Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang Sebagai Upaya Untuk Melindungi

D. Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang Sebagai Upaya Untuk Melindungi

Kepentingan Bank Dari sudut pandang perbankan, upaya yang ditempuh oleh bank apabila kredit yang diberikan tersebut mengalami masalah atau tergolong dalam kredit bermasalah, maka dalam hal ini bank perlu melakukan penyelamatan rescue sehingga tidak menimbulkan kerugian. Penyelamatan yang dilakukan dengan memberikan keringanan jangka waktu atau angsuran terutama bagi kredit terkena musibah atau melakukan penyitaan bagi kredit yang sengaja lalai untuk membayar. 117 Upaya penyelesaian terhadap kredit bermasalah dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu negosiasi dan litigasi. Penyelesaian melalui negosiasi, artinya kredit yang tadinya bermasalah atau macet diadakan kesepakatan baru sehingga terhindar dari masalah. Bentuk negosiasi penyelamatan kredit bermasalah dapat ditempuh sebagai berikut: a. Rescheduling penjadwalan kembali, Memperpanjang jangka waktu kredit sehingga debitur mempunyai waktu lebih longgar untuk mencari penyelesaiaan yang lebih menguntungkan, atau dengan cara memperpanjang jangka waktu angsuran sehingga angsuran menjadi lebih ringan sesuai dengan kemampuannya. b. Reconditioning mengubah persyaratan 1 Kapitalisasi bunga yakni dengan cara bunga dijadikan hutang pokok 2 Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu maksudnya bunga yang dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pokok pinjaman tetap harus dibayar 3 Penurunan suku bunga agar meringankan beban debitur. Misalnya: bunga pertahun 18 di turunkan menjadi 16 pertahun dan tergantung pertimbangan bank bersangkutan. Akibatnya berpengaruh kepada jumlah angsuran semakin mengecil sehingga meringankan debitur 4 Pembebasan bunga diberikan kepada debitur yang tidak mampu lagi membayar kredit, akan tetapi wajib bagi debitur membayar pokok pinjaman sampai lunas. 117 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hal 241 Universitas Sumatera Utara c. Restructuring penataan kembali Tindakan menambah fasilitas kredit bagi debitur atau dengan cara menambah equity modal sendiri yaitu dengan menyetor fresh money, akan tetapi ini biasanya gagal karena banyak pemilik perusahaan yang tidak mampu. Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan khusus, yakni Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31150KEPDIR tanggal 12 Nopember 1998 yakni upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitur dapat memenuhi kewajibannya ini dilakukan melalui tindakan sebagai berikut: 1 Penurunan suku bunga kredit 2 Pengurangan tunggakan bunga kredit 3 Pengurangan tunggakan pokok kredit 4 Perpanjangan jangka waktu kredit 5 Penambahan fasilitas kredit 6 Pengambilalihan asset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku 7 Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur. Bank yang memakai prinsip syariah, jaminan kebendaan bukan merupakan jaminan pokok. Adanya jaminan bukan merupakan suatu keharusan, karena pembiayaan yang diberikan adalah talangan dana untuk membeli barang kebutuhan debitur, dimana selama barang belum lunas pembayarannya, barang tersebut masih berstatus sebagai barang jaminan. Sehingga, fungsi jaminan dalam hal ini hanyalah sebagai jaminan kepastian pengembalian biaya atau pinjaman tepat waktu. Artinya, jaminan ini tidak dapat ditarik oleh nasabah sebelum menyelesaikan hutang piutang karena sifatnya tetap dan hanya dicairkan apabila diperlukan untuk mengganti dana yang sudah sempat dikeluarkan oleh bank. Dengan demikian, fungsi jaminan bila terjadi pembayaran macet dalam pembiayaan murabahah hanyalah sebagai Universitas Sumatera Utara pengganti dana yang sudah sempat dikeluarkan oleh bank kepada mudharib atau debitor. 118 Jika terjadi kredit macet dalam bank syariah, eksekusi diselesaikan di Pengadilan Umum, atau melalui Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu bidang: Perkawinan, Kewarisan yang meliputi juga wasiat dan hibah dan Wakaf dan Shadaqah. 119 Penyelamatan pembiayaan bermasalah yang masih memiliki prospek usaha dilaikukan melalui restrukturisasi dengan memperhatikan ketentuan yang telah digariskan oleh Bank Indonesia sebagai mana yang digariskan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 31 150KEPDIR Tanggal 12 November 1998. Tentang Restrukturisasi Pembiayaan yakni, melalui : 118 Wawancara dengan Bapak Makmur Setyadi, Pimpinan Cabang Syariah Mandiri, Pematang Siantar, tanggal 15 September 2009 119 Wawancara dengan Bapak Makmur Setyadi, Pimpinan Cabang Syariah Mandiri, Pematang Siantar, tanggal 15 September 2009 Universitas Sumatera Utara a. Penurunan Bagi hasil Yakni pemberian keringanan kepada nasabah untuk membayar bagi hasil dibawah bagi hasil yang sudah ditetapkan dan disepakati sesuai dengan kemampuan nasabah atas dasar proyeksi cash flow yang dihitung secara realistis dengan menggunakan asumsi-asumsi yang wajar. Keringanan berupa selisih antara bagi hasil baru dengan bagi hasil dengan bagi hasil awal tersebut dapat bersifat pembebasan danatau penangguhan yang akan diperhitungkan dibebankan apabila cash flow nasabahmudharib telah memungkinkan untuk dibebani. b. Pengurangan Tunggakan Bagi Hasil Pengurangan tunggakan dan bagi hasil adalah adalah berupa pemberian keringanan kepada nasabahmudharib berupa pengurangan tunggakan bagi hasil, baik sebagian atau seluruhnya dan pengurangan tersebut dapat bersifat pembebasan dan atau penangguhan yang akan diperhitungkan dibebankan apabila cash flow nasabah telah dimungkinkan untuk dibebani. c. Pengurangan Tunggakan Pokok Pembiayaan Pengurangan Tunggakan Pokok Pembiayaan yakni pemberian keringanan kepada nasabah berupa pengurangan tunggakan pokok pembiayaan dan pengurangan tersebut dapat bersifat pembebasan danatau penangguhan yang akan diperhitungkan dibebankan apabila cash flow nasabah telah memungkinkan untuk dibebani. d. Perpanjangan Jangka Waktu pembiayaan dan penyesuaian jadwal pelunasan pokok pembiayaan Universitas Sumatera Utara Yakni pemberian keringanan kepada nasabah berupa perpanjangan jangka waktu pembiayaan serta penyesuaian jadwal pelunasan pokok pembiayaan yang meliputi periode pelunasan dan jumlah anggsuran pokok pembiyaan sesuai dengan kemampuan cash flow nasabahmudharib. e. Penambahan Fasilitas Pembiyaan Penambahan Fasilitas Pembiyaan dimaksukan untuk membantu nasabah Mudharib dalam memulihkan kembali aktifitas usahanya, kepada mudharib nasabah dapat diberikan tambahan fasilitas pembiayaan baru dengan ketentuan pemberian pembiayaan baru tersebut harus memenuhi ketentuan pemberian pembiayaan secara normal antara lain nisbah bagi hasilnya normal dan kepada nasabah diupayakan untuk menyerahkan jaminan tambahan yang cukup. f. Pengambil alihan Asset Nasabah untuk Pelunasan Pokok Pembiayaan Pengambil alihan asset nasabah sebahagian atau seluruh asset nasabah untuk pelunasan pokok pembiayaan sebahagian atau seluruh kewajibannya. Pengambila alihan asset tersebut harus diperhitungkan sesuai dengan nilai pasar yang wajar. g. Konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan atau usaha nasabahmudharib Konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan atau usaha nasabahmudharib hal ini dapat dilakukan dengan cara mengkonversikan pembiayaan yang dinikmati nasabahmudharib mejadi penyertaan modal bank pada perusahaanusaha mudharib dengan batas waktu tertentu. Disamping cara Universitas Sumatera Utara diatas Restrukturisasi pembiayaan juga dapat dilakukan dengan penyertaan modal bank pada perusahaan mudharib Peraturan Bank Indonesia Nomor 821PBI2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 2 ayat 2 menetapkan kualitas pembiayaan menjadi 5 golongan yakni : - Lancar - Dalam perhatian khusus - Kurang lancar - Diragukan dan - Macet Selanjutnya pasal 9 ayat 3 menegaskan bahwa penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: 1 Ketepatan pembayaran pokok dan marjinbagi hasilfee; 2 Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; 3 Kelengkapan dokumentasi Pembiayaan; 4 Kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan; 5 Kesesuaian penggunaan dana; dan 6 Kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Universitas Sumatera Utara Menurut ketentuan Pasal 13 ayat 1 dan 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 821PBI2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pembiayaan macet diselesaikan dengan angsuran : 84 Pasal 10 Undang-undang RI No.10 Tahun 1998 mengatur sepenuhnya sistem pembayaran atau pengembalian pinjamanpembiayaan seperti berikut: 85 Pasal 10 Tentang besar potongan cicilan 1. Dalam pembiayaan murabahah Bank dapat memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran hanya kepada nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu danatau nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. 2 Besar potongan Murabahah kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan dalam Akad dan diserahkan kepada kebijakan Bank. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan 84 Pembayaran angsuran pokok Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 1 dapat diangsur selama jangka waktu Pembiayaan sesuai dengan kesepakatan antara Bank dan nasabah. 2 Apabila jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah lebih dari satu tahun, pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib diangsur secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk cash inflow usaha nasabah, Peraturan Bank Indonesia Nomor 821PBI2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal 12. ayat 1 dan 2 85 Pasal 10 Undang-undang RI No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, pasal 10 sd 18. Universitas Sumatera Utara berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 86 Pasal 11 Tentang batas maksimum pemberian kredit atau pinjaman 1 Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 2 Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada a. Pemegang saham yang memiliki 10 sepuluh perseratus atau lebih dari modal disetor bank; b. Anggota dewan komisaris; c. Anggota direksi;d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a, huruf b, dan huruf c;e. Pejabat bank lainnya; danf.Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, 86 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,pasal 11 Universitas Sumatera Utara dan huruf e.4A Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4. Dari ketentuan-ketentuan perbankan syariah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa besarnya pembiayaan tidak terbatas, bergantung kepada kebutuhan dan jaminan yang diberikan oleh nasabah. Dan karena bank syariah dilarang untuk meminta jaminan termasuk dalam pembiayaan besar, maka untuk mengantisipasi segala bentuk risiko penyimpangan atau ingkar janji, maka bank harus menggunakan prinsip penilaian seperti prinsip kehati-hatian serta studi kelayakan untuk mengetahui kesanggupan bayar nasabah. Dalam hal pengembalian kredit macet, dengan alasan apapun, bank dapat meminta pengganti dana yang dikeluarkannya dengan pencairan jaminanagunan. Selebihnya berkenaan dengan penjaminan, terutama permasalahan administrasi pendaftaran serta pencatatan security attachment, adalah sama sebagaimana penjaminan pada umumnya. Meskipun secara eksplisit, hukum syariah tidak membenarkan meminta jaminan untuk akad yang bertujuan untuk melakukan transaksi berdasarkan kemitraan, namun dalam perbankan syariah, ada akad yang disebut dengan rahn, yang mengandung makna tetap dan tertahan. Artinya, jaminan ini tidak dapat ditarik oleh nasabah sebelum menyelesaikan hutang piutang karena sifatnya tetap dan hanya dicairkan apabila diperlukan untuk mengganti dana yang sudah sempat dikeluarkan Universitas Sumatera Utara oleh bank. Dengan demikian, fungsi jaminan bila terjadi pembayaran macet dalam pembiayaan murabahah hanyalah sebagai pengganti dana yang sudah sempat dikeluarkan oleh bank kepada nasabah atau debitor. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa jaminan eksekutorial juga berfungsi khusus jika terjadi kredit macet, dimana hukum menyediakan suatu cara tertentu yang khusus jika kreditur ingin melakukan eksekusi jaminan dan jaminan non-eksekusi khusus yakni jaminan kredit yang tidak mempunyai cara-cara khusus dalam eksekusinya, sehingga jika mau dieksekusi tunduk kepada eksekusi yang berlaku umum, yaitu lewat pengadilan biasa dengan prosedur biasa. Pada prinsipnya pembiayaan macet merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam akad pembiayaan murabahah yang dapat menimbulkan konflik hukum tetapi pada umumnya kedua belah pihak selalu berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah menurut ajaran Islam. Namun apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, Pengadilan Negeri tidak menggunakan Syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaikan perkara perbankan Islam yang menggunakan prinsip hukum Ekonomi Islam, sedangkan wewenang pengadilan Agama terbatas pada memeriksa dan mengadili perkara- perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah walaupun Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membuka masuknya sengketa dalam bidang ekonomi di pengadilan agama dengan asas personalitas. Namun karena perangkat yang ada belum siap menerima hal yang selain dari wewenang yang disebutkan di atas. Universitas Sumatera Utara Dalam penanganan kredit macet, ada perbedaan fungsi jaminan dalam bank syariah dan bank konvensional yakni dalam bank syariah,fungsi jaminan adalah untuk memberi jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: 1. Milik nasabah sendiri 2. Jelas ukuran, sifat dan nilainya, ditentukan berdasar nilai riil pasar 3. Dapat dikuasai, tapi tak boleh dimanfaatkan oleh bank, sedangkan dalam bank konvensional, jaminan dapat dimanfaatkan oleh bank 87 Dari penjelasan di atas jelas bahwa jaminan tidak boleh dijual oleh bank. Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini kasusnya selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 32006 tentang Peradilan Agama perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu bidang: Perkawinan, Kewarisan yang meliputi juga wasiat dan hibah dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 71989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No 32006. 87 Hosen,M.N. “Buku Saku Perbankan Syariah” Direktur Eksekutif PKES. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah. Jakarta, Nopember 2005,h.12 Universitas Sumatera Utara Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu dilakukan amandemen. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara ortang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syariah. Pengadilan Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan konvensional. Maka sangat aneh, jika masalah syariah diselesaikan secara konvensional, bukan secara syariah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 71989 ini, penegakan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek BW, kitab Undang-Undang Hukum Sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktik formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW. 88 Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan transaksi ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga- 88 Ibid,h.13-14 Universitas Sumatera Utara lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ketiga BW Burgerlijk Wetboek yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan. Amandemen ini memang dirasakan sangat penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syariah bergerak cepat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, lembaga keuangan mikro syariah BMT, pergadaian syariah, dsb. Selama ini, banyak kasus sengketa ditangani oleh Basan Arbitrase Syariah Nasioal Basyarnas, sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara ”terpaksa” harus memilih lembaga Basyarnas untuk menyelesaikannya. Setiap draft kontrak syariah telah memuat klausul Basyarnas. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh pengadilan negeri, bukan Pengadilan Agama Syariah. Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999. Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya UU No 32006. Dengan kata lain, Undang-Undang Arbitrase harus diamandemen. Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 ini juga membawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syariah saat ini. Dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan amandemen ini maka klasul tersebut seharusnya dihapuskan Universitas Sumatera Utara dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah harus diubah. Klausul tersebut juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh fatwa DSN MUI. 89 Dalam fatwa DSN MUI dan PBI disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PBI yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya. Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta merta kehilangan peran, sebab jika para pihak memilih badan ini menyelesaikan kasusnya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga arbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada Undang-Undang No 32006. Tetapi, setelah Undang-Undang No32006 lahir, maka lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi monopoli lembaga arbitrase. Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat memilih Lembaga Badan Arbitrase. Klausul keharusan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah sebuah kesalahan fatal. Sama fatalnya, jika setiap transaksi bisnis nonsyariah harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase konvensional yang disebut BANI, bukan Pengadilan Umum. Dengan keluarnya UU No 32006, ada lima masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian. Pertama, jika terjadi sengketa di bidang ekonomi syariah, penyelesaian perkaranya tidak boleh dibatasi hanya oleh lembaga arbitrase syariah Basyarnas. Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di 89 Ibid, hal.14 Universitas Sumatera Utara lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan Arbitrase Syariah nasional, hendaknya dihilangkan. Kedua, seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini hanya memahami hukum-hukum keluarga al-ahwal asy-syakhsyiah perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia IAEI siap melakukannya bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan workshop dan training tersebut. Ketiga, Dalam RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara SBSN yang akan segera disahkan harus dimasukkan sebuah pasal yang menyebutkan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam masalah perbankan syariah, harus diselesaikan di Peradilan Agama. Keempat, dengan disahkannya UU No.32006 ini, maka semua perundang- undangan yang terkait harus menyesuaikan diamandemen, walaupun pasal yang diamendemen hanya satu pasal. UU yang perlu dimandemen tersebut antara lain : 1. Undang-Undang Arbitrase, 2. Undang-Undang Pasar Modal, 3. Undang-Undang tentang Asuransi, 4. Undang-Undang tentang Pegadaian, 5. Undang-Undang No 172000 tentang PPn, dsb. 6. Undang-Undang Resi Gudang,dsb Kelima, diperlukan perubahan penambahan materi Kompilasi Hukum Islam KHI yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum Islam, yaitu perkawinan, Warisan dan Waqaf. Universitas Sumatera Utara KHI yang menjadi rujukan hukum para hakim agama itu perlu menambah materi hukum ekonomi Islam muamalah. Dalam hal penyelesaian masalah termasuk pembiayaan macet, Arbitrase Muamalat Indonesia ini memiliki keunggulan-keunggulan, dibandingkan dengan arbitrase lainnya. Keunggulan Abitrase adalah : Pertama, Arbitrase Islam memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab. Kedua, proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah, karena terdapat putusan arbitrase hakikat keputusan itu mengadung janji dan setiap janji itu harus ditepati. Ketiga, di dalam proses arbitrase pada hakikatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang. Keempat khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank BNI Syariah dan memberikan peluang bagi berlakunya hkum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara. Sejak didirikan 2003 lalu, sengketa yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas terhitung hanya belasan. Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamallah Indonesia BAMUI, yang didirikan pertama kali pada 1993. Pendirian BAMUI ini merupakan tindak lanjut rekomendasi Rakernas Majelis Ulama Indonesia MUI 1992. Selanjutnya, pada Rakernas 2002 MUI merekomendasikan agar nama BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia. Universitas Sumatera Utara Pada prinsipnya tidak ada perbedaan dengan lembaga serupa seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia dimana peraturan prosedur yang disusun oleh lembaga ini mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, sampai putusan tetap mengacu pada Undang-Undang Arbitrase. Untuk biaya perkara, pihak yang bersengketa akan dikenakan biaya pendaftaran, biaya pemeriksaan, dan honor arbiter. Dan apabila ada pihak yang tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, Basyarnas akan mendaftarkan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri. Secara rinci, fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional tentang ketidaksanggupan bayar bagi nasabah adalah: Lembaga Keuangan Syariah LKS boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikanmelunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan: - Obyek murabahah dan atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati; - Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan; - Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah; - Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah; - Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka LKS dapat membebaskannya. Universitas Sumatera Utara Dan bila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional adalah : 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan,akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Dari ketentuan fatwa tersebut di atas, terlihat secara jelas peranan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang sangat menentukan dalam penyelesaian setiap konflik atau sengketa yang terjadi dalam aktivitas perbankan syariah. Dengan demikian jelas bahwa sebelum adanya mandat baru bagi Peradilan Agama PA untuk menyelesaikan sengketa mengenai masalah muamalah, penyelesaian konflik diberikan kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI dan Basyarnas Badan Arbitrase Syariah Nasional. Dari penjabaran tentang fungsi jaminan dalam pembiayaan murabahah, dapat disimpulkan bahwa fungsi jaminan hanya bersifat mengikat apabila terjadi pembayaran macet yakni sebagai pengganti dana yang sudah sempat dikeluarkan pihak bank kepada nasabah atau kreditor. Sedangkan dalam melakukan transaksi, Universitas Sumatera Utara fungsi jaminan tidak mengikat untuk membeli, sehingga bank syariah sangat berrisiko, antara lain : - Tidak ada jaminan bagi bank syariah seandainya pembeli membatalkan transaksi. - Bank syariah mengalami risiko kerugian karena penurunan nilai barang tersebut akibat cacat atau rusak selama masa penyimpanan. Untuk mengantisipasi risiko lebih jauh, beberapa bank Islam menggunakan urboun jumlah uang yang dibayar di muka kepada penjual. Jika pembeli memutuskan untuk menyempurnakan transaksi dan mengambil aset itu maka urboun akan dianggap sebagai harga yang dibayar dimuka. Jika tidak, maka urboun akan ditahan oleh penjual. Oleh karena itu, dalam hal urboun, pembeli mengambil jumlah keseluruhan dari urboun itu, apakah lebih atau kurang dari kerusakan. Universitas Sumatera Utara

BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MELAKUKAN EKSEKUSI GROSSE

AKTA PENGAKUAN HUTANG OLEH BANK A. Perlindungan Hukum Grosse Akta Kepada Kreditur Pada dasarnya grosse suatu akta merupakan suatu salinan dari akta notaris yang mempunyai title eksekutorial, yakni kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Perbedaannya ialah terletak pada adanya irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada kepala suatu grosse akta. Agar grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial, maka harus mempunyai syarat formal dan syarat materil. Menurut pendapat Edhi Siswoko sebagaimana dikutipVictor M. Situmorang, yang menjadi syarat formal terhadap suatu grosse akta adalah: 1. Grosse akta itu harus berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2. Dibawah grosse akta itu harus dicantumkan kata-kata ‘Diberikan Sebagai Grosse Akta Pertama” 3. Dicantumkan pula nama orang yang mana atas permintaannya grosse akta ini diberikan. 4. Dicantumkan pula tanggal pemberian grosse akta tersebut. 120 Adapun syarat materilnya adalah hanya grosse akta notaris yang berisi pengakuan hutang, hipotik hak tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. 120 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit., hal. 43. Universitas Sumatera Utara