya harus diketahui jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya secara jelas. Harga jual yang disepakati harus dicantumkan dalam akad dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad.

BANK BANK

Supplier Penjual


(44)

Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka produsen harus bertanggung jawab dengan cara antara lain harus mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti dengan barang yang sesuai dengan pesanan.

6. Pembiayaan Istishna’

Pembiayaan istishna’ diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah, dan kontruksi. Dalam pembiayaan ini kriteria barang pesanan harus ada kejelasan mengenai jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlah barang yang dipesan. Harga jual yang disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama akad masih berlaku. Jika terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung oleh nasabah.

Dalam pelaksanaannya, pembiayaan istishna dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pihak produsen ditentukan oleh bank atau pihak produsen ditentukan oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan dimuka dalam akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. 7. Pembiayaan sewa beli

Pembiayaan sewa beli (ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyyah bi tamlik) adalah akad sewa suatu barang antar bank dengan nasabah, dimana nasabah diberi kesempatan untuk membeli objek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha dikenal dengan finance lease. Harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama diawal perjanjian. Dalam pembiayaan ini yang menjadi obyek sewa disyaratkan harus barang yang bermanfaat dan dibenarkan oleh syari’at dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau diukur.


(45)

Pembiayaan sewa beli ini dapat dilakukan dengan cara:

Pertama-tama lembaga pembiayaan atau perusahaan leasing yang berdasarkan syariah Islam membeli asset yang akan dibeli oleh nasabah. Setelah terbeli, maka lembaga tersebut menyewakan asset itu dalam jangka waktu dan harga yang ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.29

8. Hiwalah

Hiwalah adalah produk perbankan syariah yang disediakan untuk

membantu supplier dan mendapatkian modal tunai agar melanjutkan produksinya. Dalam hal ini bank akan mendapatkan imbalan (fee) atas jasa pemindahan piutang. Besarnya imbalan yang akan diterima bank ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan antar bank dengan nasabah.

9. Rahn

Produk perbankan ini disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman berarti bank hanya memperoleh imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi, dan administrasi barang yang digadaikan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.

Pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil yang telah berhasil berkembang menjadi usaha menengah, masih dapat dilanjutkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun lagi untuk lebih memantapkan usahanya setelah menjadi usaha menengah tersebut masih dapat memanfaatkan bantuan pembinaan dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.30

Lembaga pembiayaan dan lembaga penjaminan adalah lembaga yang sudah ada atau yang akan dibentuk, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

29 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Bangkit, Jakarta, tt, hlm.

104

30 Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta, 2007,


(46)

berlaku, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun dunia usaha. Sedangkan lembaga pendukung lainnya antara laian dapat berupa lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga pengkajian, lembaga pemasaran dan informasi, klinik konsultasi bisnis, inkubator, lembaga bantuan hukum dan pembelaan.31 Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya untuk meningkatkan ekspor dan pengembangan teknologi usaha kecil.

Secara prinsip, kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar dan berjalan berdasar norma-norma ekonomi yang berlaku dan atau lazim, serta adanya kebutuhan dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam kaitannya dengan keperluan untuk memberi perhatian dan dorongan yang lebih besar kepada terwujudnya kemitraan Usaha Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil, prinsip prinsip di atas pada prinsipnya juga tetap diberlakukan.

Yang diberi penekanan adalah, adanya penciptaan iklim dan pembinaan sehingga dapat mempercepat perwujudannya.32 Termasuk dalam pengertian Usaha Kecil juga badan hukum koperasi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Salah satu bentuk pembinaan usaha mikro adalah dengan menjalankan sistem waralaba. Meskipun

31 Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 32 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan

Pengembangan Usaha Kecil, Op.Cit., Pasal 14.

32


(47)

didorong untuk bermitra dengan cara pemberian waralaba dengan Usaha Kecil, tetapi tetap perlu diperhatikan faktor kemampuan atau kesesuaian usaha di bidang yang diwaralabakan tersebut. Hal ini penting agar dorongan untuk mewujudkan kemitraan tersebut tidak malah merusak iklim usaha pada umumnya.

Secara bersamaan, langkah-langkah tersebut dimaksud untuk mencegah berlangsungnya praktik persaingan tidak sehat. Dalam kehidupan perekonomian pada umumnya, praktik curang atau persaingan tidak sehat tersebut meliputi kegiatan yang beraneka ragam, seperti antara lain:

1. Tindakan yang menyesatkan atau membingungkan atau juga memberi kesan yang salah kepada konsumen dalam menentukan pilihan atas produk yang dikehendaki.

2. Memberikan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai alasan atau jumlah pengurangan harga.

3. Pemberian keterangan asal atas barang atau jasa yang membingungkan atau meyesatkan.

4. Pemberian pernyataan tentang kualitas atau standar, model, dan kadar suatu produk yang tidak benar.33

Pencegahan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat di atas juga dibarengi dengan kebijakan juga perlu diarahkan untuk mencegah penyalahgunaan posisi dominan, dan berlangsungnya persekutuan untuk menghindari persaingan. Upaya pencegahan penyalahgunaan posisi dominan dilakukan dengan beberapa praktik yang lazim dan tidak dibenarkan antara lain:

1. Menolak dengan alasan yang tidak wajar untuk mengadakan jual beli dan atau melakukan diskriminasi harga, mutu, jumlah, cara pembayaran, atau waktu penyaluran dalam jual beli.

2. Menetapkan persyaratan agar pembeli tidak menjual barang atau jasa lain yang sejenis, dan atau harus membeli berikut barang barang aatau jasa lain.

3. Melakukan perbuatan yang tidak wajar yang baerakibat merugikan, menghalangi, dan atau membatasi pesaing.

33


(48)

4. Mengeluarkan pernyataan palsu atau tindakan menyesatkan mengenai sifat, kegunaan, mutu, ukuran, dan spesifikasi barang atau kasa yang dihasilkan atau dijual.

5. Dengan sengaja melakukan pembatasan, penghentian produksi, penjualan, penyaluran barang atau jasa, yang berakibat menaikkan harga secara tidak wajar.34

Praktik persekutuan lain yang juga perlu ditangkal adalah tindakan yang dapat atau dimasuksudkan untuk mengurangi atau menghindari persaingan. Dalam hal ini yang biasa dilakukan dengan cara:

1. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menyebabkan terhambatnya persaingan sehat.

2. Secara langsung atau tidak langsung menetapkan harga yang tidak wajar sehingga menghalangi atau menyingkirkan pesaing.

3. Membatasi atau menghentikan produksi, penjualan atau penyaluran barang atau jasa, yang berakibat menaikkan barang secara tidak wajar. Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang telah sepakat untuk bermitra, membuat perjanjian tertulis dalam bahasa Indonesia atau juga bahasa yang disepakati dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia, perjanjian tersebut dapat berupa akta di bawah tangan atau akta Notaris.35

Perjanjian tertulis tersebut sekurang-kurangnya memuat: Nama, Tempat kedudukan kedua pihak, bentuk usaha yang dimitrakan, pola mitra yang digunakan, hak dan kewajiban kedua belah pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, cara pembayaran, bantuk pembinaan yang diberikan oleh Usaha Besar atau oleh Usaha Menengah dan cara penyelesaian dari perselisihan.36

34 Ibid.

35 Lihat, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997. 36 Penjelasan Peraturan Pemerintah R. I Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Pasal


(49)

Usaha Kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat sebagai bagian integral dunia usaha yang mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang setrategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang dan pemerataan pembangunan berdasarkan demokrasi ekonomi. Usaha Kecil perlu diberdayakan dan diberikan peluang berusaha agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pembangunan. Dengan berdasarkan hal tersebut, dipandang perlu bidang atau jenis usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau usaha besar dengan tetap mengacu kepada Peraturan Pemerintah R. I Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.37

37 Keppres R. I Nomor 127 Tahun 2001 Tentang Bidang Usaha yang dicadangkan untuk

Usaha Kecil dan Bidang jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau Usaha Besar, dengan syarat Kemitraan.


(50)

BAB III

PENGATURAN PEMBIAYAAN USAHA MIKRO MENURUT UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH

A. Pengertian Usaha Mikro dan Usaha Kecil

Untuk Indonesia sendiri mendefenisikan Industri Kecil (Usaha Kecil) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Usaha mikro diartikan sebagai ”model usaha yang paling kecil, biasanya dilakukan di rumah (definisi ini juga digunakan oleh Bank Dunia). Jika dikaitkan dengan jumlah pekerja, usaha mikro menurut definisi Amerika dan Eropa sama, yaitu jumlah pekerja di bawah 10 pekerja.”38

Usaha mikro adalah usaha yang bersifat menghasilkan pendapatan dan dilakukan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. Sedangkan Pengusaha Mikro adalah orang yang berusaha di bidang usaha mikro. Ciri-ciri usaha mikro antara lain: ”modal usahanya tidak lebih dari Rp 10 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan), tenaga kerja tidak lebih dari lima orang dan sebagian besar mengunakan anggota keluarga/kerabat atau tetangga, pemiliknya bertindak secara naluriah/alamiah dengan mengandalkan insting dan pengalaman sehari-hari.”39

Jenis usaha mikro, antara lain seperti dagang (seperti warung kelontong, warung nasi, mie bakso, sayuran, jamu), industri kecil (konveksi, pembuatan tempe/kerupuk/kecap/kompor/sablon), jasa (tukang cukur, tambal

38 Erwin, “SMK dan Usaha Mikro”, http://mybusinessblogging.com/entrepreneur/

2008/01/05/smk-dan-usaha-mikro/, diakses tanggal 10 Agustus 2009.

39 P2KP, “Mengenal Kelompok Usaha Mikro,” http://www.p2kp.org/wartaarsip

detil.asp?mid=1094&catid=2&


(51)

ban, bengkel motor, las, penjahit), pengrajin (sabuk, tas, cindera mata, perkayuan, anyaman), dan pertanian/peternakan (palawija, ayam buras, itik, lele). 40

Terkait pengembangan usaha mikro, dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, Kelompok Usaha Mikro (KUM), yaitu sekelompok orang yang bersepakat untuk saling membantu dan bekerjasama dalam membangun sumber pelayanan keuangan dan usaha produktif, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. KUM adalah kelompok swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang ekonomi. KUM diperlukan, karena usaha sendiri tidaklah mudah dan memiliki keterbatasan pengetahuan/pendidikan, sumber bahan baku terbatas, modal kecil, teknologi produksi sederhana, serta tidak memiliki akses kepada sumber modal, apalagi persaingan antar usaha cukup kuat.

Pemberdayaan Industri Kecil bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah dan juga untuk meningkatkan peranan industri kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkokoh struktur.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menyebutkan: ”Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

40


(52)

Pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan kriteria yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai usaha mikro, yaitu:

a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah.

Pasal 1 angka (8) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memberikan pengertian pemberdayaan sebagai upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.

Selanjutnya pada Pasal 1 angka (10) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memberikan definisi dari upaya pengembangan, yaitu:

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui pemberian fasilitas, bimbingan, pendampingan, dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah.

Ketentuan untuk dikatakan sebagai usaha kecil harus sesuai dengan beberapa ketentuan yang diatur oleh undang-undang, di antaranya ketentuan mengenai besarnya modal dan pendapatan. Ditinjau dari sisi modal dan pendapatan, Pasal 6 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 mengatur harus memiliki kekayaan bersih lebih dari dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima


(53)

ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2. 500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

B. Ciri-ciri Usaha Mikro

Pada umumnya kelompok dan individu didampingi dengan dasar keswadayaan. Untuk kelompok, keswadayaan dilakukan dengan mengembangkan kegiatan simpan pinjam, sehingga nantinya kelompok akan mempunyai dana sendiri yang dapat digunakan oleh keseluruhan anggota. Keterbatasan dana dalam kelompok merupakan hal yang selalu terjadi, dimana simpanan anggota lebih kecil dari kebutuhan.

Keterbatasan inilah yang merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan kelompok. Banyak ide-ide produktif yang muncul dalam kelompok terkendala implementasinya disebabkan kekurangan dana. Hal yang sama juga terjadi pada usaha-usaha yang dikelola individu. Banyak usaha-usaha individual dan bersifat retail yang berprospek tetapi sangat terbatas sumber pembiayaannya. Di lain pihak kebanyakan pengusaha lokal, mereka jarang bahkan tidak memiliki aspek-aspek legalitas usaha seperti izin, SIUP walaupun usaha yang dijalankan sesungguhnya menjadi penopang kehidupan keluarga.

Di lain pihak daya akses masyarakat ke lembaga-lembaga penyedia dana seperti perbankan, sering kali harus menghadapi berbagai persyaratan maupun birokrasi yang panjang. Pihak Bank menerapkan peraturan perbankan secara kaku tanpa melihat realitas yang ada di masyarakat. Misalnya meminta aspek legalitas usaha yang demikian panjang daftarnya, yang kadang kala harus


(54)

berhadapan dengan penyelenggara pemerintahan yang penuh birokrasi.41

Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan kalau pengangguran, hilangnya penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi.

Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa Usaha mikro dan usaha kecil memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi. Dengan memupuk usaha mikro dan usaha kecil diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi. Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru.42

Pendapat mengenai peran usaha mikro dan usaha kecil atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya dalam meminimalkan dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat. Usaha mikro dan usaha kecil boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. Dengan hal ini maka

41 Tulus Tambunan, Globalisasi Ekonomi dan Ekspor, Usaha Kecil dan Menengah

Indonesia, makalah, LP3E-Kadin Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.2.

42 Diah Kurniawati, “Wajah Koperasi Tani Dan Nelayan Di Indonesia: Sebuah


(1)

bersangkutan. Pelaksanaan hubungan kemitraan diarahkan kepada perluasan dan pendalaman keterkaitan bagi Usaha Kecil yang memiliki keterkaitan usaha serta penumbuhan keterkaitan usaha bagi Usaha Kecil yang memilki potensi keterkaitan usaha.

Pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan inti melaksankan pembinaan mulai dari penyediaan saran produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi. Pola Subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memperoduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.

Pola Dagang Umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar, memasarkan hasil produksi Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Pola Waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak pengguna lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaan kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.70

70 Lihat dan bandingkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995,


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah sebagai lembaga yang memberikan modal bagi perkembangan usaha mikro. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil).

2. Pengaturan pembiayaan usaha mikro terdapat dalam Pasal 22 UU No. 20 Tahun 2008 dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya antara lain:

a. Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.

b. Pengembangan lembaga modal ventura.

c. Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi impan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah.

d. Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(3)

B. Saran

1. Pemerintah harus lebih mengefektifkan peraturan dan Undang-Undang yang telah ada dan berkaitan dengan pembinaan serta pemberdayaan terhadap dunia industri kecil, sehingga dunia industri kecil dapat berkembang menjadi usaha menengah dan mandiri sebagaimana yang diharapkan, karena hal tersebut belum sepenuhnya dipatuhi oleh semua pihak.

2. Pemerintah dan pihak bank sendiri hendaknya dapat memberikan informasi yang jelas kepada dunia usaha mikro dan usaha kecil agar mereka bisa memanfaatkan bantuan dana ini untuk pengembangan usaha.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Al Muyassar Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz I s/d 30 (Transliterasi), Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2008

Alois A. Nugroho, Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis, Jakarta Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001.

Arifin Zainul, 2000, Memahami Bank Syariah Lingkup, Peluang, Tantangan

dan Prospek, Alvabet, Jakarta.

Ashari Akmal Tarigan (ed), Ekonomi dan Bank Syari’ah pada Millenium ketiga, IAIN Press bekerjasama dengan IKAPI, Medan, 2002.

Astiko dan Sunardi, 1996, Pengantar Manajemen Perkreditan, Andi, Yogyakarta.

Bank, Gema Insani Press, Jakarta.

Djazuli . A. H. dan Janwari Yadi, 2002, lembaga-lembaga Perekonomian Ummat (Sebuah Pengenalan), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Edy Putra Aman Tje’, 1989, Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta

Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta, 2007.

Gita Danupranata, “Ekonomi Islam”, cetakan pertama, 2006, UPFE-UMY, Yogyakarta.

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 2008.

Heri Sudarsno, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta, 2004.

Iggi H. Achsien, Perspektif Ekonomi Islam, Harian Pikiran Rakyat, 23 November 2002.

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000.

Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992.


(5)

M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Liberty, Jogjakarta, 1981. Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.

Muhammad Syafi’I Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta.

Muhammad Yusuf dan Wiroso, Bisnis Syariah, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2007.

Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi & Ekonomi Islam Dalam Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

Pasaribu Chairuman dan Lubis. K. Suhrawardi, 1996, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.

R. Subekti, 1996, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rahman, Hasanuddin, 1998, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto Surjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Tulus Tambunan, Globalisasi Ekonomi dan Ekspor, Usaha Kecil dan Menengah Indonesia, makalah, LP3E-Kadin Indonesia, Jakarta, 2001.

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Gresik, 2007.


(6)

KARYA ILMIAH DAN SITUS INTERNET

Agustianto, “Strategi Baru Pemberdayaan UMKM”, http://umkmakmur. wordpress.com/2008/ 12/04/strategi-baru-pemberdayaan-umkm/, diakses tangal 15 september 2009.

Aloysius Gunadi Brata, “Distribusi Spasial UKM Di Masa Krisis Ekonomi,”artikel, http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_7.htm, diakses tanggal 10 April 2006.

Carunia Mulya Firdausy, Prospek Bisnis UKM dalam Era Perdagangan Bebas dan Otonomi Daerah,artikel, Lembaga Ilmu Pengtahuan Indonesia, Jakarta, 2003.

Diah Kurniawati, “Wajah Koperasi Tani Dan Nelayan Di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis”, http://diahkurniawati.wordpress.com/, diakses tanggal 19 Agustus 2009.

Erwin, “SMK dan Usaha Mikro”, http://mybusinessblogging.com/entrepreneur/ 2008/01/05/smk-dan-usaha-mikro/, diakses tanggal 10 Agustus 2009. Muhammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah”,

artikel Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004.

Ngurah Parsua, “Membangun Ekonomi Kerakyatan melalui jaringan dan

Kemitraan”, makalah Widyaiswara UPTD Dinas Koperasi UKM

Propinsi Bali, 2007.

P2KP, “Mengenal Kelompok Usaha Mikro,” http://www.p2kp.org/wartaarsip

detil.asp?mid=1094&catid=2&

Riana Panggabean, “Membangun Paradigma Baru Dalam Mengembangkan UKM,” http://www.smecda.com/deputi7/file_infokop/riana.htm. diakses tanggal 21 Maret 2006.

PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menenngah

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 32 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil.