Sejarah dan Praktik Kekuasaan Kehakiman
b. Sebelum sebuah perkara diputuskan, ia harus dipahami terlebih dahulu agar hakim
dapat bertindak adil.
c. Pihak-pihak yang berperkara haus diperlakukan sama, baik dalam persidangan
maupun dalam menetapkan keputusan.
d. Alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada
pihak tergugat.
e. Damai sebagai jalan keluar dari persengketaan dibolehkan selama tidak
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Pada masa pemerintahan Umar pula lembaga kehakiman mengalami perubahan yaitu:
1. Menetapkan syarat-syarat pelantikan qadhi atau hakim yang ketat. Seperti
berilmu, berpribadian yang tinggi, dikenali oleh masyarakat 2.
Gaji qadhi atau hakim dibayar tinggi 500 dirham sebulan agar dapat berlaku adil
3. Qadhi atau hakim haruslah terbuka kepada masyarakat agar keadilan
perundangan terjamin
11
11
http:fastnote.wordpress.compentadbiran-umar-al-khattabdiunduh pada hari senin14februari22.33Wib.
Sedangkan pada masa Usman bin Affan, mulai diadakan pembenahan terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni menyangkut sarana dan prasarana.
Diantaranya; pertama, membangun gedung khusus untuk lembaga yudikatif, kedua, menyempurnakan admnistrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang
mengurusi admnistrasi peradilan. Ketiga, memberi gaji kepada hakim dan stafnya dan keempat, mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membatu tugas-tugas Qadhi.
Masa Ali bin Abi Thalib tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ia lebih banyak meneruskan kebijakan yang telah diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Khattab sebagai halifah pendahulunya. Perubahan hanya pada prosedur dan proses pengangkatan hakim yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat khalifah,
diserahkan kepada pemerintah daerah gubernur. Adapun periode ketiga yakni masa Dinasti Umayyah, ketatalaksanaan
peradilan makin disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri. Dalam menangani perkarapara hakim tidak terpengaruh oleh
sikap atau kebijaksanaan politik penguasa Negara. Mereka bebas dalam mengambil keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi Negara.
Khalifah Umar bin Abdul Azis, kepala Negara yang kedelapan belas dari dinasti umayyah menentukan
lima keharusan bagi para hakim “ harus tahu apa yang terjadi sebelum dia, harus tidak mempunyai kepentingan pribadi, harus tidak mempunyai
rasa dendam, harus mengikuti jejak para imam, dan harus mengikutsertakan para ahli dan cerdik pandai. Pada waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan, selain itu
disamping badan peradilan dibentuk pula badan peradilan mazhalim yang menangani pengaduan masyarakat terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat Negara, termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya diketuai oleh khalifah sendiri
”.
12
Perkembangan yang signifikan bagi kekuasaan kehakiman adalah terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah periode keempat. Tidak hanya pembenahan terhadap
sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai disusun hukum materiil yang akan digunakan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusannya. Awalnya yang di
gunakan kitab Al-muwatha karya imam Malik. Namun imam Malik sendiri menolak dengan alasan masih banyka Hadis Rasulullah SAW yang tersebar dibeberapa kota.
Atas usul Ibnu al-muqaffa kepada Khalifah al-Mansur maka disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutuskan perkara.
Periode kelima yakni masa Turki Usmani, pada awal abad ke 13 H Turki membentuk Nizhamiyah pengadilan umum, dan beberapa perkara khusus dari
peradilan agama dilimpahkan kepadanya. Akan tetapi, hakim dipengadilan umum mengalami kesulitan dalam mengambil hukum-hukum fiqh. Akhirnya sultan atas
desakan para penguasa menyusun kodifikasi hukum-hukum agar mudah dirujuk dan diambil hukumnya. Sehingga pada tahun 1285 H1869 M dibentuklah panitia yang
dipimpin oleh Menteri Kehakiman dengan anggota dari para fuqaha. Selain
12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm39.
perubahan yang terjadi pada kekuasaan yudikatif pada masa ini, disamping terdapat lembaga yang khusus menangani orang-orang muslim, juga didirikan peradilan yang
khusus menangani orang-orang non muslim kafir dzimmi dan orang-orang yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-
masing dan undang-undang asing.
B. KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM
INDONESIA
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 UUD 1945 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum rechtstaat bukan
berdasarkan kekuasaan machtstaat ”.
13
Artinya, segala sesuatu yang dilakukan baik oleh negara maupun seluruh elemennya dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum.
Konsep Negara Hukum dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain di Eropa Kontinental dengan menggunakan
istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
14
Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang, Peradilan Tata Usaha Negara.
13
Lihat Penjelasan UUD 1945 sebelum amademen tentang “Sistem Pemerintahan Negara”, butir 1 dalam Harun Al rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara . Jakarta : UI Press. 1983 hal
15.
14
Hasan Zaini.Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Alumni : Bandung, 1971. hal 154- 155.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.
Beliau menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum, yaitu:
15
Supremacy of Law, Equality before the law. Due Process of Law. Seiring dengan perkembangan zaman, “The International Commission of
Jurist ” menambahkan bahwa dalam negara hukum memerlukan peradilan yang bebas
dan tidak memihak independence and impartiality of judiciary. Oleh karena itu, selain prinsip-prinsip negara hukum rechstaat dan The Rule of Law,prinsip-prinsip
yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists
” itu adalah: Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu, Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Menurut Prof Jimly
Asshiddiqie, prinsip negara hukum Indonesia dapat dibagi menjadi 12 dua belas macam:
16
Supremasi Hukum Supremacy of Law, Persamaan dalam Hukum Equality before the Law, Asas Legalitas Due Process of Law, Pembatasan Kekuasaan
Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara Constitutional Court, Perlindungan Hak
15
A.V Dicey.Introduction to the study of the Constitution, Hal 202 dan 203 dalam Azhary, Negara Hukum Indonesia”Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya”, UI Press 1995. Hal
20-21.
16
Jimly Asshidiqie. Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer. Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang. 23 Maret 2006.
Asasi Manusia, Bersifat Demokratis Democratische Rechtsstaat, Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara Welfare Rechtsstaat, Transparansi dan
Kontrol Sosial:
Dalam perkembangannya ajaran pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan Machtsverdeling atau
Distribution of Power, yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya
hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, akan tetapi esensi kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih relevan hingga
kini.
17
C. PRINSIP-PRINSIP POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam peradilan yaitu pertama, the principle of judicial independence,
kedua, the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem disemua negara yang disebut hukum modern
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu
tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
17
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. 2003. UII Press. Yogyakarta, hal. 9.
pengangkatan, masa keja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah
ketidakberpihakan. Dalam praktek, ketidakberpihakan itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial tetapi juga terlihat
bekeja secara imparsial to appear to be impartial.
18