b. Bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan
Jahat Jual-Beli Narkotika.
D. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika
Analisis Putusan
Pengadilan Negeri
: No.
675Pid.B2010PN.Mdn dan Putusan No. 1.366Pid.B2011PN.Mdn adalah
benar karya penulis. Sehubungan dengan keaslian judul skrisi, Penulis telah melakukan pengecekkan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Ditinjau dari materi Permasalahan yang ada dan materi Penulisan Skripsi ini, sejauh ini belum pernah didapati dan dilihat kesamaan masalah seperti pada
penulisan skripsi ini. Dalam menyusun karya ilmiah ini pada prinsipnya Penulis membuatnya dengan dasar-dasar yang sudah ada baik melalui literatur yang
Penulis peroleh dari perpustakaan ditambah menelaah studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan.
Bila ternyata di kemudian hari di temukan skripsi yang sama sebelum skripsi ini dibuat, Penulis siap bertanggung jawab sepenuhnya untuk diuji.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
E. Tinjauan Pustaka 1. Tindak Pidana dan Pemidanaan
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van
Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit itu. Karena itu, para ahli hukum
berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada kesegaraman pendapat.
23
Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan
kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri
digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.
24
Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :
25
1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.
2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk meyelenggarakan kesatuan
susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
23
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, halaman 67.
24
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2009, halaman 101.
25
Ibid., halaman 102.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen. 4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya :
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum.
b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan
tindak pidana yang merupakan kejahatan. Mengenai apa yang diartikan “strafbaar feit”, para sarjana Baratpun,
memberikan pengertianpembatasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut :
26
a. Perumusan Simons Simons merumuskan : “Strafbaar feit”
adalah suatu handeling tindakanperbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
26
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, halaman 204-205.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bertentangan dengan hukum onrechtmatig dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
b. Perumusan Van Hamel Van Hamel merumuskan : “Strafbaar feit” itu sama dengan yang
dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.
c. Perumusan Vos Vos merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu kelakuan gedraging
manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d.
Perumusan Pompe Pompe merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah
penggangguan ketertiban hukum terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Tindak pidana mengadung unsur-unsur sebagai berikut :
27
a. Perbuatan b. Yang dilarang oleh aturan hukum
c. Ancaman pidana bagi yang melanggar Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang diarang adalah
perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah perbuatan itu, tetapi tidak
dipisahan dari orangnya. Ancaman diancam dengan pidana menggambarkan
27
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradyana Paramitha, Jakarta, 1993, halaman 1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :
a. Ada norma pidana tertentu b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang
c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan
tertentu, bagaimnapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.
Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang
melanggar larangan tersebut. Istilah pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari
kata straft. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama dengan hukuman. Menurut Andi Hamzah, hukuman adalah suatu pengertian
umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan siatu pengertian
khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.
28
Berbicara mengenai tindak pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering
28
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.
Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat terutama apabila menyangkut kepentingan benda
hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.
29
Sehubungan dengan pengertian pemidanaan ada beberapa pendapat yang memberikan pengertianpembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.
Sudarto mengatakan bahwa : “Perkataan
pemidanaan sinonim dengan istilah
‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya berechten. Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam
lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman
dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.
30
Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan dapat diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap
pemberian pidana dalam hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum
pidana. Arti konkret, yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.
29
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985,
halaman. 13.
30
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1987, halaman 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang
bersalah melanggar suatu aturan hukum.
31
Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Berkatullah berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu :
32
a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan deprivation atau kesengsaraan distress, yang biasanya secara wajar dirumuskan
sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang derita oleh subjek yang menjadi korban
akibat tindakan subjek lain. Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum
yang berlaku sah.
b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan,
melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa, oleh karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam
terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum
atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin
dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
33
a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri b. Membuat orang menjadi jera melakuan kejahatan-kejahatan
c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat
yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Salah satu cara untuk mencapai pemidanaantujuan hukum pidana adalah
“menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana”
31
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 7.
32
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, halaman 34-35.
33
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, halaman 31.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan pidana itu dasarnya adalah merupakan “suatu penderitaan atau nestapa yang disengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah
melakukan tindak pidana”.
34
Untuk memperoleh pembenaran terhadap sistem pemidanaan maka harus diberikan ukuran apakah perbuatan pemidanaan itu dapat dibenarkan atau dapat
dihindarkan. Cara yang tepat adalah dengan menunjukan fakta bahwa perbuatan itu adalah benar atau perbuatan itu tidak benar. Sebagai contoh, pemidanaan
terhadap pembunuhan dalam keadaan perang, atau pada waktu terjadi hura-hura berdarah, maka dalam hal ini tidak diperlukan dasar pembenaran. Akan tetapi
lain halnya jika terjadi pembunuhan karena ada dendam atau terhadap lawan politik, maka secara fakta harus dicari dasar pembenaran atas pemidanaannya.
Dengan demikian sepanjang pemidanaan dapat menunjukkan adanya kepentingan, maka pemidanaan dapat dikatakan dasar pembenarannya. Tetapi
sepanjang tidak dapat menunjukkan kepentingannya, maka pemidanaan dikatakan tidak berguna useless.
35
Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yaitu :
36
a. Teori absolut atau mutlak Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,
tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana kerana telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa apapun yang
34
Ibid.
35
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, halaman. 36.
36
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika
Aditama, Bandung, 2003, halaman 23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apaah mungkin dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa
lampau, tidak dilihat ke masa depan. Hutang pati, nyaur pati; hutang lara, nyaur lara yang berarti : si
pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. b. Teori relatif atau nisbi
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus
dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi mayarakat, atau bagi si penjahat sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa
depan. Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan
pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan dengan teori “tujuan” doel theorien. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar
kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi prevensi. Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan
prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana
orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi khusus, hal membuat takut ini ditujukan kepada si
penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua juga takut akan menjalankan kejahatan.
37
37
Ibid., halaman 25.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jika menurut teori relatif atau teori tujuan ini menjatuhkan pidana bergantung kepada pemanfaatannya kepada masyarakat, maka terdapat
konsekuensi sebagai berikut. Untuk mencapai tujuan prevensi atau “memperbaiki si penjahat”, tidak
hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana tetapi secara positif dianggap baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat
pidana.
38
Tindakam ini misalnya berupa mengawasi saja stindak-tanduk si penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial untuk
menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang berguna beveilingings maatregelen.
39
c. Teori gabungan Di samping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian
muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” vergelding dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula
unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.
40
Teori ini merupakan gabungan dari teori pertama dengan teori kedua. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur-unsur
prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan pidana. Pidana adalah pembalasan tetapi tidak boleh memberikan
38
Ibid., halaman 26.
39
Ibid, halaman 27.
40
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pidana lebih dari apa yang semestinya, seimbang dengan berat ringannya kejahatan.
41
2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika
Narkotika atau obat bius ialah semua bahan-bahan obat, baik yag berasal dari bahan alam ataupun yang sintesis yang mempunyai effek kerja yang pada
umumnya : a. Membiuskan dapat menurunkan kesadaran
b. Merangsang menimbulkan kegiatan-kegiatanprestasi kerja c. Ketagihan ketergantungan, mengikat
d. Mengkhayal menimbulkan daya khayalan, halusinasi Semua narkotika termasuk obat-obat kerasberbahaya, kerena daya
kerjanya keras dan dapat memberi pengaruh merusak terhadap fisik dan psikis manusia bahkan sangat membahayakan manusia jika disalahgunakan. Oleh
karena itu penggunaan obat-obat tersebut untuk keperluan pengobatan haruslah dengan resep dokter.
42
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan atau
digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbukan akibat yang sangat merugikan bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi
muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan
41
Soejono, op.cit., halaman. 38.
42
Dinas Penerangan Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Penanggulangan Kenakalan Remaja dan Narkotika, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Alda Dharma Bakti,
Jakarta, 1985, halaman 15.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat
melemahkan ketahanan nasional. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor VIMPR2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia
untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Perubahan undang-undang tersebut dikarenakan tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang
yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di
tingkat nasional maupun internasional, hal ini juga untuk mencegah adanya kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantatif maupun kualitatif
dengan korban yang meluas terutama di kalangan anak-anak, ramaja, dan generasi muda pada umumnya, selain itu, untuk melindungi masyarakat dari
bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai prekusor
narkotika kerena prekusor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika .
43
43
AR. Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 59-60.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongang-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut.
Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel
sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut. Narkotika dibagi dalam tiga golongan yaitu : narkotika golongan I,
narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan dan dijadikan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari undang-undang
tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sedangkan narkotika golongan II dan III dapat digunakan untuk kepentingan medis yang penggunaannya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Oleh
karena itu, untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sehubungan dengan upaya pengobatan, pasien dapat memiliki, menyimpan, danatau membawa narkotika untuk dirinya sendiri dan
harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, danatau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
44
3. Kebijakan penanggulangan Kejahatan
Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan” berasal dari istilah policy inggris atai politiek belanda. Terminologi itu dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam arti luas termasuk penegak hukum dalam mengelolah, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah mayarakat atau bidang- bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan
hukumperaturan dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat warga negara.
45
Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari “prilaku meyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. terhadap
masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan yang tertua ini telah banyak usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu
44
http:gunarta.blogdetik.com20100504konsekuensi-bagi-pelaku-penyalahgunaan- narkotika-dan-prekursor-narkotika diakses pada Selasa, 04 Mei 2010
45
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambantan, Jakarta, 2007, halaman 26.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.
46
Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal itu mempunyai tiga arti
yaitu :
47
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jopesen islah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Beliau juga memberikan pengertian singkat bahwa kebijkan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan”. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social walfare. Oleh kerena itu
dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dengan
46
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, halaman 148.
47
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian dari integral sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk
mencapai kesejahteraan sosial.
48
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal penerapan hukum pidana dan pendekatan
non penal pendekatan di luar hukum pidana. Integrasi dua pendekatan ini diisyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya
penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari
persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukakan.
49
Berikut akan dijelaskan dua pendekatan kebijakan penanggulangan kejahatan di atas adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Non-Penal Non-Penal Policy Kebijakan Penanggulangan Kejahatan lewat jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena, itu sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan
48
Ibid., halaman 2.
49
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , Pustaka Bangsa Press, Medan,
2008, halaman 51.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan
diefektifkan.
50
Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan penyelidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat,
penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan
pratoli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya.
Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal itu adalah memperbaiki kondisi- kondisi sosial tertentu.
Dengan pendekatan integral inilah diharapkan agar perencenaan kondisi sosial benar-benar dapat berhasil. Dan dengan demikian diharapkan pula
tercapainya hakekat tujuan kebijakan sosial yang tertuang dalam rancana pembangunan nasional yaitu “kualitas lingkungan hidup yang sehat dan
bermakana.”.
51
2. Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa
Belanda “politiek” istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dalam kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga
dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan
50
Ibid., halaman 55.
51
Muladi dan Barda Nawawi, op.cit., halaman 160.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting utuk dibicarakan tentang politik hukum.
52
Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum
pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui
Komponen Sistem Peradilan Pidana, serta tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum
pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Upaya pencegahan ini juga berarti bahwa penerapan
hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.
53
Ada dua masalah sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan :
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana b. Sanksi apa yang sabaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar Penganalisaan terhadap dua masalah di atas tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut di
52
Mahmud Mulyadi ,op.cit., halaman 65.
53
Ibid., halaman 67.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan.
54
Tujuan-tujuan tertentu yang dimaksudkan di atas adalah tujuan akhir dari kebijakan penanggulangan kejahatan ialah “perlindungan masyarakat” untuk
mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya “kebahagiaan warga masyarakatpenduduk”, kehidupan kultural yang sehat dan
menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbanagan. Dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila
kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
55
F. Metode Penelitian
Metode dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara mendapat sesuatu. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan
skripsi ini meliputi : 1. Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif dengan menganalisis peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika dan menganalisis putusan pengadilan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
54
Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., halaman 160.
55
Ibid.,halaman 158.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, antara lain : Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narotika, Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana KUHAP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP dan Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
Narkotika. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku yang berkaitan dengan
permasalahan di dalam skripsi, buku-buku yang berkenaan dengan teori-teori dan kebijakan penanggulangan kejahatan dan studi yang
diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan, yaitu putusan No. 675Pid.B2010PN.Mdn
dan Putusan
No. 1.366Pid.B2011PN.Mdn serta dari berbagai literatur, majalah,
internet yang kiranya dapat mendukung tulisan penulis. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer an sekunder. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan seperti
kamus hukum, majalah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relavan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang
diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 3. Alat Pengumpul Data
Penggumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan library research.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Data yang dipergunakan berupa data sekunder dengan mempelajari literatur dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.
4. Analisis Data Bahan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif
dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang dirumuskan.
G. Sistematika Penelitian