Tinjauan Kepustakaan 5. Pengertian Delik

dibutuhkan peraturan yang akan menjadi umbrella provision payung hukum terhadap semua hal yang berhubungan dengan jurnalistik pers.

F. Tinjauan Kepustakaan 5. Pengertian Delik

Delik sering juga disebut “peristiwa pidana” ataupun “strafbaar feit”. Dalam Bahasa Belanda dipakai dua istilah, yaitu kadang-kadang dipakai istilah “strafbaar feit”, tetapi kadang-kadang juga dipakai istilah “delict”. Dipakainya istilah “feit” dengan alasan bahwa istilah itu tidak hanya meliputi perbuatan handelen, tetapi juga pengabaian nalaten. 8 Dalam Bahasa Indonesia terdapat beberapa terjemahan-terjemahan dari “strafbaar feit” itu. Di samping terjemahan seperti “peritiwa pidana”, ada juga terjemahan-terjemahan seperti “perbuatan yang dapat dihukum”, “tindak pidana”, ”perbuatan yang boleh dihukum”, “pelanggaran pidana” maupun “perbuatan pidana.” 9 Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana”, alasannya karena istilah “peristiwa” itu meliputi suatu pebuatan handelen atau suatu melalaikan nalaten maupun akibatnya = keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu. “Peristiwa pidana” itu adalah suatu peristiwa hukum rechtsfeit, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. 10 8 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.87 9 Ibid 10 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1959, hal.284 Universitas Sumatera Utara Menurut Vos peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia menselijke gedraging yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman; jadi kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman. 11 a. suatu kelakuan mansuia Dalam definisi Vos ini dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut : Akibat anasir ini adalah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain. b. suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan pasal 1 ayat 1 KUHP dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana. Pompe mengemukakan dua gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang “peristiwa pidana” dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu wettelijke definitie definisi menurut undang-undang, tentang peristiwa pidana itu. Gambaran teoritis itu, bahwa suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah = pelanggaran tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 12 11 Vos, Leer Boek vh Ned, Strafrecht, hal 1 dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253 12 Pompe, Leer Boek vh Ned, Starfrecht, hal 1 dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253 Menurut gambaran teoritis ini maka anasir-anasir peristiwa pidana adalah : Universitas Sumatera Utara a. suatu kelakuan yang bertentangan dengan melawan hukum onrechtmatig atau wederrechtelijk b. suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah aan schuld te wijten c. suatu kelakuan yang dapat dihukum strafbaar Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-indang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Gambaran menurut hukum positif ini memuat dua hal yang menarik perhatian. Perlu ditegaskan kata “undang-undang”. Penegasan ini sesuai dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Di samping itu, Pompe membuat kesimpulan bahwa menurut hukum positif baik anasir melawan hukum maupun anasir bersalah bukanlah suatu anasir mutlak dari peristiwa pidana. 13 1. oleh hukum diancam dengan hukuman; Simons membuat definisi tentang peristiwa pidana yaitu “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”, yang berarti suatu perbuatan yang : 2. bertentangan dengan hukum; 3. dilakukan oleh seseorang yang bersalah; 4. orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. 14 13 Ibid hal.254 14 Simons, Leer Boek vh Ned, Strafrecht, hal 1 dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.256 Universitas Sumatera Utara Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa melakukannya, dan delik itu harus ditujukan kepada : a. memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan hukum, seperti pembunuhan, pencurian, dan sebagainya; b. membahayakan suatu kepentingan hukum gevaarzettingsdelicten yang dibedakan menjadi : b.1. concrete gevaarzettingsdelicten, misalnya kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang pasal 187, pemalsuan surat pasal 263 KUHP yang menimbulkan suatu ketakutan ataupun kemungkinan kerugian; b.2. abstracte gevaarzettingsdelicten, misalnya dalam penghasutan, sumpah palsu dan sebagainya yang juga diatur dalam KUHP. 15 Kepentingan hukum yang dimaksud meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu, dengan diperinci lebih lanjut dalam arti setiap kepentingan yang tersimpul kepentingan hukum individu, masyarakat dan negara. Hubungan antara sifat delik yang demikian itu dan kepentingan hukum yang dilindungi, maka yang dapat menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia een natuurlijk person. 16 1. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “hij die…” di dalam peraturan perundang-undangan pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia. Vos memberikan tiga alasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik, yaitu : 15 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal. 92 16 Ibid Universitas Sumatera Utara 6. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada manusia. 7. Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seorang manusia pribadi. 17 Perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum rechtpersoon dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan dalam undang-undang fiskal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya. Pada waktu sekarang ini hanya undang- undang di luar KUHP yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya badan hukum, dan mungkin di kemudian hari keadaan demikian dapat berubah. Di dalam KUHP ada ketentuan yang dapat memperdayakan pendapat karena pasal 59 dan 169 itu menentukan badan hukum perkumpulan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, namun kesan yang demikian itu ternyata tertuju kepada manusianya yang ikut perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana. 18 a. yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya psal 279, 281, 286, 242, dan sebagainya dari KUHP; Jonkers mengenal 4 jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, yang terdiri atas : b. dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan kualifikasi, seperti misalnya pemalsuan pasal 263, pencurian pasal 362 KUHP; 17 Vos, Leer Boek vh Ned, Strafrecht, hal.36 dalam buku karangan Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.93 18 Bambang Poernomo, Op.Cit., hal.93 Universitas Sumatera Utara c. cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan pasal 351, pembunuhan pasal 338 KUHP; d. kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya pasal 521 dan 122 ayat 1 KUHP. 19 Secara umum delik tindak pidana dapat dibagi sebagai berikut : 20 1. Kejahatan dan pelanggaran KUHP membedakan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam Buku II dan pelanggaran diatur dalam Buku III. Menurut M.v.T. pembagian atas dua jenis tadi didasarkan perbedaan prinsipil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechtdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian. 2. Delik formil dan delik materil a. Delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian pasal 362 KUHP, pemalsuan surat pasal 263 KUHP, dan sebagainya. 19 Jonkers, Handboek van het Ned. Indische Strafrecht, hal. 84-85 dalam buku karangan Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.94 20 A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hal.40 Universitas Sumatera Utara b. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian pasal 362 KUHP, pemalsuan surat pasal 263 KUHP, dan sebagainya. 3. Delik commisionis, delik ommissionis, dan delik commissionis per ommissinis commissa a. Delik commisionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan- larangan di dalam undang-undang. Contohnya pencurian, penggelapan, penipuan, dan sebagainya. b. Delik ommissionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah keharusan-keharusan menurut undang-undang. Contohnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan pasal 522 KUHP. c. Delik commissionis per ommissinis commissa yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang delik commissionis, tetapi melakukannya dengan cara tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi susunya pasal 338, 340 KUHP. 4. Delik dolus dan delik culpa doluese en culpose delicten a. Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan, atau delik- delik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik- delik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja”. Contoh : delik yang diatur dalam pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP. Universitas Sumatera Utara b. Delik culpa, yaitu delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya, atau menurut Lamintang 1197 ; 214 adalah delik-delik yang cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum. Contoh : delik yang diatur dalam apdal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4, 395 dan 360 KUHP. 5. Delik tunggal dan delik berganda enkevoudigde en samengestelde delicten a. Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang. b. Delik berganda, yaitu delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Contoh : delik yang diatur dalam pasal 481 KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan. 6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan orang lain. 7. Delik aduan dan delik biasabukan aduan Delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Delik-delik seperti ini misalnya delik yang diatur dalam pasal 310 KUHP dan seterusnya tentang penghinaan, pasal 284 tentang perzinahan, dan sebagainya. Delik aduan menurut sifatnya dapat dibedakan atas delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut Universitas Sumatera Utara misalnya delik yang diatur dalam pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik aduan relatif misalnya delik yang diatur dalam pasal 367 tentang pencurian dalam keluarga. 8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya a. Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian. b. Delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadan-keadaan yang memberatkan, maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik yang diatur dalam paal 365 KUHP.

2. Pengertian Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baikpenghinaanfitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander. KUHP menyebutkan bahwa penghinaanpencemaran nama baik bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan tercetak. Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal. 21 21 Penghinaan lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana http:www.romeltea.com20100101melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-nama- baik, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB Universitas Sumatera Utara penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik. 22 KUHP mengatur beberapa pasal soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137, di mana pasal- pasal ini telah dibatalkan oleh dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum seperti DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya pejabat pada instansi negara maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, pasal 320 dan 321 pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati. 23 Menurut KUHP pencemaran nama baik harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan dan tuduhan dimaksudkan menjadi konsumsi publik. Dalam penjelasannya, R. Soesilo mengatakan bahwa tuduhan ini harus dialamatkan kepada orang-perorangan, jadi, tidak berlaku apabila yang merasa terhina ini adalah lembaga atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas 22 Ibid 23 Ibid Universitas Sumatera Utara dasar membela diri berdasarkan pertimbangan hakim, maka sang penuduh tidak dapat dihukum. 24 Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers yang dianggap mencemarkan nama baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut. 25 Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu. 26 Oleh karena dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan nama baik, maka sudah tentu pengertian pencemaran nama baik pun tidak jelas didefinisikan. Hal ini mengakibatkan perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif, 27 24 dan bukan penafsiran objektif. http:bh4kt1.multiply.comjournalitem65Pencemaran_Nama_Baik_yang_Salah- Kaprah, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 15.10 WIB 25 http:www.romeltea.com20100101melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-nama- baik, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB 26 Ibid 27 Ibid Universitas Sumatera Utara

3. Pengertian Media Massa dan Pers

Media massa mass media terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “massa”. Penjelasan berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam masyarakat, bukan dari sisi etimologis, karena pengertian media dari waktu ke waktu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sosial politik dan persepsi masyarakat terhadap media. 28 Kata “media” dekat dengan pengertian “medium”, “moderat” yang berarti tengah, sedang, pengengah, atau penghubung. Kalau mendengar kata mediasi berarti suatu usaha untuk menengahi atau menyelesaikan masalah dengan cara menjadi penengah atau menghubungkan satu pihak dengan pihak yang lain. Mediator adalah orang atau pihak yang menjadi penengah dari dua sisi yang berbeda. Kata media sebenarnya lebih dekat pengertiannya sebagai “penengah” atau pihak yang berdiri di tengah-tengah atau “penghubung”. 29 Kata kedua yang melekat dalam kata media adalah “massa”. Kata massa sering kali diartikan dalam dua sisi yang berbeda. Bagi kalangan yang menghendaki suatu kemapanan, atau yang tidak menghendaki suatu perubahan, Pengertian secara sosial-politis, “media” kemudian bergeser menjadi suatu “tempat”, “wahana”, atau “forum” atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga penghubung”, lembaga yang berada dalam posisi di tengah antara massa dan elit, rakyat dan negara, rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang di satu tempat dengan sekelompok orang di tempat lain. 28 Eric Barendt, Broadcasting Law, A Comparative Study, Clanrendoms Press, Oxford, 1993, hal.32 dalam buku karangan Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal.54 29 Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal.54 Universitas Sumatera Utara kata massa adalah sesuatu yang berkonotasi negatif. Tetapi kalangan sosialis atau mereka yang berkepentingan terhadap massa seperti partai politik melihat massa sebagai suatu yang positif dan bahkan memberikan penghargaan tinggi. Ungkapan sehari-hari yang sering kita dengar “demi rakyat”, “kepentingan publik” adalah sinonim dari kata “massa”. Kata “massa” dalam media massa sebenarnya tidak berkonotasi negatif atau positif. Massa dalam pengertian di sini adalah sesuatu yang tidak pribadi, sesuatu yang tidak personal, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan “orang banyak”. 30 Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi semua kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa juga diartikan sebagai penengah antara massa dan elit, forum yang menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah, dan sebagainya. 31 Istilah pers, atau press berasal dari istilah Latin pressus artinya tekanan, tertekan, terhimpit, padat. 32 30 Ibid, hal.55 31 Ibid, hal.56 32 Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, Yayasan Ciptaloka Caraka, Jakarta, 1984, hal.114 dalam buku karangan Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.35 Pers dalam kosa kata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa Inggris “press”, sebagai sebutan untuk alat cetak. Keberadaan pers dari terjemahan istilah ini pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat. Maka lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol social, di mana yang juga tidak jarang menjadi sebuah media penekanan terhadap kebijakan tertentu Universitas Sumatera Utara yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya. 33 Pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti. Pers dalam arti luas adalah media tercetak atau elektronik yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Pers dalam arti sempit adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan bulletin, sedangkan media elektronik meliputi radio, film dan televisi. 34 Pengertian pers menurut UU Pers UU No. 40 Tahun 1999 adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pers yang dimaksudkan dalam skripsi ini dengan demikian adalah dalam pengertian sempit atau terbatas, yaitu media tercetak di atas kertas atau media cetak. 35

4. Pengertian Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers

Wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman mayarakat karena adanya kemerdekaan pers yang merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat 33 Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.35 34 Ibid 35 Lihat pasal 1 angka 1 UU Pers Universitas Sumatera Utara diperlukan suatu landasan moraletika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. UU Pers menegaskan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalitik 36 , yaitu suatu himpunan etika profesi kewartawanan yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. 37 Kode Etik Jurnalitik merupakan “lilin pemandu” bagi wartawan agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan. Sebaliknya, Kode Etik Jurnalitik juga merupakan acuan yang dipakai “pembaca” untuk mengukur apakah pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan itu menyalahi Kode Etik Jurnalitik atau tidak. Oleh UU Pers, Kode Etik Jurnalitik ditempatkan sebagai bagian yang utuh dalam mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers. 38 Kode Etik Jurnalistik pertama kali dikeluarkan oleh PWI Persatuan Wartawan Indonesia, namun ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Sebelumnya, Kode Etik Jurnalitik hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun dengan munculnya berbagai organisasi wartawan selain PWI tersebut, mereka pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Hal ini secara jelas terlihat dari salah satu fungsi Dewan Pers yakni menempatkan dan mengawasi pelaksaan Kode Etik Jurnalistik. 36 Lihat pasal 7 ayat 2 UU Pers 37 Lihat Penjelasan pasal 7 ayat 2 UU Pers 38 Hinca I.P.Panjaitan, Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi Anda, Ombudsman Memfasilitasinya, Tim Ombudsman Jawa Pos Grup, Jakarta, 2004, hal.16 Universitas Sumatera Utara Indonesia KEWI. Sebagian besar isinya mirip dengan Kode Etik Jurnalitik PWI. KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1SK-DP2000 tanggal 20 Juni 2000. 39 Pada tahun 2006 Kode Etik Jurnalistik itu dikembangkan dan disempurnakan lagi sehingga berisikan 11 hal pokok. 40 Hal-hal tersebut meliputi, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk pasal 1. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik pasal 2. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah pasal 3. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul pasal 4. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan pasal 5. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap pasal 6.Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan pasal 7. 39 http:romeltea.wordpress.com20071002kode-etik-jurnalistik-etika-profesional- wartawan, diakses pada hari Rabu, 21 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB 40 Lihat Kode Etik Jurnalistik Universitas Sumatera Utara Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani pasal 8. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik pasal 9. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa pasal 10, dan yang terakhir, pasal 11 menyatakan bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Untuk memahami secara utuh UU Pers, selain membaca secara utuh batang tubuhnya dan penjelasannya juga harus dibaca secara utuh Kode Etik Jurnalistik yang disusun oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers, yang merupakan Kode Etik Jurnalistik yang diharuskan oleh Pers, karena antara UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik merupakan satu keasatuan. Apa sajakah faktor-faktor yang melatarbelakangi Indonesia memerlukan UU Pers? Untuk menjawab pertanyaan ini, geseztgebungswissenschaft ilmu perundang-undangan mengajarkan “lihat bagian menimbang undang- undangnya”. Dalam bagian konsiderans “menimbang” UU Pers terdapat 5 dasar pertimbangan. 41 41 Lihat Konsiderans bagian Menimbang UU Pers Universitas Sumatera Utara Pertama, karena kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin. Kedua, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, karena pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, karena Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Selain itu, dari konsiderans “mengingat” UU Pers diketahui pula bahwa UU Pers lahir sebagai amanat UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 Universitas Sumatera Utara ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIIMPR1998 tentang HAM. 42 Penjelasan Umum UU Pers menyatakan bahwa sesungguhnya UU Pers adalah undang-undang yang mengatur dan menjamin terselenggaranya kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. 43 Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 44 Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum, yang paling popular dikenal adalah sebagai berikut :

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dokumen yang terkait

PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF UN

0 11 19

Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)

11 70 201

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seks

0 5 17

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTIONDALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTION DALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode

0 3 17

PENDAHULUAN PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTION DALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik dan Penulisan Caption Foto Dalam Foto Jurnalistik Pemberitaan Kecelaka

0 2 39

PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MENCEMARKAN NAMA BAIK.

0 2 14

PENUTUP PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MENCEMARKAN NAMA BAIK.

0 3 4

PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA MASSA CETAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF YURIDIS.

0 1 15

PERANAN DEWAN PERS DALAM PENYELESAIAN KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA MASSA ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.

0 0 1

DEMI KEPENTINGAN UMUM DAN MEMBELA DIRI SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PIDANA DALAM DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH PERS Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 58