Sistematika penulisan Kekuasaan kehakiman pasca amandemen undang-undang dasar 1945 tijauan fiqih siyasah

diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. 3 Dalam pasal 1 undang-undang No.4 Tahun 2004 pengertian kekuasaan kehakiman “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ”Jaminan tentunya tidak hanya di berikan kepada hakim, tetapi juga kepada seluruh kekuasaan kehakiman, terutama lembaga-lembaga peradilan dengan tujuan agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Latar Belakang Kemunculan Kekuasaan Kehakiman Perumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang penganutan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan organisatoris antara organisasi kekuasaan yudikatif dan organisasi kekuasaan eksekutif. Yang disebutkan hanyalah prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas merdeka dan itu bisa diartikan berlaku hanya bagi fungsi peradilannya. Oleh sebab itu, sejak pembentukan kabinet pertama dilingkungan eksekutif telah di bentuk departemen kehakiman yang eksistensinya berlanjut sampai sekarang 4 3 Jose Maria Maravall and Adam Prrzeworski, Democracy and The Rule of law, London: Cambridge University press, 2003, hlm. 242. 4 Harun Al-Rasyid, Himpunan peraturan hukum tata negara, edisi kedua, jakarta: Universitas Indonesia press, 1996, hlm. 18. Bila ditilik dari sejarahnya, memang pasal 24 UUD 1945 sebelum amandemen menurut Purwoto Gandasubrata tidak secara tegas mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Karena itu ia mengusulkan pentingnya penjabaran lebih lanjut tentang pasal tersebut, yangtidak boleh mengurangi dan membatasi kekuasaan lembaga peradilan dan mempertegas kedudukannyasederajat dengan kekuasaan pemerintahnegara. Berbeda dengan itu, Ismail Saleh mantan Menteri Kehakiman Orde Baru membenarkan campur tangan atau keterlibatan kekuasaan pemerintah negara dalam mengatur kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 tiga alasan. Pertama, campur tangan tesebut merupakan konsekuensi dari paham negara kekeluargaan yang dianut dalam UUD 1945. Kedua, ampur tangan tersebut dibenarkan karena sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Denngan demikian Presiden juga mengatur kekasaan kehakiman. Ketiga, dengan pasal 5, maka kekuasaan lembaga peradilan bisa dikontrol sehingga tidak berat sebelah dalam melaksanakan tugasnya. Gagasan tersebut kemudian ditolak oleh Moch Koesno dan Purwoto yang menyatakan bahwa ; “ketentuan pasal 5 di atas tidak bermaksud mengurangi atau membatasi kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka atau untuk membenarkan adanya intervensi kekuasaan pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman.