dalam suatu susunan yang disebut dengan “stufenbau” dimana grundnorm
merupakan analisis pemikiran yuridis yang dihasilkan oleh pemikiran manusia.
2. Metode pengumpulan data
Sebagai penelitian hukum normatif, alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumberdata
diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 1
Normaaturan dasar Pembukaan UUD 1945 2
Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya serta Ketetapan MPR
3 Peraturan Perundang-undangan
I. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
II. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung III.
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi IV.
Peraturan Mahkamah Agung Perma No. 1 Tahun 1993 dan Perma No. 1 Tahun 1999
V. Dan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya yang berkaitan
dengan pembahasan penelitian. 4
Yurisprudensi b.
Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: Rancangan undang-undang, hasil penelitian yang sudah
ada, karya ilmiah dari kalangan ahli hukum dan lain sebagainya.
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti: kamus, ensklopedia, indeks dan seterusnya.
E. Review Studi Terdahulu
Apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menunjukkan kehawatiran akan timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih
rendah, bukan hanya menyangkut hubungan antara undang-undang dengan keputusan pengadilan, tetapi juga menyangkut antara konstitusi dengan
undangundang. Oleh karena itu Kelsen mengemukan sejumlah syarat agar kepatuhan terhadap konstitusi dapat terjamin, yakni pertama, adanya organ yang
diberi otoritas untuk melakukan pengujian hukum judicial review; dan kedua, tersedianya mekanisme atau prosedur-termasuk dalam hal ini menyangkut
azasazas dan kaidah-kaidah hokum-untuk melakukan pengujian hukum.
15
Pengalaman empiris pengaturan dan pelaksanaan hak uji di berbagai Negara menunjukkan gejala yang dinamis sesuai dengan karakteristik sistem konstitusi
yang dianut dan kebutuhan hukum akan pranata hak uji pada masing-masing negara. Di dalam literatur, secara historis hak uji telah ada di Inggris sejak abad ke
XVI. Pengadilan Inggris menetapkan setiap peraturan atau tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan common law. Tetapi hak uji di Inggris ini
kemudian ditinggalkan akibat lahirnya ajaran supremasi atau kedaulatan parlemen. Pranata hak uji kemudian dikembangkan dalam tradisi ketatanegaraan
Amerika Serikat, yang dimulai pada tahun 1803 dalam kasus Marbrury versus
15
Ibid., hlm. 61.