Peraturan-peraturan Mengenai Hukum Media Massa di Indonesia 1.

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA

C. Peraturan-peraturan Mengenai Hukum Media Massa di Indonesia 1.

Sumber Hukum Fundamental Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah ketentuan- ketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek mendasar dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi, kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum fundamental tersebut adalah sebagai berikut : 47 a. UUD 1945; b. Tap MPR RI No. XVIIMPR1998 tentang Hak Asasi Manusia; c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia General Declaration on Human Rights. Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945. UUD 1945 menjadi landasan hukum tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah, semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal 28 UUD 1945, berbunyi “kemerdekaan 47 Hari Wiryawan, Op.Cit., hal 154 Universitas Sumatera Utara berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” 48 Secara eksplisit pasal tersebut tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers. 49 Untuk mempertegas kelemahan pasal 28 UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers, maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” 50 Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak 48 Lihat UUD 1945 49 Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.39 50 Lihat UUD 1945 Amandemen ke-2 Universitas Sumatera Utara menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945 tersebut. 51 Tap MPR RI No. XVIIMPR1998 sebetulnya merupakan ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal 21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVIIMPR1998, terdapat kesamaan elemen : 52 a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVIIMPR1998 berbunyi “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Unsur ini mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh informasi. b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVIIMPR1998 berbunyi “Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB. c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVIIMPR1998 berbunyi “Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi.” 51 Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal..40 52 Ibid, hal.53 Universitas Sumatera Utara Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat di depan umum. Dengan demikian, UU No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat freedom of expression. Dengan demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke dalam dasar-dasar hukum media. 53 Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatan-kesepakatan tentang HAM di dunia internasional, khususnya sebagai anggota PBB. 54 53 Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156 54 Ibid Universitas Sumatera Utara 2. Sumber Hukum Fungsional Sumber hukum fungsional adalah sumber hukum media massa yang berisi peraturan perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi tentang teknis operasional media massa, yaitu UU Pers UU No.40 Tahun 1999. Konsiderans undang-undang tentang pers ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu : 55 a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat pasal 28 UUD 1945; b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan; d. UU No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, harus dicabut, karena menghambat kemerdekaan pers. Ada beberapa persamaan antara UU No. 40 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan, jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang 55 Lihat UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers Universitas Sumatera Utara sebelumnya mendera kehidupan pers. 56 a. sensor dan pemberedelan pers; Misalnya, kedua produk hukum itu sama- sama mencabut ketentuan tentang : b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP; c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik; d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan membahayakan kepentingan politik penguasa. Khusus mengenai pencabutan SIT, terdapat perbedaan yang tajam antara UU No. 11 Tahun 1966 dengan UU No. 40 Tahun 1999. Melalui pasal 20 ayat 1 Peraturan Peralihan UU No. 11 Tahun 1966, justru mengingkari substansi pasal sebelumnya yang telah mencabut keharusan SIT bagi setap penerbitan pers, sebab pasal 20 ayat 1a dan 1b, masih mengharuskan ketentuan SIT selama masa transisi yang diatur Dewan Pers dan pemerintah. Dengan kata lain, UU No. 11 Tahun 1966 ternyata bagaikan cek kosong dalam kemerdekaan pers, seolah-olah ia memerdekakan pers dari praktik represif penguasa, tetapi begitu hendak diaplikasikan ternyata janjinya palsu alias tidak sesuai antara yang tertulis dengan realitas sebenarnya. 57 Berbeda halnya dengan UU No. 40 Tahun 1999. Undang-undang produk hukum reformasi ini memberikan kemerdekaan pers tanpa syarat atau embel- embel masa transisi. Janji pencabutan SIUPP ternyata betul-betul efektif, sehingga 56 Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56 57 Ibid, hal.57 Universitas Sumatera Utara setiap warga negara yang menerbitkan pers, bisa melakukannya dengan leluasa tanpa hambatan dari pihak manapun. 58 3. Sumber Hukum Stuktural Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung, seperti : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka digolongkan dalam hukum media massa struktural. 59 Sebuah contoh hukum media massa peninggalan Belanda adalah, tiga pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP : Pasal 154, 156 dan 157, di mana pasal 154 KUHP ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Pasal-pasal ini disebut dengan haatzaai-artikelen, yang berarti pasal-pasal penyebar kebencian dalam undang-undang yang berasal dari sistem pers otoriter di Inggris pada abad ke-16, kemudian diterapkan pemerintah kolonial 58 Ibid 59 Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.159 Universitas Sumatera Utara Belanda di Indonesia. Pasal ini memuat ketentuan-ketentuan pencekalan kebebasan pers atau tindakan serupa. 60 Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK, terhadap golongan penduduk pasal 156 KUHP diberikan secara otentik pasal 156 ayat 2 KUHP. 61 Pasal 157 ayat 1 berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal 157 ayat 2 berbunyi: “Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak adanya Adapun bunyi pasal 156 yang sering disebut pasal sara itu adalah “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Perkataan golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau kedudukannya menurut hukum tata negara”. 60 Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.61 61 Ibid Universitas Sumatera Utara pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang pencarian tersebut”. 62 Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946, ketentuan haatzaai- artikelen itu berlaku di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya KUHP. Belanda sendiri telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana, antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara. 63 Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran pasal 310 ayat 1 KUHP; pencemaran tertulis pasal 310 ayat 2 KUHP, fitnah pasal 311 KUHP, penghinaan ringan pasal 315 KUHP, pengaduan fitnah pasal 317 KUHP, persangkaan palsu pasal 318 KUHP dan penghinaan terhadap orang mati pasal 320-321 KUHP. 64 62 http:www.docstoc.comdocs22403929Handout--3-Sumber-Hukum-Media-Massa- Menurut-domain, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 16.25 WIB 63 http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=11446coid=3caid=31gid=2, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.00 WIB 64 http:www.suarapembaruan.comNews20050223Editoredit02.html, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.35 WIB Universitas Sumatera Utara b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata. 65

D. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru dan Era Reformasi

Dokumen yang terkait

PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF UN

0 11 19

Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)

11 70 201

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seks

0 5 17

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTIONDALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTION DALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode

0 3 17

PENDAHULUAN PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTION DALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik dan Penulisan Caption Foto Dalam Foto Jurnalistik Pemberitaan Kecelaka

0 2 39

PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MENCEMARKAN NAMA BAIK.

0 2 14

PENUTUP PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MENCEMARKAN NAMA BAIK.

0 3 4

PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA MASSA CETAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF YURIDIS.

0 1 15

PERANAN DEWAN PERS DALAM PENYELESAIAN KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA MASSA ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.

0 0 1

DEMI KEPENTINGAN UMUM DAN MEMBELA DIRI SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PIDANA DALAM DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH PERS Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 58