b. Bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan
Jahat Jual-Beli Narkotika.
D. Keaslian Penulisan Skripsi  yang  berjudul  Penerapan  Undang-Undang  No.  35  Tahun  2009
tentang Narkotika  terhadap Tindak  Pidana  Permufakatan  Jahat Jual-Beli Narkotika
Analisis Putusan
Pengadilan Negeri
: No.
675Pid.B2010PN.Mdn dan Putusan No. 1.366Pid.B2011PN.Mdn adalah
benar  karya  penulis.  Sehubungan  dengan keaslian  judul  skrisi,  Penulis  telah melakukan  pengecekkan  pada  perpustakaan  Fakultas  Hukum  Universitas
Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Ditinjau dari materi Permasalahan yang ada dan materi Penulisan Skripsi ini, sejauh ini belum pernah didapati dan dilihat kesamaan masalah seperti pada
penulisan skripsi ini. Dalam menyusun karya ilmiah ini pada prinsipnya Penulis membuatnya  dengan  dasar-dasar  yang  sudah  ada  baik  melalui  literatur yang
Penulis  peroleh  dari  perpustakaan  ditambah  menelaah  studi  kasus  Putusan Pengadilan Negeri Medan.
Bila  ternyata  di  kemudian  hari  di  temukan  skripsi  yang  sama  sebelum skripsi ini dibuat, Penulis siap bertanggung jawab sepenuhnya untuk diuji.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
E. Tinjauan Pustaka 1. Tindak Pidana dan Pemidanaan
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van
Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa  yang  dimaksud  dengan  straafbaar  feit itu.  Karena  itu,  para  ahli  hukum
berusaha  memberi  arti  dari  istilah  tersebut  walau sampai  saat  ini  belum  ada kesegaraman pendapat.
23
Kata  strafbaarfeit kemudian  diterjemahkan  dalam  berbagai  terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan
kata  strafbaarfeit oleh  sarjana-sarjana  Indonesia  antara  lain  :  tindak  pidana, delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri
digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.
24
Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :
25
1.  Peristiwa  pidana,  istilah  ini  antara  lain  digunakan  dalam  Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.
2.  Perbuatan  pidana,  istilah  ini  digunakan  dalam  Undang-Undang  Nomor  1 Tahun  1951  tentang  Tindakan  Sementara  untuk  meyelenggarakan  kesatuan
susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
23
Adami  Chazawi,  Pelajaran  Hukum  Pidana  1,  PT  Rajagrafindo  Persada,  Jakarta, 2001, halaman  67.
24
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia  Dalam  Perspektif  Pembaharuan, UMM Press,  Malang,  2009,  halaman 101.
25
Ibid., halaman 102.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.  Perbuatan-perbuatan  yang  dapat  dihukum,  istilah  ini  digunakan  dalam Undang-Undang  Darurat  Nomor  2  Tahun  1951  tentang  Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen. 4.  Hal  yang  diancam  dengan  hukum,  istilah  ini  digunakan  dalam  Undang-
Undang  Darurat  Nomor  16  Tahun  1951  tentang  Penyelesaian  Perselisihan Perburuhan.
5.  Tindak  Pidana,  istilah  ini  digunakan  dalam  berbagai  undang-undang, misalnya :
a. Undang-Undang  Darurat  Nomor  7  Tahun  1953  tentang  Pemilihan Umum.
b. Undang-Undang  Darurat  Nomor  7  Tahun  1953  tentang  Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam  Rangka  Pemasyarakatannya  bagi  Terpidana  karena  melakukan
tindak pidana yang merupakan kejahatan. Mengenai  apa  yang  diartikan  “strafbaar  feit”,  para sarjana  Baratpun,
memberikan pengertianpembatasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut :
26
a. Perumusan Simons Simons  merumuskan  :  “Strafbaar  feit”
adalah  suatu  handeling tindakanperbuatan yang  diancam  dengan  pidana  oleh  undang-undang,
26
E.Y  Kanter  dan  S.R  Sianturi,  Asas-Asas  hukum  Pidana  Di  Indonesia  dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, halaman 204-205.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bertentangan  dengan  hukum  onrechtmatig  dilakukan  dengan  kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
b. Perumusan Van Hamel Van  Hamel  merumuskan : “Strafbaar  feit”  itu  sama  dengan  yang
dirumuskan  oleh  Simons,  hanya  ditambahkannya  dengan  kalimat  “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.
c. Perumusan Vos Vos  merumuskan  :  “Strafbaar  feit”  adalah  suatu  kelakuan  gedraging
manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d.
Perumusan Pompe Pompe  merumuskan  :  “Strafbaar  feit”  adalah  suatu  pelanggaran  kaidah
penggangguan ketertiban hukum  terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk  mana  pemidanaan  adalah  wajar  untuk  menyelenggarakan  ketertiban
hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Tindak pidana mengadung unsur-unsur sebagai berikut :
27
a. Perbuatan b. Yang dilarang oleh aturan hukum
c. Ancaman pidana bagi yang melanggar Dari  uraian  unsur  tindak  pidana  diatas,  maka  yang  diarang  adalah
perbuatan  manusia,  yang  melarang  adalah  aturan  hukum.  Berdasarkan  uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah perbuatan itu, tetapi tidak
dipisahan  dari  orangnya.  Ancaman  diancam  dengan  pidana  menggambarkan
27
Andi  Hamzah,  Sistem  Pidana  dan  Pemidanaan  Indonesia,  Pradyana  Paramitha, Jakarta, 1993, halaman 1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bahwa  seseorang  itu  dipidana  karena  melakukan  perbuatan  yang  dilarang  oleh hukum.
Berdasarkan  Pasal  1  Ayat  1 KUHP  seseorang  yang  melakukan  tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :
a. Ada norma pidana tertentu b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang
c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi Dengan  perkataan  lain,  bahwa  tidak  seorangpun  karena  suatu  perbuatan
tertentu,  bagaimnapun  bentuk  perbuatan  tersebut  dapat  dihukum  kecuali  telah ditentukan  suatu  hukuman  berdasarkan  undang-undang  terhadap  perbuatan  itu.
Jadi  syarat  utama dari adanya  “perbuatan  pidana” adalah  kenyataan bahwa  ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang
melanggar larangan tersebut. Istilah pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari
kata straft. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama dengan  hukuman.  Menurut  Andi  Hamzah,  hukuman  adalah  suatu  pengertian
umum,  sebagai  suatu  sanksi  yang  menderitakan  atau  nestapa  yang  sengaja ditimpakan  kepada  seseorang.  Sedangkan  pidana  merupakan  siatu  pengertian
khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.
28
Berbicara  mengenai  tindak  pidana  tentu  tidak  terlepas  dari  pembicaraan mengenai  pemidanaan. Pemidanaan  berasal  dari  kata  “pidana”  yang  sering
28
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diartikan  pula  dengan  hukuman.  Jadi  pemidanaan  dapat  pula  diartikan  dengan penghukuman.
Pemidanaan  atau  pengenaan  pidana  berhubungan  erat  dengan  kehidupan seseorang di dalam masyarakat terutama apabila menyangkut kepentingan benda
hukum  yang  paling    berharga  bagi  kehidupan  di  masyarakat,  yaitu  nyawa  dan kemerdekaan atau kebebasannya.
29
Sehubungan  dengan  pengertian  pemidanaan  ada  beberapa  pendapat  yang memberikan pengertianpembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.
Sudarto mengatakan bahwa : “Perkataan
pemidanaan  sinonim dengan  istilah
‘penghukuman’. Penghukuman sendiri  berasal  dari kata ‘hukum’, sehingga dapat  diartikan
sebagai  menetapkan  hukum  atau  memutuskan  tentang  hukumannya berechten. Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam
lapangan  hukum  pidana  saja  tetapi  juga  bidang  hukum  lainnya.  Oleh karena  istilah  tersebut  harus  disempitkan  artinya,  yakni  penghukuman
dalam  perkara  pidana  yang  kerap  kali  sinonim  dengan  pemidanaan  atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.
30
Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan dapat  diartikan  sebagai  penetapan  pidana  dan  tahap  pemberian  pidana.  Tahap
pemberian  pidana  dalam  hal  ini  ada  dua  arti,  yaitu  dalam  arti  luas  yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum
pidana. Arti  konkret,  yang  menyangkut  berbagai  badan  yang  mendukung  dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.
29
Djoko  Prakoso  dan  Nurwachid,  Studi  Tentang  Pendapat-Pendapat  Mengenai Efektivitas  Pidana  Mati  Di  Indonesia  Dewasa  Ini,  Ghalia  Indonesia,  Jakarta  Timur,  1985,
halaman. 13.
30
P.A.F.  Lamintang,  Hukum  Pidana  I  Hukum  Pidana  Material  Bagian  Umum,  Bina Cipta, Bandung, 1987, halaman 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah  pengenaan  secara sadar dan matang  azab  oleh  instansi  penguasa  yang  berwenang  kepada  pelaku  yang
bersalah melanggar suatu aturan hukum.
31
Ted  Honderich  dalam  Teguh  Prasetyo  dan  Abdul  Halim  Berkatullah berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu :
32
a. Pemidanaan  harus  mengandung  kehilangan  deprivation  atau kesengsaraan  distress,  yang  biasanya  secara  wajar  dirumuskan
sebagai  sasaran  dari  tindakan  pemidanaan.  Unsur ini  merupakan kerugian  atau  kejahatan yang  derita  oleh  subjek  yang  menjadi  korban
akibat  tindakan  subjek  lain.  Tindakan  subjek  lain  tersebut  dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum
yang berlaku sah.
b. Pemidanaan  datang  dari  institusi  yang  berwenang  secara  hukum.  Jadi pemidanaan  tidak  merupakan  konsekuensi  alamiah  suatu  tindakan,
melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa,  oleh  karena  itu  pemidanaan  bukan  tindakan  balas  dendam
terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
c. Penguasa  yang  berwenang,  berhak  untuk  menjatuhkan  pidana  hanya kepada  subjek  yang  telah  terbukti  secara  sengaja  melanggar  hukum
atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Pada  dasarnya  terdapat  tiga  pokok  pemikiran  tentang  tujuan  yang  ingin
dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
33
a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri b. Membuat orang menjadi jera melakuan kejahatan-kejahatan
c. Membuat  penjahat-penjahat  tertentu  menjadi  tidak  mampu  untuk melakukan  kejahatan-kejahatan  yang lain,  yakni penjahat-penjahat
yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Salah  satu  cara  untuk  mencapai  pemidanaantujuan  hukum  pidana  adalah
“menjatuhkan  pidana  terhadap  seseorang  yang  telah  melakukan  tindak  pidana”
31
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 7.
32
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, halaman 34-35.
33
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, halaman 31.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan pidana itu dasarnya adalah merupakan “suatu penderitaan atau nestapa yang disengaja  dijatuhkan  negara  kepada  mereka  atau  seseorang  yang  telah
melakukan tindak pidana”.
34
Untuk  memperoleh  pembenaran  terhadap  sistem  pemidanaan  maka  harus diberikan ukuran apakah perbuatan pemidanaan itu dapat dibenarkan atau dapat
dihindarkan. Cara yang tepat adalah dengan menunjukan fakta bahwa perbuatan itu  adalah  benar  atau  perbuatan  itu  tidak  benar.  Sebagai  contoh,  pemidanaan
terhadap pembunuhan dalam keadaan perang, atau pada waktu terjadi hura-hura berdarah,  maka  dalam  hal  ini  tidak  diperlukan  dasar  pembenaran.  Akan  tetapi
lain  halnya  jika  terjadi  pembunuhan  karena  ada dendam  atau  terhadap  lawan politik, maka secara fakta harus dicari dasar pembenaran atas pemidanaannya.
Dengan  demikian  sepanjang  pemidanaan  dapat  menunjukkan  adanya kepentingan,  maka  pemidanaan  dapat  dikatakan  dasar  pembenarannya.  Tetapi
sepanjang  tidak dapat  menunjukkan  kepentingannya,  maka  pemidanaan dikatakan tidak berguna useless.
35
Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yaitu :
36
a. Teori absolut atau mutlak Menurut  teori absolut  ini,  setiap  kejahatan  harus diikuti  dengan  pidana,
tidak  boleh  tidak,  tanpa  tawar  menawar.  Seseorang  mendapat  pidana  kerana telah  melakukan  kejahatan.  Tidak  dilihat  akibat-akibat  apa  apapun  yang
34
Ibid.
35
Soejono,  Kejahatan  dan  Penegakan  Hukum  Di  Indonesia, Rineka  Cipta,  Jakarta, 1996, halaman.  36.
36
Wirjono  Prodjodikoro, Asas-Asas  Hukum  Pidana  Di  Indonesia,  PT  Refika
Aditama,  Bandung, 2003,  halaman 23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mungkin  timbul  dari  dijatuhkannya  pidana.  Tidak  dipedulikan,  apaah  mungkin dengan  demikian  masyarakat  mungkin  akan  dirugikan.  Hanya  dilihat  ke  masa
lampau, tidak dilihat ke masa depan. Hutang  pati,  nyaur  pati;  hutang  lara,  nyaur  lara yang  berarti  :  si
pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. b. Teori relatif atau nisbi
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana.  Untuk  itu,  tidaklah  cukup  adanya  suatu  kejahatan,  tetapi  harus
dipersoalkan  perlu  dan  manfaatnya  suatu  pidana  bagi  mayarakat,  atau  bagi  si penjahat  sendiri.  Tidak  saja  dilihat  pada  masa  lampau,  tetapi  juga  pada  masa
depan. Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan
pidana  saja.  Dengan  demikian,  teori  ini  juga  dinamakan  dengan  teori  “tujuan” doel  theorien.  Tujuan  ini  pertama-tama  harus  diarahkan  kepada  upaya  agar
kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi prevensi. Prevensi  ini  ada  dua  macam,  yaitu  prevensi  khusus  atau  special  dan
prevensi  umum  atau  general.  Keduanya  berdasar  atas  gagasan  bahwa mulai dengan  ancaman  akan  dipidana  dan  kemudian  dengan  dijatuhkannya  pidana
orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam  prevensi  khusus,  hal  membuat  takut  ini  ditujukan  kepada  si
penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua juga takut akan menjalankan kejahatan.
37
37
Ibid., halaman 25.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jika  menurut  teori  relatif  atau  teori  tujuan  ini  menjatuhkan  pidana bergantung  kepada  pemanfaatannya  kepada  masyarakat,  maka  terdapat
konsekuensi sebagai berikut. Untuk  mencapai  tujuan  prevensi  atau  “memperbaiki  si  penjahat”,  tidak
hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana tetapi secara positif dianggap  baik  bahwa  pemerintah  mengambil  tindakan  yang  tidak  bersifat
pidana.
38
Tindakam ini misalnya berupa mengawasi saja stindak-tanduk si  penjahat atau  menyerahkannya  kepada  suatu  lembaga  swasta  dalam  bidang  sosial  untuk
menampung orang-orang yang perlu dididik  menjadi anggota masyarakat yang berguna beveilingings maatregelen.
39
c. Teori gabungan Di samping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian
muncul  teori  ketiga  yang  di  satu  pihak  mengakui  adanya  unsur  “pembalasan” vergelding  dalam  hukum  pidana.  Akan  tetapi  di  pihak  lain,  mengakui  pula
unsur  prevensi  dan  unsur  memperbaiki  penjahat  yang  melekat  pada  tiap pidana.
40
Teori  ini  merupakan  gabungan  dari  teori  pertama  dengan  teori  kedua. Pemidanaan  dijatuhkan  kepada  pelaku  dengan  melihat  pada  unsur-unsur
prevensi  dan  unsur  memperbaiki  penjahat  yang  melekat  pada  tiap-tiap pemidanaan  pidana.  Pidana  adalah  pembalasan  tetapi  tidak  boleh  memberikan
38
Ibid., halaman 26.
39
Ibid, halaman 27.
40
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pidana  lebih  dari  apa  yang  semestinya,  seimbang  dengan  berat  ringannya kejahatan.
41
2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika
Narkotika atau obat bius ialah semua bahan-bahan obat, baik yag berasal dari  bahan  alam  ataupun  yang sintesis  yang  mempunyai  effek  kerja  yang  pada
umumnya : a. Membiuskan dapat menurunkan kesadaran
b. Merangsang menimbulkan kegiatan-kegiatanprestasi kerja c. Ketagihan ketergantungan, mengikat
d. Mengkhayal menimbulkan daya khayalan, halusinasi Semua  narkotika  termasuk  obat-obat  kerasberbahaya,  kerena  daya
kerjanya  keras  dan  dapat  memberi  pengaruh  merusak  terhadap fisik  dan psikis manusia  bahkan  sangat  membahayakan  manusia  jika  disalahgunakan.  Oleh
karena itu penggunaan obat-obat tersebut untuk keperluan pengobatan haruslah dengan resep dokter.
42
Narkotika  merupakan  zat  atau  obat  yang  sangat  bermanfaat  dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan atau
digunakan  tidak  sesuai  dengan  standar  pengobatan  dapat  menimbukan  akibat yang  sangat  merugikan  bagi  perorangan  atau  masyarakat  khususnya  generasi
muda.  Hal  ini  akan  lebih  merugikan  jika  disertai  dengan  penyalahgunaan  dan
41
Soejono, op.cit., halaman. 38.
42
Dinas  Penerangan  Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  Badan  Penanggulangan Kenakalan  Remaja  dan  Narkotika,  Menanggulangi  Bahaya  Narkotika,  Alda  Dharma  Bakti,
Jakarta, 1985, halaman 15.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
peredaran  gelap  narkotika  yang  dapat  mengakibatkan  bahaya  yang  lebih  besar bagi  kehidupan  dan  nilai-nilai  budaya  bangsa  yang  pada  akhirnya  dapat
melemahkan ketahanan nasional. Untuk  mencegah  dan  memberantas  penyalahgunaan  dan  peredaran  gelap
narkotika  yang  sangat  merugikan  dan  membahayakan  kehidupan  masyarakat, bangsa,  dan  Negara,  pada  Sidang  Umum  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat
Republik  Indonesia  Nomor  VIMPR2002  telah  merekomendasikan  kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia
untuk  melakukan  perubahan    atas  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  1997 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Perubahan  undang-undang  tersebut  dikarenakan  tindak  pidana  narkotika tidak  lagi  dilakukan  secara  perseorangan,  melainkan  melibatkan  banyak  orang
yang  secara  bersama-sama,  bahkan  merupakan  satu  sindikat  yang terorganisasi dengan  jaringan  yang  luas  yang  bekerja  secara  rapi dan  sangat  rahasia  baik  di
tingkat  nasional  maupun  internasional,  hal  ini  juga  untuk    mencegah  adanya kecendrungan yang semakin  meningkat  baik secara kuantatif  maupun kualitatif
dengan  korban  yang  meluas  terutama  di  kalangan  anak-anak,  ramaja,  dan generasi  muda  pada  umumnya,  selain  itu,  untuk  melindungi  masyarakat  dari
bahaya  penyalahgunaan  narkotika  dan  mencegah  serta  memberantas  peredaran gelap  narkotika,  dalam  undang-undang  ini  diatur  juga  mengenai  prekusor
narkotika  kerena  prekusor  narkotika  merupakan  zat  atau  bahan  pemula  atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika .
43
43
AR. Sujono dan Bony Daniel, op.cit.,  halaman  59-60.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam  ketentuan  umum  Undang-Undang  Nomor  35  tahun  2009, definisi narkotika  adalah  zat  atau  obat  yang  berasal  dari  tanaman  atau  bukan  tanaman,
baik  sintetis  maupun  semisintetis,  yang  dapat  menyebabkan  penurunan  atau perubahan  kesadaran,  hilangnya  rasa,  mengurangi  sampai  menghilangkan  rasa
nyeri,  dan  dapat  menimbulkan  ketergantungan,  yang  dibedakan  ke  dalam golongang-golongan  sebagaimana  terlampir  dalam  undang-undang  tersebut.
Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat  digunakan  dalam pembuatan  narkotika  yang  dibedakan  dalam tabel
sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut. Narkotika  dibagi  dalam  tiga  golongan  yaitu  :  narkotika  golongan  I,
narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan dan  dijadikan  sebagai  lampiran  yang  tidak  terpisahkan  dari  undang-undang
tersebut.  Dikemudian  hari  masih  memungkinkan  adanya  perubahan  golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Narkotika  golongan  I  dilarang  digunakan  untuk  kepentingan  pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan  pengembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dan  untuk reagensia  diagnostik,  serta  reagensia  laboratorium  setelah  mendapatkan
persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sedangkan narkotika golongan II dan III dapat digunakan untuk kepentingan medis  yang  penggunaannya  diatur  melalui  Peraturan  Menteri  Kesehatan.  Oleh
karena  itu,  untuk  kepentingan  pengobatan  dan  berdasarkan  indikasi  medis,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas  dan  sediaan  tertentu  kepada  pasien  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan. Sehubungan  dengan  upaya  pengobatan,  pasien  dapat memiliki,  menyimpan,  danatau  membawa  narkotika  untuk  dirinya  sendiri  dan
harus  mempunyai  bukti  yang  sah  bahwa  narkotika  yang  dimiliki,  disimpan, danatau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
44
3. Kebijakan penanggulangan Kejahatan
Secara  gradual  dan  fundamental,  terminologi  “kebijakan”  berasal  dari istilah  policy inggris  atai  politiek belanda.  Terminologi  itu  dapat  diartikan
sebagai  prinsip-prinsip  umum  yang  berfungsi  untuk  mengarahkan  pemerintah dalam  arti  luas  termasuk  penegak  hukum  dalam  mengelolah,  mengatur  atau
menyelesaikan  urusan-urusan  publik,  masalah-masalah  mayarakat  atau  bidang- bidang  penyusunan  peraturan  perundang-undangan  dan  mengalokasikan
hukumperaturan  dengan  suatu  tujuan  umum  yang  mengarah  pada  upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat warga negara.
45
Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari “prilaku meyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. terhadap
masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan yang tertua ini telah banyak usaha-usaha  penanggulangan  yang  dilakukan  dengan  berbagai  cara.  Salah  satu
44
http:gunarta.blogdetik.com20100504konsekuensi-bagi-pelaku-penyalahgunaan- narkotika-dan-prekursor-narkotika diakses pada Selasa, 04 Mei 2010
45
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambantan, Jakarta, 2007, halaman 26.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
usaha  pencegahan  dan  pengendalian  kejahatan  itu  ialah  menggunakan  hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.
46
Sudarto  menyebutkan  bahwa  kebijakan  penanggulangan  kejahatan  dapat disebut  dengan  kebijakan  kriminal,  kebijakan  kriminal  itu  mempunyai  tiga  arti
yaitu :
47
a. Dalam  arti  sempit,  ialah  keseluruhan  asas  dan  metode  yang  menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam  arti  luas, ialah  keseluruhan fungsi dari  aparatur  penegak  hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;
c. Dalam  arti  paling  luas  yang  beliau  ambil dari  Jorgen  Jopesen  islah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan  resmi,  yang  bertujuan  untuk  menegakkan  norma-norma sentral dari masyarakat.
Beliau  juga  memberikan  pengertian  singkat  bahwa  kebijkan  kriminal merupakan  “suatu  usaha  yang  rasional  dari  masyarakat  dalam  menanggulangi
kejahatan”. Kebijakan  atau  upaya  penanggulangan  kejahatan  pada  hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social walfare. Oleh kerena itu
dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan  masyarakat  untuk  mencapai  kesejahteraan  masyarakat”. Dengan
46
Muladi dan  Barda  Nawawi,  Teori-Teori  dan  Kebijakan  Pidana,  Alumni,  Bandung, 1998, halaman 148.
47
Barda Nawawi Arief,  Bunga  Rampai  Kebijakan  Hukum  Pidana,  PT  Citra  Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
demikian  dapatlah  dikatakan,  bahwa  politik  kriminal  pada  hakikatnya  juga merupakan  bagian  dari  integral  sosial  yaitu  kebijakan  atau  upaya  untuk
mencapai kesejahteraan sosial.
48
Kebijakan  penanggulangan  kejahatan  dapat  dilakukan  melalui  dua pendekatan, yaitu pendekatan  penal penerapan hukum pidana  dan pendekatan
non  penal  pendekatan  di  luar  hukum  pidana.  Integrasi  dua  pendekatan  ini diisyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah  masalah sosial  dan  masalah  kemanusiaan.  Oleh  karenanya  upaya
penanggulangan  kejahatan  tidak  hanya  dapat  mengandalkan  penerapan  hukum pidana  semata,  tetapi  juga  melihat  akar  lahirnya  persoalan  kejahatan  ini  dari
persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukakan.
49
Berikut  akan  dijelaskan  dua  pendekatan  kebijakan  penanggulangan kejahatan di atas adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Non-Penal Non-Penal Policy Kebijakan  Penanggulangan  Kejahatan  lewat  jalur  “non  penal”  lebih
bersifat  tindakan  pencegahan  sebelum  terjadinya  kejahatan.  Oleh  karena,  itu sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara  langsung  atau  tidak  langsung  dapat  menimbulkan  atau  menumbuh
suburkan  kejahatan.  Dengan  demikian  dilihat  dari  kebijakan  penanggulangan
48
Ibid., halaman  2.
49
Mahmud  Mulyadi,  Criminal  Policy Pendekatan  Integral  Penal  Policy  dan  Non Penal  Policy  dalam  Penanggulangan  Kejahatan  Kekerasan  , Pustaka  Bangsa  Press,    Medan,
2008, halaman  51.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kejahatan,  maka  usaha-usaha  non  penal  ini  mempunyai  kedudukan  yang strategis  dan  memegang  peranan  kunci  yang  harus  diintensifkan  dan
diefektifkan.
50
Usaha-usaha non-penal  ini misalnya penyantunan  dan penyelidikan  sosial dalam  rangka  mengembangkan  tanggung  jawab  sosial  warga  masyarakat,
penggarapan  kesehatan  jiwa  masyarakat  melalui  pendidikan  moral,  agama  dan sebagainya,  peningkatan  usaha-usaha  kesejahteraan  anak  dan  remaja,  kegiatan
pratoli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya.
Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal itu adalah memperbaiki kondisi- kondisi sosial tertentu.
Dengan  pendekatan  integral  inilah diharapkan  agar  perencenaan  kondisi sosial  benar-benar  dapat  berhasil.  Dan  dengan  demikian  diharapkan  pula
tercapainya  hakekat  tujuan  kebijakan  sosial  yang  tertuang  dalam  rancana pembangunan  nasional  yaitu  “kualitas  lingkungan  hidup  yang  sehat  dan
bermakana.”.
51
2. Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Istilah  “kebijakan”  berasal  dari  bahasa  Inggris  “policy” atau  bahasa
Belanda  “politiek” istilah  ini  dalam  bahasa  Indonesia  sering  diterjemahkan dalam kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga
dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak  terlepas  dari  pembicaraan  mengenai  politik  hukum  secara  keseluruhan
50
Ibid., halaman 55.
51
Muladi dan Barda Nawawi, op.cit., halaman 160.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting utuk dibicarakan tentang politik hukum.
52
Ruang  lingkup  kebijakan  hukum  pidana  ini  sesungguhnya  meliputi masalah  yang  cukup  luas,  yaitu  meliputi  evaluasi  terhadap  substansi  hukum
pidana  yang berlaku  saat  ini  untuk  pembaharuan  substansi  hukum  pidana  pada masa yang  akan  datang,  dan  bagaimana  penerapan  hukum  pidana  ini  melalui
Komponen Sistem Peradilan  Pidana, serta tidak kalah pentingnya adalah  upaya pencegahan  terhadap  kejahatan.  upaya  pencegahan  ini  berarti  bahwa  hukum
pidana  juga  harus  menjadi  salah  satu  instrumen  pencegah  kemungkinan terjadinya  kejahatan.  Upaya  pencegahan  ini  juga  berarti  bahwa  penerapan
hukum  pidana  harus  mempunyai  pengaruh  yang  efektif  untuk  mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.
53
Ada  dua  masalah  sentral  dalam  kebijakan  penanggulangan  kejahatan dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan :
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana b. Sanksi  apa  yang  sabaiknya  digunakan  atau  dikenakan  kepada  si
pelanggar Penganalisaan  terhadap  dua  masalah  di atas  tidak  dapat  dilepaskan  dari
konsepsi bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut di
52
Mahmud Mulyadi ,op.cit., halaman 65.
53
Ibid., halaman  67.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atas  harus pula  diarahkan untuk  mencapai  tujuan-tujuan  tertentu  dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan.
54
Tujuan-tujuan  tertentu yang dimaksudkan  di atas adalah  tujuan  akhir  dari kebijakan  penanggulangan  kejahatan  ialah  “perlindungan  masyarakat”  untuk
mencapai  tujuan  utama  yang  sering  disebut  dengan  berbagai  istilah  misalnya “kebahagiaan warga masyarakatpenduduk”,  kehidupan kultural yang sehat  dan
menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbanagan. Dengan memperhatikan  tujuan-tujuan  tersebut,  maka  wajarlah  apabila
kebijakan  penanggulangan  kejahatan merupakan  bagian  integral  dari  rencana pembangunan nasional.
55
F. Metode Penelitian
Metode  dapat  diartikan  sebagai  suatu  jalan atau  cara  mendapat  sesuatu. Adapun  metode  penelitian  hukum  yang  digunakan  penulis  dalam  mengerjakan
skripsi ini meliputi : 1. Jenis penelitian
Metode  penelitian  yang  digunakan  adalah  metode  penelitian  hukum normatif.  Dalam  penelitian  hukum  normatif  dengan  menganalisis  peraturan
perundang-undangan yang  mengatur  tentang  tindak  pidana  permufakatan  jahat jual beli narkotika dan menganalisis putusan pengadilan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
54
Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., halaman 160.
55
Ibid.,halaman 158.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Data  yang  digunakan  dalam  penulisan  ini  adalah  data  sekunder,  Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan  hukum  primer,  antara  lain  :  Undang-Undang  Nomor  35 Tahun 2009 tentang Narotika, Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana  KUHAP,  Kitab  Undang-undang  Hukum  Pidana  KUHP dan  Peraturan  perundang-undangan  yang  berkaitan  dengan
Narkotika. b. Bahan  hukum sekunder, yaitu berupa buku  yang berkaitan  dengan
permasalahan di dalam skripsi, buku-buku yang berkenaan dengan teori-teori dan kebijakan penanggulangan kejahatan dan studi yang
diperoleh  dari  Pengadilan  Negeri  Medan,  yaitu  putusan  No. 675Pid.B2010PN.Mdn
dan Putusan
No. 1.366Pid.B2011PN.Mdn serta  dari  berbagai  literatur,  majalah,
internet yang kiranya dapat mendukung tulisan penulis. c. Bahan  hukum  tersier,  yakni  bahan  hukum  yang  memberikan
petunjuk  dan  penjelasan  terhadap  bahan  hukum  primer  an sekunder.  Bahan  hukum  tersier  yang  penulis  gunakan  seperti
kamus  hukum,  majalah,  serta  bahan-bahan  di  luar  bidang  hukum yang  relavan  dan  dapat  digunakan  untuk  melengkapi  data  yang
diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 3. Alat Pengumpul Data
Penggumpulan  data  yang  dilakukan  oleh  penulis  dalam  menyelesaikan skripsi  ini  dilakukan  dengan  cara  penelitian  kepustakaan  library  research.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Data yang dipergunakan berupa data sekunder dengan mempelajari literatur dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.
4. Analisis Data Bahan  sekunder  yang  telah  disusun  secara  sistematis  kemudian  dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan  dengan  menerjemahkan  berbagai  sumber  yang  berhubungan  dengan topik  skripsi  ini,  sehingga diperoleh  kesimpulan  yang  sesuai  dengan  tujuan
penelitian yang dirumuskan.
G. Sistematika Penelitian