Tinjauan Atas Pemberitaan Yang Berindikasi Adanya Delik Pencemaran Nama Baik Oleh Media Massa Dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik Dan UU Pers

(1)

TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI

ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA

MASSA DALAM PERSPEKTIF UU PERS

SKRIPSI

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Nama : Karina Kristianti Sinaga NIM : 060200153

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI

ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA

MASSA DALAM PERSPEKTIF UU PERS

SKRIPSI

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Nama : Karina Kristianti Sinaga NIM : 060200153

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh : Ketua Departemen

H. Abul Khair, SH, M.Hum NIP. 196107021989031001

Pembimbing I Pembimbing II

Nurmalawaty, SH, M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum NIP. 196209071988112001 NIP. 197404012002121001


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada my Saviour, my manager of life, the inspiration of my life, Jesus Christ. Please teach me to be more like You, sebab kasih setiaMu lebih baik daripada hidup, bibirku pun akan memegahkan Engkau. Demikianlah aku memuji Engkau seumur hidupku, yang mana atas berkat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul ”TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA DALAM PERSPEKTIF KODE ETIK JURNALISTIK DAN UU PERS” yang disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan, sehingga penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Di luar dari segala kekurangannya, skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, sehingga untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M. sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. H. Abul Khair, S.H., M.Hum. sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan motivasi, saran, bimbingan dan kritikan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Dr. Sunarmi, S.H. M.Hum selaku Dosen Wali yang telah begitu banyak membantu dalam menghadapi semua masalah dalam perkuliahan dan memberi motivasi untuk tetap memberikan yang terbaik.

9. Buat Orang tuaku tercinta, Mama (Jenny Rosmawaty Siahaan) dan Bapak (Drs. Kepler Sinaga, MM), especially for my Mom, terima kasih buat semuanya (materi, bimbingan, nasihat, teguran, dan doa) yang selalu menopangku semasa hidupku. Dan buat Opungku tercinta, Opung Adek (Rosina Marbun) dan Opung Doli (Alfred Siahaan), terima kasih atas segala perhatian, bimbingan, motivasi dan segala bantuan yang aku terima tanpa balas. Buat Kakakku, Farida Yosadora Sinaga a.k.a Ocha, Adik-adikku,


(5)

Andreas Oloan Sinaga dan Gloria Benyta Sinaga, terima kasih karena terus menyayangi dan menerimaku sebagai bagian dari hidup kalian.

10.Buat Keluarga Besar Sinaga, Opung kampung (Doli dan Boru), semua Bapauda dan Nanguda, semua Namboru dan Amangboru serta semua sepupu-sepupu kecilku. Buat Keluarga Besar Siahaan, especially My Lovely Tante Adek, terima kasih atas bimbingan, nasehat dan ajaran tentang Nya, sehingga aku tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa yang mengerti apa arti hidup dan kehidupan. Tulang Patar (SDE Siahaan †), Selamat Jalan tulang…RIP!, Nantulang Sitorus, Tulang Ronald H Siahaan, Nantulang Sagala, Tante Exa (Jojor Siahaan) dan Uda Exa (Hery Manullang), makasih ya nTe, daK buat tumpangannya selama 2 tahun^-^, dan buat sepupu-sepupuku, Exa, Patar, Michael, dan calon sepupu cilikku :-) (Tulang Ronald Junior hehe…ditunggu “launchingnya” ^^.

11.My very very lovely, crazy, wild, narcis, jayus, “viktor”, n beyond imagination frenzzz : Helen, Lucy, Jhon, n Siska (especially Helen dan Lucy), makaci yah cin buat semua suka dan duka selama 3 taun lebih yang kita lalui di kampus, mall, n bioskop haha (ingat cin, perjalanan kita muter2 nyari taman buaya^^, dari museum langsung cabut ke kebun binatang wakkwkk, mengitari semua pantai yang ada di “mirror beach” buat nyarik yang pantainya paling ok..nyatanya nothing!semuanya kotor, but it’s Ok^^, n makan bakso di “luar budget”!! Jiahhh, bakalan kangen kali dengan kenangan-kenangan kita pas kuliah, menyatukan hati dan pikiran pas ujian..Uups!, kemek2 pas ultah, nonton, nggosipin orang, berkhayal yang “aneh2”, n berantem juga hehe..dan


(6)

ingat cin, “wish” kita, semoga kesampaian, dan kita semua as soon as possible dapat kerjaan yang bagus, Amiiinn..

12. Buat semua dosen ku yang tercinta Bpk Pieter Sijabat, Bpk M.Nuh, Bpk M.Yamin, Bpk Affan Mukti, Bpk Armansyah, Bpk Bachtiar Hamzah, Bpk Hermansyah, Bpk Nazaruddin, Bpk Malem Ginting, Bpk Kalelung, Bpk Tan Kamelo, Bu Rosnidar, Bu Maryati, Bu Maria Kaban, Bu Rabiatul, Bu Suryaningsih, dan semua dosen Jurusan Hukum Pidana Bpk Kalo, Alm.LH Nainggolan, Bpk Erwin Adhanto, Bpk Suwarto, Bu Marlina, Bu Liza, Dr. Rita, Bpk Benny, Bpk Eka, Bpk Alvi, Bpk Tambah Sembiring, Bpk Edi Yunara, Bu Rafiqoh, Bpk Hamdan, serta semua dosen / staf pengajar Fakultas Hukum USU yang tidak disebutkan satu per satu.

13.Semua staf pegawai dan karyawan Fakultas Hukum USU, serta para petugas kebersihan yang membuat kampus kita tercinta selalu bersih sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih nyaman.

14.Renatha “SHK” Parhusip, Ika, Winda, Evi, Eva, Sonti, Nomika, Agnez, Lely, Martha, Duma, Ifa, Yolanda, Melda, Mieke, Kiki, Maya, Feby, Brando, Andry, Jujung, Alex, Irvan, Shelly, Raymond, Albert, Eben, dan semua anak-anak Grup C ’06.

15.Anak-anak Stambuk 2006, Paulina “Agmon”, Cecile, Christina, April, Donianto, Gisela, Puji, Felicia, Melda, Jenny, dan lain-lain mulai dari yang dekat sampe yang biasa aja.

16. Teman-teman ku yang pernah mengisi hari-hari ku selama ini, Six 6 Cuex : Regina “patcay”, Winda “invisible girl”, Pentol, Ndak, Wati, Kevin, Daniel,


(7)

Thamrin, Tigor, Rafael, Adrian, Sumurung, Tumbur, Agnes, Nomi, Ronny, Nico, Sarah, Ruri, Begenk, Nuel, Kevin, Suharyanto, Ramot (masa sMa yang begitu indah kan woii^^), Tante Merry †, Selamat jalan Tan, RIP..we always luph you^^, Mariana, Anggik, Gogo Net, Wakend, View Rental, dan semua yang ku kenal dan mengenalku.

Akhir kata, Penulis mohon maaf yang sebesar- besarnya apabila terdapat kesalahan- kesalahan di dalam skripsi ini, karena sebagai manusia biasa pasti tak luput dari kesalahan, seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, sehingga mohon Pembaca memaafkan kesalahan - kesalahan yang terdapat di dalamnya. Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, Februari 2010 Penulis


(8)

TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA DALAM

PERSPEKTIF KODE ETIK JURNALISTIK DAN UU PERS ABSTRAKSI

Karina Kristianti Sinaga∗

Saran yang dapat diajukan adalah bahwa UU No. 40 Tahun 1999 masih memiliki banyak kelemahan sehingga perlu diadakan perubahan / direvisi oleh pihak legislatif, aparat penegak hukum, insan pers dan masyarakat, sehingga UU

Nurmalawaty, SH. M.Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum***

Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan sudah memberikan legalitas atas kemerdekaan pers di tanah air, berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Selain itu, sebagai “kaum profesional”, wartawan dituntut untuk patuh terhadap UU No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Dalam hal pemberitaan, pemberitaan pers sering digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina dan tidak mempunyai nilai berita.

Dalam skripsi ini, permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia, serta bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta kaitannya dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Dalam memperoleh data untuk penulisan skripsi ini, dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan seperti bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No. 40 Tahun 1999, serta bahan hukum sekunder dan tersier lainnya.

Pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia terdapat dalam UU No.40 Tahun 1999. Selain itu, terdapat juga dalam UUD 1945, Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, UU No. 9 Tahun 1998, serta Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights). Dalam hal pertanggungjawaban pidana media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 18 UU No.40 Tahun 1999, di mana ayat (1) mengatur tentang setiap orang yang menghambat insan pers dalam menjalankan fungsinya. Sedangkan ayat (2) dan (3) mengatur tentang perusahaan pers, di mana pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana **

Dosen Pembimbing I / Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Dosen Pembimbing II / Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

Pers dapat menjamin kebebasaan pers yang bertanggungjawab dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak, baik terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat.


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Keaslian Penulisan ... 6

D. Tujuan Penulisan ... 6

E. Manfaat Penulisan ... 7

F. Tinjauan Kepustakaan... 8

1. Pengertian Delik ... 8

2. Pengertian Pencemaran Nama Baik ... 16

3. Pengertian Media Massa dan Pers ... 19

4. Pengertian Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers... 21

G. Metode Penelitian ... 26

H. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA A. Peraturan-peraturan Mengenai Hukum Media Massa di Indonesia ... 31


(11)

B. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde

Baru dan Era Reformasi ... 40 C. Mekanisme Pemberitaan Pers yang Sesuai Dengan

Prinsip Keadilan dan Penghormatan terhadap HAM ... 48 D. Sosok Pers yang Profesional, Bebas, dan

Bertanggung Jawab Ditinjau dari

Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers ... 56

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK

A.Pengaturan Tindak Pidana di Bidang Pers

Menurut UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers ... 63 B. Bentuk-bentuk Pencemaran Nama Baik yang

Berhubungan dengan Media Massa ... 73 1. Bentuk-bentuk Pencemaran Nama Baik

yang Berhubungan dengan Media Massa

menurut Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers ... 73 2. Bentuk-bentuk Pencemaran Nama Baik

yang Berhubungan dengan Media Massa menurut KUHP .. 79 C. Pertanggungjawaban Pidana terhadap

Pemberitaan Media Massa yang Berindikasi


(12)

1. Kedudukan Perusahaan Pers sebagai Korporasi ... 83 2. Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan

Pers terhadap Pemberitaan yang Berindikasi

Adanya Delik Pencemaran Nama Baik ... 105

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 119 B. Saran ... 124


(13)

TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA DALAM

PERSPEKTIF KODE ETIK JURNALISTIK DAN UU PERS ABSTRAKSI

Karina Kristianti Sinaga∗

Saran yang dapat diajukan adalah bahwa UU No. 40 Tahun 1999 masih memiliki banyak kelemahan sehingga perlu diadakan perubahan / direvisi oleh pihak legislatif, aparat penegak hukum, insan pers dan masyarakat, sehingga UU

Nurmalawaty, SH. M.Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum***

Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan sudah memberikan legalitas atas kemerdekaan pers di tanah air, berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Selain itu, sebagai “kaum profesional”, wartawan dituntut untuk patuh terhadap UU No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Dalam hal pemberitaan, pemberitaan pers sering digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina dan tidak mempunyai nilai berita.

Dalam skripsi ini, permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia, serta bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta kaitannya dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Dalam memperoleh data untuk penulisan skripsi ini, dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan seperti bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No. 40 Tahun 1999, serta bahan hukum sekunder dan tersier lainnya.

Pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia terdapat dalam UU No.40 Tahun 1999. Selain itu, terdapat juga dalam UUD 1945, Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, UU No. 9 Tahun 1998, serta Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights). Dalam hal pertanggungjawaban pidana media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 18 UU No.40 Tahun 1999, di mana ayat (1) mengatur tentang setiap orang yang menghambat insan pers dalam menjalankan fungsinya. Sedangkan ayat (2) dan (3) mengatur tentang perusahaan pers, di mana pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana **

Dosen Pembimbing I / Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Dosen Pembimbing II / Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(14)

Pers dapat menjamin kebebasaan pers yang bertanggungjawab dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak, baik terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat cepat, baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun penguasaan perangkat lunaknya, sejalan dengan perkembangan media massa di dunia. Berita yang disiarkan di Eropa atau Amerika Serikat dapat langsung diterima di Indonesia, baik melalui radio, televisi, maupun internet.

Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam sajian pers hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.1

Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan opini dan media edukasi yang eksistensinya dijamin berdasarkan konstitusi.2

1

Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.1 2

Ibid, hal.3

Pergeseran antara pers dengan masyarakat dapat terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau golongan tertentu. Hal ini menuntut satu penyelesaian yang adil dan dapat diterima oleh pihak terkait.


(16)

Fenomena mengenai pergeseran dimaksud mengemuka dalam bentuk tuntutan hukum masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan betapa penting untuk menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers dengan masyarakat.

Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. KUHP sejatinya tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.3

Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di era orde baru maupun di era reformasi sebenarnya bukan lagi merupakan suatu persoalan, karena di dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas atas eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke pengadilan senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu pilihan yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang

3


(17)

kontrol sosial semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti ditegaskan dalam pasal 3 UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999), yakni pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.4

Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di lembaga pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan kepentingannya.5

Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa majalah Tempo versus Tomy Winatame, yang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara bagi Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus pencemaran nama baik. Menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. Keputusan sama sekali tidak mempertimbangkan Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.6

4

Lihat UU Pers

Pemenjaraan wartawan dalam masa reformasi ini dianggap memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis, menunjukkan aparat hukum menganggap UU Pers tidak ada.

6 Ibid


(18)

Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).7

7

Lihat UU Pers

Selain itu, jika wartawan ingin menegakkan citra dan posisi mereka sebagai kaum profesional, maka mereka harus memberi perhatian penuh terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik itu harus diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa. Di lain pihak, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan terhadap kebebasan pers (restriksi) menjadi suatu pemikiran paradoksal (artinya terjadinya pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persaman di depan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum), apakah akan dianut kebebasan pers secara murni/mutlak ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum positif (hukum yang saat ini sedang berlaku). Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus pencemaran nama baik/penghinaan.


(19)

Oleh sebab itu penulis ingin melakukan penelitian terhadap hal tersebut yang kemudian akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA DALAM PERSPEKTIF KODE ETIK JURNALISTIK DAN UU PERS”.

Salah satu alasan penulis mengambil judul tersebut adalah karena dalam pemberitaan pers sering kali digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita, dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan dan unsur kesalahan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi, yang perlu ditekankan disini adalah hukum tetap harus diberlakukan terhadap pihak manapun yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai sarana.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini antara lain :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada

media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta kaitannya dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana ?


(20)

C. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penulisan tentang “Tinjauan Atas Pemberitaan yang Berindikasi Adanya Delik Pencemaran Nama Baik Oleh Media Massa dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik Dan UU Pers” belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan demikian dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah karya penulis yang asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka.

Skripsi ini juga didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi media cetak dan elektronik. Semuanya merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta kaitannya dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.


(21)

E. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini mempunyai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis tentang hal-hal yang berhubungan dengan pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik oleh media massa dalam perspektif Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik oleh media massa dalam perspektif Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh yang cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungi melakukan kontrol sosial, tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah pra syarat, di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Untuk mendukung profesionalisme ini juga


(22)

dibutuhkan peraturan yang akan menjadi umbrella provision (payung hukum) terhadap semua hal yang berhubungan dengan jurnalistik (pers).

F. Tinjauan Kepustakaan 5. Pengertian Delik

Delik sering juga disebut “peristiwa pidana” ataupun “strafbaar feit”. Dalam Bahasa Belanda dipakai dua istilah, yaitu kadang-kadang dipakai istilah

“strafbaar feit”, tetapi kadang-kadang juga dipakai istilah “delict”. Dipakainya istilah “feit” dengan alasan bahwa istilah itu tidak hanya meliputi perbuatan

(handelen), tetapi juga pengabaian (nalaten).8

Dalam Bahasa Indonesia terdapat beberapa terjemahan-terjemahan dari

“strafbaar feit” itu. Di samping terjemahan seperti “peritiwa pidana”, ada juga terjemahan-terjemahan seperti “perbuatan yang dapat dihukum”, “tindak pidana”, ”perbuatan yang boleh dihukum”, “pelanggaran pidana” maupun “perbuatan pidana.”9

Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana”, alasannya karena istilah “peristiwa” itu meliputi suatu pebuatan (handelen) atau suatu melalaikan (nalaten)

maupun akibatnya (= keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu). “Peristiwa pidana” itu adalah suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.10

8

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.87

9 Ibid 10


(23)

Menurut Vos peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman; jadi kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.11

a. suatu kelakuan mansuia

Dalam definisi Vos ini dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut :

Akibat anasir ini adalah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain.

b. suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (pasal 1 ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.

Pompe mengemukakan dua gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang “peristiwa pidana” dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu wettelijke definitie (definisi menurut undang-undang), tentang peristiwa pidana itu. Gambaran teoritis itu, bahwa suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (= pelanggaran tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.12

11

Vos, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253)

12

Pompe, Leer Boek v/h Ned, Starfrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253)


(24)

a. suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechtmatig

atau wederrechtelijk)

b. suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld te wijten)

c. suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar)

Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-indang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Gambaran menurut hukum positif ini memuat dua hal yang menarik perhatian. Perlu ditegaskan kata “undang-undang”. Penegasan ini sesuai dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Di samping itu, Pompe membuat kesimpulan bahwa menurut hukum positif baik anasir melawan hukum maupun anasir bersalah bukanlah suatu anasir mutlak dari peristiwa pidana.13

1. oleh hukum diancam dengan hukuman;

Simons membuat definisi tentang peristiwa pidana yaitu “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”, yang berarti suatu perbuatan yang :

2. bertentangan dengan hukum;

3. dilakukan oleh seseorang yang bersalah;

4. orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya.14

13

Ibid hal.254 14

Simons, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.256)


(25)

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa melakukannya, dan delik itu harus ditujukan kepada :

a. memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan hukum, seperti pembunuhan, pencurian, dan sebagainya;

b. membahayakan suatu kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten) yang dibedakan menjadi :

b.1. concrete gevaarzettingsdelicten, misalnya kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang pasal 187, pemalsuan surat pasal 263 KUHP yang menimbulkan suatu ketakutan ataupun kemungkinan kerugian; b.2. abstracte gevaarzettingsdelicten, misalnya dalam penghasutan, sumpah palsu dan sebagainya yang juga diatur dalam KUHP.15

Kepentingan hukum yang dimaksud meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu, dengan diperinci lebih lanjut dalam arti setiap kepentingan yang tersimpul kepentingan hukum individu, masyarakat dan negara. Hubungan antara sifat delik yang demikian itu dan kepentingan hukum yang dilindungi, maka yang dapat menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een natuurlijk person).16

1. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “hij die…” di dalam peraturan perundang-undangan pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia.

Vos memberikan tiga alasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik, yaitu :

15

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal. 92

16 Ibid


(26)

6. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada manusia. 7. Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seorang manusia

pribadi.17

Perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum (rechtpersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan dalam undang-undang fiskal dapat dipidana badan hukum dengan

reele executie atas harta kekayaannya. Pada waktu sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya badan hukum, dan mungkin di kemudian hari keadaan demikian dapat berubah. Di dalam KUHP ada ketentuan yang dapat memperdayakan pendapat karena pasal 59 dan 169 itu menentukan badan hukum (perkumpulan) sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, namun kesan yang demikian itu ternyata tertuju kepada manusianya yang ikut perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana.18

a. yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya psal 279, 281, 286, 242, dan sebagainya dari KUHP;

Jonkers mengenal 4 jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, yang terdiri atas :

b. dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti misalnya pemalsuan pasal 263, pencurian pasal 362 KUHP;

17

Vos, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal.36 (dalam buku karangan Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.93)

18


(27)

c. cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan pasal 351, pembunuhan pasal 338 KUHP; d. kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk

peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya pasal 521 dan 122 ayat (1) KUHP.19

Secara umum delik (tindak pidana) dapat dibagi sebagai berikut :20 1. Kejahatan dan pelanggaran

KUHP membedakan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam Buku II dan pelanggaran diatur dalam Buku III. Menurut M.v.T. pembagian atas dua jenis tadi didasarkan perbedaan prinsipil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechtdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian.

2. Delik formil dan delik materil

a. Delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian (pasal 362 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), dan sebagainya.

19

Jonkers, Handboek van het Ned. Indische Strafrecht, hal. 84-85 (dalam buku karangan Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.94)

20

A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hal.40


(28)

b. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian (pasal 362 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), dan sebagainya.

3. Delik commisionis, delik ommissionis, dan delik commissionis per ommissinis commissa

a. Delik commisionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang. Contohnya pencurian, penggelapan, penipuan, dan sebagainya.

b. Delik ommissionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang. Contohnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP).

c. Delik commissionis per ommissinis commissa yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (delik commissionis), tetapi melakukannya dengan cara tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi susunya (pasal 338, 340 KUHP).

4. Delik dolus dan delik culpa (doluese en culpose delicten)

a. Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan, atau delik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja”. Contoh : delik-delik yang diatur dalam pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP.


(29)

b. Delik culpa, yaitu delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya, atau menurut Lamintang (1197 ; 214) adalah delik-delik yang cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum. Contoh : delik yang diatur dalam apdal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4), 395 dan 360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berganda (enkevoudigde en samengestelde delicten)

a. Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang.

b. Delik berganda, yaitu delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Contoh : delik yang diatur dalam pasal 481 KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan.

6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus

Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan orang lain.

7. Delik aduan dan delik biasa/bukan aduan

Delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Delik-delik seperti ini misalnya delik yang diatur dalam pasal 310 KUHP dan seterusnya tentang penghinaan, pasal 284 tentang perzinahan, dan sebagainya. Delik aduan menurut sifatnya dapat dibedakan atas delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut


(30)

misalnya delik yang diatur dalam pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik aduan relatif misalnya delik yang diatur dalam pasal 367 tentang pencurian dalam keluarga. 8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya

a. Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.

b. Delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadan-keadaan yang memberatkan, maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik yang diatur dalam paal 365 KUHP.

2. Pengertian Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik/penghinaan/fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander. KUHP menyebutkan bahwa penghinaan/pencemaran nama baik bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.21

21

Penghinaan lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana


(31)

penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.22

KUHP mengatur beberapa pasal soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137, di mana pasal-pasal ini telah dibatalkan oleh dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperti DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).23

Menurut KUHP pencemaran nama baik harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan dan tuduhan dimaksudkan menjadi konsumsi publik. Dalam penjelasannya, R. Soesilo mengatakan bahwa tuduhan ini harus dialamatkan kepada orang-perorangan, jadi, tidak berlaku apabila yang merasa terhina ini adalah lembaga atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas

22 Ibid 23


(32)

dasar membela diri (berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak dapat dihukum.24

Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers yang dianggap mencemarkan nama baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.

25

Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.

26

Oleh karena dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan nama baik, maka sudah tentu pengertian pencemaran nama baik pun tidak jelas didefinisikan. Hal ini mengakibatkan perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif,

27

24

dan bukan penafsiran objektif.

25

26 Ibid 27


(33)

3. Pengertian Media Massa dan Pers

Media massa (mass media) terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “massa”. Penjelasan berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam masyarakat, bukan dari sisi etimologis, karena pengertian media dari waktu ke waktu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sosial politik dan persepsi masyarakat terhadap media.28

Kata “media” dekat dengan pengertian “medium”, “moderat” yang berarti tengah, sedang, pengengah, atau penghubung. Kalau mendengar kata mediasi berarti suatu usaha untuk menengahi atau menyelesaikan masalah dengan cara menjadi penengah atau menghubungkan satu pihak dengan pihak yang lain. Mediator adalah orang atau pihak yang menjadi penengah dari dua sisi yang berbeda. Kata media sebenarnya lebih dekat pengertiannya sebagai “penengah” atau pihak yang berdiri di tengah-tengah atau “penghubung”.29

Kata kedua yang melekat dalam kata media adalah “massa”. Kata massa sering kali diartikan dalam dua sisi yang berbeda. Bagi kalangan yang menghendaki suatu kemapanan, atau yang tidak menghendaki suatu perubahan,

Pengertian secara sosial-politis, “media” kemudian bergeser menjadi suatu “tempat”, “wahana”, atau “forum” atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga penghubung”, lembaga yang berada dalam posisi di tengah antara massa dan elit, rakyat dan negara, rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang di satu tempat dengan sekelompok orang di tempat lain.

28

Eric Barendt, Broadcasting Law, A Comparative Study, Clanrendoms Press, Oxford, 1993, hal.32 (dalam buku karangan Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal.54

29


(34)

kata massa adalah sesuatu yang berkonotasi negatif. Tetapi kalangan sosialis atau mereka yang berkepentingan terhadap massa seperti partai politik melihat massa sebagai suatu yang positif dan bahkan memberikan penghargaan tinggi. Ungkapan sehari-hari yang sering kita dengar “demi rakyat”, “kepentingan publik” adalah sinonim dari kata “massa”. Kata “massa” dalam media massa sebenarnya tidak berkonotasi negatif atau positif. Massa dalam pengertian di sini adalah sesuatu yang tidak pribadi, sesuatu yang tidak personal, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan “orang banyak”.30

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi semua kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa juga diartikan sebagai penengah antara massa dan elit, forum yang menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah, dan sebagainya.31

Istilah pers, atau press berasal dari istilah Latin pressus artinya tekanan, tertekan, terhimpit, padat.32

30

Ibid, hal.55 31

Ibid, hal.56 32

Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, Yayasan Ciptaloka Caraka, Jakarta, 1984, hal.114 (dalam buku karangan Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.35)

Pers dalam kosa kata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa Inggris “press”, sebagai sebutan untuk alat cetak. Keberadaan pers dari terjemahan istilah ini pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat. Maka lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol social, di mana yang juga tidak jarang menjadi sebuah media penekanan terhadap kebijakan tertentu


(35)

yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya.33

Pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti. Pers dalam arti luas adalah media tercetak atau elektronik yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Pers dalam arti sempit adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan bulletin, sedangkan media elektronik meliputi radio, film dan televisi.34

Pengertian pers menurut UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999) adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pers yang dimaksudkan dalam skripsi ini dengan demikian adalah dalam pengertian sempit atau terbatas, yaitu media tercetak di atas kertas atau media cetak.

35

4. Pengertian Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers

Wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman mayarakat karena adanya kemerdekaan pers yang merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat

33

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.35 34

Ibid 35


(36)

diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. UU Pers menegaskan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalitik36, yaitu suatu himpunan etika profesi kewartawanan yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.37

Kode Etik Jurnalitik merupakan “lilin pemandu” bagi wartawan agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan. Sebaliknya, Kode Etik Jurnalitik juga merupakan acuan yang dipakai “pembaca” untuk mengukur apakah pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan itu menyalahi Kode Etik Jurnalitik atau tidak. Oleh UU Pers, Kode Etik Jurnalitik ditempatkan sebagai bagian yang utuh dalam mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers.38

Kode Etik Jurnalistik pertama kali dikeluarkan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), namun ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Sebelumnya, Kode Etik Jurnalitik hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun dengan munculnya berbagai organisasi wartawan selain PWI tersebut, mereka pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Hal ini secara jelas terlihat dari salah satu fungsi Dewan Pers yakni menempatkan dan mengawasi pelaksaan Kode Etik Jurnalistik.

36

Lihat pasal 7 ayat (2) UU Pers 37

Lihat Penjelasan pasal 7 ayat (2) UU Pers 38

Hinca I.P.Panjaitan, Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi Anda, Ombudsman Memfasilitasinya, Tim Ombudsman Jawa Pos Grup, Jakarta, 2004, hal.16


(37)

Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan Kode Etik Jurnalitik PWI. KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.39

Pada tahun 2006 Kode Etik Jurnalistik itu dikembangkan dan disempurnakan lagi sehingga berisikan 11 hal pokok.40 Hal-hal tersebut meliputi, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (pasal 1). Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan menerapkan asas praduga tak bersalah (pasal 3). Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul (pasal 4). Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (pasal 5).

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan suap (pasal 6).Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,

menghargai ketentuaoff the record

sesuai dengan kesepakatan (pasal 7).

39

40


(38)

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, dan orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani (pasal 8). Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik (pasal 9).

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa (pasal 10), dan yang terakhir, pasal 11 menyatakan bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Untuk memahami secara utuh UU Pers, selain membaca secara utuh batang tubuhnya dan penjelasannya juga harus dibaca secara utuh Kode Etik Jurnalistik yang disusun oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers, yang merupakan Kode Etik Jurnalistik yang diharuskan oleh Pers, karena antara UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik merupakan satu keasatuan. Apa sajakah faktor-faktor yang melatarbelakangi Indonesia memerlukan UU Pers? Untuk menjawab pertanyaan ini, geseztgebungswissenschaft (ilmu perundangan) mengajarkan “lihat bagian menimbang undang-undangnya”. Dalam bagian konsiderans “menimbang” UU Pers terdapat 5 dasar pertimbangan.41

41


(39)

Pertama, karena kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin.

Kedua, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ketiga, karena pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, karena Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Selain itu, dari konsiderans “mengingat” UU Pers diketahui pula bahwa UU Pers lahir sebagai amanat UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 20


(40)

ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM.42

Penjelasan Umum UU Pers menyatakan bahwa sesungguhnya UU Pers adalah undang-undang yang mengatur dan menjamin terselenggaranya kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.43 Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.44

Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum, yang paling popular dikenal adalah sebagai berikut :

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

45

a. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka.

b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

42

Lihat Konsiderans bagian Mengingat UU Pers 43

Lihat pasal 2 UU Pers 44

Lihat pasal 4 ayat (1) UU Pers 45

Tampil Ansari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulis Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal.23-24


(41)

Menurut Jhony Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif (doktrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa :46

1. pendekatan perundang-undangan (statute approach) 2. pendekatan analistis (analytical approach)

3. pendekatan historis (historical approach) 4. pendekatan filsafat (philosophical approach) 5. pendekatan kasus (case approach)

Pilihan penelitian hukum tergantung dari tujuan penelitian itu sendiri. Sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research).

2. Jenis Data

Jenis data yang dipakai dalan penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan yang sedang dirancang oleh Pemerintah Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum,

46

Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Peneltitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2007, hal.300


(42)

majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research

(penelitian kepustakaan) yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti : peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi ini.

3. Analisa Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan, kemudian diorganisasi dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar. Analisa data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari 5 Bab dan sub-sub bab yang diuraikan sebagai berikut :


(43)

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

Bab II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA

Bab ini berisikan mengenai peraturan-peraturan mengenai hukum media massa di Indonesia, kemerdekaan pers pada massa orde baru dan era reformasi, mekanisme pemberitaan pers yang sesuai dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap HAM, serta sosok pers yang profesional, bebas, dan bertanggung jawab ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.

Bab III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK

Bab ini berisikan mengenai pengaturan tindak pidana di bidang pers dalam UU No. 40 Tahun 1999, bentuk-bentuk pencemaran nama baik yang berhubungan dengan media massa menurut Kode Etik Jurnalistik, UU Pers dan KUHP, serta pertanggungjawaban pidana terhadap pemberitaan media massa yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik.


(44)

Bab IV : PENUTUP

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan mengenai permasalahan yang ada, dan penulis mencoba memberikan beberapa saran kepada para jurnalis (pers) berkaitan dengan pemberitaan di media massa, agar terhindar dari delik pencemaran nama baik.


(45)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS

DI INDONESIA

C. Peraturan-peraturan Mengenai Hukum Media Massa di Indonesia 1. Sumber Hukum Fundamental

Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah ketentuan-ketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek mendasar dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi, kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum fundamental tersebut adalah sebagai berikut :47

a. UUD 1945;

b. Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights).

Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 menjadi landasan hukum tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah, semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal 28 UUD 1945, berbunyi “kemerdekaan

47


(46)

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”48 Secara eksplisit pasal tersebut tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers.49

Untuk mempertegas kelemahan pasal 28 UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers, maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”50

Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak

48

Lihat UUD 1945 49

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.39

50


(47)

menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945 tersebut.51

Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 sebetulnya merupakan ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal 21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, terdapat kesamaan elemen :52 a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang berhak

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Unsur ini mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh informasi.

b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB.

c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi.”

51

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal..40 52


(48)

Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi.

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat di depan umum. Dengan demikian, UU No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expression). Dengan demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke dalam dasar-dasar hukum media.53

Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatan-kesepakatan tentang HAM di dunia internasional, khususnya sebagai anggota PBB.54

53

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156 54


(49)

2. Sumber Hukum Fungsional

Sumber hukum fungsional adalah sumber hukum media massa yang berisi peraturan perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi tentang teknis operasional media massa, yaitu UU Pers (UU No.40 Tahun 1999). Konsiderans undang-undang tentang pers ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu :55

a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat pasal 28 UUD 1945;

b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;

d. UU No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus dicabut, karena menghambat kemerdekaan pers.

Ada beberapa persamaan antara UU No. 40 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan, jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang

55


(50)

sebelumnya mendera kehidupan pers.56

a. sensor dan pemberedelan pers;

Misalnya, kedua produk hukum itu sama-sama mencabut ketentuan tentang :

b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP; c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik;

d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan membahayakan kepentingan politik penguasa.

Khusus mengenai pencabutan SIT, terdapat perbedaan yang tajam antara UU No. 11 Tahun 1966 dengan UU No. 40 Tahun 1999. Melalui pasal 20 ayat (1) Peraturan Peralihan UU No. 11 Tahun 1966, justru mengingkari substansi pasal sebelumnya yang telah mencabut keharusan SIT bagi setap penerbitan pers, sebab pasal 20 ayat (1a) dan (1b), masih mengharuskan ketentuan SIT selama masa transisi yang diatur Dewan Pers dan pemerintah. Dengan kata lain, UU No. 11 Tahun 1966 ternyata bagaikan cek kosong dalam kemerdekaan pers, seolah-olah ia memerdekakan pers dari praktik represif penguasa, tetapi begitu hendak diaplikasikan ternyata janjinya palsu alias tidak sesuai antara yang tertulis dengan realitas sebenarnya.57

Berbeda halnya dengan UU No. 40 Tahun 1999. Undang-undang produk hukum reformasi ini memberikan kemerdekaan pers tanpa syarat atau embel-embel masa transisi. Janji pencabutan SIUPP ternyata betul-betul efektif, sehingga

56

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56 57


(51)

setiap warga negara yang menerbitkan pers, bisa melakukannya dengan leluasa tanpa hambatan dari pihak manapun.58

3. Sumber Hukum Stuktural

Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung, seperti :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka digolongkan dalam hukum media massa struktural.59

Sebuah contoh hukum media massa peninggalan Belanda adalah, tiga pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Pasal 154, 156 dan 157, di mana pasal 154 KUHP ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Pasal-pasal ini disebut dengan haatzaai-artikelen, yang berarti pasal-pasal penyebar kebencian dalam undang-undang yang berasal dari sistem pers otoriter di Inggris pada abad ke-16, kemudian diterapkan pemerintah kolonial

58 Ibid 59


(52)

Belanda di Indonesia. Pasal ini memuat ketentuan-ketentuan pencekalan kebebasan pers atau tindakan serupa.60

Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia (pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK), terhadap golongan penduduk (pasal 156 KUHP) diberikan secara otentik (pasal 156 ayat 2 KUHP).61

Pasal 157 ayat 1 berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal 157 ayat 2 berbunyi: “Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak adanya Adapun bunyi pasal 156 yang sering disebut pasal sara itu adalah “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Perkataan golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau kedudukannya menurut hukum tata negara”.

60

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.61 61


(53)

pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang pencarian tersebut”.62

Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946, ketentuan haatzaai-artikelen itu berlaku di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya KUHP. Belanda sendiri telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana, antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara.63

Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310 ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP, pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318 KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP).64

62

diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.00 WIB

hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.35 WIB


(54)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata.65

D. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru dan Era Reformasi

Pasal 1365 berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”.

1. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru

Yang dimaksud dengan era Orde Baru adalah suatu periode politik sejak tahun 1966 di bawah pemerintahan kepemimpinan Jendral Soeharto (11 Maret 1966) hingga kejatuhannya (21 Mei 1998). Era politik di bawah kepemimpinan Soeharto itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru. Pergeseran konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah mengubah dengan cepat berbagai politik hukum di Indonesia.66

Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII/1966 dan UU No.11 Tahun 1966 yang

65

Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84

66


(55)

mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di era Orde Baru ini tentu ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis.67

Pada waktu awal sistem politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, misalnya tampak sekali peranan Soeharto, dengan partai tunggal Golkar dan militer menjadi pilar utama kekuasaan pada waktu itu. Hubungan antara militer, Golkar, pers, dan mahasiswa, yang menjadi pilar demokrasi di awal Orde Baru itu terlihat sangat harmonis. Hal ini ditandai dengan berbagai indikator, misalnya, di lingkungan pers, Peraturan Panglima Perang Tertinggi No.10 Tahun 1960 yang mewajibkan SIT bagi setiap penerbit dicabut melalui UU No.11 Tahun 1966. Begitu juga tentang sensor, bredel, dan izin cetak pers dicabut.68

Masalahnya, hubungan dekat antara elemen pers, mahasiswa dengan sistem politik Orde Baru segera berubah. Hal ini disebabkan pergeseran karakteristik pemerintahan Orde Baru yang represif dan militeristik. Realitas itu ditolak dan mendapat kecaman keras dari pers dan mahasiswa. Perbedaan sikap ini membuat watak represif konfigurasi politik Orde Baru yang sudah berubah menjadi represif dan keras. Sikap represif makin kuat sehingga mengarah kembali ke watak sistem pemerintahan Orde Lama yang pernah dikoreksi oleh berbagai komponen utama Orde Baru. Sebagai pelaksanaan dari amanat Tap MPRS XXXII/1966 tersebut, keluarlah UU No.11 Tahun 1966, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Undang-undang baru ini sangat responsif, karena mencabut

67

Alfian, Pemikiran Politik Indonesia, cet.1, hal.135 (dikutip dalam buku karangan Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.77)

68


(56)

tentang keharusan SIT, dan menjamin tidak ada lagi sensor dan pemberedelan pers yang sebelumnya menjadi momok para praktisi pers yang pro kemerdekaan pers.69

Pasal 4 UU Pokok Pers tersebut secara tegas menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Pasal 5 ayat (1) berbunyi bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang memberi jaminan kebebasan pers.70

UU No.11 Tahun 1966 di tengah jalan diubah dengan UU No.4 Tahun 1967. Sebuah perubahan yang tidak substansial dan hanya terdiri dari dua pasal.

Bahkan disebutkan bahwa kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia, namun dalam UU Pers itu juga dicantumkan sebuah “Peraturan Peralihan”. Sesuai dengan namanya, ketentuan ini mengesankan sebagai peraturan yang bersifat sementara. Pasal 20 Peraturan Peralihan berbunyi :”Dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit (SIT) masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR-GR.”

71

Pada awal Orde Baru (1966 hingga awal 1970-an) sering dikatakan merupakan bulan madu antara pemerintah Orde Baru dan kaum pro-demokrasi. Mengenai perizinan muncul Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/Per/Menpen 1969 tentang permohonan Surat Izin Terbit (SIT). Di samping SIT masih ada Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

69 Ibid 70

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.101

71


(57)

Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Dari segi jumlah ada peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama dari menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi, namun di antara media yang bertahan tetap menyuarakan pendangan-pandangan yang sangat kritis kepada pemerintah.72

Masalahnya, hubungan mesra antara penguasa dan elemen demokrasi itu tidak berjalan lama. Pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan menyatakan pendapat antara penguasa dan elemen demokrasi mengalami degradasi. Pemerintah yang makin kuat peranannya karena sudah mendapat dukungan dari berbagai elemen demokrasi, pada akhirnya justru merasa seakan stabilitasnya terganggu terhadap sikap kritis dan kontrol sosial dan politik yang juga kian kuat. Berbarengan dengan itu, muncul kecemasan setelah aksi mahasiswa datang bertubi-tubi terhadap praktik politik pemerintahan Orde Baru dalam hal ini Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).73

Hal tersebut mengakibatkan makin berkurangnya dukungan kekuatan demokrasi karena dinilai setelah empat tahun Orde Baru berdiri, terjadi gejala penyimpangan cita-cita Orde Baru. Sebagai reaksi, kemudian muncul gejolak pada tahun 1974, yang dikenal dengan Malari 1974 dan tahun 1980-an. Inti dari gerakan Malari tersebut adalah menolak praktik KKN dan ketergantungan

72

Ibid, hal.104 73


(58)

ekonomi pemerintah Orde Baru pada utang luar negeri.74

Lebih dari 10 tahun UU Pokok Pers itu kemudian diubah dengan UU No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada ketentuan tentang perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya adalah karena di dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah institusi masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya SIUPP.

Hal ini mengakibatkan koran-koran yang semula vokal menjadi lembek, koran-koran yang semula nyaring lalu membisu, dan tentu saja sejumlah koran tidak bisa berkata apa-apa karena sudah ditutup pasca Malari.

75

Pasal 13 ayat (5) UU No.21 Tahun 1982 berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan.76 Meskipun Permenpen ini dinggap bertentangan dengan UU Pers, namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru tahun 1998.

74 Ibid 75

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.96 76


(59)

2. Kemerdekaan Pers Pada Massa Reformasi

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus demikian kuat sejak Mei 1998. Begitu pula halnya dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.77

Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kemerdekaan pers pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak dalam hal :78

a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum pers represif ke arah produk hukum responsif;

b. mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi; c. sistem pers yang berlaku cenderung liberal;

d. sistem politik yang berlaku cenderung demokratis.

Gejala perubahan nilai-nilai baru dalam bidang pers itu pada awal konfigurasi politik Reformasi dilakukan dengan proses yang sangat demokratis.79

77

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.92 78

Ibid 79

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.93


(60)

Yunus Yosfiah mencabut sejumlah Peraturan Menteri dan SK Menpen yang menjadi alat kontrol pers dan wartawan. Hal ini disambut dengan sukacita oleh kalangan pers, lebih-lebih setelah pemerintah pada tanggal 5 Juni 1998 mencabut Permenpen yang sangat dibenci oleh kalangan pers yaitu Permenpen No.1 Tahun 1984, yang berisi “Menteri Penerangan berhak memberikan teguran, membekukan sementara dan membatalkan SIUPP.”

Baru beberapa hari setelah Permenpen tersebut dicabut telah mengundang reaksi negatif dari sebagian pengamat pers.80

Gambaran paradigma kehidupan pers pada masa Orde Baru pun berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Muncul reformasi yang membawa akibat pada berubahnya hampir semua tatanan pada sektor publik. Reformasi dimaksud secara mendasar berkenaan filosofi kebebasan pers yang mengedepan berupa tuntutan untuk kebebasan pers yang sebelumnya dipasung oleh pemerintah.

Mereka mempertanyakan Permenpen itu karena dalam Permenpen yang baru No.1 Tahun 1998, Menteri Penerangan masih memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif, berupa peringatan tertulis dan pembekuan izin dan penyelesaian melalui pengadilan. Menpen menjelaskan bahwa pembekuan itu sifatnya administratif, misalnya perusahaan media massa itu sudah tidak terbit maka Menpen berhak membekukan agar tidak dikenai pajak.

81

80

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.116 81

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.98

Tuntutan ini melahirkan Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.


(61)

UU No.40 Tahun 1999 ini dikatakan sebagai sapu jagat kemerdekaan pers Indonesia, setelah sekitar dua puluh delapan tahun didera pembelengguan oleh rezim Orde Baru.82

a. Pasal 9 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 : meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers;

Dikatakan sebagai sapu jagat karena undang-undang ini menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti :

b. Pasal 4 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 : menghilangkan ketentuan sensor, pembredelan atau pelarangan penyiaran;

c. Pasal 4 ayat (2) Jo Pasal 18 ayat (1) UU No.40 Tahun 1999 : melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp.500.000.000 bagi yang menghambat kemerdekaan pers.

Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, UU No.40 Tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut :

a. Pasal 2 UU No.40 Tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

b. Pasal 4 ayat (1 ) UU No.40 Tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa.

Dengan adanya kemudahan mendapatkan SIUPP, serta dijamin tidak ada sensor dan pemberedelan, ternyata menimbulkan euphoria atau pesta pora

82


(1)

maka pertanggungjawaban pidananya harus mengacu kepada UU No. 40 Tahun 1999.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Wikrama Iryans. 2005. Politik Hukum Pers Indonesia. Jakarta : PT Grasindo.

Buku-buku:

Ali, Chidir. 1987. Badan Hukum. Bandung : Alumni.

Assegaff, Djafar H. 1993. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Barendt, Eric. 1993. Broadcasting Law, A Comparative Study. Oxford : Clanrendoms Press.

Djatmika, Prija. 2004. Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya. Malang : Bayumedia Publishing.

Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, Yayasan Ciptaloka Caraka, Jakarta, 1984.

Hamzah, Andi. 2008. Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.

Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodologi Peneltitian Hukum Normatif. Surabaya : Bayu Media.

Lesmana, Tjipta. 2005. Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers antara Indonesia dan Amerika. Jakarta : Erwin-Rika Press.

Muis, A. 1999. Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa. Jakarta : PT.Dharu Anuttama.


(3)

Muladi dan Dwidja Priyatno. 1991. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Ctk. Pertama. Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung.

Panjaitan, Hinca I.P. 2004. Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi Anda, Ombudsman Memfasilitasinya. Jakarta : Tim Ombudsman Jawa Pos Grup.

Poernomo, Bambang. 1992. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Ghalia Indonesia.

Pompe, Leerboek van het Nederlandshe Strafrecht I. P. Noordhoff N.V, Groningen-Batavia,1937;1941.

Sadono, Bambang. 1993. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Sahetapy, J.E. 2002. Kejahatan Korporasi. Bandung : PT.Refika Aditama. Setiyono, H. 2003. Kejahatan Korporasi. Malang : Bayumedia.

Simons, Leerboek van het Nederlandshe Strafrecht I. P. Noordhoff N.V, Groningen-Batavia,1937;1941.

Siregar, Tampil Ansari. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Penulis Skripsi. Medan : Pustaka Bangsa Press.

Usfa, A. Fuad dan Tongat. 2004. Pengantar Hukum Pidana. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Utrecht, E. 1958. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Bandung : Penerbitan Universitas Padjajaran


(4)

Vos, Leerboek van het Nederlandshe Strafrecht I. P. Noordhoff N.V, Groningen-Batavia,1937;1941.

Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wiryawan, Hari. 2007. Dasar-dasar Hukum Media. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Yunara, Edi. 2005. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut

Studi Kasus. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Internet :

http://www.podnova.com/channel/405930/episode/7/

rtikel=277

http://khuznoel.blogspot.com/2009/11/para-pencari-keadilan-hukum-pers.html http://artikelbiz.com/bisnis-manufaktur/bisnis-garmen.php

R.H.Siregar, Efektivitas Peran Pers dalam Menunjang Perlindungan dan

PemajuanHAM


(5)

http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=3009&coid=3&caid=22


(6)

Soesilo, R. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia.

Perundang-undangan :

UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers

UU No.11 Tahun 1966, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.

UU Pokok Pers No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966

UUD Negara Republik Indonesia 1945

UUD Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen ke-2 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights)

Subekti, R. dan Tjitrosudibio. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

Kode Etik Jurnalistik

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Dewan Pers Nomor: 4/Peraturan-DP/III/2008 Tentang Standar Perusahaan Pers,


Dokumen yang terkait

PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF UN

0 11 19

Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)

11 70 201

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL ANAK (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seks

0 5 17

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTIONDALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTION DALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode

0 3 17

PENDAHULUAN PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DAN PENULISAN CAPTION DALAM FOTO JURNALISTIK PEMBERITAAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik dan Penulisan Caption Foto Dalam Foto Jurnalistik Pemberitaan Kecelaka

0 2 39

PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MENCEMARKAN NAMA BAIK.

0 2 14

PENUTUP PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MENCEMARKAN NAMA BAIK.

0 3 4

PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA MASSA CETAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF YURIDIS.

0 1 15

PERANAN DEWAN PERS DALAM PENYELESAIAN KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA MASSA ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.

0 0 1

DEMI KEPENTINGAN UMUM DAN MEMBELA DIRI SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PIDANA DALAM DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH PERS Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 58