Pengertian Kekuasaan Kehakiman dalam Konvensional

Bila ditilik dari sejarahnya, memang pasal 24 UUD 1945 sebelum amandemen menurut Purwoto Gandasubrata tidak secara tegas mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Karena itu ia mengusulkan pentingnya penjabaran lebih lanjut tentang pasal tersebut, yangtidak boleh mengurangi dan membatasi kekuasaan lembaga peradilan dan mempertegas kedudukannyasederajat dengan kekuasaan pemerintahnegara. Berbeda dengan itu, Ismail Saleh mantan Menteri Kehakiman Orde Baru membenarkan campur tangan atau keterlibatan kekuasaan pemerintah negara dalam mengatur kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 tiga alasan. Pertama, campur tangan tesebut merupakan konsekuensi dari paham negara kekeluargaan yang dianut dalam UUD 1945. Kedua, ampur tangan tersebut dibenarkan karena sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Denngan demikian Presiden juga mengatur kekasaan kehakiman. Ketiga, dengan pasal 5, maka kekuasaan lembaga peradilan bisa dikontrol sehingga tidak berat sebelah dalam melaksanakan tugasnya. Gagasan tersebut kemudian ditolak oleh Moch Koesno dan Purwoto yang menyatakan bahwa ; “ketentuan pasal 5 di atas tidak bermaksud mengurangi atau membatasi kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka atau untuk membenarkan adanya intervensi kekuasaan pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman. Selain itu, untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum, sebuah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalm perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 pada pasal 1 Ayat 3. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka, badan peradilan bebas dari penngaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum an keadilan. Sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya; yakni Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan pasal 24C Ayat 1 UUD 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 , memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden danatau Wakil Presiden melanggar UUD 1945. 5 Berdasarkan pada uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan umum bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan elemen penting dalam sebuah negara, karena kekuasaan kehakiman tesebut merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara-terutama modern. Pengertian Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam Kekuasaan Kehakiman dalam islam sering di padankan dengan istilah sulthah qadhaiyah. Kata sulthahsulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan. Menurut louis Ma‟luf sulthah berarti al-malik al- qudrah, yakni kekuasaan pemerintah. Sedangkan al-qadha-iyyah yaitu putusan, penyelesaian perselisihan, atau peradilan.jadi sulthah qadhaiyyah secara etimologis yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman. Sedangkan terminologi sulthatun bi mana al-qudrah yakni : “kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan” 6 5 Tentang wewenang Mahkamah Konstitusi secara lengkap bisa dilihat pada. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: total media kreasi, 2007, hlm 165-241. Maksudnya yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannyasampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Salah satu prinsip dasar dari sistem pemrintahannegara yang ditekankan dalam islam adalah Negara Hukum. Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi islam, yakni suatu sistem pemintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum islam dan merupakan rule of islamic law. Sebagai negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di dalam kehidupan bernegara. Untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan yudikatif yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya, kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem kenegaraan islam merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Begitu urgennya sulthah qadhaiyyah lembaga yudiatif, maka tidak heran kalau sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi meskipun masih dalam bentuknya yang sangat sederhana. 6 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008 hlm. 146.

1. Sejarah dan Praktik Kekuasaan Kehakiman

Untuk melihat secara jelas perkembangan kekuasaan kehakiman dalam islam bisa dilacak dari awal munculnya istilah atau bentuk peradilan sejak masa Rasulullah SAW, sampai pada periode Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya. Periode pertama pada masa awal islam, Rasulullah di samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal. Dalam piagam madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena itu, segala urusan yang menjadi kewenangan kekuasaan kehakiman pun, semuanya tertempu di di tangan beliau. Dan baru kemudian setelah wilayah islam meluas, beliau mulai mengizinkan sejumlah sahabat bertindak sebagai hakim. 7 Pada periode kedua, yakni pasca Rasulullah SAW.wafat, tampuk dan roda pemrintahan dpegang oleh al-Khulafa al-Rasyidin. Masa khalifah Abu Bakar as- Shiddiq, kekuasaan yudikatif masih di pegang oleh penguasa atau pihak eksekutif dan belum ada perubahan yang berarti, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan tugas yudikatif. Meskipun demikian, secara keseluruhan belum ada pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Hal tersebut ditunjukkan oleh kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap 7 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi ………., hlm. 148. provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali. Para amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin agama seperti imam dalam shalat, menetapkan hukum dan melaksanakan undang-undang. Artinya, seorang amir di samping sebagai pemimpin agama dan sebagai hakim, juga pelaksana tugas kepolisian. Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh admnistrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Salah satu departemen yang dipandang perlu untuk didirikan yaitu pengadilan dimana berfungsi untuk memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif. 8 Pada masa ini mulai diatur tata laksana peradilan antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim,dan atas nama khalifah menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat bersendikan Al-Quran, Sunnah,dan Qiyas. 9 Khalifah Umar juga dijuluki sebagai Bapak Peradilan, karena beliau menggagaskan beberapa prinsip mengenai peradilan yang sampai sekarang masih relevan untuk dipakai. Yaitu sebagai berikut: 10 a. Memutuskan perkara di pengadilan adalah kewajiban yang harus dikokohkan dan sunah yang harus diikuti. 8 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004 hlm. 37. 9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1993 hlm. 38. 10 Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Bani Quraisy. 2004. hlm. 50. b. Sebelum sebuah perkara diputuskan, ia harus dipahami terlebih dahulu agar hakim dapat bertindak adil. c. Pihak-pihak yang berperkara haus diperlakukan sama, baik dalam persidangan maupun dalam menetapkan keputusan. d. Alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada pihak tergugat. e. Damai sebagai jalan keluar dari persengketaan dibolehkan selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Pada masa pemerintahan Umar pula lembaga kehakiman mengalami perubahan yaitu: 1. Menetapkan syarat-syarat pelantikan qadhi atau hakim yang ketat. Seperti berilmu, berpribadian yang tinggi, dikenali oleh masyarakat 2. Gaji qadhi atau hakim dibayar tinggi 500 dirham sebulan agar dapat berlaku adil 3. Qadhi atau hakim haruslah terbuka kepada masyarakat agar keadilan perundangan terjamin 11 11 http:fastnote.wordpress.compentadbiran-umar-al-khattabdiunduh pada hari senin14februari22.33Wib.