Hubungan Rhinitis Alergi Dengan Terjadinya Asma Bronkhial Di Rsup Haji Adam Malik Tahun 2009

(1)

HUBUNGAN RHINITIS ALERGI DENGAN TERJADINYA ASMA

BRONKHIAL DI RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2009

Oleh:

SIVARAJ RAJENDRAN

070100307

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

HUBUNGAN RHINITIS ALERGI DENGAN TERJADINYA ASMA

BRONKHIAL DI RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2009

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

SIVARAJ RAJENDRAN

NIM: 070100307

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

ABSTRAK

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang umum menyerang sekitar 10 hingga 25 % dari populasi didunia dan prevalansinya semakin meningkat. Insiden asma bronkhial meningkat diseluruh dunia sehubungan dengan kemajuan industri dan meningkatnya polusi. Rhinitis alergi maupun asma tidak merupakan penyakit yang parah tetapi secara nyata dapat mengakibatkan penurunan produktivitas, kualitas hidup dan dapat menghambat tumbuh kembang pada anak serta mengakibatkan risiko terhadap kelainan organis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan pendekatan cross

sectional. Data diambil dari rekam medik RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari

2009 hingga 31 Desember 2009. Data yang diambil adalah pasien rhinitis. Data yang dikumpulkan diolah dan ditabulasi serta dilakukan uji statistik chi-square dengan menggunakan SPSS .14.0 for windows.

Hasil penelitian didapatkan bahwa penderita rhinitis di RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009 sebanyak 68 pasien. Penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%). Hasil uji statistik dengan chi-square di dapatkan nilai P < 0,05 yaitu sebesar 0,004 dan nilai rasio prevalens >1 yaitu sebesar 2,35. Sehingga penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara rhinitis alergi terhadap asma bronkhial.

Hasil analisis membuktikan bahwa rhinitis alergi merupakan faktor risiko terjadinya asma bronkhial.


(4)

ABSTRACT

Allergic rhinitis is a common disease worldwide affecting at least 10 to 25 % of the population and its prevalence is increasing. Worldwide incidence of bronchial asthma is increasing with the development of industries and high rate of pollutions. Although allergic rhinitis is not usually a severe disease, it alters the social life of patients and affects school performance and work productivity. The objective of this study is to find the correlation between allergic rhinitis and bronchial asthma in Haji Adam Malik General Hospital with the period of 1st January 2009 until 31st December 2009.

The methodology of this thesis is descriptive analytic with cross sectional study. Allergic and non allergic rhinitis patient information was obtained medical records held at Haji Adam Malik General Hospital, Medan. Data will be analysed with chi-square test using SPSS .14.0 for windows.

From 1st January 2009 until 31st December 2009, there were 68 rhinitis patients in Haji Adam Malik General Hospital, Medan. 16 (23,5%) of them are allergic rhinitis patients with bronchial asthma and 10 (14,7%) of them are allergic rhinitis patients without bronchial asthma. Non allergic rhinitis patients with bronchial asthma are 11 (16,2%) of them and allergic rhinitis patients without bronchial asthma are 31 (45,6%) of them. The p value from chi-square test is 0,004 (P<0,05) and the ratio of prevalence is 2,35 (RP>1).

The result shows that there is correlation between allergic rhinitis and bronchial asthma and allergic rhinitis is a risk factor for bronchial asthma.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ……… i

ABSTRAK……… ii

ABSTRACT………. iii

DAFTAR ISI………. iv

DAFTAR TABEL………. vi

DAFTAR GAMBAR……… vii

BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4. Manfaat Penelitian ………. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

2.1. Mekanisme yang Mendasari Hubungan Antara Asma dan Rhinitis Alergi… 6 2.1.1 Hubungan Anatomis dan Patofisiologi……… 6

2.1.2. Hubungan Imunopatologis……….. 9

2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma… 11 2.1.4. Refleks-Refleks Neural..………... 12

2.2. Implikasi Rhinitis Alergi terhadap Asma……….... 12

2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma……….. 12

2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma… 12 2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma………….... 13


(6)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……….. 16

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ……….. 16

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ………. 17

3.3. Hipotesa ………. 17

BAB 4 METODE PENELITIAN……… 18

4.1. Rancangan Penelitian ………. 18

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 18

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ………. 18

4.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 18

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ……… 18

BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN……… 20

5.1. Hasil Penelitian……….. 20

5.1.1. Deskripsi Lokasi penelitian………. 20

5.1.2. Proporsi Penderita Rhintis Alergi……… 20

5.1.3. Proporsi Penderita Rhinitis Non Alergi………... 22

5.1.4. Proporsi Penderita Rhinitis Terhadap Asma Bronkhial……… 24

5.1.5. Hubungan Rhinitis Alergi dengan Terjadinya Asma Bronkhial…. 25 5.2. Pembahasan 5.2.1. Rerata Umur dan Jenis Kelamin……….. 26

5.2.2. Hubungan Rhinitis Alergi dengan Terjadinya Asma Bronkhial…. 27 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………. 28

6.1. Kesimplan………. 28

6.2. Saran………. 28

DAFTAR PUSTAKA ……….. 29 LAMPIRAN


(7)

ABSTRAK

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang umum menyerang sekitar 10 hingga 25 % dari populasi didunia dan prevalansinya semakin meningkat. Insiden asma bronkhial meningkat diseluruh dunia sehubungan dengan kemajuan industri dan meningkatnya polusi. Rhinitis alergi maupun asma tidak merupakan penyakit yang parah tetapi secara nyata dapat mengakibatkan penurunan produktivitas, kualitas hidup dan dapat menghambat tumbuh kembang pada anak serta mengakibatkan risiko terhadap kelainan organis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan pendekatan cross

sectional. Data diambil dari rekam medik RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari

2009 hingga 31 Desember 2009. Data yang diambil adalah pasien rhinitis. Data yang dikumpulkan diolah dan ditabulasi serta dilakukan uji statistik chi-square dengan menggunakan SPSS .14.0 for windows.

Hasil penelitian didapatkan bahwa penderita rhinitis di RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009 sebanyak 68 pasien. Penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%). Hasil uji statistik dengan chi-square di dapatkan nilai P < 0,05 yaitu sebesar 0,004 dan nilai rasio prevalens >1 yaitu sebesar 2,35. Sehingga penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara rhinitis alergi terhadap asma bronkhial.

Hasil analisis membuktikan bahwa rhinitis alergi merupakan faktor risiko terjadinya asma bronkhial.


(8)

ABSTRACT

Allergic rhinitis is a common disease worldwide affecting at least 10 to 25 % of the population and its prevalence is increasing. Worldwide incidence of bronchial asthma is increasing with the development of industries and high rate of pollutions. Although allergic rhinitis is not usually a severe disease, it alters the social life of patients and affects school performance and work productivity. The objective of this study is to find the correlation between allergic rhinitis and bronchial asthma in Haji Adam Malik General Hospital with the period of 1st January 2009 until 31st December 2009.

The methodology of this thesis is descriptive analytic with cross sectional study. Allergic and non allergic rhinitis patient information was obtained medical records held at Haji Adam Malik General Hospital, Medan. Data will be analysed with chi-square test using SPSS .14.0 for windows.

From 1st January 2009 until 31st December 2009, there were 68 rhinitis patients in Haji Adam Malik General Hospital, Medan. 16 (23,5%) of them are allergic rhinitis patients with bronchial asthma and 10 (14,7%) of them are allergic rhinitis patients without bronchial asthma. Non allergic rhinitis patients with bronchial asthma are 11 (16,2%) of them and allergic rhinitis patients without bronchial asthma are 31 (45,6%) of them. The p value from chi-square test is 0,004 (P<0,05) and the ratio of prevalence is 2,35 (RP>1).

The result shows that there is correlation between allergic rhinitis and bronchial asthma and allergic rhinitis is a risk factor for bronchial asthma.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE. (ARIA, 2001).

Rhinitis alergi terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung meler. Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi. (PERSI, 2007)

Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya (PERSI,2007).

Bagaimana pun juga, rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, sering meninggalkan sekolah atau pekerjaannya, dan menghabiskan biaya yang besar bila menjadi kronis. RA juga dipengaruhi lingkungan dari faktor allergen. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi (PERSI, 2007).

Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi


(10)

penyebab serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi problem tersendiri (Medlinux, 2008).

Prevalensi Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian (Muchid dkk,2007).

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik (Muchid dkk, 2007).

Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian memperlihatkan hubungan antara penyakit saluran nafas atas, rhinitis, penyakit saluran nafas bawah, dan sakit asma. Pada kenyataannya, sakit asma dan rhinitis merupakan bagian dari penyakit saluran nafas. Dengan menggunakan data epidemiologi dan penelitian secara patofisiologi, hubungan antara kondisi inflamasi ini menjadi jelas. Penelitian memperlihatkan jumlah penderita asma yang juga menderita rhinitis alergi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penderita asma (Farmacia, 2008).

Melalui pendekatan secara epidemiologi dengan memperhatikan latar belakang pasien di antaranya faktor genetic, maka bisa terlihat bahwa alergi rinitis dan asma terhubung secara anatomi, fisiologis, imunopatologi, serta terhubung dari sisi reaksi terhadap intervensi terapi. Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet (Farmacia, 2008).


(11)

Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien rhinitis alergi, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bisa terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rhinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas (Farmacia, 2008).

Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara (menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk) menjadi hilang. Proses imunopatologi pada rinitis dan asthma juga serupa. Hal ini melibatkan tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang menetap (Farmacia, 2008).

Dari suatu survei epidemiologi yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua penyakit tadi. Sedangkan penelitian terhadap 690 mahasiswa yang tidak menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun 1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%) (Judarwanto, 2009).

Penelitian epidemiologi lainnya menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terdapat bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 – 78% penderita asma dibandingkan yang hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik dapat dijumpai pada 19 – 38% penderita asma, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat (Judarwanto, 2009).

Dari latar belakang, saya belum pernah baca penelitian tersebut yang di buat di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Oleh itu peneliti berminat untuk membuat penelitian ini untuk melihat apakah ada korelasi diantara rhinitis alergi dan asma bronkhial serta dampak rhinitis alergi terhadap asma bronkhial di RSUP Haji Adam Malik, Medan.


(12)

1.2. Perumusan Masalah

Apakah rhinitis alergi merupakan faktor resiko terjadinya asma bronkhial.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis alergi yang juga menderita asma bronkhial di RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.

2. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis non alergi yang juga menderita asma bronkhial di RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009. 3. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis alergi tanpa menderita asma bronkhial di

RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.

4. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis non alergi tanpa menderita asma bronkhial di RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.

5. Untuk memperlihat hubungan antara rhinitis alergi dengan asma bronkhial dalam penanganannya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini dapat memperjelas resiko penyakit rhinitis alergi untuk terjadinya asma bronkhial dan dapat menjadi salah satu landasan atau pedoman untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Untuk meningkatkan ilmu pengetahuan terutama dalam hal studi literatur, baik bagi penulis maupun pembaca dan masyarakat luas.

3. Untuk memberi sumbangsih bagi kemajuan ilmu kedokteran, terutama dalam diagnosa dan penanganan asma dengan memperhitungkan pengaruh adanya komorbiditas berupa rhinitis alergi.

4. Jika rhinitis alergi terbukti sebagai faktor resiko asma bronkhial, hal ini dapat memperbaiki strategi penanganan penyakit alergi khususnya rhinitis alergi dan asma. Bahwa sebenarnya penyakit alergi adalah sebuah penyakit sistemik yang membutuhkan penanganan menyeluruh dan bersamaan.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI

2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis

Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya.

Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.

Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari


(14)

jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru.

Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung.

Rhinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi. Gejalanya adalah blockade atau sumbatan hidug, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah.

Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet. Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas.

Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah.

Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen. Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung


(15)

ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada asma.

Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma.

Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang.

Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.

Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rhinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol. Di antara penderita rhinitis alergi musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis alergi musiman sebelum dan selama musim tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rhinitis alergi perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rhinitis alergi musiman. Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rhinitis merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rhinitis untuk berkembang menjadi asma (Judarwanto, 2009).


(16)

2.1.2. Hubungan Imunopatologis

Proses imunopatologi pada rhinitis dan asma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi.

Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin, kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung. Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediator-mediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar.

Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama..

Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan rhinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah.

Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum dan setelah adanya rhinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga


(17)

dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan lingkungan.

Asma bronkial dan rhinitis alergi, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya (Judarwanto, 2009).

2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma

Teori yang diajukan oleh dokter Alkis Togias menyebutkan adanya hubungan vertikal dan horizontal antara rhinitis alergi dan asma. Hubungan horizontal yang terjadi adalah semakin berat gejala rhinitis yang muncul, semakin besar kemungkinan menderita asma. Sedangkan hubungan vertikal yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di saluran pernafasan atas akan berpengaruh negatif terhadap saluran pernafasan bawah. Hubungan vertikal tersebut ditegaskan dengan adanya beberapa studi yang menyebutkan bahwa peran mukosa nasalis dalam memfilter, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke saluran pernafasan bawah menjadi terganggu akibat rhinitis alergi. Selain itu, kongesti nasal yang terjadi pada rhinitis alergi sering membuat penderitanya terpaksa bernafas melalui mulut. Bahkan, sekret nasal yang mengandung mediator-mediator inflamatorik dapat secara langsung memasuki saluran pernafasan bawah dan menimbulkan reaksi inflamasi. Inhalasi allergen juga dapat menimbulkan perubahan-perubahan inflamatorik pada saluran pernafasan atas dan bawah secara bersamaan (Braunstahl G-J,2003); (O’Hollaren MT, 2005).

2.1.4. Refleks-Refleks Neural

Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rhinitis alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks nasobronchial dan bronchial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris


(18)

nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat disebut refleks bronchial (O’Hollaren MT, 2005).

2.2. IMPLIKASI RHINITIS ALERGI TERHADAP ASMA 2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma

Rhinitis alergi merupakan kondisi komorbid yang umum ditemukan pada pasien dengan asma. Prevalensi rhinitis alergi pada pasien asma mencapai 80%. Bahkan, ada pula studi yang menyatakan bahwa 50-100% pasien asma juga menderita rhinitis alergi. Hubungan yang demikian juga berlaku sebaliknya. Pada pasien rhinitis alergi, prevalensi asma dapat mencapai 40%, bahkan 58% pada studi lain (Slavin RG, 2008); (Pawankar R, 2004).

2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma

Telah dinyatakan pula bahwa penyakit pada saluran pernafasan atas merupakan faktor risiko untuk asma. Hal tersebut berdasarkan pada fakta bahwa orang yang menderita rhinitis alergi memiliki risiko tiga kali lipat untuk menderita asma dari pada mereka yang tidak menderita rhinitis alergi. Bahkan bagi anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergika dalam tahun pertama kehidupannya, kemungkinan menderita asma dua kali lebih besar daripada anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergi dalam tahun-tahun belakangan. Hal lain yang mendukung pernyataan diatas adalah diagnosa rhinitis alergika yang sering mendahului asma, rhinitis alergi dapat memperberat derajat eksaserbasi asma akut dan memperburuk prognosis untuk penderita asma. (Slavin RG, 2008) (Jeffrey PK,2006) (Thomas M, 2006) (Pawankar R, 2004)

2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma

Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rhinitis alergi komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan mekanisme kunci dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan rhinitis alergi dan asma mulai ramai diperbincangkan dan diteliti. Selain anti-inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4 (Phosphodiesteras e-4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma. Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rhinitis alergi seperti anti histamin dan


(19)

cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinophil pada darah dan sputum, menurunkan perekrutan eosinophil dari tulang sumsum, dan meningkatkan produksi nitric oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast® merupakan salah satu contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rhinitis alergi dan asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rhinitis, juga menurunkan gejala rhinitis harian pada penderita rhinitis alergi dan asma. (Jeffrey PK,2006)

2.3. PENATALAKSANAAN ASMA DENGAN RHINITIS ALERGI DI INDONESIA Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rhinitis alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen, penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rhinitis maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rhinitis dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk mengatasi gejala asma saja atau rhinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk rhinitis alergi.

Untuk imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas 5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara 5-2 0 µg, sedangkan preparat oral memiliki dosis 50-100 kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rhinitis alergi di Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui mengenai hubungan rhinitis dan asma, dan akan sangat menguntungkan apabila pengetahuan


(20)

tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma.

Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana kombinasi untuk keadaan komorbid. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk asma. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk rhinitis alergika, sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global, dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum, hanya mengenai rhinitis alergika serta komorbiditas dan tata laksana yang dikombinasikan.


(21)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL

3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang dampak rhinitis alergi terhadap asma bronkhial.

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3. Kerangka konsep hunbungan rhinitis alergi dengan asma bronkhial

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel yang akan diteliti mencakup semua pasien rhinitis alergi yang juga menderita penyakit asma bronkhial yang dirawat inap dan berobat jalan di sub bagian THT di RSUP Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009 yang diperoleh dari catatan rekam medis.

Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas, anamnesa, penentuan fisik, laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat.

Pasien rhinitis alergi adalah pasien yang dinyatakan menderita rhinitis alergi berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.

Angka prevalensi adalah jumlah keseluruhan orang yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu yang menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu tertentu (Point Prevalence), atau pada periode waktu tertentu (Period Prevalence), tanpa melihat kapan penyakit itu mulai dibagi dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko tertimpa penyakit pada titik waktu tertentu atau periode waktu tertentu (Guntur, 2007).

Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001).


(22)

Rhinitis alergi terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung meler. Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi. (PERSI, 2007)

Penyakit asma bronkial di masyarakat sering disebut sebagai bengek, asma, mengi, ampek, sasak angok, dan berbagai istilah lokal lainnya. Asma merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas (Medicafarma,2008).

3.3 Hipotesa


(23)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik secara cross sectional.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik, Medan di sub-bagian THT. Rekam medis yang diambil dan dikumpulkan dari 1 Januari 2009 sehingga 31 Disember 2009.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh penderita rhinitis yang dirawat inap dan rawat jalan di RSU Haji Adam Malik, Medan dari 1 Januari 2009 sehingga 31 Disember 2009. Sampel yang digunakan adalah total sampling dimana keseluruhan dari populasi penelitian adalah merupakan sampel karena perlu didapatkan jumlah secara keseluruhan penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial.

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini, data diambil dari rekam medis penderita rhinitis di sub-bagian THT, RSUP Haji Adam Malik, Medan dari 1 Januari 2009 sehingga 31 Disember 2009.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Data rekam medis yang didapat dari penderita rhinitis alergi dan non alergi yang menderita asma bronkhial dan juga yang tidak menderita asma bronkhial di RSUP Haji Adam Malik, Medan akan dikumpul dan dikelompokkan. Data akan dimasukkan ke dalam komputer dan pada proses pemasukan data, akan dilakukan penyemakan data oleh tenaga entry data. Analisa dilakukan dengan menggunakan SPSS Windows.

Analisis statistik yang digunakan untuk menilai hubungan antara kedua variabel adalah uji chi square (x2).


(24)

Asma Bronkhial Jumlah

(+) (-)

Rhinitis Alergi (+) A B A+B

(-) C D C+D

Tabel 4.1.

Rasio Prevalens :

RP = A/A+B : C/(C+D) Menghitung rasio prevalens:

= 1  tidak berefek ( netral)

> 1  variabel merupakan faktor risiko < 1  variabel merupakan faktor protektif


(25)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran Kota Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan Rumah Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No. 547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991.

5.1.2. Proporsi Penderita Rhinitis Alergi

Berikut ini dapat diketahui distribusi penderita rhinitis alergi berdasarkan jenis kelamin dan umur pada thaun 2009 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.

Tabel 5.1. Distribusi Penderita Rhinitis Alergi berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009

Pada table 5.1 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis alergi di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2009 yang jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 18 orang dari total jumlah 26 pasien yang didiagnosa rhinitis alergi. Sedangkan penderita dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 8 orang. Proporsi dari kedua jenis kelamin adalah masing-masing 69,2% untuk laki-laki dan 30,2% untuk perempuan.

Jenis kelamin Jumlah Penderita Rhinitis Alergi Proposi (%)

Laki-laki 18 69,2

Perempuan 8 30,8


(26)

Tabel 5.2 Distribusi Penderita Rhinitis Alergi berdasarkan Umur di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009

Pada tabel 5.2 menunjukkan distribusi penderita rhinitis alergi berdasarkan umur penderita di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2009 dengan kelompok umur yang banyak menderita rhinitis alergi adalah dewasa (32-47 tahun) dengan jumlah 11 orang (42%). Insidensi yang paling sedikit berlaku pada orang tua (64-79 tahun) dengan jumlah seorang dan proporsi sebanyak 4% manakala insidensi tidak berlaku pada orang yang lebih tua yaitu 80 tahun keatas. Penderita dengan usia pertengahan yaitu diantara 48 hingga 63 tahun dengan sejumlah 6 orang dengan proporsi sebanyak 23%. Seterusnya adalah usia dewasa muda yaitu di antara 16 hingga 31 tahun yaitu sejumlah 5 orang dengan proporsi sebanyak 19%. Pada usia anak-anak yaitu diantara 0 hingga 15 tahun adalah sebanyak 3 orang dengan proporsi sebanyak 12%.

No Usia Jumlah %

1 Anak-anak (0-15tahun) 3 12

2 Dewasa Muda (16-31 tahun) 5 19

3 Dewasa (32-47tahun) 11 42

4 Pertengahan (48-63tahun) 6 23

5 Tua (64-79 tahun) 1 4

6 Lebih tua (≥80tahun) 0 0


(27)

5.1.3. Proporsi Penderita Rhinitis Non Alergi

Berikut ini dapat diketahui distribusi penderita rhinitis non alergi berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tahun 2009 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.

Tabel 5.3 Distribusi Penderita Rhinitis Non Alergi berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009

Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis non alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2009 yang jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 27 orang dari total jumlah 42 pasien yang didiagnosa rhinitis non alergi. Sedangkan penderita dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 15 orang. Proporsi dari kedua jenis kelamin adalah masing-masing 64,3% untuk laki-laki dan 35,7% untuk perempuan.

Tabel 5.4 Distribusi Penderita Rhinitis Non Alergi berdasarkan Umur di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009

Pada tabel 5.4 menunjukkan distribusi penderita rhinitis non alergi berdasarkan umur penderita di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2009 dengan kelompok umur yang banyak menderita rhinitis non alergi adalah dewasa muda (16-31 tahun) dengan jumlah 17 orang (40,5%). Insidensi yang paling sedikit berlaku pada orang tua (64-79 tahun) dan yang Jenis kelamin Jumlah Penderita Rhinitis Non Alergi Proposi (%)

Laki-laki 27 64,3

Perempuan 15 35,7

Jumlah 42 100,0

No Usia Jumlah %

1 Anak-anak (0-15tahun) 8 19

2 Dewasa Muda (16-31 tahun) 17 40,5

3 Dewasa (32-47tahun) 9 21,4

4 Pertengahan (48-63tahun) 6 14,3

5 Tua (64-79 tahun) 1 2,4

6 Lebih tua (≥80tahun) 1 2,4


(28)

lebih tua yaitu 80 thaun keatas dengan jumlah seorang dan proporsi sebanyak 2,4%. Penderita dengan usia dewasa yaitu diantara 32 hingga 47 tahun dengan sejumlah 9 orang dengan proporsi sebanyak 21,4%. Seterusnya adalah usia anak-anak yaitu diantara 0 hingga 15 tahun adalah sebanyak 8 orang dengan porposi sebanyak 19%. Pada pertengahan usia yaitu di antara 48 hingga 63 tahun adalah sejumlah 6 orang dengan proporsi sebanyak 14,3%.

5.1.4. Proporsi Penderita Rhinitis Terhadap Asma Bronkhial

Berikut ini dapat diketahui distribusi penderita rhinitis terhadap asma bronkhial pada tahun 2009 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.

Tabel 5.5. Distribusi Penderita Rhinitis Alergi Terhadap Asma Bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009

Pada table 5.5 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis alergi di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2009 yang juga menderita asma bronkhial adalah sebanyak 16 orang dari total jumlah 26 pasien yang didiagnosa rhinitis alergi. Sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa asma bronkhial adalah sebanyak 10 orang. Proporsi pada penderita rhinitis alergi dengan asma bronkhial adalah 61,5% manakala bagi yang tanpa asma bronkhial adalah 38,5%.

Tabel 5.6. Distribusi Penderita Rhinitis Non Alergi Terhadap Asma Bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009

Asma Bronkhial Jumlah Penderita Rhinitis Alergi Proposi (%)

Ada 16 61,5

Tidak Ada 10 38,5

Jumlah 26 100,0

Asma Bronkhial Jumlah Penderita Rhinitis Non Alergi Proposi (%)

Ada 11 26,2

Tidak Ada 31 73,8


(29)

Pada table 5.6 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis non alergi di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2009 yang juga menderita asma bronkhial adalah sebanyak 11 orang dari total jumlah 42 pasien yang didiagnosa rhinitis non alergi. Sedangkan penderita rhinitis non alergi tanpa asma bronkhial adalah sebanyak 31 orang. Proporsi pada penderita rhinitis non alergi dengan asma bronkhial adalah 26,2% manakala bagi yang tanpa asma bronkhial adalah 73,8%.

5.1.5. Hubungan Rhinitis Alergi Dengan Terjadinya Asma Bronkhial

Berikut ini dapat diketahui hubungan rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik, Medan pada thaun 2009 daripada hasil analisis statistik.

Tabel 5.7 Chi-Square Rhinitis Alergi dengan Asma Bronkhial

Asma Bronkhial Jumlah

(+) (-)

Rhinitis Alergi (+) 16 (23,5%) 10 (14,7%) 26 (38,2%) (-) 11 (16,2%) 31 (45,6%) 42 (61,8%)

Total 27 (39,7%) 41 (60,3%) 68 (100%)

Pada table 5.7 tampak penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%). Dengan menggunakan SPSS Windows, uji statistik dengan

“Chi-Square” menunjukan perbedaan bermakan (P < 0,05) yaitu nilai p value adalah 0,004. Hal ini

berarti terdapat hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial. Dari hasil penelitian diatas juga menunjukkan rasio prevalens 2,35. Hasil analisis membuktikan bahwa Rhinitis Alergi merupakan faktor risiko terjadinya Asma Bronkhial.


(30)

5.2. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan secara studi belah lintang yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa rhinitis alergi merupakan salah satu faktor yang resiko lebih besar untuk terjadinya asma bronkhial. Hasil uji statistik di dapatkan sebagai berikut:

5.2.1. Rerata Umur dan Jenis Kelamin

Rerata umur pada penderita rhinitis adalah 35 tahun (golongan dewasa) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Secara statistik menunjukan perbedaan yang tidak bermakna (P>0,05) yaitu nilai p adalah 0,675. Walaupun tidak dijumpai penelitian mengenai hubungan rhinitis dengan umur dan jenis kelamin, hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kepustakaan oleh Braunstahl G-J, Hellings PW, 2003 yang menyatakan 45 % penderita rhinitis di dunia merupakan golongan dewasa. Ia juga menyatakan faktor linkungan merupakan salah satu faktor yang menyebabakanprevalansi rhinitis alergi meningkat. Salah satu penyebab alerginya adalah polusi udara. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan jenis kelamin laki-laki lebih beresiko daripada perempuan karena faktor pekerjaan serta gaya hidup laki-laki yang lebih terpapar pada polusi udara terutama di medan.

5.2.2. Hubungan Rhinits Alergi dengan Terjadinya Asma Bronkhial

Penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%). Dengan analisis statistik chi-square menunjukkan perbedaan bermakna (P<0,05) dan rasio prevalensnya (RP>1). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan

di

RSU RA. Kartini Jepara oleh Ana Lissa Indasah. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kejadian asma bronkhial lebih sering terjadi pada pasien alergi dibanding non alergi. Hal ini dimungkinkan karena beberapa literatur menyebutkan bahwa terjadinya komplikasi pada rhinitis alergi lebih besar akibat reaksi alergi yang intermitten, teru menerus dan menetap sepanjang tahun.Setelah melakukan penelitian ini, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan anatara rhinitis alegi dengan terjadinya asma bronkhial dan rhinitis alergi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya asma bronkhial. Hubungan antara rhinitis alergi dengan asma bronkhial disebutkan sebagai “one airway one disease” oleh ARIA 2001.


(31)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Secara statistic dengan uji “Chi-Square” menunjukan perbedaan bermakna. Hal ini berarti terdapat hubungan antara rhinitis alergi denagan terjadinya asma bronkhial. Rasio prevalens menunjukan hubungan yang cukup kuat sebagai faktor resiko. Dengan demikian rhinitis alergi secara individual atau independen bermakna sebagai faktor resiko terjadinya asma bronkhial.

6.2. Saran

1. Pada penderita asma bronkhial harus diteliti kemungkinan adanya faktor resiko seperti rhinitis alergi.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Braunstahl G-J, Hellings PW, 2003. Rhinitis Allergic and Asthma. Available

from:

April 2010).

Dr. Nuty W. Nizar, Sp.THT, 20 Maret 2007. Rhinitis Alergi, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI). Available from:

April 2010).

Jeffrey PK, Haahtela T, 2006. Allergic Rhinitis and Asthma: Inflammation in a One-Airway Condition. BMC Pulm Med 2006, 6 (Suppl I): S5.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2 008.2008, Available from:

Management of Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2001. Available from: http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG.pdf. (Accessed 9 April 2010).

Medlinux, 18 Juli 2008. Penatalaksanaan Asma Bronkial, Medicine and Linux.

Available from:

asma-bronkial.html. (Accessed 9 April 2010).

Mohamad Guntur, 2007. Definisi – definisi Epidemiologi. Available from: mohamadguntur.files.wordpress.com/2007/...istilah-epidemiologi.doc. (Accessed 22 April 2010).


(33)

Muchid dkk, September 2007. Pharmaceutical care untuk penyakit asma,

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Depkes RI. Available from:

(Accessed 9 April 2010).

O’Hollaren MT, 2005. The Upper and Lower Airway 1 Airway or 2?. Available from: http://cme.medscape.com/viewarticle/520119_print. (Accessed 11 April 2010).

Pawankar R, 2004. Allergic Rhinitis and Asthma. The Link, The New ARIA Classification and Global Approaches to Treatment. Curr Opin Allergy Clin

Immunol 2004, 4 (1).

Slavin RG, 2008. The Upper and Lower Airways: The Epidemiological and Pathophy siological Connection. Allergy Asthma Proc 2008, (29): 553-556.

Thomas M, 2006. Allergic Rhinitis: Evidence for Impact on Asthma. BMC Pulm

Med 2006, 6 (Suppl I): S4.

Widodo Judarwanto, 1 September 2009. Keterkaitan Penyakit Alergi Rinitis dan

Asma pada Anak. Available from:

15 March 2010).


(34)

No. Rekam Medis Rhinitis Alergi Asma Bronkhial Jenis Kelamin Umur

34.25.46 ada ada laki-laki 19

37.52.89 ada tidak ada laki-laki 33

38.28.21 ada tidak ada perempuan 9

37.54.54 ada tidak ada laki-laki 27

41.21.84 ada ada perempuan 37

39.92.03 ada tidak ada laki-laki 52

39.62.06 ada tidak ada laki-laki 43

39.14.66 ada tidak ada laki-laki 62

37.80.54 ada ada perempuan 46

40.87.18 ada ada laki-laki 12

37.97.61 ada ada laki-laki 58

38.62.15 ada tidak ada perempuan 30

21.65.03 tidak ada tidak ada laki-laki 7

03.89.98 ada ada laki-laki 46

05.58.84 tidak ada tidak ada laki-laki 32

07.46.69 ada ada perempuan 52

07.93.84 tidak ada tidak ada laki-laki 36

36.48.31 ada tidak ada perempuan 54

20.89.15 ada ada laki-laki 47

29.53.36 ada ada laki-laki 40

29.32.34 ada ada laki-laki 35

23.89.18 ada ada laki-laki 34

20.18.44 ada ada laki-laki 14

38.20.18 tidak ada tidak ada laki-laki 41

38.15.22 ada ada laki-laki 29

38.16.35 ada tidak ada perempuan 50

38.12.37 ada tidak ada laki-laki 69

38.39.47 ada ada perempuan 42

38.52.47 ada ada laki-laki 25

01.20.38 ada ada laki-laki 37

34.23.47 tidak ada tidak ada laki-laki 48

01.27.37 tidak ada tidak ada perempuan 24

20.32.18 tidak ada ada laki-laki 18

07.65.15 tidak ada tidak ada laki-laki 10

07.89.18 tidak ada ada laki-laki 46

39.97.63 tidak ada tidak ada perempuan 13

40.65.14 tidak ada ada laki-laki 40

29.52.15 tidak ada tidak ada laki-laki 62

23.64.27 tidak ada ada perempuan 52

23.32.36 tidak ada ada laki-laki 27

41.39.47 tidak ada tidak ada perempuan 8

36.45.67 tidak ada ada laki-laki 34


(35)

No. Rekam Medis Rhinitis Alergi Asma Bronkhial Jenis Kelamin Umur

03.52.48 tidak ada tidak ada laki-laki 68

20.87.17 tidak ada tidak ada perempuan 60

05.89.64 tidak ada tidak ada perempuan 15

29.94.04 tidak ada ada perempuan 37

29.36.45 tidak ada tidak ada laki-laki 28

37.87.54 tidak ada tidak ada perempuan 30

39.32.47 tidak ada tidak ada laki-laki 82

09.34.18 tidak ada ada laki-laki 22

09.87.14 tidak ada tidak ada laki-laki 31

01.18.37 tidak ada tidak ada perempuan 13

43.51.13 tidak ada tidak ada laki-laki 26

43.80.98 tidak ada tidak ada perempuan 42

20.63.18 tidak ada ada laki-laki 25

03.37.14 tidak ada tidak ada laki-laki 29

34.86.35 tidak ada tidak ada perempuan 45

07.32.27 tidak ada tidak ada laki-laki 27

36.54.82 tidak ada tidak ada laki-laki 29

36.96.58 tidak ada tidak ada perempuan 31

43.16.24 tidak ada tidak ada perempuan 26

43.28.17 tidak ada tidak ada laki-laki 27

45.64.18 tidak ada tidak ada laki-laki 12

45.96.05 tidak ada tidak ada perempuan 29


(36)

Hasil Output SPSS Windows

Crosstabs Rhinitis Alergi dengan Asma Bronkhial

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

rhinitis alergi *

asma bronkhial 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%

rhinitis alergi * asma bronkhial Crosstabulation

asma bronkhial

Total

ada tidak ada

rhinitis alergi

ada Count 16 10 26

% of Total 23.5% 14.7% 38.2%

tidak ada Count 11 31 42

% of Total 16.2% 45.6% 61.8%

Total Count 27 41 68

% of Total 39.7% 60.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 8.381(b) 1 .004

Continuity

Correction(a) 6.970 1 .008

Likelihood Ratio 8.415 1 .004

Fisher's Exact Test .005 .004

N of Valid Cases 68

a Computed only for a 2x2 table


(37)

Frekuensi Jenis Kelamin Pasien

Statistics

jenis kelamin pasien

N Valid 68

Missing 0

jenis kelamin pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 45 66.2 66.2 66.2

perempuan 23 33.8 33.8 100.0

Total 68 100.0 100.0

Crosstabs Jenis Kelamin Pasien

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis kelamin pasien *

rhinitis alergi 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%

jenis kelamin pasien * rhinitis alergi Crosstabulation

rhinitis alergi

Total

ada tidak ada

jenis kelamin pasien

laki-laki Count 18 27 45

% within rhinitis alergi 69.2% 64.3% 66.2%

perempuan Count 8 15 23

% within rhinitis alergi 30.8% 35.7% 33.8%

Total Count 26 42 68


(38)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .175(b) 1 .675

Continuity

Correction(a) .024 1 .877

Likelihood Ratio .177 1 .674

Fisher's Exact Test .794 .441

N of Valid Cases 68

a Computed only for a 2x2 table

b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.79

Frekuensi Umur Pasien

Statistics

umur pasien

N Valid 68

Missing 0

Mean 35.00

Median 32.50

Mode 27(a)

Std. Deviation 16.473

Variance 271.373

Range 75

Minimum 7

Maximum 82


(39)

umur pasien Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 7 1 1.5 1.5 1.5

8 1 1.5 1.5 2.9

9 1 1.5 1.5 4.4

10 1 1.5 1.5 5.9

12 2 2.9 2.9 8.8

13 2 2.9 2.9 11.8

14 2 2.9 2.9 14.7

15 1 1.5 1.5 16.2

18 1 1.5 1.5 17.6

19 1 1.5 1.5 19.1

22 1 1.5 1.5 20.6

24 1 1.5 1.5 22.1

25 2 2.9 2.9 25.0

26 3 4.4 4.4 29.4

27 4 5.9 5.9 35.3

28 1 1.5 1.5 36.8

29 4 5.9 5.9 42.6

30 2 2.9 2.9 45.6

31 2 2.9 2.9 48.5

32 1 1.5 1.5 50.0

33 1 1.5 1.5 51.5

34 2 2.9 2.9 54.4

35 1 1.5 1.5 55.9

36 1 1.5 1.5 57.4

37 3 4.4 4.4 61.8

40 2 2.9 2.9 64.7

41 1 1.5 1.5 66.2

42 2 2.9 2.9 69.1

43 1 1.5 1.5 70.6

45 1 1.5 1.5 72.1


(40)

47 1 1.5 1.5 77.9

48 1 1.5 1.5 79.4

49 1 1.5 1.5 80.9

50 1 1.5 1.5 82.4

52 3 4.4 4.4 86.8

54 1 1.5 1.5 88.2

57 1 1.5 1.5 89.7

58 1 1.5 1.5 91.2

60 1 1.5 1.5 92.6

62 2 2.9 2.9 95.6

68 1 1.5 1.5 97.1

69 1 1.5 1.5 98.5

82 1 1.5 1.5 100.0


(1)

No. Rekam Medis Rhinitis Alergi

Asma Bronkhial

Jenis Kelamin Umur

03.52.48

tidak ada

tidak ada

laki-laki

68

20.87.17

tidak ada

tidak ada

perempuan

60

05.89.64

tidak ada

tidak ada

perempuan

15

29.94.04

tidak ada

ada

perempuan

37

29.36.45

tidak ada

tidak ada

laki-laki

28

37.87.54

tidak ada

tidak ada

perempuan

30

39.32.47

tidak ada

tidak ada

laki-laki

82

09.34.18

tidak ada

ada

laki-laki

22

09.87.14

tidak ada

tidak ada

laki-laki

31

01.18.37

tidak ada

tidak ada

perempuan

13

43.51.13

tidak ada

tidak ada

laki-laki

26

43.80.98

tidak ada

tidak ada

perempuan

42

20.63.18

tidak ada

ada

laki-laki

25

03.37.14

tidak ada

tidak ada

laki-laki

29

34.86.35

tidak ada

tidak ada

perempuan

45

07.32.27

tidak ada

tidak ada

laki-laki

27

36.54.82

tidak ada

tidak ada

laki-laki

29

36.96.58

tidak ada

tidak ada

perempuan

31

43.16.24

tidak ada

tidak ada

perempuan

26

43.28.17

tidak ada

tidak ada

laki-laki

27

45.64.18

tidak ada

tidak ada

laki-laki

12

45.96.05

tidak ada

tidak ada

perempuan

29


(2)

Hasil Output SPSS Windows

Crosstabs Rhinitis Alergi dengan Asma Bronkhial

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

rhinitis alergi *

asma bronkhial 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%

rhinitis alergi * asma bronkhial Crosstabulation

asma bronkhial

Total ada tidak ada

rhinitis alergi

ada Count 16 10 26

% of Total 23.5% 14.7% 38.2%

tidak ada Count 11 31 42

% of Total 16.2% 45.6% 61.8%

Total Count 27 41 68

% of Total 39.7% 60.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 8.381(b) 1 .004

Continuity

Correction(a) 6.970 1 .008

Likelihood Ratio 8.415 1 .004

Fisher's Exact Test .005 .004

N of Valid Cases 68


(3)

Frekuensi Jenis Kelamin Pasien

Statistics

jenis kelamin pasien

N Valid 68

Missing 0

jenis kelamin pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 45 66.2 66.2 66.2

perempuan 23 33.8 33.8 100.0

Total 68 100.0 100.0

Crosstabs Jenis Kelamin Pasien

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis kelamin pasien *

rhinitis alergi 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%

jenis kelamin pasien * rhinitis alergi Crosstabulation

rhinitis alergi

Total ada tidak ada

jenis kelamin pasien

laki-laki Count 18 27 45

% within rhinitis alergi 69.2% 64.3% 66.2%

perempuan Count 8 15 23

% within rhinitis alergi 30.8% 35.7% 33.8%

Total Count 26 42 68


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .175(b) 1 .675

Continuity

Correction(a) .024 1 .877

Likelihood Ratio .177 1 .674

Fisher's Exact Test .794 .441

N of Valid Cases 68

a Computed only for a 2x2 table

b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.79

Frekuensi Umur Pasien

Statistics

umur pasien

N Valid 68

Missing 0

Mean 35.00

Median 32.50

Mode 27(a)

Std. Deviation 16.473

Variance 271.373

Range 75

Minimum 7

Maximum 82


(5)

umur pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 7 1 1.5 1.5 1.5

8 1 1.5 1.5 2.9

9 1 1.5 1.5 4.4

10 1 1.5 1.5 5.9

12 2 2.9 2.9 8.8

13 2 2.9 2.9 11.8

14 2 2.9 2.9 14.7

15 1 1.5 1.5 16.2

18 1 1.5 1.5 17.6

19 1 1.5 1.5 19.1

22 1 1.5 1.5 20.6

24 1 1.5 1.5 22.1

25 2 2.9 2.9 25.0

26 3 4.4 4.4 29.4

27 4 5.9 5.9 35.3

28 1 1.5 1.5 36.8

29 4 5.9 5.9 42.6

30 2 2.9 2.9 45.6

31 2 2.9 2.9 48.5

32 1 1.5 1.5 50.0

33 1 1.5 1.5 51.5

34 2 2.9 2.9 54.4

35 1 1.5 1.5 55.9

36 1 1.5 1.5 57.4

37 3 4.4 4.4 61.8

40 2 2.9 2.9 64.7

41 1 1.5 1.5 66.2

42 2 2.9 2.9 69.1

43 1 1.5 1.5 70.6

45 1 1.5 1.5 72.1


(6)

47 1 1.5 1.5 77.9

48 1 1.5 1.5 79.4

49 1 1.5 1.5 80.9

50 1 1.5 1.5 82.4

52 3 4.4 4.4 86.8

54 1 1.5 1.5 88.2

57 1 1.5 1.5 89.7

58 1 1.5 1.5 91.2

60 1 1.5 1.5 92.6

62 2 2.9 2.9 95.6

68 1 1.5 1.5 97.1

69 1 1.5 1.5 98.5

82 1 1.5 1.5 100.0