b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut ganti rugi dan
pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata.
65
D. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru dan Era Reformasi
Pasal 1365 berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur “Tuntutan
perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”.
1. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru
Yang dimaksud dengan era Orde Baru adalah suatu periode politik sejak tahun 1966 di bawah pemerintahan kepemimpinan Jendral Soeharto 11 Maret
1966 hingga kejatuhannya 21 Mei 1998. Era politik di bawah kepemimpinan Soeharto itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru. Pergeseran
konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah mengubah dengan cepat
berbagai politik hukum di Indonesia.
66
Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII1966 dan UU No.11 Tahun 1966 yang
65
Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84
66
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.77
Universitas Sumatera Utara
mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di
era Orde Baru ini tentu ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis.
67
Pada waktu awal sistem politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, misalnya tampak sekali peranan Soeharto, dengan partai tunggal Golkar
dan militer menjadi pilar utama kekuasaan pada waktu itu. Hubungan antara militer, Golkar, pers, dan mahasiswa, yang menjadi pilar demokrasi di awal Orde
Baru itu terlihat sangat harmonis. Hal ini ditandai dengan berbagai indikator, misalnya, di lingkungan pers, Peraturan Panglima Perang Tertinggi No.10 Tahun
1960 yang mewajibkan SIT bagi setiap penerbit dicabut melalui UU No.11 Tahun 1966. Begitu juga tentang sensor, bredel, dan izin cetak pers dicabut.
68
Masalahnya, hubungan dekat antara elemen pers, mahasiswa dengan sistem politik Orde Baru segera berubah. Hal ini disebabkan pergeseran
karakteristik pemerintahan Orde Baru yang represif dan militeristik. Realitas itu ditolak dan mendapat kecaman keras dari pers dan mahasiswa. Perbedaan sikap
ini membuat watak represif konfigurasi politik Orde Baru yang sudah berubah menjadi represif dan keras. Sikap represif makin kuat sehingga mengarah kembali
ke watak sistem pemerintahan Orde Lama yang pernah dikoreksi oleh berbagai komponen utama Orde Baru. Sebagai pelaksanaan dari amanat Tap MPRS
XXXII1966 tersebut, keluarlah UU No.11 Tahun 1966, tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers. Undang-undang baru ini sangat responsif, karena mencabut
67
Alfian, Pemikiran Politik Indonesia, cet.1, hal.135 dikutip dalam buku karangan Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.77
68
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.78
Universitas Sumatera Utara
tentang keharusan SIT, dan menjamin tidak ada lagi sensor dan pemberedelan pers yang sebelumnya menjadi momok para praktisi pers yang pro kemerdekaan
pers.
69
Pasal 4 UU Pokok Pers tersebut secara tegas menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Pasal 5 ayat 1 berbunyi
bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang memberi jaminan kebebasan pers.
70
UU No.11 Tahun 1966 di tengah jalan diubah dengan UU No.4 Tahun 1967. Sebuah perubahan yang tidak substansial dan hanya terdiri dari dua pasal.
Bahkan disebutkan bahwa kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia, namun
dalam UU Pers itu juga dicantumkan sebuah “Peraturan Peralihan”. Sesuai dengan namanya, ketentuan ini mengesankan sebagai peraturan yang bersifat sementara.
Pasal 20 Peraturan Peralihan berbunyi :”Dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit SIT masih berlaku sampai ada keputusan
pencabutannya oleh pemerintah dan DPR-GR.”
71
Pada awal Orde Baru 1966 hingga awal 1970-an sering dikatakan merupakan bulan madu antara pemerintah Orde Baru dan kaum pro-demokrasi.
Mengenai perizinan muncul Peraturan Menteri Penerangan RI No.03PerMenpen 1969 tentang permohonan Surat Izin Terbit SIT. Di samping SIT masih ada
Surat Izin Cetak SIC yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Laksus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Pangkopkamtib.
69
Ibid
70
Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.101
71
Ibid, hal.102
Universitas Sumatera Utara
Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun
1966-1974. Dari segi jumlah ada peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama
dari menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi, namun di antara
media yang bertahan tetap menyuarakan pendangan-pandangan yang sangat kritis kepada pemerintah.
72
Masalahnya, hubungan mesra antara penguasa dan elemen demokrasi itu tidak berjalan lama. Pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan menyatakan
pendapat antara penguasa dan elemen demokrasi mengalami degradasi. Pemerintah yang makin kuat peranannya karena sudah mendapat dukungan dari
berbagai elemen demokrasi, pada akhirnya justru merasa seakan stabilitasnya terganggu terhadap sikap kritis dan kontrol sosial dan politik yang juga kian kuat.
Berbarengan dengan itu, muncul kecemasan setelah aksi mahasiswa datang bertubi-tubi terhadap praktik politik pemerintahan Orde Baru dalam hal ini
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN.
73
Hal tersebut mengakibatkan makin berkurangnya dukungan kekuatan demokrasi karena dinilai setelah empat tahun Orde Baru berdiri, terjadi gejala
penyimpangan cita-cita Orde Baru. Sebagai reaksi, kemudian muncul gejolak pada tahun 1974, yang dikenal dengan Malari 1974 dan tahun 1980-an. Inti dari
gerakan Malari tersebut adalah menolak praktik KKN dan ketergantungan
72
Ibid, hal.104
73
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.80
Universitas Sumatera Utara
ekonomi pemerintah Orde Baru pada utang luar negeri.
74
Lebih dari 10 tahun UU Pokok Pers itu kemudian diubah dengan UU No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada ketentuan tentang
perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP.
Alasannya adalah karena di dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah
institusi masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya SIUPP.
Hal ini mengakibatkan koran-koran yang semula vokal menjadi lembek, koran-koran yang semula
nyaring lalu membisu, dan tentu saja sejumlah koran tidak bisa berkata apa-apa karena sudah ditutup pasca Malari.
75
Pasal 13 ayat 5 UU No.21 Tahun 1982 berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus memiliki SIUPP yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri
berhak membatalkan SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama
bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan.
76
Meskipun Permenpen ini dinggap bertentangan dengan UU Pers, namun ketentuan ini tetap berlaku hingga
jatuhnya Orde Baru tahun 1998.
74
Ibid
75
Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.96
76
Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.102
Universitas Sumatera Utara
2. Kemerdekaan Pers Pada Massa Reformasi
Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang
fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus demikian kuat sejak Mei
1998. Begitu pula halnya dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.
77
Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan
Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada kesamaan semangat mereformasi
hukum tentang kemerdekaan pers pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak
dalam hal :
78
a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum pers represif
ke arah produk hukum responsif; b.
mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi; c.
sistem pers yang berlaku cenderung liberal; d.
sistem politik yang berlaku cenderung demokratis. Gejala perubahan nilai-nilai baru dalam bidang pers itu pada awal
konfigurasi politik Reformasi dilakukan dengan proses yang sangat demokratis.
79
77
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.92
78
Ibid
79
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.93
Pemerintahan transisi pimpinan Presiden Habibie dengan Menteri Penerangan
Universitas Sumatera Utara
Yunus Yosfiah mencabut sejumlah Peraturan Menteri dan SK Menpen yang menjadi alat kontrol pers dan wartawan. Hal ini disambut dengan sukacita oleh
kalangan pers, lebih-lebih setelah pemerintah pada tanggal 5 Juni 1998 mencabut Permenpen yang sangat dibenci oleh kalangan pers yaitu Permenpen No.1 Tahun
1984, yang berisi “Menteri Penerangan berhak memberikan teguran, membekukan sementara dan membatalkan SIUPP.”
Baru beberapa hari setelah Permenpen tersebut dicabut telah mengundang reaksi negatif dari sebagian pengamat pers.
80
Gambaran paradigma kehidupan pers pada masa Orde Baru pun berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Muncul reformasi yang membawa
akibat pada berubahnya hampir semua tatanan pada sektor publik. Reformasi dimaksud secara mendasar berkenaan filosofi kebebasan pers yang mengedepan
berupa tuntutan untuk kebebasan pers yang sebelumnya dipasung oleh pemerintah.
Mereka mempertanyakan Permenpen itu karena dalam Permenpen yang baru No.1 Tahun 1998, Menteri
Penerangan masih memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif, berupa peringatan tertulis dan pembekuan izin dan penyelesaian melalui
pengadilan. Menpen menjelaskan bahwa pembekuan itu sifatnya administratif, misalnya perusahaan media massa itu sudah tidak terbit maka Menpen berhak
membekukan agar tidak dikenai pajak.
81
80
Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.116
81
Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.98
Tuntutan ini melahirkan Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
Universitas Sumatera Utara
UU No.40 Tahun 1999 ini dikatakan sebagai sapu jagat kemerdekaan pers Indonesia, setelah sekitar dua puluh delapan tahun didera pembelengguan oleh
rezim Orde Baru.
82
a. Pasal 9 ayat 2 UU No.40 Tahun 1999 : meniadakan keharusan mengajukan
SIUPP untuk menerbitkan pers; Dikatakan sebagai sapu jagat karena undang-undang ini
menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti :
b. Pasal 4 ayat 2 UU No.40 Tahun 1999 : menghilangkan ketentuan sensor,
pembredelan atau pelarangan penyiaran; c.
Pasal 4 ayat 2 Jo Pasal 18 ayat 1 UU No.40 Tahun 1999 : melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda
Rp.500.000.000 bagi yang menghambat kemerdekaan pers. Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, UU
No.40 Tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut : a.
Pasal 2 UU No.40 Tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
supremasi hukum. b.
Pasal 4 ayat 1 UU No.40 Tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran,
serta memajukan dan mencerdaskan bangsa. Dengan adanya kemudahan mendapatkan SIUPP, serta dijamin tidak ada
sensor dan pemberedelan, ternyata menimbulkan euphoria atau pesta pora
82
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.95
Universitas Sumatera Utara
kemerdekaan pers. Dampaknya, penerbitan pers tumbuh bagai jamur di musim hujan. Hal ini memungkinkan bagi setiap warga masyarakat yang profesional
maupun amatir dapat mendirikan penerbitan pers.
83
Adanya deregulasi pers sampai akhirnya dihapuskannya SIUPP dan adanya jaminan kebebasan pers, memunculkan persoalan baru. Persoalan itu
adalah tuduhan yang gencar dilakukan berbagai kalangan bahwa “pers Indonesia telah kebablasan”. Pers dinilai bertindak tidak profesional dengan seringnya
membesar-besarkan masalah dan mengeksploitasi konflik yang terjadi di masyarakat.
84
Akibatnya timbul tekanan kepada pers melalui berbagai cara termasuk dengan kekerasan, sampai tuntutan hukum dengan menggunakan
KUHP. Dalam KUHP warisan penjajah Belanda itu memang terdapat ketentuan yang dikenal dengan istilah delik pers. Aturan ini digunakan untuk menyeret
wartawan sebagai pelaku tindak kriminal. Masalah ini terkenal dengan istilah kriminalisasi pers yang muncul tahun 2004.
85
E. Mekanisme Pemberitaan Pers yang Sesuai Dengan Prinsip Keadilan dan Penghormatan terhadap HAM